Selasa, 15 September 2015

Merdeka

MERDEKA
(Kontemplasi  Peradaban)

What God has in
your future, supersede what’s in
your past – Apa yang Tuhan telah dan sedang
siapkan untuk masa depan Anda mengalahkan apa
yang ada pada masa lalu Anda (Joel Osteen).

Kata-kata Bung Karno (1901 – 1970), “Jasmerah” – jangan sekali-sekali melupakan sejarah, sulit untuk dihapus dari ingatan kita. Lantas, 21 Abad yang lalu, Cicero (106 – 43 seb.M) sudah berkata, “Historia magistra vitae, nuntia vetustatus” – Sejarah adalah guru kehidupan, pesan dari masa lalu.
Cita-cita Founding Fathers
Kata-kata Bung Karno dan Cicero tersebut di atas  hendak mengajari kita untuk berani menengok ke belakang, betapa besar perjuangan Soekarno-Hatta bagi Republik kita ini. Tanpa kejujuran terhadap diri sendiri, Soekarno dan Hatta, (founding fathers)  tidak mungkin mampu “melompat” berjuang. Karena jujur dengan diri sendiri dan memegang kuat komitmen kepada rakyat, mereka bisa menolak  iming-iming dan segala tawaran dari Pemerintah Belanda (Kompas, 20 Mei 2015  dalam artikel, “Elite, Belajarlah ke Soekarno-Hatta”).
Bung Hatta memperlihatkan sikap  mortification (matiraga) saat diasingkan di Boven Digoel, pedalaman Papua pada 1934 – 1935. Karena tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan kolonial Hinda Belanda. Sedangkan Bung Karno harus masuk keluar penjara karena perjuangannya meraih kemerdekaan, “Gerbang emas kemerdekaan!”
Saat-saat ini, bangsa Indonesia sudah menikmati masa-masa kemerdekaan dan kita tahu semua bahwa negeri kita itu bagaikan surga seperti yang dilagukan Koes Plus era 70-an, “Orang bilang tanah kita tanah surga.”  Kekayaan itulah yang sebenarnya memfasilitasi para pemegang kebijakan (stakeholder) dari pusat hingga akar rumput (grassroot) dalam pelayanan. 
Makna Kemerdekaan
Orang dididik supaya merdeka dari kegelapan dan melihat terang.  Helen Keller (1880 – 1968)  dan  Louise Braille (1809 – 1852) telah memerdekakan dari buta bisa “melihat”,  Pusat-pusat  Rehabilitasi narkoba telah membebaskan orang-orang yang ketagihan. Lapas-lapas (Lembaga Pemasyarakatan) telah mengubah orang-orang yang bertindak kriminal menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.  Sekolah-sekolah (baik formal maupun formal)   telah mengajak anak-anak melihat dunia yang lebih luas (cakrawala).
Setelah seseorang  merdeka dari belenggu-belenggu yang menjerat, pada gilirannya, ia harus menggunakan kebebasannya itu secara bertanggung jawab. Viktor Frankl (1905 – 1997) pernah menyarankan agar Patung Liberty (patung kemerdekaan) di Panti Timur dilengkapi dengan “Patung Tanggung Jawab” di Pantai Barat.  Mungkin yang ia maksud adalah, kemerdekaan menuntut kita untuk membuat keputusan yang tepat. Bila kita takut membuat pilihan yang tepat, kita akan kehilangan kemerdekaan kita. 
Demikian, “warisan” kemerdekaan yang sudah diperjuangankan oleh para  founding father itu sudah layak dan sepantasnya “dinikmati” dengan penuh rasa tanggung jawab. Untuk itu, kita menjadi  miris bila melihat dalam berita-berita para putra bangsa terbaik dipenjarakan  karena melakukan korupsi, misalnya. Mereka memakai rompi orange dengan tulisan “tahanan KPK” dan ketika keluar dari pemeriksaan KPK, tangannya mengacung jempol dengan senyum lebar. Tidak malu.
Merdeka  Untuk
Ada sebuah kisah “kecik” – kecil.  Seorang anak kecil diminta menjaga adiknya.  Tatkala ada ibunya, ia menjaga dengan baik. Tetapi ketika ibunya keluar rumah untuk beberapa saat, ia tidak  menjaga adiknya. Nah, di sinilah si anak itu merasa merdeka dari ibunya, sehingga bertindak yang kurang baik.
Ungkapan “merdeka dari” itu tidak mendewasakan. Mumpung merdeka dari pengawasan, maka ia bertindak ngawur dan setelah diawasi lagi, maka ia langsung berubah 180º.  Ini sungguh sangat merugikan. Kebalikan dari “merdeka dari” adalah “merdeka untuk”.  Ini merupakan sikap yang penuh tanggung jawab.
Mereka tidak mudah tergoda dengan  iming-iming kemewahan duniawi, seperti apa yang dikatakan Kahlil Gibran (1883 – 1931)  dalam bukunya yang berjudul,  The Beloved, “Kucari kekasihku di desa di antara pepohonan dan di tepi danau, tetapi tidak kutemukan dia. Kebendaan telah menyesatkannya dan membawanya pergi ke kota, kepada masyarakat dan korupsi dan kesengsaraan”.  Cinta akan kebendaan membuat seseorang  “lupa daratan” yang berakibat fatal.
Kemerdekaan sejati membuat seseorang, teristimewa abdi negara menjadi pribadi yang autonom. Ia bertindak atas dasar, “kemerdekaan untuk” sehingga ia berusaha untuk membaktikan diri mereka untuk kepentingan “liyan” – yang lain. Di sini muncul prinsip yang dikatakan Nabi Muhammad, “sebaik-baiknya orang, adalah mereka yang bermanfaat.”  Sekali lagi, Kita bersyukur memiliki para putra bangsa yang mengabdi negara ini secara professional, committed dan berintegritas yang tinggi.

Senin, 17 Agustus  2015   Markus Marlon

Tidak ada komentar: