Rabu, 25 November 2015

Ujaran Kebencian

UJARAN  KEBENCIAN
(Kontemplasi Peradaban)
 
“Bad news travels fast” –
 kabar buruk cepat menyebar.
 
Kepala Polri Jendral (Pol) Badrodin Haiti telah menandatangani Surat Edaran No. SE/6/X/2015  pada 8 Oktober 2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) agar polisi lebih peka terhadap potensi konflik sosial dengan segera mendekati dan mendamaikan pihak-pihak yang berselisih.
 
Tentu saja surat edaran tersebut menunai pro-kontra. Kebebasan berekspresi di Indonesia yang terkungkung pada  era Orde Baru memuncak seiring dengan masuknya Indonesia di  era digital. Media sosial menjadi ruang baru bagi warga negara untuk mengekspresikan  pandangan dengan berbagai bentuk, baik itu teks, karikatur, maupun gambar yang diolah melalui teknologi fotografi (Kompas “Menangani Ekspresi Kebencian”  30 Oktober 2015).
 
Dalam era digital ini, amat mustahil orang tidak memegang gawai yang seolah-olah dunia – memang – ada dalam genggaman. Karena dunia dalam genggaman, maka orang dengan mudah menulis kata-kata di  BBM, SMS, e-mail, dan  twitter  yang bisa jadi merupakan ujaran kebencian. Misalnya ada orang yang meng-upload  sebuah  status. Dan tidak diduga, ternyata kata-kata tersebut melukai hati orang lain. Mulai dari situlah, terjadi  “perang digital” yang tentunya menguras banyak energi. Yang tadinya teman baik, kini saling benci hanya karena  status itu. Orang menuduh bahwa status itu ditujukan pada dirinya.
 
Dan jika “perang digital” itu semakin mamanas, maka muncullah hasutan sana-sini. Ini sungguh amat berbahaya.  Hasutan baru terjadi,  jika diwujudnyatakan, entah itu dalam kata-kata maupun perbuatan. Pembunuhan Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) yang terjadi pada pertengahan Maret 44 karena ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus (85 – 42 seb.M) awalnya merupakan hate speech  – ujaran kebencian.  Peristiwa ini terjadi karena adanya kata-kata yang mengarah pada perundingan  dari Marcus Brutus, Cassius, Casca, Trebonius, Ligarius, Decius Brutus dan Mettelus Cimmber. Akan lebih mendalam  jika kita membaca kisah-kisah konspirasi dari para Mafioso dan Godfather serta  Sherlock Holmes tulisan Sir Arther Conan Doyle.

Kita menjadi sadar bahwa   hate speech – ujaran kebencian itu memang  awalnya hanyalah ujaran-ujaran yang biasa dan sederhana,  namun lama-kelamaan menjadi besar, akhirnya terjadilah ujaran kebencian “kriwikan dadi grojogan”.  Dan tidak jarang dalam bergosip itu terselip juga berita bohong dan fitnah. Kita tahu bahwa  kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang atau membicarakan keburukan orang bukan di hadapan yang bersangkutan. Dalam Al-Quran surat 49: 12 diterangkan sebagai berikut, “Hai, orang-orang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah mempergunjingkan …” (Bdk. Buku tulisan Christine Huda Dodge dengan judul, “Memahami segalanya tentang Islam”).
           
          Ujaran kebencian memang berbahaya yang dalam bahasa saat ini disebut sebagai desas-desus atau (seperti yang tadi dituliskan)  gossip.  Lakon wayang berjudul, “Drona Gugur” hanya karena kabar buruk yang diterimanya. Disebarkanlah sebuah  gossip bahwa sang putra, Aswatomo tewas dalam peperangan, padahal yang mati bukan dia tetapi gajah yang bernama Estitomo.  Dari situlah, Drona menangis sedih, berduka yang membuat dirinya tidak stabil dan tewaslah ia.

          Demikian pula, orang-orang yang di-bully dalam dunia maya bisa menjadi frustasi  karena – barangkali – foto-fotonya direkayasa dan sudah tersebar ke mana-mana (cyber bullying) dan tidak kuasa untuk menahannya. Dalam sekejab pun nama baiknya luluh-lantak.   Tentang hal ini, Vergilius (70 – 19 seb. M)  pernah berkata, “Fama nihil est celerius” – tidak ada yang lebih cepat daripada desas-desus.

Dalam perang, orang takut dengan desas-desus. Bahkan Napoleon Bonaparte (1769 – 1821) berkata bahwa  desas-desus lebih berbahaya daripada pedang. Kita menjadi ingat akan kisah perang masyur :  Sam Kok  atau The Three Kingdom. Tokoh yang sering disebut-sebut dalam perang itu adalah Cao-Cao.  Ia selalu berhati-hati dalam menghadapi pelbagai situasi, terutama si  telik sandi (mata-mata).  Cao-cao mengatakan bahwa desas-desus yang disebarkan oleh telik sandi  itu itu sungguh-sungguh – bahkan melebihi –  “hate speech” – ujaran kebencian”.

Kamis, 5 November 2015   Markus Marlon

Tidak ada komentar: