Selasa, 22 Desember 2015

CATUT
(Kontemplasi  Peradaban)
 
“Nunc animis
opus, Aenea, nunc pectore
 firmo” – Aeneas, sekarang ini kerja jiwamu
 hendaknya dilakukan dengan hati nurani yang kokoh (Vergilius).
 
       Ketika seseorang memerbaiki rumah atau pagar kemudian ada paku yang sudah tidak dipakai lagi dan perlu untuk dibuang, maka dibutuhkan sebuah catut. Dalam  Kamus Bahasa Jawa, “cathut” berarti peralatan untuk mencabut paku. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, catut diartikan sebagai penyalahgunakan (kekuasaan, nama orang dan jabatan) untuk mencari untung. Banyak orang yang mencatut nama pejabat untuk kepentingan pribadi. 

          “History repeat itself”  – Sejarah akan berulang dengan sendirinya.  Kisah catut-mencatut sudah ada sejak dulu kala. Dalam kisah pewayangan yang berjudul,  “Karno Tanding”  Kunti, ibu para Pandawa mencatut nama besar kelima anaknya (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa) agar Karno, yang pada waktu itu berpihak pada Doryudana,  bergabung dengan adik-adiknya. Pencatutan nama itu tentunya tidak diketahui oleh kelima anaknya. Ini adalah insitiatif sang ibu yang prihatin terhadap keutuhan keluarganya. Meskipun demikian, Karno tetap  kuekueh dengan pendiriannya, yakni berseberangan dengan adik-adiknya. 

          Aesop (620 – 506 seb.M) pun memberikan kisah tentang pencatutan yang dilakukan  seekor kera yang menggunakan nama kota besar  Piraeus, pelabuhan kota Athena.

Waktu itu, ikan lumba-lumba menolong kera yang terlempar di laut. Kemudian terjadilah percakapan antara kedua binatang tersebut.

      “Apakah kamu orang Athena?” Lumba-lumba itu bertanya.
            “Ya, betul,”  kera itu berbohong. “Saya merupakan anggota salah satu  keluarga paling terkemuka di seluruh Athena.”
            “Kalau begitu kamu pasti tahu Piraeus,” lumba-lumba berkata dengan bangga, mengacu pada pelabuhan indah yang ia jadikan tempat tinggal.
            Karena menduga bahwa Piraeus itu pasti merupakan seorang pejabat termasyur, kera pun menjawab,  “Ya, aku mengenalnya. Ia adalah salah satu teman terbaikku.”
            Ketika lumba-lumba mendengar jawaban bohong itu, ia menyelam ke dasar laut dan membiarkan kera itu tenggelam.
 

       “Nomen est omen” – Nama adalah pertanda. Dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik.  Lantas, bagaimana jika nama baik itu dicatut untuk hal-hal yang kurang baik, misalnya untuk memengaruhi suatu kebijakan. Nama baik tetaplah menjadi nama baik, tergantung pribadi yang menyandangnya. Ia akan tetap menjadi pribadi yang marwah.  Jadi meskipun namanya dicatut, ia tetap akan stabil, tak tergoncangkan.

Dalam budaya Jawa ada pepatah yang berbunyi, “Yen ora cluthak bisa galak” atau sebaliknya  “cluthak ora galak”.  Maknanya, “orang itu (pemimpin) kalau bersih (jika tidak nggragas, pemakan segala/ serakah) selalu mampu bersikap tegas”.  Jika yang dicatut namanya itu “bersih”, maka ia akan  galak  dan tegas.

Demikianlah, mencatut nama orang lain merupakan tindakan yang kurang terhormat.  “Penyalahgunaan nama” yang dalam bahasa Inggris diartikan sebagai  “to abuse”  berasal dari bahasa Latin, “abusus”. “Abusus” terdiri dari kata “ab” yang berarti dari dan “utor” berarti menggunakan.  Dengan demikian, “abusus” menunjuk pada “menyimpang dari penggunaan sebenarnya.

Kamis, 26 November 2015   
Markus Marlon

Senin, 07 Desember 2015

Jalan Sempit

JALAN  SEMPIT
 
“Et arcta via est, quae ducit ad vitam”  –  dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan (Mat 7: 14).
 
       “Pernahkan kita mengalami hidup itu terasa nyaman, sepertinya tidak ada masalah?” Seolah-olah jalan begitu lebar dan luas, tanpa gangguan. Tetapi tiba-tiba dalam kasus lain, sepertinya jalan begitu berat dan akhirnya kita menyerah.

          Setiap saat, kita senantiasa diperhadapkan pada pertanyaan dalam diri, “Saya akan ikut jalan mana?” Para tetua penduduk asli Amerika  memberikan petuah kepada anak-anak muda supaya berani melangkah di jalan yang sempit dan berkelok-kelok,  menanjak dan melintasi gunung-gunung terjal. Mereka menambahkan lagi, “Jalan itu penuh dengan begitu banyak kesulitan dan rintangan dan hanya yang kuatlah yang  bisa mencapai puncak gunung.”  Melalui legenda itu, para orang tetua  suku Indian mengajar  anak-anak  bahwa  bahwa jalan yang paling mudah bukanlah jalan yang terbaik.

Ronggowarsito (1802 – 1873 ) yang popular dengan  “jaman edan”-nya  memberikan ulasan tentang kehidupan manusia yang tidak mau ikut arus. Ia memuji orang yang waspada dan tidak lupa, “… begja-begjane kang lali,  luwih begja kang eling lan waspada” – Namun bagaimana pun juga betapapapun nikmatnya kehidupan mereka yang ikut menjadi  edan, masih lebih bahagia  mereka yang tetap mempertahankan kesadarannya.  Kalau kita ikut arus  zaman edan tersebut, akan banyak teman yang pasti hidup lebih terjamin di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus hidup di jalan yang benar, karena  “invia virtuti nulla est via” – untuk sebuah kebajikan tidak ada jalan yang tidak bisa dilalui.

          Hal yang sama juga apa yang ditulis oleh Richard Bach (lahir 23 Juni 1936) yang terkenal dengan buku  the best seller-nya yang berjudul, “Jonathan Livingstone Seagull”.  Si camar itu berani meninggalkan cara hidup yang biasa-biasa saja. Semua burung lain melarangnya, namun ia tetap berpendirian untuk menjadi  “yang lain”  dan akhirnya menemukan kebahagiaan. Lain dengan cerita yang dikisahkan Antony de Melo (1931 – 1987) dalam bukunya yang berjudul “Burung Berkicau”  di sana ada orang lebih senang ikut masyarakat umum dan mengikuti cara hidup mereka (ikut arus) dan memang terasa nyaman. 

          Masih tentang  “jalan sempit”. Salah seorang murid Socrates yang bernama Cebes menulis di dalam bukunya yang berjudul,  “Tabula” demikian, “Apakah engkau melihat sebuah pintu kecil yang ada di depannya, namun tidak ramai serta hanya sedikit  saja yang melaluinya ?” Itulah jalan yang menuju kepada pengajaran sejati (Bdk. William Barclay dalam bukunya yang berjudul, “Pemahaman Alkitab Setiap hari Injil Matius”, hlm. 454).  Jalan sempit yang menyelamatkan juga ditulis oleh John Bunyan (1628 – 1688)  dalam bukunya yang sangat terkenal bahkan monumental, “The Pilgrim’s  Progress”.  Bunyan menulis bahwa jalan sempit itu penuh resiko dan tantangan, “Siapa takut?”

Senin, 19 Oktober  2015    Markus Marlon

Kamis, 03 Desember 2015

AMARAH
Kontemplasi Peradaban
 
Furor fit laesa saepius patientia – kesabaran yang
 sering dinistakan dapat berubah menjadi kemarahan (Publius Syrus).
 
       Siapa pun orangnya tentu pernah marah. Ada yang marah terlihat dari body language-nya yang tenang-tenang saja. Namun ada juga yang marahnya tidak terkendali seperti Baladewa, saudara  Kresna: meluap-luap. Dan  ketika kita melihat amarahnya, dari raut mukanya seolah-olah akan berbuat jahat. Itulah dalam bahasa Arab, ammarat  itu berarti menyuruh seseorang untuk berbuat jahat. Tidak heranlah jika dalam bahasa Latin, ada pepatah, “furor arma ministrant” – kemarahan mengarah untuk memakai senjata.

          Kebanyakan di antara kita berpikir bahwa amarah hanyalah dipunyai oleh mereka yang berkuasa. Seorang jendral marah kepada para prajutir, seorang direktur marah kepada karyawan-karyawannya dan seterusnya. Adolf  Hitler (1889 – 1945) misalnya – dalam biografinya – dituliskan bahwa kalau ada yang tidak sesuai dengan keinginannya langsung marah-marah. Penulis buku “Strategi Perang”  Sun Tzu (544 – 496 Seb. M) pernah menulis, “When the officer  get angry  easily with their men, it indicates that they are weary  of war” – Jika seorang pemimpin mudah marah-marah terhadap bawahannya, ketahuilah bahwa ia sudah capek dan jenuh dengan perang.

          “Menghadapi orang yang sedang marah-marah, jangan dilawan dengan marah”  kata seorang bijak, “Namun hadapilah dengan penuh kesabaran.”  Shakespeare  (1564 – 1616) dalam dramanya yang berjudul,  “Merchant of Venice”  merekam apa yang dikatakan Antonio. Antonio (tokoh utama) itu berkata, “Kan  kulawan kemarahannya dengan kesabaran, kan
kutanggung derita di bawah kuasa amarahnya dengan sikap setenang roh…”  Kalau ada api padamkanlah  dengan air.

          Kita harus sadar bahwa nafsu kemarahan itu hanya sejenak. Banyak orang yang menyesal setelah marah besar terhadap anaknya. Horatius (65 – 8 seb. M) pernah menulis, “Ira furor brevis est: animum rege, qui nisi imperat: hunc frenis, nunc tu compesce catena” – Nafsu amarah itu hanya sejenak: Arahkanlah hatimu, jika nafsu itu tidak ditundukkan, ia akan menguasaimu. Kekanglah nafsu itu dengan kendali atau dengan rantai.”

          Ya, memang, tali pada busur kadang-kadang  dikendorkan  – biarpun itu busur Apolo  –  agar tidak putus. Demikian pula, menurut bahasa Konfusius (551 – 479 seb. M), “Orang tidak dapat melihat bayangannya sendiri di dalam air yang mengalir, tetapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.”

Rabu, 28 Oktober 2015  
Markus Marlon

Senin, 30 November 2015

Rela

RELA
Kontemplasi Peradaban
 
“Qui proiecto
vestimento suo exiliens, venit ad eum”
 – Lalu ia menanggalkan mantolnya, segera
 berdiri dan pergi mendapatkan Dia (Mrk 10: 50).
 
       Saya pernah mendengar sebuah lagu secara samar-samar, “Aku rela kasihku  pergi bersama si dia….” Sebuah lagu yang menyentuh kalbu dan mengharukan. Lantas kita bertanya, “Tetapi benarkah, orang itu rela melepaskan dia?”

          Zaman sekarang ini, sering kita dengar ungkapan seperti, “Aku rela berkorban demi nyai” atau “Para relawan mengawal  nawacita  yang dicanangkan oleh Jokowi” atau, “Pejabat itu dengan mudah rela melepaskan jabatannya yang empuk”. Memang, orang yang rela itu seolah-olah mengganggap bahwa relasi, kekayaan itu bagaikan mainan. Kemudian kita bertanya,  “Benarkah demikian?”

          Sri Paduka Mangkunagara IV (1809 – 1881) dalam bukunya yang berjudul, “Wedhatama”  menulis, “Lila lamun, kelangan nora gegetun...” – rela yang berarti tidak menyesal, apabila kehilangan sesuatu.  Istilah  lila yang biasanya diterjemahkan sebagai “rela” sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih dalam.  Lila juga berarti “permainan”.  Kerelaan hanya bisa terjadi, apabila kita mengganggap dunia  ini hanya sebagai suatu permainan atau pertunjukan. Kehilangan dan keperolehan atau  suka dan duka semuanya hanya terjadi dalam “permainan” yang sedang kita mainkan. Maka,  saya sering  merasa heran apabila ada orang yang memiliki jabatan, kemudian  bersikap mati-matian untuk memegang jabatan tersebut. Ingatlah bahwa semuanya akan berlalu, “There is a time for everything…” – untuk segala sesuatu ada masanya (Pkh 3: 1).

          Memang benar bahwa yang paling sulit itu adalah rela melepaskan jabatan. Dengan jabatan itu, seseorang bisa memerintah dan memiliki fasilitas. Shakespeare (1564 – 1616) dalam dramanya yang berjudul, “King Henry VIII” memperlihatkan kepada kita bahwa seorang raja yang ambisius tidak pernah mau melepaskan jabatannya. Dalam drama itu, Kardinal Wolsey berkata,

                   Aku menuntutmu ‘tuk mengenyahkan ambisimu!
                   Karena itulah dosa yang membuat malaikat jatuh!
 
          Sang Kardinal mengingatkan bahwa jabatan itu sifatnya hanya sementara. Hal itu sama dengan kisah-kisah  “Bhagavad Gita”  –  Nyanyian mulia  yang ditulis  3000 tahun  sebelum Masehi.  Ketika Arjuna dalam keadaan loyo – tidak semangat, Krishna memberi nasihat, “Ibarat seseorangmelepaskan pakaian lama dan memakai pakaian baru…”        Hidup ini bagaikan melewati  cakra panggilingan  (roda berputar) yang bermakna: hari ini memegang jabatan tapi esok atau lusa tentu harus dilepaskan.

          Sebagai akhir dari kontempasi ini, baiklah kita merenungkan lebih dalam lagi,  dengan mengutip kisah Bartimeus (Mrk 10: 50). Ditulisnya, “Ia menanggalkan mantolnya, melonjak dan datang kepada Yesus.” Menanggalkan mantolnya memunyai arti sama dengan meninggalkan segala-galanya. Mantol sejak jaman kuno memiliki makna khusus, “Kalau engkau mengambil mantol  saudaramu sebagai tanggungan, engkau harus mengembalikannya sebelum matahari terbenam; sebab mantol itu satu-satunya yang ia punyai untuk menutup tubuhnya (Kel 22: 25 – 26).

 

Jumat, 30 Oktober 2015 
Markus Marlon

Jumat, 27 November 2015

Royal

ROYAL
(Kontemplasi Peradaban)
 

“Invisa nunquam
 imperia retinentur diu” – pemerintahan yang
dibenci tidak pernah dapat bertahan lama (Seneca).
 
          Di jawa ada cemilan yang  bernama rondho royal.  Ini adalah makanan tradisional yang terbuat dari tape yang digoreng dengan tepung beras. Makanan ini sangat terkenal di Jawa, terutama di Jepara (Jawa Tengah). Sulit menafsirkan kata tersebut. Dalam buku yang berjudul, “Kamus Basa Jawa” yang disusun oleh Tim Balai Bahasa Yogyakarta, mengulas makna Rondho dan Royal”.  Rondho (Bhs. Jawa artinya janda) dan royal (Bhs. Jawa artinya  “seneng mbuang dhuwit utawa nglakoni maksiyat; tumindak beborosan kanggo senenge dhewe” = senang membuang uang atau bertindak maksiat; boros untuk kesenangannya sendiri).

Meskipun royal itu sebuah kata yang kebarat-baratan, namun  - seperti yang tertulis di atas  -  kita tahu bahwa kata royal sudah masuk dalam khazanah bahasa Jawa. Orang Jawa yang gemar memboroskan uang untuk bergaya mewah diistilahkan sebagai royal, menandakan bahwa orang-orang ini hendak meniru tingkah laku dari kalangan  menak dan priyayi.

          Ternyata konotasi untuk royal begitu jelek bagi orang Jawa. Dan untuk zaman sekarang ini, hidup royal karena orang itu kelebihan harta. Kelebihan harta bisa membuat orang “lupa daratan”   yang dalam bahasa Jawa  disebut dengan istilah  “melik gendhong lali” – yang memiliki banyak uang akan lupa  atau bahasa kasarnya, “kere munggah bale”. Orang yang amat miskin yang tiba-tiba mendapatkan fasilitas yang berlimpah-ruah, sehingga dengan mudah menggunakannya  untuk royal.

 Lantas kita berkata, “Bagaimana tidak royal, jika uang dengan mudah didapatkan. Gaji pokok sudah jutaan, tunjangan uang duduk dan lain-lain?”  Kesempatan untuk hidup royal dengan mudah mendapatkan uang pula, membuat mereka tidak memiliki  sense of crisis.  Suami mengadakan  study banding, sedangkan istri-istri mereka  shopping. Tidaklah salah jika dalam bahasa Indonesia kata royal juga berpadanan dengan foya-foya. Dan kata itu bersinonim dengan plesir yang diserap dari pleasure. Maka, pleasure loving  berarti suka plesir dan bersenang-senang. 

Kehidupan yang  royal pada awalnya memang berkaitan dengan raja dan kaum monarki. Istilah ini dianggap sejajar dengan kata regal yang artinya tampil menakjubkan bak seorang raja. Di sini mungkin kita pernah mendengar tokoh seorang permaisuri yang bernama Antoniette. Maria Antoinette (1770 – 1793) permaisuri dari Louis XVI (1754 – 1793) memiliki banyak julukan namun sayang bahwa  sebagian besar julukan itu negatif.  Ia sering merayakan pesta di istana, membelanjakan barang-barang perhiasan yang mahal-mahal, bahkan ketika negeri Prancis mengalami kesulitan keuangan, “Ia berfoya-foya di atas penderitaan rakyat.”  Dan akibatnya dapat kita ketahui, ia dan suaminya dihukum pancung dengan hukuman  guillotine.  Memang, “gula plures interemit quam gladius” – kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang.

Dalam dunia pewayangan pun, kita kenal tokoh Punakawan yang berjudul, “Petruk kantong bolong”. Sang tokoh ini sakunya berlubang-lubang sehingga uang cepat mengalir entah ke mana. Ibaratnya kalau orang ini pejabat, maka uang itu mengalir entah ke mana. Karena kantong-nya  bolong, uang bisa untuk royal dengan mentraktir teman-teman kantor atau untuk biaya istri simpanan dan lain sebagainya. Kelakuan seperti ini, kita menjadi ingat akan kata-kata Seneca (4 seb. M – 65 M), filsuf-negarawan-dramawan  mengatakan, “Invisa nunquam imperia retinentur diu” – pemerintahan yang dibenci tidak pernah dapat bertahan lama.

Dalam suasana seperti ini, baiklah jika kita meneladani asketis Muhammad SAW. Asep Salahudin menulis, “Rasulullah  lebih memilih menyatu dengan rakyat. Istananya tidak dibangun berlapiskan emas permata, tetapi menjadi bagian dengan masjid tempat keluar masuk masyarakat. Alih-alih memakai pagar yang menghabiskan uang rakyat, pintu rumahnya justru dibiarkan terbuka agar para sahabat dan komponen bangsa dapat berdialog setiap saat” (Kompas, 4 Februari 2012). Para petinggi pemerintah dan orang-orang terhormat di Senayan sana,  perlu untuk bersikap ugahari, kalau bisa sehati seperasaan dengan rakyat yang sedang susah (sense of crisis).

 

Senin, 12 Oktober 2015  
Markus Marlon

Stres

STRES

 
        “Neque semper
 arcum tendit Apollo” – Apolo tidak
 terus-menerus meregang busurnya (Horatius).
 
         Ada anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar  mengeluh kepada ibunya, “Ma, aku stres dengan banyaknya PR di sekolah!”  Juga ada seorang ibu rumah tangga  yang berkata, “Duh saya stres memikirkan harga-harga barang yang  melambung terus!” 

        Zaman sekarang ini, stres bagaikan “penyakit jiwa” yang melanda orang tanpa kenal strata sosial maupun usia.

Penyebab stres (stressor) bermacam-macam dan akibatnya pun sangat bervariasi,  mulai dari yang ringan seperti gugup sampai yang berat seperti kecenderungan ingin bunuh diri.

Lantas kita bertanya, “Apakah stres bisa dihindari?” Jawabannya: tergantung. Ada stressor  yang  tidak dapat dihindari misalnya kematian  orang yang kita kasihi. Sebaliknya ada stressor yang dapat dihindari. Misalnya, jika kita stres dikejar oleh batas waktu suatu tugas, kita dapat mengerjakan tugas itu lebih dini dan lebih bijak mengatur waktu. Ini namanya stres yang baik dengan istilah: eustress dan stres yang membuat kita hampir  patah semangat disebut  distress.

Kehidupan para kudus tidak terlepas dari  pengalaman  “malam gelap jiwa”  tetapi mereka dapat mengatasinya.  Santa Theresia dari Avila (1515 – 1582) misalnya, memiliki pengalaman pada masa tengah umur yang membuat dirinya gelisah, cemas dan stres  ketika menghadapi tugas pelayanannya.  Namun, ia kemudian berusaha gembira dengan bernyanyi dan menari.

Arthur Schopenhauer (1788 – 1860) berkata, “Kehidupan adalah suatu pertempuran panjang dan kita harus berjuang dalam setiap langkahnya”. Dalam Kitab “Bhagavad Gita”  Arjuna mengalami stres yang sangat berat,  ketika menghadapi orang-orang yang dihormati dan disayangi  (Bhisma, Drona, Krepa dan Salya).

Baik jika kita – ketika mengalami stres – ingat akan kata-kata Ayub, “Does not man have hard service on earth…?” (Ayb 7: 1)  – bukankah manusia harus bergumul di bumi?  Atau kita tengok kutipan ini, “Take the rough with the smooth” – Jangan berharap jalan hidup kita selalu mudah. Rintangan atau stres membuat hidup kita makin kuat.

Kamis, 8 Oktober 2015  
Markus Marlon

Kamis, 26 November 2015

MELAMPAUI  RASA TAKUT

“Prajurit yang telah
 menyaksikan pedang berkilau
 di atas kepalanya, tidaklah peduli dengan batu-batu
yang dilemparkan kepadanya oleh anak-anak di jalanan” (Kahlil Gibran).
 
Ada sebuah pertanyaan ditujukan kepada seseorang, “Pernah Anda merasa takut: Takut menghadapi suami yang sedang marah, takut kehilangan anak yang tidak lama lagi akan pindah ke rumah mertua, takut terhadap kehidupan rumah tangga yang  gonjang-ganjing  masalah ekonomi?”    

Dale Carnegie (1888 – 1955)  dalam bukunya yang berjudul, “Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia”  menulis bahwa sebagian besar ketakutan yang kita alami itu tidak nyata.  Tetapi yang terjadi, seringkali kita  “takut-bimbang-ragu”  sehingga rasa takut itu menguasai diri kita, “mau begini takut dan mau begitu takut.”  Julius Caesar (100 – 44 seb.M)  dalam hal ini mengatakan bahwa penakut mati berkali-kali, sedangkan seorang pemberani hanya mati satu kali dalam hidupnya.

Rasa takut dan kuatir itu bagaikan melihat bayangannya sendiri ketika kena sinar matahari pada pagi atau sore hari. Bayangan itu amat besar sekali. Demikian pula, sering, apa yang kita kuatirkan itu amat besar dan ternyata apa yang dikuatirkan tidak terjadi sama sekali. Selama "penantian" di ambang rasa takut itu, kehidupan menjadi tidak nyaman.

Ketakutan membuat seseorang ragu-ragu dalam melangkah. William Shakespeare (1564 - 1616) dalam dramanya yang berjudul, “Hamlet” mengangkat istilah “to be or not to be”  untuk mengambil keputusan yang sangat genting. Situasi batin yang dialami oleh Hamlet penuh dengan keraguan dan  kebimbangan. Dia salah mengambil keputusan dan ini berakibat fatal, yakni kematian ayah tirinya.

Bagaimana  “way out”-nya agar kita bisa melampaui rasa takut. Yang pertama, mungkin kita pernah mendengar istilah yang dicetuskan oleh Ignatius Loyola  (1491 – 1556)  “contra agere” – melakukan sebaliknya: hadapi rasa takut itu dengan keberanian. Yang kedua seperti yang dilakukan Julius Caesar, “Mari kita melintasi sungai Rubicon.”  Hadapi rasa takut itu dan lampaui saja.

Selasa, 13 Oktober 2015    Markus Marlon

 

Rabu, 25 November 2015

Ujaran Kebencian

UJARAN  KEBENCIAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
“Bad news travels fast” –
 kabar buruk cepat menyebar.
 
Kepala Polri Jendral (Pol) Badrodin Haiti telah menandatangani Surat Edaran No. SE/6/X/2015  pada 8 Oktober 2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) agar polisi lebih peka terhadap potensi konflik sosial dengan segera mendekati dan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.
 
Tentu saja surat edaran tersebut menunai pro-kontra. Kebebasan berekspresi di Indonesia yang terkungkung pada  era Orde Baru memuncak seiring dengan masuknya Indonesia di  era digital. Media sosial menjadi ruang baru bagi warga negara untuk mengekspresikan  pandangan dengan berbagai bentuk, baik itu teks, karikatur, maupun gambar yang diolah melalui teknologi fotografi (Kompas “Menangani Ekspresi Kebencian”  30 Oktober 2015).
 
Dalam era digital ini, amat mustahil orang tidak memegang gawai yang seolah-olah dunia – memang – ada dalam genggaman. Karena dunia dalam genggaman, maka orang dengan mudah menulis kata-kata di  BBM, SMS, e-mail, dan  twitter  yang bisa jadi merupakan ujaran kebencian. Misalnya ada orang yang meng-upload  sebuah  status. Dan tidak diduga, ternyata kata-kata tersebut melukai hati orang lain. Mulai dari situlah, terjadi  “perang digital” yang tentunya menguras banyak energi. Yang tadinya teman baik, kini saling benci hanya karena  status itu. Orang menuduh bahwa status itu ditujukan pada dirinya.
 
Dan jika “perang digital” itu semakin mamanas, maka muncullah hasutan sana-sini. Ini sungguh amat berbahaya.  Hasutan baru terjadi,  jika diwujudnyatakan, entah itu dalam kata-kata maupun perbuatan. Pembunuhan Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) yang terjadi pada pertengahan Maret 44 karena ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus (85 – 42 seb.M) awalnya merupakan hate speech  – ujaran kebencian.  Peristiwa ini terjadi karena adanya kata-kata yang mengarah pada perundingan  dari Marcus Brutus, Cassius, Casca, Trebonius, Ligarius, Decius Brutus dan Mettelus Cimmber. Akan lebih mendalam  jika kita membaca kisah-kisah konspirasi dari para Mafioso dan Godfather serta  Sherlock Holmes tulisan Sir Arther Conan Doyle.

Kita menjadi sadar bahwa   hate speech – ujaran kebencian itu memang  awalnya hanyalah ujaran-ujaran yang biasa dan sederhana,  namun lama-kelamaan menjadi besar, akhirnya terjadilah ujaran kebencian “kriwikan dadi grojogan”.  Dan tidak jarang dalam bergosip itu terselip juga berita bohong dan fitnah. Kita tahu bahwa  kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang atau membicarakan keburukan orang bukan di hadapan yang bersangkutan. Dalam Al-Quran surat 49: 12 diterangkan sebagai berikut, “Hai, orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah mempergunjingkan …” (Bdk. Buku tulisan Christine Huda Dodge dengan judul, “Memahami segalanya tentang Islam”).
           
          Ujaran kebencian memang berbahaya yang dalam bahasa saat ini disebut sebagai desas-desus atau (seperti yang tadi dituliskan)  gossip.  Lakon wayang berjudul, “Drona Gugur” hanya karena kabar buruk yang diterimanya. Disebarkanlah sebuah  gossip bahwa sang putra, Aswatomo tewas dalam peperangan, padahal yang mati bukan dia tetapi gajah yang bernama Estitomo.  Dari situlah, Drona menangis sedih, berduka yang membuat dirinya tidak stabil dan tewaslah ia.

          Demikian pula, orang-orang yang di-bully dalam dunia maya bisa menjadi frustasi  karena – barangkali – foto-fotonya direkayasa dan sudah tersebar ke mana-mana (cyber bullying) dan tidak kuasa untuk menahannya. Dalam sekejab pun nama baiknya luluh-lantak.   Tentang hal ini, Vergilius (70 – 19 seb. M)  pernah berkata, “Fama nihil est celerius” – tidak ada yang lebih cepat daripada desas-desus.

Dalam perang, orang takut dengan desas-desus. Bahkan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) berkata bahwa  desas-desus lebih berbahaya daripada pedang. Kita menjadi ingat akan kisah perang masyur :  Sam Kok  atau The Three Kingdom. Tokoh yang sering disebut-sebut dalam perang itu adalah Cao-Cao.  Ia selalu berhati-hati dalam menghadapi pelbagai situasi, terutama si  telik sandi (mata-mata).  Cao-cao mengatakan bahwa desas-desus yang disebarkan oleh telik sandi  itu itu sungguh-sungguh – bahkan melebihi –  “hate speech” – ujaran kebencian”.

Kamis, 5 November 2015   Markus Marlon

Minggu, 15 November 2015

MEMIMPIN
Kontemplasi Peradaban
 
“Omnia orta
occidunt” – Siapa saja yang
 naik berkuasa suatu ketika ia juga akan turun.
 
 
Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudah mulai mengelus-elus jagonya.  Ingar-bingar pesta demokrasi tentunya akan menyerap dana miliaran rupiah,  bahkan (mungkin) triliyunan rupiah. Semoga saja dengan dana serta energi dari para calon tersebut, akan “ditemukan” para pemimpin daerah dan walikota yang  mumpuni.      
Rakyat merindukan pemimpin yang bijaksana, rakyat mendambakan pemimpinan yang adil, rakyat mencita-citakan seorang pemimpin yang mampu mengentaskan dari keterpurukan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, “Vox populi, vox Dei”. Itulah sebabnya amanat yang diberikan kepada para pemimpin, janganlah dicederai.
Banyak teori kepemimpinan yang sejatinya terarah kepada rakyat yang dipimpinnya. Dari para pujangga Jawa kita mengenal ajaran seperti:  Asthabrata,  Dasa Darma Raja,  Wulang Reh  dan  Tripama. Dari empat karya tersebut, kita bisa mengenal  delapan watak yang tunggal seorang pemimpin (Bumi, Matahari, Rembulan, Angin,  Samodra, Api,  Kartika, Mendhung). Juga sepuluh watak kebajikan dalam kepemimpinan (Paciraga, Ajava, Dhana, Tapa, Susila, Madava, Akrodha, Kanthi, Avirodhana, Avihimsa). Lantas kita kenal empat kode etik kepemimpian dalam  “Wulang Reh” dan tiga rujukan tokoh kepemimpinan yakni: Patih Suwando, Adipati Karna dan Kumbakarna (Bdk. Buku dengan judul,  “Sang Pemimpin”  tulisan Pardi Suratno).
Sejujurnya, rakyat tidak akan banyak menuntut atau neko-neko terhadap pemimpinnya.  Hal yang diharapkan dari mereka hanyalah tercukupinya kebutuhan primer: sandang-pangan-papan. Kita mungkin ingat akan kata-kata dari Juvenalis (60 – 140) penulis Romawi, “Panen et circenses”. Kelompok  yang dulu memberikan perintah, jabatan (politik), tentara dan semuanya kini mereka tidak mengurus apa-apa lagi dan mereka hanya mendambakan dua hal yaitu roti dan permainan. Rakyat disuguhi roti dan hiburan  (para gladiator yang sedang berlaga) agar rakyat tidak berontak.  Apa yang dibuat sang pemimpin,  tentu hanya menyejahterakan sebagian orang saja. Padahal, di sini pemimpin diharapkan menjadi payung, pangayom dalam menyejahterakan rakyat.
Kita jadi ingat kisah  heroic dari Umar bin Khattab (579 – 644) yang  rela memanggul beras berkeliling mencari warganya yang kelaparan (memerintah pada tahun 634 – 644). Atau penulis yang menamakan diri Multatuli.  Multa tuli (Bhs. Latin)  arti secara harfiah adalah “aku telah banyak menderita”. Perkataannya   terekam dalam  sebuah buku  yang berjudul,  “Max Havelaar”. Tulisnya, “Apa yang kita makan, minum, pakai dan sebagainya, alangkah bahagianya kalau itu bukan pemberian orang, bukan belas kasihan orang, melainkan keringat kita sendiri” (Bdk. “Tempo Intermezo” – Secangkir Kopi untuk Havelaar, 20 Juni 2010).  Seorang pemimpin berusaha untuk memberdayakan rakyatnya agar mandiri (berdiri atas kaki sendiri).
          Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti  membalikkan tangan. Menjadi pemimpin pertama-tama (seharusnya) memiliki kematangan emosi dan afeksi yang baik.  Pepatah Latin menulis, “Regnare nolo liber ut non sim mihi” – Aku tidak mau berkuasa jika terhadap diriku sendiri aku tidak menjadi orang bebas. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin kalau dalam dirinya terbelenggu dengan orang-orang yang mendektenya. Sebenarnya apa yang ada di dalam dadanya adalah untuk memakmurkan rakyatnya.
Demikianlah kita tidak boleh lupa akan sejarah para pemimpin kita terdahulu. Tahun 1925 salah satu pendiri bangsa  yang kemudian menjadi ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP), namanya  Kasman Singodimedjo (1904 – 1982). Dalam pidatonya, ia sempat  melukiskan sosok H. Agus Salim (1884 – 1954). Singodimedjo pun berkata, “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita” – een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.  Sekali lagi, itulah arti dari Multatuli. Yesus Kristus sendiri telah mengatakan beberapa abad yang lalu,“…Son of Man did not come to be served, but to serve...” – Anak Manusia  datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ( Mrk 10: 45).
Akhirnya, kontemplasi ini akan saya akhiri dengan kisah sejarah yang sudah melegenda. Raja Harun Ar-Rasid (766 – 809) adalah kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah tahun 786 – 803.  Ada banyak kisah tentang Raja Harun Ar-Rasid. Syahdan, raja itu terkenal karena sering menyamar sebagai rakyat jelata. Kadang-kadang baginda menyamar sebagai penjual martabak. Pernah pula sebagai seorang pengemis tua di pinggir jalan.
          Itulah yang disebut incognito. Menanggalkan segala keagungan, lalu menyamar sebagai orang yang tidak dikenal. Ber-incognito atau secara diam-diam menempatkan diri di tempat orang lain adalah cara yang paling baik kena untuk menyelami dan merasakan kenyataan yang sesungguhnya.
Jumat, 23 Oktober 2015   Markus Marlon
 

__._,_.___
Posted by: Markus Marlon <markus_marlon@yahoo.com>

“Tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat, berargumen, apalagi berdialog.” (Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl)

VISIT YOUR GROUP New Members 1
• Privacy • Unsubscribe • Terms of Use
__,_._,___

bukankah iman membutuhkan realisasi tindakan nyata. Bukan jar koni bro seperti budaya yg mengemuka sekarang ini....???

salam sumringah & setia menyemai...
yohanes mudjita

▶ Show quoted text
Posted by: mudjita yohanes <mudjita@yahoo.com>

“Tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat, berargumen, apalagi berdialog.” (Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl)

VISIT YOUR GROUP New Members 1
• Privacy • Unsubscribe • Terms of Use

__,_._,___
Delivery to the following recipient failed permanently:

     pds56@indosat.blackberry.com

Technical details of permanent failure:
Google tried to deliver your message, but it was rejected by the server for the recipient domain indosat.blackberry.com by mx03.bis3.ap.blackberry.com. [216.9.247.34].

The error that the other server returned was:
550 #5.1.0 Address rejected pds56@indosat.blackberry.com

----- Original message -----

X-Received: by 10.140.34.41 with SMTP id k38mr22662117qgk.95.1445570283880;
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
X-Forwarded-To: pds56@indosat.blackberry.com
X-Forwarded-For: pdsarwono@gmail.com pds56@indosat.blackberry.com
Delivered-To: pdsarwono@gmail.com
Received: by 10.55.149.5 with SMTP id x5csp840938qkd;
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
X-Received: by 10.107.15.223 with SMTP id 92mr22741763iop.152.1445570283137;
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
Return-Path: <sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com>
Received: from ng15-vm6.bullet.mail.gq1.yahoo.com (ng15-vm6.bullet.mail.gq1.yahoo.com. [98.136.219.188])
        by mx.google.com with ESMTPS id os5si1498733igb.68.2015.10.22.20.18.02
        for <pdsarwono@gmail.com>
        (version=TLS1 cipher=ECDHE-RSA-AES128-SHA bits=128/128);
        Thu, 22 Oct 2015 20:18:03 -0700 (PDT)
Received-SPF: pass (google.com: domain of sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com designates 98.136.219.188 as permitted sender) client-ip=98.136.219.188;
Authentication-Results: mx.google.com;
       spf=pass (google.com: domain of sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com designates 98.136.219.188 as permitted sender) smtp.mailfrom=sentto-2818039-76521-1445570281-pdsarwono=gmail.com@returns.groups.yahoo.com;
       dkim=pass header.i=@yahoogroups.com;
       dmarc=pass (p=NONE dis=NONE) header.from=yahoogroups.com
DKIM-Signature: v=1; a=rsa-sha256; c=relaxed/relaxed; d=yahoogroups.com; s=echoe; t=1445570281; bh=XDzNc+y0EZeiN5CWp0V174zhNyxJXbPfC1s1wwXV+X0=; h=To:In-Reply-To:References:From:List-Id:List-Unsubscribe:Date:Subject:Reply-To:From:Subject; b=wdJrOXQKvY5DM4v6ZdthGs4hMAOfj2jdnVj9X6oJBcVLOkSROhhmhJKHYulJFdQiRzvx9JB7pRCqtkq8HK+xe8CxEjmTYG1uJIazN7uLLXnqZOGN97l0ztabDpUaKQl8uRc6u9GaUj+9S2X5kPjjnNKsblZ+i5SjJEQ73dhUlys=
Received: from [98.137.0.87] by ng15.bullet.mail.gq1.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:18:01 -0000
Received: from [10.193.39.6] by tg7.bullet.mail.gq1.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:18:01 -0000
X-Yahoo-Newman-Id: 2818039-m76521
X-Sender: mudjita@yahoo.com
X-Apparently-To: serayu-net@yahoogroups.com
X-Received: (qmail 5433 invoked by uid 102); 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received: from unknown (HELO mtaq2.grp.bf1.yahoo.com) (10.193.84.33)
  by m3.grp.bf1.yahoo.com with SMTP; 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received: (qmail 3848 invoked from network); 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received: from unknown (HELO mta1004.groups.mail.ne1.yahoo.com) (98.138.100.119)
  by mtaq2.grp.bf1.yahoo.com with SMTP; 23 Oct 2015 03:18:00 -0000
X-Received-SPF: pass (domain of yahoo.com designates 106.10.151.229 as permitted sender)
X-YMailISG: hbnmAVEWLDtaques3.SOaWM0B30vwVc01tx5hwcqrYC2Laim
 UYNq3WhXjunLEAHme3XmQDMKVzFdqZS8Re_5Ne.Iwt3lpMaEfFUpnGqb9Ta8
 QZaJmyCB2egzkdaJ1uaq703vBMmVPoAXn33B.EKDYOtIQhvvVuv2ybZf1Bel
 tlpmQygVdnHASk3eok3DqvIG3E5Lz2SWVS84oQluwqCcc3UcHv9W0K3cTuAL
 30Cw6y8bjR_fimcxFi_15o75vX5g5S5S3.KLqORhFM0dzL20GzQN0O1EXYO1
 IgTqYy7Dbp2KZkDY3uOrm7AlyfI5kv7NIIAG6iF6ZE87fXhElhuZ3QKPyvE3
 gXDfI_kfA8sIJx7yAiHji_vRN1HQG7xoCMJ1R8Ez3DoVRg73_NvXvHLG_6eN
 _k2zmBycNUk1pnGJh9i1feuuYV7sw0sl9LmFhpzAId22xWm3Q6t5khgeoQl6
 eYpS74MusOs.kqjtHJUzqN2z45DebfI9LpBooo8zR4yGidtK0t_K86NJxGBm
 dq9GUkpCEdnzH52LER3oh.y4WMkYV8h9kqpc1UlavqW2m7sio4rOWs6nZSTY
 XiJdw3fCyTNWUxHL6UctDG0uCcmFdAI1Kc8E2XnPG44QZooVwYDvY4tMjVzM
 M_BZV3KXirre3hna8EiZ9xF6feI.Pd04Ry7HJfC1Bni7U9pzjTlC2ZLT16jU
 LF_3nGenVkjq9x7OlRX1keVkRNOkxahpNPaYbhmzu04STPK_Zw86VwVmmhHw
 WCYKONd9d9qc_ZA8X8TgILs9tVUli6NdMzmXB0pSuVkVT3AZi1YSEWAFZvn8
 2b5LVw3L2xlTz66dtsxm9rX0ZIoInL..jzfa_NRfgsCa1mTvofQcYIXqXAZO
 5IKDZvGwweIHRFcO6ryqBDR920tUk3.m4QDU2Vgp2nAwAT_QclmV9FgdvpV7
 AiT5YzpZCoDIF..U.ioczgjzuPsyMGJwefw.shmUpwqacr.AtPZjbnkpMcy9
 F9OHu8V8OCs1YKdQ48sB0KbS.idNxsQ7mOcVl3GSt36QgIf_H2EY8931Uwqr
 9NyVYoFUgXApxx1jwXAouBtH4IflmDBBeDgLrKqUxB_kEFVvLR.Cy.cLTGe1
 zOxefqwgcqpklViMX01KUyn8i.otjk7eGhgusE6dwduRWCvwCsNwD9ahW7xV
 CKdlusgPOED2MPEzKYNISl7gUorCurzlHVvcO85TAvSSn.kiygJkKMA8u7Vk
 AIJm.jmybgJtuwfEGfl3NQx.0tRue9trkDBQgWz6pSkEWmL5Kng.9ElqufgS
 TJfB1ti7Y9Ns5dr3_ttbTlb1NYJoLyLVbep1OWG.LGVZ36xGZGPxF7mEqBSV
 4ChslpXFTnayPrR66PsmRVt3CkMT2SwFBzjIQreGU3R7Pccp6VyZhG6SPewe
 _hitujn1at4JdLovW70D.kHVl9tsXeipqa1oI2Pe9YFtnzmQypQg9.Ld40cU
 j.mw4Coyfb3ZyYFmiwHVjADAw9dqe1mMdOmpCVc4OxjsCi6YE5cSOkGSAOzr
 HLBpqYFXMKq4HvfZ0mOggcy4i1CSRYlePRZkx2oIOQGsJWFliVhEpYTyjI57
 VJxSIOOQpjiMymiq3.b3eupbn7mM.Xpz
Authentication-Results: mta1004.groups.mail.ne1.yahoo.com  from=yahoo.com; domainkeys=neutral (no sig);  from=yahoo.com; dkim=pass (ok)
X-Received: from 127.0.0.1  (EHLO nm33-vm6.bullet.mail.sg3.yahoo.com) (106.10.151.229)
  by mta1004.groups.mail.ne1.yahoo.com with SMTPS; Fri, 23 Oct 2015 03:17:59 +0000
X-Received: from [106.10.166.127] by nm33.bullet.mail.sg3.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:17:56 -0000
X-Received: from [106.10.150.28] by tm16.bullet.mail.sg3.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:17:56 -0000
X-Received: from [127.0.0.1] by omp1029.mail.sg3.yahoo.com with NNFMP; 23 Oct 2015 03:17:56 -0000
X-YMail-OSG: hjy1Y0EVM1mdY2qSbfWrPo2A7OFx4knYsUWHn7REXRgC_JNA8fhvZkr23WyNEm4
 .rxXu12HYff9f6wlymLYYzxAHUzgproFWI6lmwXdkFWoVWiWaK34dNhEeecQEzA9OFgsWlS_abvY
 qH96BYkgY1NAfS7DWYebldC7d0Q5e2ZZTnsP2XdFmVxTu.SUIyV1y4ECYWTgEjOWhC7uVgDf2SpU
 gPAyJujJoYoTUjplYfc5jAIXqGUC8q_f5qtd1Nt.AaNCDrX6G44NdvSoTVZyGaxj_vl2yHHPpOcc
 AaoExFZdHJl4pV_rgDqyP9H7qLvQaAmInOT.sa.aKWdDxqPIDzIigsZ.hT42r6atbEOyRqxxKoA2
 vNnd_RsQWhTj9.8KqOlTrBknGUbDCAHZjgNKDVLZyB75Pi2UAWRbXuqpQhklSgm9b5BMJl.CgJOn
 eV0uYHNawXowJb5cO1k6SfTO9z6yFPoWbuqpZhLQD4Y.0oML5qIVGwUQ8_p06oEleQztdCuvcFxt
 4ud4H5BlNhlA3
X-Received: by 106.10.196.179; Fri, 23 Oct 2015 03:17:56 +0000
To: "serayu-net@yahoogroups.com" <serayu-net@yahoogroups.com>
Message-ID: <1788287887.1452984.1445570275939.JavaMail.yahoo@mail.yahoo.com>
In-Reply-To: <1084522528-1445569948-cardhu_decombobulator_blackberry.rim.net-1627126487-@b2.c1.bise3.blackberry>
References: <1084522528-1445569948-cardhu_decombobulator_blackberry.rim.net-1627126487-@b2.c1.bise3.blackberry>
X-Originating-IP: 98.138.100.119
X-Original-From: mudjita yohanes <mudjita@yahoo.com>
From: "mudjita yohanes mudjita@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com>
X-Yahoo-Profile: mudjita
Sender: serayu-net@yahoogroups.com
MIME-Version: 1.0
Mailing-List: list serayu-net@yahoogroups.com; contact serayu-net-owner@yahoogroups.com
Delivered-To: mailing list serayu-net@yahoogroups.com
List-Id: <serayu-net.yahoogroups.com>
Precedence: bulk
List-Unsubscribe: <mailto:serayu-net-unsubscribe@yahoogroups.com>
Date: Fri, 23 Oct 2015 03:17:55 +0000 (UTC)
Subject: Bls: Bls: Bls: [SERAYU-NET] MEMIMPIN
Reply-To: serayu-net@yahoogroups.com
X-Yahoo-Newman-Property: groups-email-tradh-m
Content-Type: multipart/alternative;
 boundary="----=_Part_1452983_1328775415.1445570275912"

bukankah iman membutuhkan realisasi tindakan nyata. Bukan jar koni bro seperti budaya yg mengemuka sekarang ini....???
salam sumringah & setia menyemai...yohanes mudjita

     Pada Jumat, 23 Oktober 2015 10:12, "wisnu_rosariastoko@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com> menulis:

  
Mas Mudjita Ytk, kalau umat cuma mau dipimpin tapi gak bersedia memberikan kolekte yang mencukupi dan memadai; terus gimana dong?

Powered by Telkomsel BlackBerry®From:  "mudjita yohanes mudjita@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com>Sender:  serayu-net@yahoogroups.comDate: Fri, 23 Oct 2015 03:10:09 +0000 (UTC)To: serayu-net@yahoogroups.com<serayu-net@yahoogroups.com>ReplyTo:  serayu-net@yahoogroups.comSubject: Bls: Bls: [SERAYU-NET] MEMIMPIN
   haaaahhaaaa....sebuah perwujudan iman, bukan talk only bro

     Pada Jumat, 23 Oktober 2015 10:07, "wisnu_rosariastoko@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com> menulis:

  
1. Ing ngarso sung tulodho
2. Ing madya mangun karso
3. Tut wuri handayani....

4. Kolekte ojo lali....

Powered by Telkomsel BlackBerry®From:  "mudjita yohanes mudjita@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com>Sender:  serayu-net@yahoogroups.comDate: Fri, 23 Oct 2015 03:02:29 +0000 (UTC)To: serayu-net@yahoogroups.com<serayu-net@yahoogroups.com>ReplyTo:  serayu-net@yahoogroups.comSubject: Bls: [SERAYU-NET] MEMIMPIN
   ndherek matur...
kepemimpinan jowo1. Ing ngarso sun tulodo2. Ing madya mangun karso3. Tut wuri handayani....masih relevan dengan kepemimpinan gereja ????salam sumringah & setia menyemaiyohanes mudjita

     Pada Jumat, 23 Oktober 2015 9:08, "Markus Marlon markus_marlon@yahoo.com [serayu-net]" <serayu-net@yahoogroups.com> menulis:

  
MEMIMPINKontemplasiPeradaban  “Omniaorta occidunt”– Siapa saja yang naik berkuasasuatu ketika ia juga akan turun.  Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudahmulai mengelus-elus jagonya.

----- Message truncated -----

Sabtu, 14 November 2015

Putus Asa

PUTUS ASA

Pernahkah kita melihat layang-layang yang putus talinya? Layang-layang itu melayang-layang tanpa tujuan dan tidak berdaya sama sekali. Demikian pula dengan orang yang putus cinta, kena PHK (Putus Hubungan Kerja) dan putus asa. Semua menunjukkan kesedihan dan tiadanya harapan.

Keputusasaan yang dalam bahasa Inggris adalah  "discouragement" hingga saat ini merupakan pembunuh yang terhebat. Mengapa menjadi "pembunuh yang terhebat?" Karena orang yang putus asa cepat atau lambat akan menjadi lesu, letih, loyo, lelah dan lunglai dan pada akhirnya akan "terbunuh".

Pada kenyataannya, kata "dis" berasal dari Dewa Romawi yang juga dipanggil Pluto yang adalah Dewa Neraka atau Hades. Kediamannya berada bersama-sama dengan orang yang sudah meninggal.

Kata "dis" ini -kita tahu- mengawali sesuatu dengan yang tidak baik, seperti "dishonest", "dishonour", "disgrace", "disorder" dan semuanya menunjukkan pembalikan dari yang baik (positif). Maka kita bisa membayangkan bagaimana karakter dewa Dis atau Pluto itu.

Buku klasik, "The Pilgrim's Progress" tulisan John Bunyan (1628 - 1688) menggambarkan, orang yang putus asa, seolah-olah hidup dalam krangkeng (penjara). Jiwanya terpenjara dan tidak mampu berbuat apa-apa.

Memang, kalau kita sedang putus asa,  seolah-olah dunia kiamat. Tetapi itu hanya sementara saja. Hidup itu  kadang-kadang ada  "up-down", susah-sedih, putus asa-penuh harapan dan seterusnya. Ingat kata-kata Pengkotbah, "There is a time for everything" --- Untuk segala sesuatu ada waktunya (Pkh 3: 1).

Ketika menghadapi rasa putus asa, baiklah kita berpaling pada Horatius (65 - 8 seb.M) penulis satir Romawi Kuno. Dia menulis kata-kata motivasi,  "Quo circa vivite fortes adversis opponite pectora rebus" - Hiduplah dengan tegar dan beranilah menentang hal-hal yang berlawanan,  dengan hati yang kuat.

--oo000oo--------------------
Buku Motivasi "Sebagai sahabat dalam peziarahan hidup"  ----oo000oo--------

Senin, 28 September 2015
Markus Marlon

Memimpin

MEMIMPIN
Kontemplasi Peradaban
 
“Omnia orta
occidunt” – Siapa saja yang
 naik berkuasa suatu ketika ia juga akan turun.
 
 
Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudah mulai mengelus-elus jagonya.  Ingar-bingar pesta demokrasi tentunya akan menyerap dana miliaran rupiah,  bahkan (mungkin) triliyunan rupiah. Semoga saja dengan dana serta energi dari para calon tersebut, akan “ditemukan” para pemimpin daerah dan walikota yang  mumpuni.      
Rakyat merindukan pemimpin yang bijaksana, rakyat mendambakan pemimpinan yang adil, rakyat mencita-citakan seorang pemimpin yang mampu mengentaskan dari keterpurukan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, “Vox populi, vox Dei”. Itulah sebabnya amanat yang diberikan kepada para pemimpin, janganlah dicederai.
Banyak teori kepemimpinan yang sejatinya terarah kepada rakyat yang dipimpinnya. Dari para pujangga Jawa kita mengenal ajaran seperti:  Asthabrata,  Dasa Darma Raja,  Wulang Reh  dan  Tripama. Dari empat karya tersebut, kita bisa mengenal  delapan watak yang tunggal seorang pemimpin (Bumi, Matahari, Rembulan, Angin,  Samodra, Api,  Kartika, Mendhung). Juga sepuluh watak kebajikan dalam kepemimpinan (Paciraga, Ajava, Dhana, Tapa, Susila, Madava, Akrodha, Kanthi, Avirodhana, Avihimsa). Lantas kita kenal empat kode etik kepemimpian dalam  “Wulang Reh” dan tiga rujukan tokoh kepemimpinan yakni: Patih Suwando, Adipati Karna dan Kumbakarna (Bdk. Buku dengan judul,  “Sang Pemimpin”  tulisan Pardi Suratno).
Sejujurnya, rakyat tidak akan banyak menuntut atau neko-neko terhadap pemimpinnya.  Hal yang diharapkan dari mereka hanyalah tercukupinya kebutuhan primer: sandang-pangan-papan. Kita mungkin ingat akan kata-kata dari Juvenalis (60 – 140) penulis Romawi, “Panen et circenses”. Kelompok  yang dulu memberikan perintah, jabatan (politik), tentara dan semuanya kini mereka tidak mengurus apa-apa lagi dan mereka hanya mendambakan dua hal yaitu roti dan permainan. Rakyat disuguhi roti dan hiburan  (para gladiator yang sedang berlaga) agar rakyat tidak berontak.  Apa yang dibuat sang pemimpin,  tentu hanya menyejahterakan sebagian orang saja. Padahal, di sini pemimpin diharapkan menjadi payung, pangayom dalam menyejahterakan rakyat.
Kita jadi ingat kisah  heroic dari Umar bin Khattab (579 – 644) yang  rela memanggul beras berkeliling mencari warganya yang kelaparan (memerintah pada tahun 634 – 644). Atau penulis yang menamakan diri Multatuli.  Multa tuli (Bhs. Latin)  arti secara harfiah adalah “aku telah banyak menderita”. Perkataannya   terekam dalam  sebuah buku  yang berjudul,  “Max Havelaar”. Tulisnya, “Apa yang kita makan, minum, pakai dan sebagainya, alangkah bahagianya kalau itu bukan pemberian orang, bukan belas kasihan orang, melainkan keringat kita sendiri” (Bdk. “Tempo Intermezo” – Secangkir Kopi untuk Havelaar, 20 Juni 2010).  Seorang pemimpin berusaha untuk memberdayakan rakyatnya agar mandiri (berdiri atas kaki sendiri).
          Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti  membalikkan tangan. Menjadi pemimpin pertama-tama (seharusnya) memiliki kematangan emosi dan afeksi yang baik.  Pepatah Latin menulis, “Regnare nolo liber ut non sim mihi” – Aku tidak mau berkuasa jika terhadap diriku sendiri aku tidak menjadi orang bebas. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin kalau dalam dirinya terbelenggu dengan orang-orang yang mendektenya. Sebenarnya apa yang ada di dalam dadanya adalah untuk memakmurkan rakyatnya.
Demikianlah kita tidak boleh lupa akan sejarah para pemimpin kita terdahulu. Tahun 1925 salah satu pendiri bangsa  yang kemudian menjadi ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP), namanya  Kasman Singodimedjo (1904 – 1982). Dalam pidatonya, ia sempat  melukiskan sosok H. Agus Salim (1884 – 1954). Singodimedjo pun berkata, “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita” – een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.  Sekali lagi, itulah arti dari Multatuli. Yesus Kristus sendiri telah mengatakan beberapa abad yang lalu,“…Son of Man did not come to be served, but to serve...” – Anak Manusia  datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ( Mrk 10: 45).
Akhirnya, kontemplasi ini akan saya akhiri dengan kisah sejarah yang sudah melegenda. Raja Harun Ar-Rasid (766 – 809) adalah kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah tahun 786 – 803.  Ada banyak kisah tentang Raja Harun Ar-Rasid. Syahdan, raja itu terkenal karena sering menyamar sebagai rakyat jelata. Kadang-kadang baginda menyamar sebagai penjual martabak. Pernah pula sebagai seorang pengemis tua di pinggir jalan.
          Itulah yang disebut incognito. Menanggalkan segala keagungan, lalu menyamar sebagai orang yang tidak dikenal. Ber-incognito atau secara diam-diam menempatkan diri di tempat orang lain adalah cara yang paling baik kena untuk menyelami dan merasakan kenyataan yang sesungguhnya.

Jumat, 23 Oktober 2015   Markus Marlon

Kamis, 01 Oktober 2015

Bangga

BANGGA
Kontemplasi  Peradaban
 
“Pulchrum
 pro patria mori”   -
 adalah indah mati untuk tanah air
 
Orang yang bangga itu ketika berjalan membusungkan dada atau berjalan dengan gagah karena bangga atas prestasi atau diri sendiri.  Orang yang sedang berbangga hati akan berjalan atau berdiri tegap sehingga dadanya terlihat lebih menonjol. Dalam bahasa Inggris kita mengenal kata  to be proud, misalnya, “I’m really proud of you for no giving up” – Aku sangat bangga kepadamu karena kau tidak menyerah begitu saja.  Dari asal katanya,  proud  sama sekali tidak mengandung pengertian sombong. Kata ini diambil dari bahasa Prancis kuno  prod, prud yang berarti cakap dan berani, juga berakar dari bahasa Latin prodesse yang artinya bermanfaat dan memberi faedah. 
 
Demikian pula jika kita bangga menjadi Katolik dan menjadi Indonesia,  tidak ada rasa kesombongan sedikit pun.  Di sini pula kita menjadi ingat  slogan  Mgr. Albertus Soegijapranata SJ (1896 – 1963), “100 % Katolik dan 100 % Indonesia. Slogan yang sangat terkenal itu amat terjelas terlihat dalam film yang berjudul, “Soegija”.  Dalam film tersebut dan dalam buku yang ditulis Ayu Utami dengan judul, “Soegija 100% Indonesia”  memberikan kepada kita gambaran bagaimana seorang uskup  mengedepankan nilai-nilai kekatolikan dan keindonesiaan yang sangat kental.
 
Jujur saja, nilai-nilai kekatolikan itu meresap pada seluruh lini kehidupan. Pendidikan dan kesehatan serta pelayanan para misionaris (imam, biarawan-wati) mewariskan sesuatu yang sangat luar biasa. Dari sana nilai-nilai kekatolikan menjiwai banyak orang. Kualitas pendidikan, pelayanan yang ramah dan pekerjaan yang tanpa pamrih itu sering terdengar dari kalangan yang mengalaminya. Inilah yang sangat membanggakan.
 
A.B. Susanto dalam bukunya yang berjudul “Visi Hidup”  menyitir kata-kata Bung Karno (1901 - 1970), “Bangsa yang besar adalah bangsa yang membangun untuk kemakmuran rakyatnya, bukan penguasanya.”  Rakyatlah yang harus dibela dan dilindungi. Inilah yang sering menjadi ungkapan kebanggaan bangsa Indonesia, “Gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharjo” – merupakan suatu ungkapan  untuk menggambarkan keadaan bumi pertiwi Indonesia yakni kekayaan alam yang berlimpah dan keadaan yang tenteram. Dalam dunia pewayangan kita mengenal negara yang dipimpin Yudhistira, putra Pandu yang memimpin adil-makmur. Atau Rama, suami Shinta yang memimpin negeri-nya dengan aman-sejahtera.
 
Melalui trials dan errors, bangsa Indonesia pernah mengalami jatuh-bangun.  Beberapa orang pesimis dengan para pemimpin dan mengatakan bahwa kebusukan mental (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sudah meraja dan tidak mungkin bisa disembuhkan. Namun, kita tetap optimis bahwa meskipun bangsa Indonesia mengalami keterpurukan, masih ada titik-titik terang di tengah-tengah kita. Yakin bahwa masih ada orang jujur di negeri ini. Kejujuran mencari pemimpin yang berjiwa kejujuran tinggi memang tidak mudah. Namun kita meyakini kelak para pemimpin yang jujur pasti akan hadir menerangi negeri kita (satria piningit).
 
Pepatah mengatakan, “Hujan emas di negeri orang tetap akan lebih bahagia hujan batu di negeri sendiri”. Tidak dapat disangkal bahwa kampung halaman adalah tempat yang sangat dirindukan. Memang dari pelbagai ulasan (media massa maupun media elektronik) ada beberapa putra terbaik Indonesia bekarya di mancanegara. Mereka berargumen bahwa di negeri orang dirinya lebih dihargai. Ini yang dalam Ramayana kita kenal dengan Wibisana, yang lebih memilih Rama sebagai rajanya sebab negaranya sendiri penuh dengan keangkaramurkaan. Berbeda dengan Kumbakarna yang memiliki semboyan, “Right and wrong is my country”.  Ia sangat mencintai negaranya apa pun kondisinya.
 
Mungkin kita pernah mendengar kata-kata John Kennedy (1917 – 1963), “Jangan tanyakan apa yang negeri berikan negara kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kuberikan kepada negara”.  Sikap seperti ini, merupakan sikap patriotik. Cinta pada negara dan bangsa. Meskipun diberi  iming-iming gaji yang besar dan fasilitas yang sangat mencukupi, seorang yang cinta tanah air akan memilih tinggal di Indonesia dan menjadi ujung tombak pembangunan. Dengan pengetahuan dan bakatnya, ia menyumbangkannya kepada tanah air (contribution).  Pepatah Latin berbunyi, “Melius  mori quam sibi vivere” – lebih baik mati daripada hidup untuk diri sendiri.
 
Akhirnya baik jika kita mengutip Pepatah Latin, “Pro Ecclesia et Patria” – bagi Gereja dan negara. Kita mencintai gereja dan negara. Inilah yang dalam Injil ditulis, “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mrk 12: 17).

          Selasa, 15 September  2015   Markus Marlon
           “Bene qui latuit bene vixit” (Ovidius, penyair)
 

Jumat, 25 September 2015

Gusur

GUSUR
(Kontemplasi  Peradaban)

“Omnia sint
fausta et prospera” –
Semoga semua sejahtera dan makmur.

Menyaksikan foto alat berat backhoe merobohkan hunian warga di bantaran sungai Ciliwung di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur terasa miris.  “Betapa tidak?” Sebab “rumah mereka yang penuh kenangan itu” akan lenyap dari pandangan mereka. Di rumah itu, mereka memadu kasih, di rumah tersebut, mereka bercengkrama dan di rumah itu mereka berteduh setelah seharian mencari uang di terik sinar matahari yang panas.
“Rumah” betapa pun jeleknya tetap dirindukan. Itulah sebabnya orang ingin selalu pulang ke kampung halaman ketika lebaran tiba (mudik). Dan di rumah itu, terasa “nyes”  serta damai. Maka, tidak mengherankan jika orang Jawa memunyai ungkapan  “sedumuk bathuk senyari bumi”.  Sedumuk bathuk berkaitan dengan harga diri.  Sedangkan  Senyari bumi  berkaitan dengan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah jangan sampai diganggu orang lain, diserobot atau diambil alih orang lain. Bagi orang Jawa mengenai  urusan tanah memang sangat sensitif. Hal ini karena sebagai petani (agraris) mata pencahariannya terkait dengan produksi lahan.  Itulah sebabnya ada salah satu warga yang berkata, “Selama ini kami tinggal di rumah kami sendiri. Tak pernah membayar. Bagaimana kalau kami tak sanggup, kami khan bisa diusir” kata Emi (Kompas, 21 Agustus 2015).  Waktu di rumah yang sekarang sudah diratakan itu dalam hatinya, ia berkata, “Pauper in aere suo” – Meskipun miskin tetapi tanpa utang, seperti apa yang ditulis oleh Horatius (65 – 8 seb.M).  Ia tinggal di rumah tanpa beban sewa atau kost.
“Kampung Pulo Telah Diratakan” begitulah bunyi sebuah tulisan di internet. Dan mereka akan direkolasi ke Rusunawa Jatinegara Barat. Namun sebagian besar penghuni kuatir tak mampu membayar biaya sewa unit Rusunawa Rp. 300.000,-  per bulan. Kekuatiran tersebut dapat dimengerti, sebab pekerjaan mereka tidak tetap. Di sinilah Ovidius (20 seb.M – 17 M ) penulis Romawi kuno pernah berkata, “Pauper ubique iacet” – di mana-mana orang miskin itu tidak dihargai. Bahkan mereka bagaikan kaum Nisadha dalam “Kisah-kisah Mahabaratha”. Kaum Nisadha ini sudah miskin, terpinggirkan lagi. Bahkan tidak jarang mereka itu dijadikan  tumbal.  Sekali lagi, Ovidius berkata, “Pauperis est numeris pecus” – orang miskin itu (sebentar-sebentar) menghitung (jumlah) sapinya. Ya, orang miskin itu selalu penuh perhitungan. Penuh perhitungan karena uang yang didapatkan harus bercucuran keringat dan membanting tulang.
Di lain pihak, jangan dikiranpihak pemerintah tidak bergumul menghadapi masalah itu. Dari hatinya yang terdalam, mereka juga sedih karena mereka juga sesama manusia yang memiliki perasaan. Sebagai pemegang kebijakan (stakeholder), mereka diperhadapkan dengan suatu dilema yang sangat pelik. Di sinilah Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul, “The Voice of The Master” menulis, “Apakah kalian seorang gubernur yang memandang rendah kepada rakyat, tidak pernah keluar, selain untuk menggeledah saku-saku mereka atau mengeksploitasi mereka demi keuntungan sendiri?”
Apa yang ditulis Gibran di atas sebenarnya hendak mengatakan kepada kita, betapa pentingnya melayani rakyat jelata. Saya menjadi ingat kisah Istana dan puri serta kisah cinta para putri dan pangeran.  Yang masih terpateri dalam ingatan adalah  kisah, “The Queen” – Sang permaisuri.  Diceriterakan bahwa Sang Permaisuri senantiasa berhias diri kamar atas sebuah puri.  Di kamar itu hanyalah ada cermin-cermin sehingga sang  permaisuri selalu berkata, “Dari sudut mana pun saya tetap cantik dan molek.”  Tindakan yang dibuat oleh sang permaisuri itu diprotes oleh sang raja. Maka, dibobolah cermin-cermin tersebut dan dari sana tercipta lobang-lobang. Dan betapa kagetnya dia, tatkala melihat melalui  “lobang  jendela” ternyata di seberang sana banyak rakyat yang menderita. Mereka tinggal di daerah kumuh yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh sang permaisuri.
“Bonum commune” – kebaikan bersama, adalah  cita-cita dari para pemangku kebijakan. Mereka bekerja melayani masyarakat, supaya “semua rakyat merasakan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan.”  Penggusuran yang dilakukan pemprov (pemerintahan provinsi) itu tidak tanpa alasan. Dari penelurusan Litbang Kompas, Kampung Pulo sudah menjadi kawasan langganan banjir sejak sebelum masa kemerdekaan dan dikelilingi aliran sungai. Pada 1970-an, Kampung Pulo menjadi bagian dalam program perbaikan kampung MH Thamrin, khususnya untuk perbaikan serta pembangunan jalan dan saluran air (Kompas, 21 Agustus 2015).
Kini, Kampung Pulo sudah diratakan dan yang perlu dipikirkan ialah “iustitia omnibus”  – keadilan bagi semua. Program penormalan sungai memang harus dilakukan, tetapi jangan abaikan  manusia di dalamnya.

Sabtu, 22 Agustus 2015   Markus Marlon

Senin, 21 September 2015

Berpikir Besar

BERPIKIR BESAR
(Kontemplasi  Peradaban)

Kota Tarakan (Kalimantan Utara) di waktu malam sungguh indah.  Saya tiba di kota itu pada suatu malam (Kamis, 13 Agustus 2015). Kotanya bersih dan  Bandara  “Juata” tertata bersih dan rapi. Tidak jauh dari sana, saya melihat ada tulisan seperti laiknya  baliho, “Orang yang berpikiran kecil atau  sempit atau picik membicarakan orang-orang. Orang yang berpikiran rata-rata atau sedang membicarakan kejadian-kejadian dan orang yang berpikiran besar membicarakan ide-ide atau gagasan-gagasan.”  Kata mutiara itu membuat saya tercenung sejenak dan dalam hati saya berpikir, “Yach, kebanyakan orang suka sekali membicarakan orang lain, termasuk saya!”
Dari permenungan tersebut, di atas terpikirkan untuk merenungkan bagaimana itu berpikir besar. Orang yang memiliki pemikiran besar, diandaikan mereka itu tentu legowo, berpikir positif dan tidak mudah terprovokatif dengan kata-kata orang lain. Barangkali inilah yang dikatakan James Allen dalam sebuah tulisannya, “Pemikiran mulia akan melahirkan pribadi mulia, pemikiran negatif akan melahirkan kemalangan”.
“Pemikiran mulia” menurut Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul, “Jesus the son of Man” diartikan sebagai  “Burung Rajawali takkan membangun sarangnya di pohon yang lemah. Dan singa takkan membuat sarangnya di antara tanam-tanaman.” Seorang yang berpikiran besar tidak akan “terganggu” dengan hal-hal kecil yang menghalangi visinya, “Anjing menyalak kafilah berlalu.” Inilah yang dalam pepatah Latin ditulis, “Aquila non captat muscas”  – burung garuda tidak akan menangkap lalat-lalat.
Sering kita melihat, orang-orang yang berpikiran picik banyak ber-koar-koar  tentang dirinya. Ia mengira bahwa ia adalah yang terbaik. Baiklah jika kita merenungkan apa yang didongengkan oleh Aesop, yang menulis fable tentang singa.  Pada waktu itu tikus berkata, “Lihat ini aku melahirkan sepuluh anak. Betapa bahagianya aku” Kemudian babi pun berkata, “Lihat saya melahirkan sebelas anak. Senang ada banyak keturunan.” Kemudian singa itu pun mengaum, “Lihat ini saya melahirkan satu anak saja. Tetapi ini adalah anak singa!”  orang Latin mengatakan, “non multa sed multum” – bukan banyaknya tetapi kualitasnya.
Orang yang berpikiran besar lebih mementingkan kualitas hidup. Ia tidak akan membuang-buang energi yang tidak bermanfaat. Bagaimana dengan Anda?

Rabu, 20 Agustus 2015  -  Markus Marlon

Kamis, 17 September 2015

JAIM
(Kontemplasi  Peradaban)

“Minuunt praesentia
famam” – kehadirannya membuat
kemasyurannya berkurang. Ketika jauh,
orang dikagumi, tetapi ketika ia dekat kekaguman
terhadapnya akan berkurang (Claudianus). 

Saya pernah – beberapa tahun yang lalu – berteman dengan seseorang yang sungguh amat jaim sekali.  Jaim adalah ungkapan yang sudah biasa kita dengar (jaga image, atau pencitraan). Saya ingat waktu itu, ia sedang menerima “tamu agung” dan tentunya mengenakan pakaian jas lengkap. Lantas, saya mendekati dia serta sok akrab. Ternyata dia seolah-olah tidak mengenalku. Dalam hati saya berkata, “Oh dia sedang jaim, pasang wibawa. Besok saja kalau dia sedang  sendirian akan saya sapa.” Benar, esoknya ketika teman saya itu sedang santai-santai sendirian, dia bisa bergaul akrab denganku.
Orang yang menjaga image itu tentu akan lelah, karena dirinya tidak bertindak seperti apa adanya. Ia “bertindak seolah-olah”. Seolah-olah baik, seolah-olah wibawa, seolah-olah suci. Untuk itulah dia senantiasa sibuk dengan apa yang ada di luarnya. Misalnya, ketika seorang biarawan menggunakan  “pakaian kebesaran” ia bertindak kudus dan brevier selalu ada di tangannya.  Padahal, Proverbia Latina mengatakan, “Habitus non facit monachum” – Pakaian tidak membuat seseorang menjadi rahib atau orang suci.
Saya menjadi ingat novel  masterpiece  tulisan Victor Hugo (1802 – 1885) yang berjudul, “The Hunchback of Notre-Dame”.  Dalam kisah itu ditampilkan sosok Claude Frollo, seorang vikjend atau wakil uskup. Gaya hidupnya yang kaku serta menyangkal gairah birahi duniawi. Ia telah menciptakan citra diri suci di mata umum.  Tiada yang menyangka bahwa sang vikjend ini berwatak keji. Sejak tersihir pesona Esmerlada, si gadis gipsy ini, imannya mulai goyah. Imannya kewalahan melawan keindahan si bunga  lily  perawan suci dari dunia gelandangan, gipsy.  Di sini kita bisa merasakan, betapa berat menjaga image. Ia seorang wakil uskup, namun di pihak lain ia mengingini gadis itu, “Tidak  gampang memang!”
Biasanya orang yang jaim itu hemat kata (bicara apa yang perlu) dan penampilan perfect. Dari jauh kelihatan bersinar bak bintang, mencorong (Bhs Jawa, artinya kemilau dan menyilaukan). Baiklah kita sejenak menyimak dongeng fable dari Aesop (620 – 564 seb.M  ), pendongeng Yunani kuno. Kancil amat ketakutan melihat singa dari jauh. Si raja hutan itu amat seram, berwibawa. Suatu hari kancil bertemu muka di tengah jalan dengan singa. Namun singa itu diam saja. Lantas, hari berikutnya kancil bertemu muka lagi dan mereka berdua bercerita. Dan akhirnya lama-kelamaan, kancil dan singa bisa bersendau gurau. Kini kancil tidak takut lagi dan singa menjadi tidak berwibawa.  Inilah yang oleh Erasmus (1466 – 1536) dikatakan sebagai, “Nimia familiaritis parit contemptum” – Keakraban yang berlebihan dapat menyebabkan diremehkan.
Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) disebut-sebut sebagai orang yang jaim. Dalam kisahnya, meskipun akrab dengan Mark Antony (83 – 30 seb.M), ia jarang sekali bersendau gurau dengan Mark Antony di muka umum. Ternyata Caesar memiliki kata-kata gaib yang berunyi, “Qui bene latuit, bene vixit” – Siapa yang (dapat) hidup baik adalah dia  yang (dapat) bersembunyi dengan baik. Ungkapan ini adalah ciptaan Ovidius (43seb.M – 17 M).
Sekarang saya bertanya, “Apakah anda ingin jaim?”  Mudah saja, jaga jarak dalam pergaulan serta jangan bersendau gurau, kurangai bicara yang tidak perlu, bersembunyi dan jangan sering muncul supaya berwibawa dan tampillah selalu perfect.  Sekali lagi saya katakan, “Tetapi itu melelahkan!”

Senin, 24 Agustus 2015  Markus Marlon

Selasa, 15 September 2015

Merdeka

MERDEKA
(Kontemplasi  Peradaban)

What God has in
your future, supersede what’s in
your past – Apa yang Tuhan telah dan sedang
siapkan untuk masa depan Anda mengalahkan apa
yang ada pada masa lalu Anda (Joel Osteen).

Kata-kata Bung Karno (1901 – 1970), “Jasmerah” – jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sulit untuk dihapus dari ingatan kita. Lantas, 21 Abad yang lalu, Cicero (106 – 43 seb.M) sudah berkata, “Historia magistra vitae, nuntia vetustatus” – Sejarah adalah guru kehidupan, pesan dari masa lalu.
Cita-cita Founding Fathers
Kata-kata Bung Karno dan Cicero tersebut di atas  hendak mengajari kita untuk berani menengok ke belakang, betapa besar perjuangan Soekarno-Hatta bagi Republik kita ini. Tanpa kejujuran terhadap diri sendiri, Soekarno dan Hatta, (founding fathers)  tidak mungkin mampu “melompat” berjuang. Karena jujur dengan diri sendiri dan memegang kuat komitmen kepada rakyat, mereka bisa menolak  iming-iming dan segala tawaran dari Pemerintah Belanda (Kompas, 20 Mei 2015  dalam artikel, “Elite, Belajarlah ke Soekarno-Hatta”).
Bung Hatta memperlihatkan sikap  mortification (matiraga) saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua pada 1934 – 1935. Karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan kolonial Hinda Belanda. Sedangkan Bung Karno harus masuk keluar penjara karena perjuangannya meraih kemerdekaan, “Gerbang emas kemerdekaan!”
Saat-saat ini, bangsa Indonesia sudah menikmati masa-masa kemerdekaan dan kita tahu semua bahwa negeri kita itu bagaikan surga seperti yang dilagukan Koes Plus era 70-an, “Orang bilang tanah kita tanah surga.”  Kekayaan itulah yang sebenarnya memfasilitasi para pemegang kebijakan (stakeholder) dari pusat hingga akar rumput (grassroot) dalam pelayanan. 
Makna Kemerdekaan
Orang dididik supaya merdeka dari kegelapan dan melihat terang.  Helen Keller (1880 – 1968)  dan  Louise Braille (1809 – 1852) telah memerdekakan dari buta bisa “melihat”,  Pusat-pusat  Rehabilitasi narkoba telah membebaskan orang-orang yang ketagihan. Lapas-lapas (Lembaga Pemasyarakatan) telah mengubah orang-orang yang bertindak kriminal menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.  Sekolah-sekolah (baik formal maupun formal)   telah mengajak anak-anak melihat dunia yang lebih luas (cakrawala).
Setelah seseorang  merdeka dari belenggu-belenggu yang menjerat, pada gilirannya, ia harus menggunakan kebebasannya itu secara bertanggung jawab. Viktor Frankl (1905 – 1997) pernah menyarankan agar Patung Liberty (patung kemerdekaan) di Panti Timur dilengkapi dengan “Patung Tanggung Jawab” di Pantai Barat.  Mungkin yang ia maksud adalah, kemerdekaan menuntut kita untuk membuat keputusan yang tepat. Bila kita takut membuat pilihan yang tepat, kita akan kehilangan kemerdekaan kita. 
Demikian, “warisan” kemerdekaan yang sudah diperjuangankan oleh para  founding father itu sudah layak dan sepantasnya “dinikmati” dengan penuh rasa tanggung jawab. Untuk itu, kita menjadi  miris bila melihat dalam berita-berita para putra bangsa terbaik dipenjarakan  karena melakukan korupsi, misalnya. Mereka memakai rompi orange dengan tulisan “tahanan KPK” dan ketika keluar dari pemeriksaan KPK, tangannya mengacung jempol dengan senyum lebar. Tidak malu.
Merdeka  Untuk
Ada sebuah kisah “kecik” – kecil.  Seorang anak kecil diminta menjaga adiknya.  Tatkala ada ibunya, ia menjaga dengan baik. Tetapi ketika ibunya keluar rumah untuk beberapa saat, ia tidak  menjaga adiknya. Nah, di sinilah si anak itu merasa merdeka dari ibunya, sehingga bertindak yang kurang baik.
Ungkapan “merdeka dari” itu tidak mendewasakan. Mumpung merdeka dari pengawasan, maka ia bertindak ngawur dan setelah diawasi lagi, maka ia langsung berubah 180º.  Ini sungguh sangat merugikan. Kebalikan dari “merdeka dari” adalah “merdeka untuk”.  Ini merupakan sikap yang penuh tanggung jawab.
Mereka tidak mudah tergoda dengan  iming-iming kemewahan duniawi, seperti apa yang dikatakan Kahlil Gibran (1883 – 1931)  dalam bukunya yang berjudul,  The Beloved, “Kucari kekasihku di desa di antara pepohonan dan di tepi danau, tetapi tidak kutemukan dia. Kebendaan telah menyesatkannya dan membawanya pergi ke kota, kepada masyarakat dan korupsi dan kesengsaraan”.  Cinta akan kebendaan membuat seseorang  “lupa daratan” yang berakibat fatal.
Kemerdekaan sejati membuat seseorang, teristimewa abdi negara menjadi pribadi yang autonom. Ia bertindak atas dasar, “kemerdekaan untuk” sehingga ia berusaha untuk membaktikan diri mereka untuk kepentingan “liyan” – yang lain. Di sini muncul prinsip yang dikatakan Nabi Muhammad, “sebaik-baiknya orang, adalah mereka yang bermanfaat.”  Sekali lagi, Kita bersyukur memiliki para putra bangsa yang mengabdi negara ini secara professional, committed dan berintegritas yang tinggi.

Senin, 17 Agustus  2015   Markus Marlon

Rabu, 09 September 2015

TERDESAK
(Kontemplasi  Peradaban)

“Carthago delenda” –
Carthago harus dimusnahkan.

Beberapa hari yang lalu, ada seseorang bercerita, “Tadi malam, saya dikejar anjing herder. Lantas saya memanjat tembok yang tinggi sekali. Paginya, saya melihat tembok itu dan astaga, ternyata tembok itu tingginya  ± 2 meter.” Dia heran sendiri, kenapa mampu memanjat tembok setinggi itu dan yang pasti jika tidak karena tidak terdesak atau terpojok tentu tidak mampu memanjatnya. Inilah yang  memotivasi munculnya buku yang berjudul, “The Power of Kepepet”  tulisan Jaya Setiabudi.  Kepepet artinya terpojok, terdesak sehingga mau tidak mau harus bertindak dengan cepat.
Untuk para wartawan, mungkin kenal dengan masa tenggat atau  deadline. Seringkali ketika waktu longgar, otak malah buntu, tetapi jika seorang wartawan terpojok, kepepet atau  terdesak , maka seolah-olah otak terbuka dan ide pun mengalir. Inilah yang oleh Stephen Covey (1932 – 2012) dalam bukunya yang berjudul, “The Seven Habits of Highly Effective  People”  tentang kuadran penting dan mendesak (important and urgent).  Kalau  kepepet (terdesak dan terpojok), maka kita bisa melakukan secara maksimal, seperti yang dikisahkan oleh Aesop (620 – 564 seb.M) pendongeng Yunani Kuno, “The Hare and Hound”. Anjing mengejar kelinci untuk santapan siang, namun tidak bisa menangkapnya karena kelinci bisa meloloskan diri dan masuk ke liang. Lalu, temannya berkata, “Hai sahabat, mengapa engkau kalah dengan kelinci tadi siang?” Jawab anjing, “Oh kelinci itu berlari demi nyawanya,  sedangkan saya mengejarnya untuk makan siang.”
Kemendesakan  (urgency) tentu sangat berkaitan dengan mati dan hidup. Dan ini mengingatkan saya tentang kisah Hannibal (247 – 187 seb.M ). Hannibal berpidato, “Kalian menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Kalian berada bermil-mil dari rumah, di wilayah musah dan tidak mungkin ke mana-mana lagi – dalam pengertian tertentu, kalian sama dengan tahanan. Pilihannya hanyalah kebebasan atau perbudakan, kemenangan atau maut.” Hannibal, seorang genius perang,  berpikir bahwa orang yang terdesak dan dalam situasi yang paling lemah akan menjadi ganas ketika kekalahan berarti maut. Namun, mereka juga memunyai kesempatan untuk bergabung dengan pasukan Kartago untuk meluluhlantakkan  bangsa Romawi yang mereka benci.
Para pebisnis atau karyawan kantor tentu memiliki target-target. Kalau ingin supaya hasilnya maksimal, baiklah jika kita menerapkan teori: Jaya Setiabudi, Aesop,  Stephan Covey, maupun Hannibal,  “The Power of Kepepet” –  Kekuatan keterdesakan.
Kamis, 27 Agustus 2015   Markus Marlon

Sabtu, 05 September 2015

Rajin

RAJIN
(Kotemplasi  Peradaban)

“Palma non
sine pulvere” – tidak ada
kemenangan tanpa jerih payah (Horatius)

Mungkin kita pernah mendengar peribahasa, “Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya.” Peribahasa ini sudah terbukti dari masa ke masa. Ketika masih sekolah maupun kuliah, barangkali seseorang  memiliki  IQ yang tinggi, namun orang itu malas. Pada gilirannya,  ia tidak berhasil, sebaliknya orang yang waktu sekolah -barangkali-  nilainya pas-pasan, tetapi berhasil, karena kerajinannya. “Perficit qui persequitur” – yang berhasil adalah dia yang terus bertahan.
Pengalaman hidup yang rajin itu bisa mengacu kepada kisah yang berjudul, “The Ant and the Grasshoper”  yang ditulis oleh Aesop, pendongeng Yunani Kuno. Belalang sibuk  “memainkan biola” sedangkan semut sibuk angkut-angkut makanan ke liang.  Dan pada saat musim dingin tiba, belalang itu kelaparan. Kemalasan memang membawa malapetaka di kemudian hari.  Di sini semut pun (boleh)  berkata, “Omnis  superat diligentia” – Kerajinan mengalahkan segalanya.
Banyak orang yang mengerjakan sesuatu namun tidak semangat, loyo-loyo. Dan pada akhirnya, hasilnya tidak maksimal.  Untuk itu perlu kita menyimak apa yang dikatakan Alan Fine seorang psikolog. Ia  mengingatkan kita  bahwa manusia normal mempunyai 3 unsur  F yang sangat penting untuk terus berkembang. 3 F itu adalah  Faith, keyakinan, focus dan fire, api semangat. Sewajarnyalah kalau kita senantiasa  “bermain otak” dalam setiap usaha untuk mencapai tujuan. Kita tidak boleh lupa akan kekuatan ketiga  F itu yang menciptakan dan memproduksi energi kita.  Pencapaian tujuan itu tentu membutuhkan kerajinan yang luar biasa.  Bahkan Cicero (106 – 43 seb.M ) berkata, “Spartam quam nactus es orna” – Jadikanlah Sparta sebagai hiasanmu ketika mendapatkan tugas. Bekerjalah sekuat tenaga dan berkorbanlah sepenuh hati seperti yang dibuat oleh orang-orang Sparta.
“Rajin” adalah kata-kata positif yang sudah layak dan sepantasnyalah menjadi pegangan hidup kita. Di mana pun berkarya, rajinlah!!!

Rabu, 12 Agustus 2015   Markus Marlon

Memberi

MEMBERI
(Kontemplasi  Peradaban)

Sunan Drajat (± lahir 1470)  memberikan ajaran yang sangat bagus untuk kita simak:
Menehana teken wong kang wuto
Menehana mangan wong kang luwe
Menehana busono marang wong kang wudo
Menehana ngeyup marang wong kang kodanan

(Terjemahan: berilah ilmu agar orang menjadi pandai/sejahterakan orang miskin/ajarilah kesusilaan kepada orang yang tidak punya rasa malu/berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita).
Inti dari ajaran yang hingga kini masih “hidup” di Pondok Pesantren Sunan Drajat ini adalah memberi. Mother  Teresa (1910 – 1997)  bahkan pernah berkata,  “Tidak hanya yang menerima yang gembira, namun yang memberi juga merasa gembira.”  Dan dalam pemberian diri ia membutuhkan cinta yang tulus,  “Love until you are hurt” – mencintailah sampai engkau merasa sakit. Hal yang sama seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad, “Sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi sesama.”  Orang yang bermanfaat adalah orang yang banyak memberi.
Mungkin kita pernah berniat memberikan uang misalnya kepada orang miskin. Dalam hati, kita berpikir, “Orang ini akan saya beri uang Rp. 50.000.”  Kemudian ketika tiba waktunya memberi, kita  hanya memberi uang Rp. 20.000,-  Lantas, untuk beberapa saat, kita menyesal dan merasa bersalah.  Kemudian saya membayangkan orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan.  “Bis dat qui cito dat” – Memberi (bantuan) dengan cepat artinya memberi (bantuan) dua kali.
Bulla (surat resmi) yang berjudul, “Misericordia Vultus” – wajah kerahiman/ belas kasih – yang dikeluarkan oleh Paus Fransiskus (11 April 2015), hendak menegaskan bahwa “kerahiman merupakan dasar utama kehidupan Gereja (Bdk. Tulisan  J. Mangkey MSC dalam “Warta Keluarga Chevalier” Th. XIII. No.1 Juli 2015).  Di sini pula, kita diajak untuk menjadi orang-orang yang  “bermurah hati” dan mudah tergerak oleh belas kasihan kepada orang lain. Ini pula yang dibuat  oleh Yesus sejak masa kecilnya yakni bersikap murah hati. Kita baca kutipan dari Kahlil Gibran dengan judul, “Jesus the Son of Man” yang dikatakan Anna,  Ibunda Maria:
Seringkali Ia mengambil makanan kami dan memberikannya kepada orang-orang yang lewat. Dan Ia suka memberikan makanan yang kuberikan kepada-Nya kepada anak-anak lain, sebelum ia mencicipinya.
Ia suka memanjat pepohonan di kebunku untuk memetik buahnya, tetapi tidak pernah untuk dimakan sendiri.
Dan Ia suka lomba lari dengan anak-anak lainnya dan terkadang, karena lari-Nya lebih cepat, Ia suka menunggu agar mereka menang.

Kamis, 30 Juli 2015   Markus Marlon

Jumat, 17 Juli 2015

Pinjaman

PINJAMAN
(Kontemplasi  Peradaban)
 
 “Mihi res, non me rebus,
subjungere conor” – aku berusaha keras
 untuk mengendalikan materi dan bukan sebaliknya,
materi yang menguasai diriku (Horatius).
 
       Beberapa tahun yang lalu (2011), kami mengadakan “Reuni SMP” di kota Solo. Kebetulan di antara kami ada yang sedang dipercaya menduduki jabatan penting di kota tersebut. Ketika kami mengabari bahwa akan mampir ke rumahnya dan kalau bisa dijemput di Stasiun Balapan, ia pun menjawab dengan  enteng, “Naik taxi aja murah koq!” Sesampai di rumahnya,  dalam hati saya berkata, “Wuih!  Rumahnya mewah, mobilnya ada beberapa, tetapi mengapa ia pelit membagi berkat dengan teman-teman lamanya.”  Dalam hal ini Persius (34 – 62), penyair Satir dari Roma  telah menulis, “O quantum est in rebus inane” – oh betapa fananya manusia  yang terikat pada urusan-urusan duniawi.
Ia lupa bahwa dalam menjalani hidup ini, kita hanya dipinjami oleh Sang Pemberi. Kebetulan untuk sekarang ini, ia dipinjami  “jabatan”  atau “harta kekayaan” yang melimpah. Namun mungkin  esok atau lusa semua itu akan diambil oleh Sang Pemberi itu.
Sekali lagi, dalam hidup ini, kita antre menunggu giliran. Mungkin saat ini si Fulan sedang mengampu  jabatan, lantas orang menunggu giliran untuk dipinjami jabatan berikutnya yang sekarang diampu oleh si Fulan. Dalam Proverbia Latina, ada ungkapan menarik, “Hodie mihi cras tibi”  – hari ini aku, besok kamu. Ungkapan  tersebut untuk menyadarkan orang, agar selalu berjaga-jaga terhadap kematian yang datang tanpa terduga. Kita dipinjami nafas kehidupan oleh Sang Pemberi. Semuanya  gilir-gumanti  (silih-berganti) laiknya hukum alam,  “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam”  (Ams 3: 2).
Semua yang kita pakai saat ini adalah “pinjaman” belaka, yang suatu saat nanti akan diambil, seperti yang dikatakan oleh Ayub, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Kemudian pengalaman “pinjaman” itu diperdalam oleh Warren Wiersbe (lahir 16 Mei 1929) yang menulis, “Kita bukanlah sebuah bendungan, tetapi saluran berkat untuk membagikan kepada orang lain apa yang Tuhan telah berikan kepada kita.  Jelaslah bahwa hidup kita di dunia ini untuk berbagi berkat dengan orang lain.
Sebagai “saluran berkat” baik jika kita merenungkan apa yang diungkapkan oleh Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul,  The Voice of Master,  “Pohon hatiku berat dengan buah, marilah kalian yang lapar dan petiklah itu. Makanlah dan dipuaskanlah. Marilah dan terimalah dari kelimpahan hatiku dan ringnkanlah bebanku. Jiwaku letih di bawah beban emas dan perak. Marilah, kalian yang mencari harta tersembunyi, penuhilah dompet kalian dan legakanlah aku dari bebanku.”  Memang rasanya berat jika kita kurang berbagi kepada orang lain. Padahal pada kodratnya kita ini selayaknya harus berbagi dengan orang lain, seperti apa yang dikatakan Albert Einstein (1879 – 1955),  “Nilai seorang manusia terletak pada apa yang ia berikan, bukan apa yang ia terima”.
Hal ini mungkin sama dengan apa yang dialami Alexander the Great (356 – 323 seb.M), ketika hendak menyeberang dan mengalami kejayaan, para pasukan membawa berkarung-karung jarahan dan ini menjadi beban. Maka ketika dikejar musuh, mereka terseok-seok dan jika terus begitu tentu musuh akan mengejar dan menangap serta membantai mereka. Maka, Alexander berseru, “Buang karung-karung jarahan itu, supaya jalan kita menjadi ringan.” Setelah  mereka membuang barang jarahan, para pasukan pun berlari bagaikan memiliki sayap.
“Sic transit gloria mundi” –  Demikianlah kemuliaan duniawi itu akan lenyap.  Ungkapan tersebut memberikan peringatan kepada kita bahwa apa yang kita “miliki”  seperti: jabatan, harta kekayaan, kewenangan itu akan lenyap.  Maka, selagi dewi Fortuna berpihak pada kita, ingat juga sesama kita yang mungkin tidak seberuntung kita, bantulah, tolonglah dan bagikan  “pinjaman” kita kepada mereka.  Siapa tahu besok atau lusa semuanya itu akan lenyap.

Kamis, 16  Juli 2015  
Markus Marlon

Sabtu, 11 Juli 2015

MENTANG-MENTANG
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Asperius nihil est humili,
 cum surgit ini altum – tidak
 ada yang lebih beringas daripada
 ketika seorang yang berasal dari kalangan
rendah menduduki jabatan tinggi (Claudianus).
 
       Ketika saya berdarmawisata  di taman Prasejarah  Leang-Leang – Maros – Sulawesi Selatan (Selasa, 2 Juni 2015),  tidak sengaja mata saya tertuju pada sebuah warung kecil – mungkin milik orang Jawa – yang di pintunya bertuliskan demikian,
“Lamun siro banter ojo nglancangi” – sekalipun kamu bisa berlari kencang, tidak usah mendahului. “Lamun siro pinter  ojo ngguroni” – sekalipun kamu pintar jangan menggurui.  
 
          Kata mutiara berbahasa Jawa tersebut di atas,  hendak mengatakan bahwa dalam berelasi dengan sesama, manusia tidak boleh sewenang-wenang  dan mentang-mentang, meskipun memiliki kewenangan.  Diharapkan  ada toleransi maupun apresiasi terhadap orang lain, pun kepada mereka yang “derajatnya” di bawahnya.
          Mungkin kita pernah menjumpai atau mengalami sendiri bahwa ada orang yang memiliki  “kuasa” tiba-tiba lupa diri. Ia lupa bahwa jabatan diterima itu ada batasnya. Pada suatu saat nanti ia akan menjadi “bukan siapa-siapa,” nothing.
Mengenai hal ini saya punya pengalaman yang mungkin baik untuk di-share-kan.  Pernah saya jalan-jalan di sebuah wisma orang tua-tua para biarawan. Saya makan siang bersama dalam suasana kekeluargaan. Tetapi di pojokan ruangan, saya melihat seseorang yang memiliki raut wajah tegas dan kuat namun tubuhnya lunglai dan tak berdaya duduk di kursi roda. Lantas saya bertanya kepada temanku itu, “Hai sobat, siapa dia itu  koq  teman-temanmu yang masih muda-muda  tidak peduli terhadapnya?” Dengan tenang dia berkata, “Oh!!  orang itu beberapa tahun lalu pernah menjadi pemimpin kami. Tetapi sebagai pemimpin, tidak ada toleransi apalagi apresiasi terhadap anggotanya. Mungkin dia mengira  bahwa mandat  yang diberikan itu untuk selamanya.”  Tambahnya lagi, “mentang-mentang menjadi pemimpin, ia sewenang-sewenang dan sekarang  tuh liat,  tidak ada yang memedulikan!”
Saya terpekur dengan apa yang dikatakan sobat-ku tadi  dan dalam hati saya mbatin, “Rupanya pengalaman  ditindas oleh mereka yang menyalahgunakan wewenangnya itu akhirnya berimbas pada sakit hati.” Erasmus (1466 – 1536) menulis,  “laedere facile, mederi difficile” – menyakiti hati itu mudah, tetapi menyembuhkannya susah.
Siang itu saya hendak pulang dan pamitan kepada mantan pemimpin di kursi roda dan saya sempat mengulik buku yang dibacanya. Ia membaca buku yang berjudul, “Biografi Nelson Mandela” (1918 – 2013). Di bawah foto Mandela itu bertuliskan, “Memaafkan itu tidak mengubah masa lampau, tetapi mengubah masa depan”.  Dalam hati  saya berkata, “Semoga para biarawan muda itu mampu memaafkan mantan pemimpin yang  mentang-mentang”.  
Terus saya keluar  melewati kebun biara yang indah. Tidak sengaja saya menginjak pot bunga yang sedang digarap oleh tukang kebun. Tiba-tiba, tukang kebun  itu berkata, “Mentang-mentang  pakai sepatu bagus,  injak tanaman sembarangan!”  Saya diam saja, pura-pura tidak dengar.
 
Kamis, 9 Juli 2015    Markus Marlon