PINJAMAN
(Kontemplasi Peradaban)
“Mihi res, non me rebus,
subjungere conor” – aku berusaha keras
untuk mengendalikan materi dan bukan sebaliknya,
materi yang menguasai diriku (Horatius).
Beberapa tahun yang lalu (2011), kami mengadakan “Reuni SMP” di kota Solo. Kebetulan di antara kami ada yang sedang dipercaya menduduki jabatan penting di kota tersebut. Ketika kami mengabari bahwa akan mampir ke rumahnya dan kalau bisa dijemput di Stasiun Balapan, ia pun menjawab dengan enteng, “Naik taxi aja murah koq!” Sesampai di rumahnya, dalam hati saya berkata, “Wuih! Rumahnya mewah, mobilnya ada beberapa, tetapi mengapa ia pelit membagi berkat dengan teman-teman lamanya.” Dalam hal ini Persius (34 – 62), penyair Satir dari Roma telah menulis, “O quantum est in rebus inane” – oh betapa fananya manusia yang terikat pada urusan-urusan duniawi.
Ia lupa bahwa dalam menjalani hidup ini, kita hanya dipinjami oleh Sang Pemberi. Kebetulan untuk sekarang ini, ia dipinjami “jabatan” atau “harta kekayaan” yang melimpah. Namun mungkin esok atau lusa semua itu akan diambil oleh Sang Pemberi itu.
Sekali lagi, dalam hidup ini, kita antre menunggu giliran. Mungkin saat ini si Fulan sedang mengampu jabatan, lantas orang menunggu giliran untuk dipinjami jabatan berikutnya yang sekarang diampu oleh si Fulan. Dalam Proverbia Latina, ada ungkapan menarik, “Hodie mihi cras tibi” – hari ini aku, besok kamu. Ungkapan tersebut untuk menyadarkan orang, agar selalu berjaga-jaga terhadap kematian yang datang tanpa terduga. Kita dipinjami nafas kehidupan oleh Sang Pemberi. Semuanya gilir-gumanti (silih-berganti) laiknya hukum alam, “Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam” (Ams 3: 2).
Semua yang kita pakai saat ini adalah “pinjaman” belaka, yang suatu saat nanti akan diambil, seperti yang dikatakan oleh Ayub, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan” (Ayb 1: 21). Kemudian pengalaman “pinjaman” itu diperdalam oleh Warren Wiersbe (lahir 16 Mei 1929) yang menulis, “Kita bukanlah sebuah bendungan, tetapi saluran berkat untuk membagikan kepada orang lain apa yang Tuhan telah berikan kepada kita. Jelaslah bahwa hidup kita di dunia ini untuk berbagi berkat dengan orang lain.
Sebagai “saluran berkat” baik jika kita merenungkan apa yang diungkapkan oleh Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul, The Voice of Master, “Pohon hatiku berat dengan buah, marilah kalian yang lapar dan petiklah itu. Makanlah dan dipuaskanlah. Marilah dan terimalah dari kelimpahan hatiku dan ringnkanlah bebanku. Jiwaku letih di bawah beban emas dan perak. Marilah, kalian yang mencari harta tersembunyi, penuhilah dompet kalian dan legakanlah aku dari bebanku.” Memang rasanya berat jika kita kurang berbagi kepada orang lain. Padahal pada kodratnya kita ini selayaknya harus berbagi dengan orang lain, seperti apa yang dikatakan Albert Einstein (1879 – 1955), “Nilai seorang manusia terletak pada apa yang ia berikan, bukan apa yang ia terima”.
Hal ini mungkin sama dengan apa yang dialami Alexander the Great (356 – 323 seb.M), ketika hendak menyeberang dan mengalami kejayaan, para pasukan membawa berkarung-karung jarahan dan ini menjadi beban. Maka ketika dikejar musuh, mereka terseok-seok dan jika terus begitu tentu musuh akan mengejar dan menangap serta membantai mereka. Maka, Alexander berseru, “Buang karung-karung jarahan itu, supaya jalan kita menjadi ringan.” Setelah mereka membuang barang jarahan, para pasukan pun berlari bagaikan memiliki sayap.
“Sic transit gloria mundi” – Demikianlah kemuliaan duniawi itu akan lenyap. Ungkapan tersebut memberikan peringatan kepada kita bahwa apa yang kita “miliki” seperti: jabatan, harta kekayaan, kewenangan itu akan lenyap. Maka, selagi dewi Fortuna berpihak pada kita, ingat juga sesama kita yang mungkin tidak seberuntung kita, bantulah, tolonglah dan bagikan “pinjaman” kita kepada mereka. Siapa tahu besok atau lusa semuanya itu akan lenyap.
Kamis, 16 Juli 2015
Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar