Kamis, 17 September 2015

JAIM
(Kontemplasi  Peradaban)

“Minuunt praesentia
famam” – kehadirannya membuat
kemasyurannya berkurang. Ketika jauh,
orang dikagumi, tetapi ketika ia dekat kekaguman
terhadapnya akan berkurang (Claudianus). 

Saya pernah – beberapa tahun yang lalu – berteman dengan seseorang yang sungguh amat jaim sekali.  Jaim adalah ungkapan yang sudah biasa kita dengar (jaga image, atau pencitraan). Saya ingat waktu itu, ia sedang menerima “tamu agung” dan tentunya mengenakan pakaian jas lengkap. Lantas, saya mendekati dia serta sok akrab. Ternyata dia seolah-olah tidak mengenalku. Dalam hati saya berkata, “Oh dia sedang jaim, pasang wibawa. Besok saja kalau dia sedang  sendirian akan saya sapa.” Benar, esoknya ketika teman saya itu sedang santai-santai sendirian, dia bisa bergaul akrab denganku.
Orang yang menjaga image itu tentu akan lelah, karena dirinya tidak bertindak seperti apa adanya. Ia “bertindak seolah-olah”. Seolah-olah baik, seolah-olah wibawa, seolah-olah suci. Untuk itulah dia senantiasa sibuk dengan apa yang ada di luarnya. Misalnya, ketika seorang biarawan menggunakan  “pakaian kebesaran” ia bertindak kudus dan brevier selalu ada di tangannya.  Padahal, Proverbia Latina mengatakan, “Habitus non facit monachum” – Pakaian tidak membuat seseorang menjadi rahib atau orang suci.
Saya menjadi ingat novel  masterpiece  tulisan Victor Hugo (1802 – 1885) yang berjudul, “The Hunchback of Notre-Dame”.  Dalam kisah itu ditampilkan sosok Claude Frollo, seorang vikjend atau wakil uskup. Gaya hidupnya yang kaku serta menyangkal gairah birahi duniawi. Ia telah menciptakan citra diri suci di mata umum.  Tiada yang menyangka bahwa sang vikjend ini berwatak keji. Sejak tersihir pesona Esmerlada, si gadis gipsy ini, imannya mulai goyah. Imannya kewalahan melawan keindahan si bunga  lily  perawan suci dari dunia gelandangan, gipsy.  Di sini kita bisa merasakan, betapa berat menjaga image. Ia seorang wakil uskup, namun di pihak lain ia mengingini gadis itu, “Tidak  gampang memang!”
Biasanya orang yang jaim itu hemat kata (bicara apa yang perlu) dan penampilan perfect. Dari jauh kelihatan bersinar bak bintang, mencorong (Bhs Jawa, artinya kemilau dan menyilaukan). Baiklah kita sejenak menyimak dongeng fable dari Aesop (620 – 564 seb.M  ), pendongeng Yunani kuno. Kancil amat ketakutan melihat singa dari jauh. Si raja hutan itu amat seram, berwibawa. Suatu hari kancil bertemu muka di tengah jalan dengan singa. Namun singa itu diam saja. Lantas, hari berikutnya kancil bertemu muka lagi dan mereka berdua bercerita. Dan akhirnya lama-kelamaan, kancil dan singa bisa bersendau gurau. Kini kancil tidak takut lagi dan singa menjadi tidak berwibawa.  Inilah yang oleh Erasmus (1466 – 1536) dikatakan sebagai, “Nimia familiaritis parit contemptum” – Keakraban yang berlebihan dapat menyebabkan diremehkan.
Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) disebut-sebut sebagai orang yang jaim. Dalam kisahnya, meskipun akrab dengan Mark Antony (83 – 30 seb.M), ia jarang sekali bersendau gurau dengan Mark Antony di muka umum. Ternyata Caesar memiliki kata-kata gaib yang berunyi, “Qui bene latuit, bene vixit” – Siapa yang (dapat) hidup baik adalah dia  yang (dapat) bersembunyi dengan baik. Ungkapan ini adalah ciptaan Ovidius (43seb.M – 17 M).
Sekarang saya bertanya, “Apakah anda ingin jaim?”  Mudah saja, jaga jarak dalam pergaulan serta jangan bersendau gurau, kurangai bicara yang tidak perlu, bersembunyi dan jangan sering muncul supaya berwibawa dan tampillah selalu perfect.  Sekali lagi saya katakan, “Tetapi itu melelahkan!”

Senin, 24 Agustus 2015  Markus Marlon

Tidak ada komentar: