Selasa, 31 Desember 2013

Waktu

WAKTU

(Refleksi Akhir Tahun)

          Untuk merenungkan makna akhir tahun ini, saya tercenung dengan dewa Kronos. Dewa ini sungguh jahat sebab menelan anak-anaknya (termasuk Zeus). Dewa Kronos takut kalau tahtanya direbut anak-anaknya. Namun ternyata anak-anak yang ditelan itu tidak mati dalam perut Kronos. Akhirnya pada suatu waktu Zeus (King of kings) itu membalas dan matilah Dewa Kronos.

Kronos adalah waktu. Maka di sana muncul kronik atau kronologi. Namun kita bisa membedakan menjadi waktu kronos dan waktu kharios yang artinya tahun rahmat. Waktu kharios itu muncul sewaktu Yesus berkotbah di bait suci di hadapan jemaat, "Tahun rahmat sudah datang."

Ketika saya ingin tahu hasil gula darah (karena sebagai diabetisi), saya akan ke Prodia. Tetapi ada tempat lain yang mengajak kita supaya segera memeriksakan darah yaitu namanya "Cito" dan jika kita buka Kamus Kedokteran dan ternyata cito itu  berarti "segera", "dalam waktu singkat". Cito adalah  laboratorium klinik  untuk pemeriksaan darah. Di sana juga ada dokter praktek dan Apotek. Lengkap sudah. Orang yang sedang sakit supaya selamat harus ditangani  dengan segera dan dalam waktu singkat, cito.

          Waktu memiliki dimensi yang berbeda bagi pelari 100 meter yang sedang bertanding dan mereka yang sedang pacaran. Bagi para pebisnis, waktu dianggap sebagai uang, "Time is money". Maka, para pebisnis itu selalu sibuk, "busy" dan dan penuh kesibukan, "bussiness"  sebab berkejar-kejaran dengan waktu.  Maka tidak heranlah jika ada pepatah Latin yang berbunyi, "Tempus fugit"  yang berarti waktu berlari. Kadang orang lupa untuk refreshing atau kumpul dengan keluarga dan mereka hanya sibuk dengan bisnisnya. Orang-orang juga lupa dengan apa yang telah ditulis oleh Pengkotbah, "Untuk segala hal dan segala pekerjaan ada waktunya" (Pkh. 3: 17).

          Dalam menyikapi waktu, sering muncul angan-angan seseorang, "Nanti kalau aku sudah.....". Misalnya, nanti kalau aku sudah menikah, aku akan rajin bekerja. Kalau aku sudah lulus S2, aku akan giat belajar. Nanti kalau aku sudah memiliki rumah mewah, aku akan rajin bersih-bersih rumah bla-bla-bla.  Apa artinya sudah menikah? Apa artinya S2 dan apa artinya memiliki rumah mewah? Kita lupa bahwa "tempus fugit." Karena itu, Plautus  (251 – 183 seb.M) yang dikenal sebagai penyair termasyur pada zamannya – dramanya yang paling terkenal: Amphitryon tentang kelahiran Hercules  –memiliki moto yang sangat memikat, "Age si quid agis"  –  "Jika melakukan sesuatu, lakukan segera."  Pepatah Inggris juga mempunyai pepatah yang indah  "Don't put off  till tomorrow what you can do today"  – "Jangan tunda sampai besok apa yang bisa Anda dapat kerjakan hari ini".

Kita memiliki budaya suka menunda  dan untuk pembenaran diri kita  berkata,  "Esok khan masih ada. Untuk apa tergesa-gesa, santai saja-lah!"  Orang Romawi dalam setiap pekerjaannya selalu berkata, "hic et nunc" – kini dan di sini. Sebuah tindakan yang terjadi dalam ruang dan waktu. Orang yang sudah terbiasa menghargai waktu akan mengerjakan dengan segera dengan apa yang sudah diprogramkan. Benar kata Eckhart Tolle, "Authentic human power is found by surrending to the now" – kekuatan autentik manusia bisa ditemukan ketika manusia ikhlas total pada masa kini. Mental "hic et nunc" di sini untuk meretas budaya instant – orang ingin segera cepat selesai atau ingin cepat ahli tanpa adanya belajar yang membutuhkan waktu.  Kualitas dari karya seseorang diukur dari keseriusan "menikmati" waktu demi waktu secara terus-menerus. Mengontemplasikan makna waktu tersebut, kita bisa merujuk pada Pepatah Latin,"Gutta cavat lapidem, non vi sed saepe cadendo"  –  Tetesan air melubangi batu bukan karena kekuatannya, tetapi karena menetes terus-menerus.

          "Tempus fugit!" Dan sebagai manusia kita tidak boleh ketinggalan waktu tersebut, ibaratnya hidup kita selalu di-update atau upgrade. Ovidius (43 – 17 seb.M) berkata, "Tempora mutantur, et nos mutamur in illis" – waktu berubah dan kita pun berubah karenanya. Ovidius mengajak kita untuk menyadari pentingnya melakukan perubahan pola pikir, mindset ataupun bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Suatu keharusan agar kita tidak ketinggalan zaman harus berani berubah. Orang bijak berkata, "Tidak ada yang abadi dalam hidup ini kecuali perubahan itu sendiri."   Kita tidak dapat menyangkal bahwa kasih,  perasaan, pekerjaan dan hidup itu sendiri selalu berubah.

"Tempus fugit!" Kehidupan manusia berlalu dengan cepatnya:
        Banyak sekali yang telah dilalui. 
        Ada yang lancar.
        Ada yang  penuh rintangan.
        Ada yang  penuh kegembiraan.
        Ada pula yang  penuh kegetiran.

        Semua pasti mengalaminya. Itulah kehidupan manusia. 

Semua ada waktunya. Umur produktif manusia pun ada batasnya. Ada waktunya kita berani melepaskan, "letting go" dan memberikan tongkat estafet kepada generasi muda. Untuk segala sesuatu ada waktunya. Alexander Agung (354 - 323 seb. M) ketika meninggal dunia pada usia muda, berpesan jika mangkat, supaya tangannya dibiarkan terbuka. Ini menunjukkan bahwa ketika orang wafat tidak membawa apa-apa (tangan kosong). Dalam sebuah renungan, Rm. Gregorius Hertanto Dwi Wibowo,MSC, berkotbah tentang, "Nunc dimittis". Simeon berani mengucapkan kata-kata, " Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu" (Luk 2 : 29). Kitab Pengkhotbah menulis, "Ada waktu untuk lahir dan ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam" (Pkh 3:2).

        Saat kita berumur 20 tahun merasa sungguh enak kalau kita tampan atau cantik.
         Saat kita 30 tahun merasa sungguh enak andaikan kita kembali muda lagi.
        Saat kita 40 tahun merasa sungguh enak andai kita punya banyak uang. 
        Saat kita 50 tahun merasa ada kesehatan sungguh enak sekali. 
        Saat kita 60 tahun merasa untuk dapat hidup saja sudah sangat bagus. 
        Saat kita 70/80 tahun  merasa kenapa hidup ini serasa sangat singkat sekali. "Tempus fugit!!"

Selasa, 31 Desember 2013 - Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 18 Desember 2013

Jiwa Manusia

JIWA  MANUSIA
( M   o   t   i   v   a   s   i )
 
          Ketika naik bus dari Jogja ke Semarang, ada seorang ibu hamil berdiri di lorong bus yang kami tumpangi. Menyaksikan  "pemandangan"  itu, tiba-tiba ada seorang pemuda yang memberikan tempat duduknya bagi sang ibu tersebut.  Meskipun pemuda itu tidak kenal  siapa ibu itu, namun ada rasa belas kasihan bagi orang lain. Ini yang dulu pernah dikatakan Cicero (106 – 43 seb. M),  "Animus hominis  semper  appetite  agere  aliquid" – Jiwa manusia selalu ingin melakukan sesuatu.
          Pada dasarnya, setiap manusia ingin hidupnya berguna bagi orang lain. Pepatah Kuno menulis, "Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain." Maka tidak mengherankan kalau ada orang yang bunuh diri, karena merasa dirinya tidak ada manfaatnya bagi orang lain. Kemudian kita bertanya dalam hati, "Bagaimana perasaan seorang karyawan perusahaan yang kehadirannya tidak  dianggep oleh pihak pimpinan ataupun rekan kerjanya?" Tentu saja pengalaman ini bagaikan mimpi buruk di siang  bolong.
          Di sekitar kita banyak orang yang hidupnya diliputi tekanan maupun beban. Ketika pagi hari mulai bekerja di kantor, ada seorang karyawan yang murung-murung, di depan kantor ada tukang parkir yang sedih memikirkan  nasib anaknya yang hendak kuliah, orang yang termasuk badan pimpinan sedang dilanda duka karena anaknya terlibat narkoba. Mereka adalah orang-orang yang perlu kita sapa. Inilah yang menurut Emmanuel Levinas (1906 – 1995 ) disebut sebagai  epifani wajah (penampakan wajah). Levinas mengatakan bahwa wajah,  face  memberi perintah kepada setiap orang untuk bertanggungjawab atas yang lain,  the other.  Wajah duka, wajah tertekan, wajah sedih dan wajah berbeban berat  dapat kita lihat dari raut muka. Charles Stanley ( Lahir di Pittsylvania, Virginia, 25 September 1932) seorang  televangelist pernah berkata,  "Love always asks,'what is best for the other person?" – Kasih selalu bertanya apa yang terbaik untuk orang lain.
          Di sini kita perlu untuk berpaling kepada Yesus yang bersabda,  "What do you want me to do for you?" – Apa yang kamu inginkan  Kuperbuat bagimu?  Luar biasa, Yesus tahu secara pasti apa yang menjadi kebutuhan kita. Setiap orang memiliki kebutuhan (dibantu, ditemani, didengar, diakui dan masih banyak lagi). Dan bantuan kita – meskipun kecil – amat berguna bagi yang membutuhkannya.
          Pernah suatu kali ada seorang gadis yang bunuh diri. Dari surat yang ia tinggalkan ia menulis, "Saya sungguh-sungguh merasa sendirian. Aku hanya ingin didengarkan apa yang kurasakan, tetapi selalu saja  mama bilang sibuk dan sibuk."  Memang, penyesalan selalu datang terlambat.  Tetapi melalui  "pelajaran singkat ini" kita bisa berbuat sesuatu bagi orang-orang yang dekat dengan diri kita. Sekali lagi kita bermenung, "Kasih selalu bertanya apa yang terbaik untuk orang lain."
 
Rabu, 18  Desember  2013   Rm Markus Marlon MSC
Tulisan-tulisan Motivasi ini  sudah dibukukan yang terbit  2  bulan sekali. Sekarang sudah terbit edisi ke-4. Setiap Edisi ada 10 – 12  tulisan dan terbit 40 halaman.
Yang ingin mendapatkan buku-buku tersebut bisa hub:
E-mail: zahir.5561@gmail.com
Atau no HP: 0852.83.9955.61 atau 08964.8941.026

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 15 Desember 2013

Damai

DAMAI
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Mungkin kita pernah melihat atau menyaksikan sendiri bagaimana burung merpati terbang sambil membawa ranting  zaitun.  Ia bebas bergerak tanpa sekat pembatas geografis, suku, agama, budaya, status sosial dan bangsa. Dengan bebas ia membawa ranting zaitun sebagai simbol bahwa perdamaian itu universal (Bdk. Buku dengan judul  Ex  Latina  Claritas  tulisan Pius Pandor, hlm. 209).  Kita mungkin juga masih ingat Paus Yohanes Paulus II (1920 – 2005)  melepaskan 6 ekor burung  merpati di Asisi  pada tahun 1986. Kegiatan yang berlangsung  di Asisi bukan suatu  kebetulan, tetapi untuk menghormati  Fransiskus Asisi (1181/1182 – 1226)  sebagai pencinta damai (Bdk. The Canticle of The Creatures  atau  Canticle of The Sun  dengan syairnya, "Jadikanlah aku pembawa damai….").  Memang damai itu menjadi dambaan umat manusia, dan setiap orang bahkan bangsa senantiasa ingin mengusahakan perdamaian.
          Kata "damai" berasal dari bahasa Kawi, bÄ›dhama yang berarti: senjata, beliung atau kapak.  Kemudian muncul kata  bedhamen yang berarti: gencatan senjata, usia perang atau tenang kembali. Kini damai berarti tenang dan tidak ada perang. Mungkin kita ingat akan pepatah Latin yang berbunyi,  "Si vis pacem, para belum" – kalau ingin damai, siapkanlah peperangan. Ungkapan ini disanggah  Yohanes Paulus II, katanya, "Si vis pacem, para caritatem" – Jika mengingingkan perdamaian siapkanlah cinta kasih. Membaca kata damai, seolah-olah dalam hidup ini hanya menghendaki perang dan damai. Padahal sebenarnya, makna damai itu ada pelbagai macam. Ada orang merasa damai karena hidupnya "tidak bermasalah."  Orang ini juga merasa damai karena relasi dengan sesamanya  "aman-aman" saja.
          Jelaslah sudah bahwa makna damai itu tidak saja untuk melukiskan sebuah situasi yang tanpa perang, melainkan memiliki makna yang lebih luas. Agustinus (354 – 430) dalam  De Civitate Dei  XIX, 12 menegaskan bahwa perdamaian adalah apa yang dirindukan oleh setiap orang bahkan oleh setiap makhluk. Menurutnya ada tiga dimensi perdamaian yakni: dimensi personal yaitu berdamai dengan diri sendiri. Dimensi sosial yaitu berdamai dengan sesama baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.  Dimensi teologal yaitu berdamai dengan Allah.  Pius Pandor dalam bukunya yang berjudul  Ex Latina Claritas  menulis, "Tatanan perdamaian berawal dari adanya keselarasan antara bagian-bagian dalam diri manusia, kemudian bergerak menuju komunitas dunia  (civitas terrena) hingga memuncak pada komunitas surgawi atau komuntas Allah  (civitas Dei). Dalam komunitas surgawi itu manusia menikmati Allah dan satu sama lain dalam Allah (societas fruendi Deo et invicem in Deo).
          Hidup kita di dunia  ini berharap sekali untuk damai seperti yang dikatakan Agustinus. Rasa damai itu menjadi impian banyak orang.  Dalam Kitab Suci (baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru),  pax, syalom dan  damai seolah-olah menjadi primadona. Sastrawan Romawi Kuno, Ovidius (43 seb.M – 17/18 M)  dengan tegas menulis,  "Candida pax homines trux decet ira feras" – Yang  pantas bagi manusia adalah perdamaian, sementara yang pantas untuk binatang buas adalah kegarangan yang buas. Maka tidak heranlah jika Sang Raja Damai senantiasa dinanti-natikan, "Datanglah ya Raja Damai" (Bdk. Yes 9: 5). Semoga Kedamaian hati senantiasa menyertai kita. Amin.
 
Sabtu, 14 Desember 2013  Markus Marlon
(Sudah dipublikasikan di Majalah Warta Keluarga Chevalier)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 23 September 2013

Dul

Dul 

Oleh: Rhenald Kasali 

KITA tentu tak menyangka bagaimana mungkin seorang bocah berusia 13 tahun sudah dilepas membawa mobil sendiri pada tengah malam. 

Memang ia ditemani seseorang, tetapi ia juga masih terbilang bocah. Bukan mengemudi di dekat rumah dengan pengawasan orangtua, melainkan di jalan tol, menempuh jarak yang terbilang jauh. Dan apesnya, enam orang tewas, dan beberapa anak langsung menjadi yatim piatu. 

Ini tentu sangat memprihatinkan. Namun setiap kali melihat bagaimana masyarakat mendidik anak-anak, saya sebenarnya sangat khawatir. Tak dapat dipungkiri, tumbuhnya kelas menengah telah menimbulkan gejolak 
perubahan yang sangat besar. 

Namun reaksinya sangat ekstrem: Yang satu mengekang habis anak-anak dengan dogma, agama dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang amat konservatif, yang 
satunya memberi materi dan servis tiada batas, sehingga menjadi amat liberal. 

Di segmen atas anak-anak diberikan mobil, di bawah menuntut dibelikan sepeda motor meski usianya belum 17 tahun. Kebut-kebutan menjadi biasa, korban pun sudah sangat sering berjatuhan. Karena mereka bukan 
siapa-siapa maka kecelakaan dan kematian yang ditimbulkan tidak masuk dalam orbit media massa. Kematian yang ditimbulkan Dul mengirim sinyal penting bagi kita semua. 

Business class di pesawat terbang, mungkin hanya di Indonesia, Anda bisa menyaksikan 
keluarga-keluarga muda membawa anak-anaknya duduk di kelas bisnis. Dua orang baby sitter, duduk sedikit di belakang, tak jauh dari batas kelas eksekutif mengawal anak-anak yang sudah bukan bayi lagi itu. Di masa liburan, bukan hal aneh menemukan keluarga menunggu di business lounge, dan naik pesawat dengan tiket termahal. 

Sayang sekali, cara makan anak-anak belum dididik layaknya kelas menengah. Berteriak-teriak di antara kalangan bisnis, makan tercecer di jalan, dan di atas pesawat 
memperlakukan pramugari seperti pembantunya di rumah. Sebentar-sebentar 
bel dipijit, dan pramugari bolak-balik sibuk hanya melayani dua orang kakak-beradik yang minta segala layanan. Menjelang tiba di tujuan, orangtua baru mulai menyentuh anak-anaknya, dibantu baby sitter yang terlihat gelisah. Orangtua mereka umumnya adalah pemilik areal pertambangan, pedagang, atau ada juga seleb-seleb muda yang belakangan 
banyak bermunculan. Ayah dan ibu memilih tidur. 

Jarang ditemui percakapan yang memotivasi, atau mengajarkan sikap hidup. Paling banter, mereka bermain video game, dari iPad yang dibawa anaknya. Padahal di luar negeri, iPad adalah alat kerja eksekutif yang dianggap 
barang mewah. Kesulitan orangtua tentu bukan hanya berlaku bagi kelas menengah saja. Di taman kanak-kanak yang diasuh istri 
saya di Rumah Perubahan, di tengah-tengah kampung di dekat Pondok Gede hal serupa juga kami temui. Belum lama ini sepasang suami-istri menitipkan anaknya untuk sekolah di tempat kami, dan setelah mengecek status sosial-ekonominya, anak itu pun diputuskan untuk diterima. 

Namun ada yang menarik, setelah diobservasi, anak berusia lima tahun itu 
seperti belum tersentuh orangtuanya. Ia seperti rindu bermain, motorik halus dan kasarnya belum terbentuk, jauh tertinggal dari teman-teman sebayanya. Setelah dipelajari dan orangtua diajak dialog, kami menjadi benar-benar paham pergolakan apa yang tengah terjadi dalam masyarakat kita. Orangtua selalu mengatakan, "Saya bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anak-anak. Saya juga sering mengajak mereka berlibur". Namun, anak-anaknya menyangkal semua pemberian itu. 

Faktanya, anak-anak tak terbentuk. Sikap sosialnya, termasuk modal dasar yang 
disebut para ahli pengembangan anak sebagai executive function dan self regulation tidak 
terbentuk. Orangtua hanya fokus pada kemampuan anak berhitung dan membaca. Padahal, mereka juga harus pandai mengelola "air traffic control" yang ada dalam pikiran anak-anaknya agar kelak mampu menjadi 
insan mandiri yang bertanggung jawab. 

Executive function anak-anak kita menghadapi dunia baru yang benar-benar berbeda dengan kita, sehingga mudah sekali "berpaling" dari hal-hal rutin seperti sekolah dan belajar. Mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan "gangguan" 
(distraction) seperti sosial media dan telekomunikasi yang saling bersahutan. Kita semua akan sangat kesulitan menjaga dan membimbing anak-anak kita bila modal dasar executive function tidak ditanam sejak 
dini. Apalagi bila sekolah hanya fokus pada angka dan huruf, seakan-akan pengetahuan dan rumus adalah segala-galanya. 

Menurut berita yang saya baca, Dul ternyata 
sudah sejak Juni lalu tak sekolah. Saya tak tahu tentang kebenaran berita ini. Tetapi Minggu dini hari dia masih mengendarai mobil, mengantar pacar lewat jalan tol, tentu mengindikasikan anak itu (ini juga bisa terjadi pada anak-anak kita, bukan?) telah hidup dalam abad distraction, sulit untuk fokus sekolah dan belajar. Studi-studi tentang executive function dalam child development antara lain banyak bisa kita 
temui dalam buku dan video yang diberikan psikolog-psikolog terkemuka, seperti Ellen Galinsky dan Debora Philip. 

Mereka menemukan, di abad ini, anak-anak perlu mendapat fondasi hidup yang jauh lebih penting dari sekadar tahu angka dan huruf. Anak-anak itu perlu dilatih tiga hal: Working memory, Inhibitory control, dan Mental 
flexibility. Ketiga hal itulah yang akan membentuk generasi emas yang bertanggung jawab dan produktif. Mereka sedari dini perlu dibentuk cara bekerja yang efektif, fokus, tahu dan bekerja dengan aturan, sikap positif terhadap orang lain, mengatasi ketidaknyamanan, dan permintaan yang beragam, serta cara mengelola informasi yang datang bertubi-tubi. 

Pikiran mereka dapat diibaratkan menara Air Traffic Control di Bandara Cengkareng dengan ratusan pesawat yang datang dan pergi, semua berebut perhatian dengan sejuta masalah yang harus direspons cepat. Maka itu, masalah Dul bukanlah sekadar masalah Ahmad Dhani yang menjadi seleb, 
atau masalah keluarga broken home. Ini adalah masalah kita bersama, masalah yang dihadapi anak-anak kita. Dari kita yang tidak fokus dan sibuk mencari uang atau mengurus orang lain. Kita yang dibentuk oleh sistem pendidikan model revolusi industri yang masih berpikir cara lama. 

Ditambah guru-guru yang juga banyak tidak fokus, tidak paham problem yang dihadapi generasi baru, yang punya ukuran kecerdasan menurut versi mereka sendiri, dalam model persekolahan yang materialistis dan old fashion. Sekolah yang menjenuhkan dan tidak membuka fondasi yang diperlukan anak-anak sehingga mereka lari dari 
rutinitas. 

Ini pun sama masalahnya dengan orangtua yang lari dari dunia nyata dan berlindung dalam benteng-benteng dogma dengan menyembunyikan anak dari dunia riil ke tangan kaum konservatif yang menjadikan anak hidup dalam dunia yang gelap dan steril. Anak-anak kita perlu pendekatan baru untuk 
menjelajahi dunia baru. Mereka perlu dilatih keterampilan-keterampilan hidup, fokus dan selfregulations, menjelajahi hidup dalam aturan, yang ditanam sedari usia dini. 

RHENALD KASALI 
Pendiri Rumah Perubahan 


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 08 September 2013

TEKUN
(Kontemplasi Peradaban)
 
Ada seorang ibu yang malu sekaligus bangga dengan putranya yang mendapatkan nilai  pas-pasan  pada  raport-nya.  Ibu itu bangga sebab  dalam belajar, putranya itu tidak kenal waktu. Bahkan untuk mendapatkan angka 6+, dibutuhkan kerja  super-extra. Al hasil, ia lulus ujian, yang menurut wali kelasnya karena ketekunannya yang luar biasa.
Menjadi orang yang tekun itu tidak mudah. Orang yang tekun itu berarti harus  "melawan gravitasi"  hidupnya. Manusia – dalam hidupnya  –  ditarik untuk hidup santai,  easy going dan  semau gue, yang oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV  (Surakarta, 2 September  1768 – 2 Oktober 1820) dalam bukunya yang berjudul  Serat Wulang Reh  dilihatnya  sebagai  "aja pijer mangan nendra"   –  jangan hanya makan dan tidur saja. Sebaliknya, Pakubuwono mengajak agar manusia dalam menjalani hidupnya di atas  "panggung sandiwara" itu harus tekun.  Ia menulis, "Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip" – asahlah hatimu dengan tekun agar bisa memahami hidup.
Orang yang berjiwa besar tidak mudah putus asa, jika menghadapi tantangan. Lihat saja, misalnya  Agatha Christie (Torquay,  England, 15 September 1890  – 12 Januari 1976)  yang adalah penulis cerita misteri terkenal di dunia. Banyak orang yang tidak tahu bahwa lima buku pertama yang ia tulis gagal total. Tidak laku atau  tidak dilirik oleh penerbit mana pun. Menghadapi kegagalan tersebut, Christie tidak putus asa. Ia bertekad untuk menulis lagi sambil belajar dari kegagalannya. Ketekunannya mendorongdirinya menjadi penulis produktif. Ia berhasil menulis 66 cerita misteri, ditambah 6 novel dan banyak cerita pendek. Ketekunan memang luar biasa. Albert Einstein (Germany, 14 Maret 1879 – 18 Agustus 1955) bahkan  pernah berkata bahwa untuk sukses, seseorang membutuhkan 1% bakat dan 99 % adalah ketekunan.
Mengontemplasikan makna hidup yang kadang sukses dan gagal tersebut, ketekunan seolah-olah menjadi syarat mutlak –  sine qua non.  Ketekunan bagaikan mengerjakan sesuatu terus-menerus tanpa lelah atau sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit atau dalam Pepatah Latin biasa ditulis,   "Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo"  – tetesan air itu melubangi batu, bukan karena kekuatannya, tetapi karena tetesannya yang terus-menerus. Siddharta (Nepal  ± 563 – 483 seb.M ) pun belajar ketekunan dari suara sungai yang mengalir terus-menerus. Ia menyimak dan mendengarkan. Dibantu oleh suara sungai yang gemericik, Sang Buddha bermeditasi tentang kehidupannya. Dan terdorong oleh hasratnya untuk menyempurnakan  hidup rohaninya, ia pun meninggalkan tempat ayahnya dan pergi ke hutan.  
Ketekunan bukanlah cuma kegiatan teoritis. Dalam  tembang orang-orang Jawa tertulis,  "Ngelmu itu, kalakone kanthi laku" – mencari ilmu itu harus dengan praktek.  Kita harus terjun, kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman.  Kita harus berada dalam perbuatan dan merasakan dalam  laku  (praktek).
Hidup kita kadang diliputi dengan beban yang berat, entah itu beban dari diri sendiri (pemalu, pemalas, sakit-penyakit) tetapi juga yang datang dari luar (fitnah, misalnya). Untuk menghadapinya dibutuhkan ketekunan. Dalam bahasa Yunani, ketekunan memiliki arti  hypomonè (meno: "menetap" dan  hypo: di atas).  Orang yang tekun tetap menetap di atas meskipun menghadapi beban yang berat.

Senin, 9 September 2013 Markus Marlon

(Sudah dipublikasikan di Harian Umum)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 05 September 2013

ARTI  HIDUP
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Membaca drama karya Shakespeare (1564 – 1616) yang berjudul  Machbet, saya menjadi terkesima. Machbet merasa bahwa dalam hidup ini tidak ada yang bisa dinilai dan tidak ada yang bisa dikutuk atau dipuji dari perbuatannya. Machbet  berpikir bahwa hidup itu tidak berarti apa-apa. Ia menjadi seorang nihilis.
          Pada kesempatan lain, dalam kesempatan mengontemplasikan  hidup ini, saya pun tercenung, "Saya terlahir di dunia, sekolah, bekerja untuk bertahan hidup, kadang sehat dan kadang sakit. Dalam hidup kadang suka dan kadang duka.  Akhirnya mati!"  Dalam hati saya berkata, "Untuk apa hidup di dunia ini?" dan saya bertanya lagi, "Entah mengapa saya menjadi melankolis dan pesimis."
          Namun dalam sikap yang pesimis itu, saya selalu teringat akan sabda Sang Nabi, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (Al Hadis).  Melalui hadis ini kita bisa menyaksikan bagaimana seorang ibu rela bekerja keras,  ibarat kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, demi anaknya. Seorang bapak muda bangun pagi-pagi buta dan tidur larut malam karena bekerja untuk keluarga. Seorang mantan dosen ternama rela berkutat di perpustakaan mencari jawaban yang ditanyakan mantan mahasiswanya.  Ia  merasa dirinya  masih berguna bagi sesamanya atau  liyan.
          Maka tidak mengherankan jika kisah-kisah romantis yang berbau kepahlawanan itu memberi motivasi kepada kita bahwa kehidupan itu memiliki arti.  Setelah  membaca  novel  yang berjudul  Roro Mendut  tulisan Y.B Mangunwijaya, kita bisa melihat seorang  Pranacitra yang berani mati bersama Roro Mendut.  Atau cerita rakyat Bali tentang Ni Layonsari yang "mengikuti"  Jayaprana, kekasihnya dan akhir mereka fatal.  Dalam hati kita bertanya, "Apa artinya hidup menurut pandangan mereka?"  Kita sering terpekur oleh kisah-kisah tentang  passion  yang begitu nekat namun  begitu indah.  The meaning of life.
          Perasaan  berguna dan berarti bagi sesama menjadi "pemicu" manusia untuk  hidup, bergerak dan ada (Kis. 17: 28).  Saya kenal dengan seorang kakek yang kuliah di fakultas kedokteran pada usia 70 tahun.Dan  kakek itu pun memunyai cerita.  Di kampus,  ia disapa oleh mahasiswa lainnya yang masih muda, "Pak Prof..., hendak  mengajar  mata kuliah apa?" 
Ia pun menjawab, "Saya bukan profesor, saya juga mahasiswa seperti Anda. Saya ingin menjadi dokter pada usia 75 tahun. Kalau Tuhan memberi saya usia sampai 85 tahun, saya masih bisa menolong orang selama 10 tahun. Bila tiap hari ada 10 pasien, maka saya dapat memberikan kesehatan pada 36.500 orang. Jumlah yang tidak sedikit bukan?"
Apa yang dibuat oleh Profesor tadi menurut  Psikolog kondang  Alfred Adler  (1870 – 1973)  dipandang sebagai perasaan keberartian dalam hidup, "The meaning of life".  Ia berkata, "Hidup kita bermakna karena kita mengisinya untuk kepentingan dan kehidupan orang di sekitar kita."
          Orang Jawa memiliki kata-kata mutiara, "Sangkan paraning dumadi" – dari mana dulu kita berasal dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Ungkapan ini hendak mengajak kita untuk merenungkan arti hidup kita di dunia ini. Kita terlahir di dunia ini  "sudah direncanakan oleh sang pencipta" dan bukan secara kebetulan.  Tuhan telah membentuk kita sejak dari kandungan ibu (Yes 44: 2).  Dan untuk mengisi hari-hari hidup tersebut, Ignasius Loyola (1491 – 1556)  menulis dalam  Spiritual Exercises-nya  (Latihan Rohani) no. 23, "Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan melayani Tuhan dan demikian, ia memeroleh keselamatan jiwanya…"

Senin, 02 September 2013   Markus Marlon
P.S. Sudah dipublikasikan di Suara Pembaharuan, 31 Agustus 2013
 
                            
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 28 Agustus 2013

Guru

Guru
(Sebuah Tanggapan untuk Ferry cum suis)
 
          Stef Tokan – setelah membaca tulisan Ferry Doringin – mengajak kita untuk berdiskusi dan dari sana muncul bapak Felix, Jimmy, Bapak Oce. Saya akan mencoba untuk tambah-tambah sedikit.
          Melihat sosok guru, terlintas dalam benak saya seorang bapak-ibu guru yang sederhana serta  naik sepeda unta,  seperti lagu yang berjudul, "Umar Bakri." Namun pada zaman itu, guru sungguh-sungguh  menjadi pribadi yang bisa  digugu dan ditiru  yang artinya: dipercaya dan diteladani. Seperti  dalang yang memiliki makna medar piwulang, artinya:  orang yang membuka rahasia ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, guru, dalang, kiai  adalah orang-orang yang pantas dicintai dan disegani. Jika ada orang memunyai masalah, mereka itu yang menjadi  jujugan (tempat bertanya). Guru memiliki posisi yang dihormati dan disegani.
"Tempora mutantur et nos mutamur in illis" – waktu itu berubah dan kita pun ikut berubah di dalam kurun waktu itu. Demikian pula ada perubahan posisi guru pada zaman ini. Untuk memosisikan seorang guru seperti yang dicita-citakan oleh Ki Hajar  Dewantara (1889 – 1959), seorang pelopor pendidikan yang mendirikan sekolah Taman siswa pada tahun 1922  yang memiliki  semboyan "Tut wuri handayani", atau aslinya: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Arti dari semboyan ini adalah: tut wuri handayani (dari belakang seorang guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan), ing madya mangun karsa (di tengah atau di antara murid, guru harus menciptakan prakarsa dan ide), dan ing ngarsa sung tuladha (di depan, seorang pendidik harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik). 
Kayaknya  sulit  deh memiliki guru seperti itu. Sering dalam media massa atau media elektronik, kita melihat atau membaca kehidupan  guru-guru yang – maaf – hidupnya ekonominya  pas-pasan,  cenderung ngos-ngosan, bahkan ada yang punya  sambilan menjadi tukang ojek. Untuk itulah, menjadi guru bukan menjadi pilihan favorit. Bahkan orang tua saya yang guru malah memberi nasihat, "Tole  anakku, jangan mau menjadi guru."  Anak-anak SD, jika ditanya tentang cita-citanya tentu yang muncul adalah, "Saya ingin jadi dokter, pilot, insinyur…" Menjadi guru seolah-olah tidak ada dalam pikiran mereka.
Bapak Oce secara jelas menulis bahwa menjadi guru bukan menjadi kebanggaan dengan mengatakan, "cuma guru!"  apalagi para guru – yang oleh Bapak Felix –  diberi "hadiah" himne guru yang pada akhirnya disebut sebagai "pahlawan tanpa tanda jasa."  Menjadi guru seolah-olah mengabdi atau menjadi abdi, pelayan yang tentu beda dengan insinyur, pilot maupun dokter dan direktur Bank.
Namun di lain pihak kita harus menyadari bahwa guru juga menjadi kebanggaan bangsa. Guru bangsa yaitu  alm. Nurcolis atau  Cak  Nur begitu bangga dengan menjadi guru.  Zaman kita ini banyak guru-guru yang pantas diteladani. Orang-orang seperti Jansen Sinamo - guru ethos Indonesia, Pri GS -  budayawan yang menggoda Indonesia, Andre Wongso - motivator no. 1 Indonesia sangat bangga  menyebut diri mereka  guru. Mereka adalah guru-guru yang berkualitas yang oleh  Jimmy Pontoan disebut sebagai guru yang berintegritas dan oleh Bapak Felix disebut sebagai sincere.   Sine  artinya tanpa dan cere artinya lilin. Zaman dulu kalau orang membeli patung itu tidak mau yang ada lilinnya atau plitur. Lilin sebagai penutup kayu yang berlobang atau rusak. Sincere diartikan sebagai tulus atau  lurus hati (Bdk. St. Josef si lurus hati).  Guru yang berintegritas dan sincere itu seperti yang dicita-citakan oleh Ferry Doringing: berkualitas dan tidak mau menerima suap (Baca juga Tulisan  L. Wilarjo yang berjudul, "Mutu Dosen."  Dalam Kompas 24 Agustus 2013).
Mengontemplasikan tentang  makna guru, saya menjadi ingat akan pencarian Telemachus putra mahkota dari Penelope  dan Odysseus Raja Itacha. Homerus (± abad VIII seb.M) mengatakan bahwa pada saat mencari ayahnya, Telemachus  dibimbing oleh "burung" yang adalah Sang Dewa. Oleh Homerus itu disebut  mentor  dan bukan  teacher.   Dari sini, saya berpendapat bahwa zaman sekarang ini para murid atau mahasiswa  "sudah tahu banyak hal"  dengan adanya kemajuan tehnologi. Maka tidak mengherankan jika Bapak Felix lebih senang disebut sebagai guru yang baik daripada guru yang pintar. Guru-guru zaman sekarang mungkin baik kalau berkaca kepada "Pencarian jati diri dalam diri Telemachus."  Mereka membutuhkan  mentor, pembimbing, teman seperjalanan (companion) dan  saya lebih senang menyebut  guru sebagai  soul-friend  dari para muridnya.

Kamis, 29 Agustus 2013   Markus Marlon



Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 27 Agustus 2013

MENUNDA  ITU BAIK
(Kontemplasi Peradaban)
 
Belum lama ini (01 Agustus 2013), saya jalan-jalan di Senayan Plaza. Sementara mengadakan  window shoping, saya membaca sebuah  tulisan  indah di kaca, "Don't put off  the work until tomorrow " – Jangan menunda pekerjaan  sampai besok.
         
Tetapi tiba-tiba ada seorang karyawan   cleaning service yang berkata, "Tapi ada  lho  menunda yang baik."  Karena penasaran dengan pernyataan itu, maka saya bertanya dan jawabannya adalah:  "Menunda untuk marah!!"
         
Kata, "menunda", "tunda"  dan "ditunda"  atau "tertunda" adalah kata-kata yang –kalau bisa – dihindari. Seorang GM (General Manager) paling anti melihat karyawannya menunda pekerjaan. Seorang pecandu bola,  tentu alergi melihat siaran tunda pertandingan  bola kaki  Liga Eropa  dan para calon penumpang tidak suka mendengar  kata  delay dalam pengumuman-pengumuman di bandara.

Pengalaman tersebut di atas hendak melukiskan bahwa  seolah-olah  menunda itu merupakan sesuatu yang tidak baik.  Padahal kalau kita jujur, kata-kata pembersih lantai  (cleaning service) itu memunyai dasar yang kuat.  Ternyata Seneca, nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca (4 seb. M – 65), penyair Romawi Kuno,  pernah menulis,  "Obat paling mujarab bagi kemarahan adalah menundanya."  Nabi Muhammad SAW (570/571 – 632) senantiasa mengajak para sahabatnya untuk sabar dan tidak mudah marah. Siddarta Budda Gautama (563 – 483 seb.M) mengendalikan pikiran-pikirannya yang tidak teratur dengan melakukan meditasi.  Di Taman Getsemani, dalam peristiwa penangkapan, Yesus  menyuruh Petrus untuk menyarungkan pedangnya (Yoh 18 – 19: "Kisah sengsara Yesus Kristus").  Dengan sabar dan berdiam diri serta menunda, maka emosi-emosi yang tidak teratur itu bisa normal kembali.
          Orang yang sedang marah, dikuasai oleh emosi. Nafas berdetak bertambah cepat dan kalau berbicara suaranya bisa tinggi. Jika ia berkata-kata, akan meledak-ledak serta tidak terkontrol.   Kalau seseorang  dalam situasi yang demikian, baiklah ia bernafas dalam-dalam, minum air dingin dan duduk tenang barang sejenak. Baiklah ia  menunda untuk berbicara. Inilah tindakan yang bijaksana.  
         
Ada seorang karyawan yang yang dimarahi  boss-nya. Membalas marah apalagi  memaki-maki  boss-nya  face to face, jelaslah tidak mungkin. Maka,  way out-nya adalah karyawan itu menulis semua  uneg-uneg-nya  dan dituangkan dalam surat dan dimasukkan dalam amplop serta siap sedia dikirim.  Ia merasa lega dan ini merupakan  salah satu bentuk  catarsis. Tetapi karena waktu sudah menjelang malam, maka surat itu pun tertunda pengirimannya dan dimasukkan ke dalam laci meja kerja.
         
Esok paginya, karyawan itu membuka amplop itu dan membaca surat tulisannya sendiri. Betapa malu dirinya terhadap apa yang ditulis: maki-makian kampungan  dan seolah-olah bukan tulisan seseorang yang pernah mengecap bangku sekolah.  Setelah membaca surat itu, disobek-sobeknyalah surat itu  dan berkata dalam hati, "Syukurlah surat ini tertunda untuk dikirim. Kalau tidak, tentu akan terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Dunia kiamat!"
         
Ada lagi, sepasang suami-istri muda yang sudah bertahun-tahun menunggu buah hatinya namun belum juga kunjung tiba.  Mereka berdua menghadap Bapak Pendeta  dan minta pendapat, apakah Allah tidak mendengarkan doa-doanya. Jawaban Bapak Pendeta itu sungguh memukau. Katanya, "Saat-saat ini, kalian berdua belum siap untuk menerima 'tamu'  dari Allah. Nanti, setelah semuanya siap, pasti doa itu pun akan dikabulkan."
         
Tiga tahun kemudian, ibu muda itu pun mengandung. Kemudian sepasang suami-istri itu pun datang kembali ke Bapak Pendeta untuk mengucap terima kasih. Dengan penuh kewibawaan rohani, ia  berkata, "Allah sengaja menunda mengabulkan doa-doamu. Setelah rumah tangga kalian  save, kalian sudah saling melayani dan menghargai sebagai suami-istri, baru Allah memberikan yang terbaik."
          Kemudian, suami-istri muda itu pun berkata, "Kalau begitu menunda  itu baik  ya pak!!"

Senin, 26 Agustus 2013   Markus Marlon
         
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 19 Agustus 2013

KEMERDEKAAN  BERSEKOLAH

Membaca dan merenungkan tulisan Dr. Ferry Doringin (19 Agustus 2013) yang berjudul, "Kemerdekaan Bersekolah"  memrovokasi saya untuk memberikan sebuah tanggapan. Judul tersebut di atas oleh Mgr. J. Sunarko SJ diubah – atau lebih tepatnya – disempurnakan dengan judul, "Sekolah Kita Menindas Atau Memerdekakan Anak?"
         
Pertama-tama, Ferry memunculkan tokoh pendidikan sekaligus Mentri Pendidikan pertama yaitu Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889 – 28 April 1959) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk merdeka, bebas dari penjajahan.
         
Pendidikan – menurut saya –  lebih luas dari pada pengajaran. Untuk itu pada saat itu, Ki Hajar Dewantara me-wanti-wanti  supaya Mentri Pendidikan itu diganti dengan Menteri Pengajaran. Alasannya, sekolah hanya dilaksanakan dari pagi sampai siang dan selanjutnya anak-anak pulang ke rumah "diajar" yang lebih tepatnya dididik dalam keluarga sendiri.
         
Pendidikan,  diterjemahkan dari  Educare  (yang sekarang menjadi Majalah Pendidikan KWI).  Arti educare itu sendiri adalah  ex – ducere  (ex = keluar dan ducere = membawa).  Jadi  educare berarti membawa keluar dari dirinya sendiri. Memerdekan dari keterkungkungan diri atau merdeka dari belenggu. Dari situlah, pendidikan seharusnya dibuat secara utuh, integrity  atauholistic.  Dan di situlah yang ideal adalah pendidikan berpola asrama seperti di  Seminari-seminari atau pondok pesantren-pondok pesantren. Namun ada juga orang tua yang lebih suka dengan pendidikan  a la  homeschooling. 
         
Mengenai yang satu ini – homeschooling – saya menjadi ingat seorang anak bernama Thomas Alva Edison (Ohio, 11 Februari 1847 – New Jersey 18 Oktober 1931) yang memiliki kisah menarik dalam dunia pendidikan.  Ketika Thomas kecil sekolah di Sekolah Dasar, oleh gurunya ia dipandang sebagai anak yang bodoh, maka dikembalikan kepada orang tuanya.  Dan dengan penuh ketekunan, ibunya  "mengajar" dan "mendidik"  Thomas itu. Ternyata dia memiliki daya kreativitas yang luar biasa – bahkan yang tidak dimiliki oleh kawan-kawan sebayanya. Coba bayangkan, seandainya pada waktu itu para guru  "mengajar" Thmas dan disamakan dengan teman-temannya, tentu ia akan menjadi anak yang terkungkung atau terbelenggu,  bahkan menurut bahasa Mgr. J. Sunarko  sebagai "ketertindasan pendidikan."
         
Sekolah itu dari kata  schola yang artinya waku senggang. Maka benar apa yang dikatakan Paulo Freire (Brazil, 19 September 1921 – 2 Mei 1997) bahwa pendidikan bisa membelenggu para siswa. Guru menjadi subyek dan sumber pengetahuan dan murid sebagai penerima pengetahuan. Ferry menulis, "Inilah penindasan dalam dunia pendidikan.  Pendidikan yang benar: guru dan murid sama-sama menjadi subyek, berkomunikasi timbal-balik dan melahirkan pengetahuan," Barangkali inilah yang disebut  CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) atau menurut Mangunwidjaja (Ambarawa 6 Mei 1929 – Jakarta, 10 Februari 1999) dalam sekolah di Mangunan – Jogjakarta, " para siswa diajari untuk bertanya."  Anak-anak yang bertanya berarti mereka tahu konteks dan belajar berpikir sendiri (Bdk. "Sapere aude"  yang berarti: Beranilah untuk – mencari tahu – berpikir sendiri. Semboyan ini ditulis oleh Horatius, Sastrawn Romawi Kuno yang lahir di Venosa, 65 – 8 seb.M).
         
Para siswa yang bersekolah atau mencari ilmu itu sudah selayaknya dididik atau dibina untuk menjadi manusia yang mandiri dan bebas. Ada seorang siswa yang sejak kecil ingin menjadi montir.  Oleh orangtuanya, si anak  dipaksa harus sekolah untuk  menjadi dokter. Benar, anak itu sekolah dan hingga mendapatkan gelar dokter. Tetapi selama sekolah, angan-angan anak itu adalah menjadi montir. Maka, ketika lulus,  ia pun berkata  kepada orangtuanya, "Ma-Pa. Ambillah kertas tanda lulus sebagai  dokter yang  mama-papa  inginkan. Si Anak yang dewasa itu pun berkata,  "Tahukan  ma-pa, bahwa selama  study  batin saya tertekan dan saya terbelenggu. Sekarang saya akan belajar sendiri dan akan menjadi montir.  Di sanalah saya menemukan kemerdekaan dan kebahagiaan."

Pepatah Latin, non scholae sed vitae discimus, ini kalau diterjemahkan secara bebas berarti:  belajar di sekolah itu bukan untuk mengejar ijazah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan benar. Pepatah di atas diucapkan Seneca ( 4 seb. M – 65 ) dalam suratnya kepada  Lucius (Epistolae 106, 11).  Ia lahir di Spanyol dan menjelang dewasa, ia  mutasi ke Roma. Ia disegani karena memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang dunia politik, kritis dalam menilai situasi yang terjadi dan mampu merumuskan gagasan-gagasannya secara sistimatis. (Bdk. Pius Pandor dalam Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan).

Paul Engrand pada tahun 1970 sebenarnya telah mengemukakan konsep pendidikan sepanjang hayat,  lifelong education.  Namun, sebenarnya sekitar 1.500 tahun  yang lalu, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW (570 – 632)  pernah menyampaikan  piwulang bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat,  from cradle  to the grave. Kata bijak dari Cina juga menyatakan, "Jika engkau ingin berinvestasi sepanjang hayat tanamlah manusia (didiklah manusia)".  Sang Nabi dalam  hadits-nya juga bersabda, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China."
 
Senin, 19 Agustus 2013  Markus  Marlon
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 16 Agustus 2013

MERDEKA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Waktu di Pineleng – Sulawesi Utara (16 Agustus 2012), saya pernah mendengarkan anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu menjelang upacara bendera tujuhbelasan. Anak-anak itu  bernyanyi, "Enam belas  Agustus tahun empat lima."  Sambil diliputi ketertegunan saya pun berkata, "Hei-hei  anak-anak, syair lagu  itu salah."
Dengan lantang anak-anak pun meneruskan bernyanyi, "Besoknya hari kemerdekaan kita!"

Sambil geleng-gelang kepala, saya pun berkata, "Merdeka betul anak-anak itu. Bebas mengubah syair!"
Kata  merdeka   berasal dari bahasa sansekerta, Maharddhika  itu memiliki arti: berdiri sendiri (bebas dari perbudakan dan  penjajahan). Namun, kata merdeka juga bermakna: lepas atau terhindar dari tuduhan dan tuntutan.

Setiap orang tentu menginginkan merdeka dalam hidupnya  yang tentunya bebas dari pelbagai tekanan dari luar. Dari keinginan tersebut, tidak heranlah kalau setiap negara berharap memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka (independence) yang bebas dari kolonialisme.  Dan untuk menebus kemerdekaan tersebut, para pahlawan harus membayar  dengan mahal, yakni dengan gugurnya di medan perang.

Revolusi Prancis (1789) meletus, karena rakyat ingin merdeka dari kungkungan  "raja yang lalim." Keinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan  (liberté), persaudaraan (fraternité) dan persamaan hak  (egalité) itulah yang mendorong rakyat membobol penjara Bastille sebagai symbol keangkuhan kerajaan.

Jika kita meneropong ke belakang, kisah-kisah peradaban dunia menegaskan bahwa manusia itu "sejak dahulu hingga detik ini  terbelenggu."  Edit Hamilton dalam bukunya yang berjudul  Mitologi Yunani  misalnya,  mengisahkan tentang Dewa Atlas yang seumur hidupnya memanggul globe (dunia). Atau kisah Sisyphus yang dihukum oleh  Zeus. Di  Hades, Sisyphus dihukum untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit dan ketika batu itu dijatuhkan lagi ke bawah, ia harus kembali mendorongnya dan begitu seterusnya. Dalam jiwa mereka (Atlas dan Sisyphus) yang ada hanyalah suatu kemerdekaan, namun tidak pernah diraihnya.

Novel yang berjudul  Scarlet's Letter menggambarkan seorang wanita yang kedapatan berzinah. Dan oleh masyarakat ia harus mengenakan sebuah baju dengan huruf  "A" yang adalah  adultery – perzinahan. Stigma itu begitu membelenggu seumur hidupnya, seolah-olah yang berbuat salah akan tetap berbuat salah. Atau Scarlett Ohara,  seorang tokoh dalam  novel yang berjudul  Gone With The Wind  tulisan Margareth Mitchell, yang setelah menjadi janda harus mengenakan pakaian hitam setiap hari entah sampai kapan. Sungguh belenggu yang memilukan hati.

Mengontemplasikan makna merdeka, saya menjadi ingat kisah-kisah tentang perbudakan maupun orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi.  Bagi mereka kemerdekaan itu menakutkan.  Lalu kita bertanya, "Kenapa?"

Konon, orang-orang kulit hitam Amerika yang diberi kebebasan dari perbudakan sesudah berakhirnya Perang Saudara. Namun ternyata mereka  sulit beradaptasi dengan kehidupan barunya,  karena sudah terbiasa bergantung pada tuan-tuan mereka. 

Orang-orang Yahudi yang lolos dari  holocaust  seusai Perang Dunia II agak berbeda situasinya. Meski secara fisik sudah merdeka, namun trauma yang disebabkan pengalaman di kamp konsentrasi tidak pernah hilang dalam ingatan. Ternyata , kemerdekaan itu tidak kalah menakutkan daripada hidup di kamp konsentrasi, sebab keluarga dan kehidupan mereka  telah hancur akibat perang dan mereka tidak tahu harus ke mana.

Manusia, dalam hidupnya tidak pernah lepas dengan relasinya dengan orang lain. Bagi Paul Sartre (1905 – 1980), kehadiran orang lain itu sebagai  belenggu. Kita hanya bisa berelasi dengan orang lain dengan menjadikan mereka objek, sembari dilanda kecemasan bahwa diri kita pun oleh orang lain juga direduksi menjadi objek (Bdk.  Mingguan Hidup 18-8-2013).  Orang pernah berkata, "Bagaimana perasaan seorang bawahan dihadapan atasan?" atau "Bagaimana seorang isteri harus minta ijin suaminya ikut arisan di luar  kota?"  Bagi mereka yang mendambakan kemerdekaan, orang lain itu bagaikan "pemegang aturan  yang membelenggu."

"Mereka   yang terbelenggu"  memandang sesama atau  liyan  sebagai orang-orang yang bisa menyakiti secara fisik maupun psikis. Setiap kali berhadapan dengan  liyan, kemerdekaan mereka terbatasi.  Tetapi  Eleonore Rosevelt (1884 – 1962),  berpendapat bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan sendiri-sendiri. Ia berkata, "Mereka tidak bisa menyakitiku tanpa seizinku!"

Jumat, 16 Agustus 2013  Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 11 Agustus 2013

Berani Memulai

BERANI  MEMULAI
(Kotemplasi  Peradaban)
         
Ada seorang yang memiliki ide untuk mendirikan usaha penerjemahan di belakang kampus Atma Jaya – Jakarta.  Semua yang direncanakan sudah  okey. Tetapi sudah tiga  bulan ini, usaha  –  yang telah lama diimpikan itu  – belum juga terwujud.

Setelah saya konfirmasi kepada orang yang pertama kali  memiliki ide itu, dia berkata bahwa dirinya belum berani mulai.

Memang tidak mudah memulai sesuatu. Sebagai contoh saja, seorang mahasiswa yang hendak membuat skripsi. Kata pertama untuk memulai sepertinya sulit keluar dari otak. Namun setelah menulis  – mungkin pada  halaman 5 atau 10 – kalimat demi kalimat  mengalir tidak terbendung.

Mungkin kita pernah mendengar istilah Columbus's egg – telur  Columbus. Alkisah ketika Christopher Columbus (1451 – 1506) menemukan benua Amerika, ada banyak orang yang iri hati atas keberhasilannya itu. Menghadapi keirihatian mereka, Columbus pun menantang mereka untuk menentukan siapa yang lebih baik. Katanya, "Barangsiapa bisa membuat telur rebus berdiri tegak di atas meja, maka  saya rela  menyerahkan seluruh gelar dan kekayaan kepada sang pemenang."

Satu  per satu orang-orang yang itu itu mencobanya, namun tidak ada yang berhasil karena bentuk telur yang hampir  bundar itu. Mereka pun menyerah.
         
Kini giliran Columbus. Ia mengambil telur itu, meletakkannya di atas meja sambil tetap memeganginya. Kemudian dengan tangannya yang lain, ia menekan bagian atas telur itu sehingga bagian bawahnya retak dan menjadi pipih, sehingga telur itu dapat berdiri tegak di atas meja.
         
"Ah  kalau begitu kami juga bisa melakukannya,"  ucap mereka dengan sinis. Sambil tersenyum,  Columbus  pun berkata, "Lalu mengapa kalian tidak memulainya?"
         
Memulai suatu usaha baru,  seringkali juga banyak tantangan. Apa yang menjadi  "impian"  tercampur-baur dengan hal-hal yang tidak mendukung, sehingga membuat kita kehilangan arah (disorientation).

Pengalaman  H.C. Andersen (1805 – 1875) telah mengajarkan kepada  kita. Sewaktu memulai  "pencarian jati dirinya," Andersen ingin menjadi orang terkenal. Maka, ia mulai mencoba bermain teater, menyanyi, bahkan menari. Di tengah-tengah pergumulan hidup, ia mulai menulis dongeng-dongeng  (yang  menjadi passion  sebenarnya). Melalui tulisannya itu, Andersen mulai dikenal luas. Kini, kita boleh bersyukur sebab bisa menikmati dongeng-dongengnya seperti: The Tinderbox, The Princess and the Pea, Thumbelina, The Little  Mermaid  dan The Emperor's New Clothes.
         
Untuk mencapai kesuksesan, seseorang tidak boleh  ber-leha-leha  atau santai, melainkan perlu usaha yang yang keras bahkan sampai  "berdarah-darah."  Pepatah Latin yang berbunyi,  "per ardua ad astra –  bersusah payah untuk sampai ke bintang, rupanya tepat untuk melukiskan makna  "memulai" sesuatu.  Dan untuk itu,  diperlukan usaha serta optimisme yang tinggi.  "No gain, without pain"  – Tidak ada keberhasilan yang dapat diperoleh tanpa usaha dan kerja keras.  Pencapaian-pencapaian seseorang tidak dilakukan semudah  membalikkan  telapak tangan, melainkan penuh ketekunan dan bertahan dalam kesukaran.  Seperti kata miliuner terkenal dari Amerika Donald Trump (Lahir: Queens – New York City, 14 Juni 1946), "Without passion you don't have energy, without energy you have nothing."

Senin 5 Agustus 2013  Markus Marlon
 
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 09 Agustus 2013

Kekuatan Dalam Diri

KEKUATAN  DALAM  DIRI
(Kontemplasi  Peradaban)
         
Belum lama ini, saya kedatangan  tamu yakni seorang ibu yang merasa hidupnya berbeban berat. Dia mengatakan bahwa dirinya setiap hari itu  deg-degan.
         
Katanya, "Bagaimana tidak  deg-degan, kalau setiap hari tetangga sebelah belanja  selalu di  mall. Dan secara  periodic,  keluarga tersebut  belanja peralatan rumah tangga yang mahal-mahal. Tentu saja ini membuat konsentrasi saya buyar dan hidup tidak tenang."
         
Melihat  "kelebihan"  orang lain, tanpa mensyukuri kemurahan Tuhan yang sudah dialami dalam diri sendiri, tentu akan membuatnya "sakit."  Ini yang kita sebut juga sebagai iri hati. Orang yang iri hati itu ibarat berkumur dengan dengan racun. Ia tidak langsung mati keracunan, melainkan pelan-pelan racun itu ada yang masuk dalam tubuhnya dan menjadi penyakit.  Nicky Gumbel (Lahir tahun 1955 di London),  seorang pendeta Anglikan  pernah menulis, "Don't  focus on the things you don't have. Focus on the things you do have and the reasons to be grateful" –  Jangan berfokus  akan hal-hal yang tidak Anda miliki. Fokus akan hal-hal yang Anda miliki dan alasan-alasan untuk bersyukur.
         
Sebagai makhluk sosial, –  seperti apa yang ditulis oleh John Donne (1572 – 1631),  No man is an island –   kita setiap hari bersinggungan dengan orang lain atau  liyan.  Beberapa ratus tahun yang lalu, ungkapan tersebut sudah ditulis oleh Pengkhotbah,  "Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seorang terhadap yang lain. Inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin" (Pkh  4: 4). Iri hati terhadap milik orang lain menjadi penyebab seseorang tidak bisa fokus kepada miliknya, padahal apa pun yang kita miliki adalah pemberian Tuhan.
         
Orang-orang yang berjiwa besar mampu berdamai bahkan mengajak kerja sama dengan orang-orang yang  "berseberangan."  Mungkin orang yang berseberangan dengan kita  itu bahkan  pernah menjadi sasaran iri hati. Raden Adjeng Kartini (1879 – 1904),  misalnya pernah terbersit dalam hatinya merasa iri terhadap orang-orang  Eropa yang bebas berpendapat.  Kartini berusaha bersahabat dengan mereka dengan mulai berkorespondensi.  Ia mulai membaca buku, koran dan majalah-majalah  Eropa yang membuatnya tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa.  Daripada iri hati, Kartini berupaya sekuat tenaga mengerahkan energinya untuk  berprestasi.
         
Orang-orang yang berjiwa besar – sekali lagi – tidak ada waktu untuk memikirkan kejelekan atau iri hati terhadap orang lain, sebaliknya mereka berupaya berbuat sesuatu bagi sesama. Florence Nightingale (1820 – 1910) – pelopor bidang keperawatan – yang juga dijuluki sebagai  the lady  with the lamp  merupakan sebutan untuk wanita yang tanpa kenal takut mengumpulkan para korban perang  krimea di Rusia.  Seandainya dirinya  "sibuk" mengurusi rasa iri hati terhadap orang lain dan berusaha untuk melebihi orang lain, tentu namanya tidak seindah sekarang.  

Adalah sia-sia belaka, jika kita ingin mengubah orang lain. Leo Tolstoy (1828 – 1910) mengatakan bahwa semua orang berpikiran untuk mengubah dunia. Tetapi tidak seorang pun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.

Kunci dari itu semua adalah mengucap syukur atas apa yang sudah dimiliki.  Orang yang sudah mengenal diri sendiri (kelebihan dan kekurangan) akan lebih mudah untuk menjalankan misinya.  "Nosce te ipsum" – kenalilah dirimu sendiri  –  sebuah semboyan yang merupakan terjemahan Latin dari kalimat Yunani "gnothi seauton" ini mengajak umat manusia untuk melihat kekuatan dalam diri.

Jumat, 02 Agustus 2013   Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 06 Agustus 2013

Menunggu

MENUNGGU
(Kontemplasi Peradaban)
         
Ada seorang nona yang melamar pekerjaan pada sebuah perusahaan. Setelah psikotes dan  interview berakhir, dia dimohon untuk menunggu. Penguji berkata, "Saudari harap menunggu panggilan kami. Tetapi jika ternyata, saudara dipanggil dan  tidak memenuhi panggilan kami, maka kursi saudara akan diisi oleh orang lain."

Apa yang dialami pelamar kerja itu tentunya menimbulkan gejolak jiwa yang penuh dilemma. Jika ia hanya menunggu di rumah saja, maka akan muncul kebosanan, namun jika keluar kota, ia kuatir "kursi"-nya akan diduduki palamar lainnya.

Menunggu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Lihat saja bagaimana gelisahnya di sebuah bandara yang mendengar bahwa pesawat yang akan ditumpangi mengalami gangguan teknis dan harus  delay. Semua calon penumpang langsung bermuram durja. 

Menunggu juga dialami oleh Penelope istri Ulysses. Paulo Coelho dalam  The Zahir  menulis, "Kau tahu apa yang dilakukan Penelope sejak Ulysses pergi? Menenun! Dia menenun jubah untuk ayah mertuanya, Laertes, sebagai cara untuk menolak orang-orang yang ingin melamarnya. Hanya setelah dia selesai menenun jubah itulah,  dia baru akan menikah. Selama menunggu Ulysses kembali, dia menguraikan tenunnya setiap malam dan memulainya lagi esok harinya" (hlm. 420).  Penelope tidak bermuram durja dalam menunggu, karena setiap hari berdatangan para pelamar yang menunggu keputusanya. Pada waktu itu orang mengagungkan sikap hospitalitas jika menerima tamu, meskipun tamu-tamunya menjengkelkan.

"Man plans but the Lord determines!  atau "Homo proponit, sed Deus disponit"  – Manusia  berencana, Tuhan menentukan. Demikian pula apa yang dialami oleh Ignatius Loyola (1491 – 1556). August Darleth dalam  Pahlawan dari Loyola  menceriterakan pergumulan yang dialami Ignatius. Pada waktu itu, Ignatius akan ziarah ke Tanah Suci dan perlu izin dari Bapa Suci, yakni Paus Adrianus VI (1459 – 1523). Tetapi kepergiannya ke Vatikan terhalang oleh suatu wabah – penyakit yang dahsyat. "Ia tidak mengeluh karena penundaan ini. Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhanlah yang menghendaki ia tinggal di Manresa" (hlm. 36).  Selama di Manresa, ia merenung, berkontemplasi dan terbitlah buku  Latihan Rohani  yang luar biasa. Ia mengisi "waktu menunggu" dengan kegiatan-kegiatan yang positif.  Energinya tidak untuk mengeluh, menggerutu maupun menyesali diri namun digunakan untuk berkarya.

Florence Littaruer (1928 – sekarang)  dalam Personality Plus, menulis bahwa orang yang memiliki visi itu serius dengan tujuan, mengabdi ketertiban dan keteraturan serta sangat menghargai kecerdasan (hlm. 44). Membaca buku Pahlawan dari Loyola, spontan kita bisa membayangkan bagaimana Ignatius tidak pernah akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Ia menunggu secara proaktif.

Tanpa kita sadari, hidup kita adalah sebuah saat menunggu. Bagi para mahasiswa, saat yang ditunggu-tunggu adalah waktu menunggu diwisuda. Para tawanan menunggu dibebaskan, para magang kerja, mereka menunggu diangkat sebagai pegawai atau dipromosikan. Pada akhirnya, mau tidak mau manusia menunggu saat kematian.

Horatius ( 65 – 8 seb. M) nama lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus, menulis,  "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya.  Rentang waktu untuk menunggu itulah yang harus digunakan sebaik mungkin.  Seneca (4 – 65) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca , mengatakan bahwa seluruh refleksinya sebagai suatu permenungan mengenai kematian (meditatio mortis). "Media vita in morte sumus"  – di tengah kehidupan ini, kita sedang berada dalam kematian. Orang Jawa melihatnya sebagai mati sajroning urip – mati selagi manusia masih hidup. Orang menjadi lebih hati-hati dalam nglakoni hidup ini. Ia akan menghargai waktunya untuk membuat hidupnya berkualitas dalam relasinya dengan Tuhan, sesama, lingkungan dan dirinya sendiri.

Rabu, 31 Juli 2013  Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 05 Agustus 2013

ZONA  NYAMAN
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Ada seorang karyawan yang tidak segera mau pindah ke  tempat tugas yang baru setelah mendapatkan SK penempatan.   Ia sudah merasa nyaman bekerja di tempat yang selama ini  hidup dan berkarya.

Orang ini berkata, "Saya sudah  amat menyatu  dengan lingkunganku: tempat kerja, rekan dan situasinya.  Jika saya ditempatkan di tempat yang baru, berarti saya harus mulai dari nol lagi  dong!" Tambahnya lagi, "Capek dech!"

Tempat kerja yang nyaman memang menjadi dambaan setiap insan. Ibarat tahta yang empuk dan "basah"  sehingga orang akan betah tinggal di sana. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Petrus ketika  di atas  gunung, "Adalah baik bagi kami berada  di sini" (Luk 9: 33). Di atas gunung itu, Petrus, Yohanes dan Yakobus merasa nyaman. Tempat yang sunyi, angin yang  semilir, apalagi "didampingi" oleh nabi-nabi yang hebat seperti:  Musa, Elia, dan Yesus sendiri. Tetapi dalam suasana yang nyaman tersebut, Yesus mengajak para murid untuk "turun gunung" ke Yerusalem.  Di Yerusalem sana menjadi pusat kegiatan manusia: pasar yang hiruk pikuk, para ahli Kitab yang menjadi pemegang aturan-aturan adat dan hukum dan masih banyak lagi.  Di tempat inilah banyak  "kursi panas" bagaikan kursi pengadilan, tempat duduknya pesakitan.

Kisah  "wiracerita"   tentang pribadi-pribadi yang berani meninggalkan  comfort zone  (zona nyaman) patut kita teladani. Sang Buddha (563 – 483 seb. M) dalam film yang berjudul  The Life of Buddha  mengisahkan tentang seorang pangeran yang berani meninggalkan istana yang penuh ingar-bingar menuju ke tempat yang sunyi mencari kesejatian diri. 

Kisah lain lagi, yakni  seorang pangeran  – bisa kita lihat ceritanya dalam film yang berjudul   The Prince and pauper  –   yang sangat terhormat rela  "menukar" kedudukannya dengan teman sebayanya, untuk sementara waktu  dan tinggal di daerah berbau busuk dan  pesing  di London.

Di zaman ini,  ada  kisah kelompok peduli anak-anak jalanan di bilangan Jakarta yang sangat  care  dengan mereka yang tersingkir  (Kick Andy  dalam  acara di Metro TV, 26 Juli 2013).  Mereka rela berpanas-panasan bahkan  kehujanan untuk mengajari belajar – mungkin –  di kolong-kolong jembatan atau di rumah-rumah yang kumuh.   

Apa yang dilakukan oleh mereka yang berjiwa besar yang berani  "meninggalkan zona nyaman" itu  sebenarnya bisa dibaca dalam Kitab Suci.

Sayap rajawali tidak tiba-tiba menjadi kuat. Ada ceritanya. Sejak kecil burung ini memang terlatih untuk terbang tinggi. Sang induk selalu menempatkan sarangnya di tempat tinggi (Yer 49: 16). Lalu jika sudah tiba saatnya, ia akan membongkar sarang itu, sehingga anak-anaknya  "terjun bebas" di udara. Dipaksa untuk belajar terbang di tengah empasan angin kencang. Sementara sang induk melayang-layang di atas sembari menjaga.

"Membongkar sarang"  adalah keputusan yang pelik dan rawan.  Dengan terbongkarnya sarang,  berarti  anak rajawali itu "dipaksa" untuk terbang. Tentu saja ia belum tahu harus  terbang dan bertengger di pohon atau tebing mana nantinya (Bdk. Abraham yang harus meninggalkan  comfort zone menuju tanah terjanji).

Kadangkala, kita entah suka atau tidak suka harus berani  "membongkar sarang." Kadangkala pula, kita menjadi ragu-ragu, kuatir dan cemas menghadapi zona yang belum kita kenal dan mungkin tidak bersahabat. Tetapi dalam situasi yang penuh keraguan itu, ingatlah kata-kata  John Maxwell (Lahir tahun 1947 –   ),  "If we grow, we will always go out of our comfort zone" – Kalau kita bertumbuh, kita akan selalu keluar dari zona nyaman kita.

Senin, 29 Juli 2013   Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 01 Agustus 2013

Potensi

POTENSI
(Kontemplasi Peradaban)
         
          Belum lama ini (pertengahan bulan Juli 2013),  saya agak sedikit terkejut ketika mendengar seorang ibu guru  yang marah kepada anak didiknya yang mendapat nilai raport  jeblok.  Katanya, "Nak, kamu ini orang bodoh,  sudahlah jangan macam-macam. Meskipun kamu berjuang sekuat tenaga, akan tetap seperti ini, menjadi anak bodoh. Kata-kata itu berbunyi merdu di telingaku. Ibu guru itu sudah memberi cap atau stempel bahwa murid  itu bodoh dan selamanya akan bodoh (Bdk. Syair yang ditulis oleh Ebiet G. Ade, "Apa yang dianggap salah tetap salah.") Ibu guru itu  lupa bahwa dalam proses, setiap manusia memiliki potensi   from nothing  to something.

Setiap orang di dalam dirinya ada potensi yang sudah mewujud maupun yang masih tersembunyi. Yang tersembunyi itu kadang kala disebut "sebagai hal-hal potensial" misalnya sebuah gunung yang  berpotensi untuk meletus. Oleh karena itu, disebut sebagai bahaya latent.  Sebuah ancaman tersembunyi dan kuat yang suatu saat bisa meledak sewaktu-waktu dan tidak terduga (Bdk. Bahaya  latent  PKI atau ancaman teroris).

Makna ke-potensial-an ini,  seperti  buaya di pinggiran pantai  Kimaan – Merauke – Papua  yang berdiam diri bagaikan kayu tergeletak di tepian laut. Jika seseorang tidak sengaja atau sengaja menyentuh buaya tersebut, maka sang buaya akan bangun dan menerkamnya. Dan jika kita menilik ke dunia pewayangan,  kita mengenal tokoh yang bernama Kumbakarna. Dia adalah adik Prabu Rahwana. Selama di istana kerajaan,  kerjanya hanya tidur. Dia tidur selama 6 bulan. Satu tahun hanya bangun 2 hari. Makan sebanyak 2 gunung, kemudian tidur kembali selama 6 bulan begitu seterusnya. Namun meskipun tidur, ia berpotensi untuk menjadi panglima perang yang dapat diandalkan. Dalam kisah  "Kumbakarna Gugur," 

Kumbakarna telah membuktikan kebenaran itu.  Tatkala Rahwana memerintahkan untuk berperang dan menumpas tapis pasukan Rama yang diwakili oleh Hanoman sebagai duta, seolah-olah ia maju berperang sambil menyuarakan kata-kata, "Wrong and right is my country."  Kumbakarna berperang demi Kerajaan Alengka dan bukan membela Rahwana yang culas.

Potensi Kumbakarna bagaikan gunung es yang tersembunyi yang belum diaktualisasikan. Dalam penelitian dikatakan bahwa otak manusia hanya digunakan 3 % saja dan sisanya yang 97 % belum digunakan. Membaca penelitian tersebut, kita menjadi heran kepada diri sendiri, kadang kita memang kurang menggunakan potensi dalam diri kita sendiri – mungkin –  karena ada rasa malas, tidak percaya diri dan ragu-ragu.

Mengontemplasikan tentang makna potensi, saya teringat akan seorang tokoh bernama Napoleon Bonarparte (1769 – 1821).  Napoleon tiap kali hendak berangkat perang, ia memberi semangat kepada para serdadunya dengan cara yang unik. Mereka harus menyimpan sebatang tongkat marsekal dalam ranselnya. Itu semacam tanda bahwa dengan berjuang keras, suatu hari mereka bisa menjadi perwira tinggi di pucuk itu (Bdk. Goenawan Muhamad dalam  Catatan Pinggir 2  dengan judul  Zoot).

Setiap orang memiliki potensi yang kadang tidak terduga. Dalam  reuni  teman angkatan misalnya, kadang kita menjumpai seseorang yang waktu sekolah di tingkat menengah, sepertinya tidak ada apa-apanya (nothing).  Tetapi dalam berjalannya waktu, ternyata teman yang  "tidak kita  anggep  itu"  kini telah  menjadi direktur, bahkan pemilik saham beberapa perusahaan.

Jumat, 26 Juli 2013  Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 30 Juli 2013

NAMA
(Kontemplasi  Peradaban)
         
Belum lama ini,  saya berlima (Rm. Miranto, Rm. Yoh Sujono, Pst. Harry Singkoh, Pst. Jovi dan saya) mengadakan perjalanan menuju Coolibah.
Sebelum sampai di  Puncak Pass, saya dikagetkan dengan  "penampakan"  beberapa wanita muda yang mengenakan kaos biru muda yang bertuliskan PSK (Seingat saya, PSK itu Pekerja Seks Komersial). Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, merapatlah kendaraan kami di tempat beberapa wanita berkaos muda itu bekerja.
Wanita muda itu,  ternyata bertugas sebagai penusuk sate kambing, ada yang membakar dan menyajikan sate yang masih  kemebul itu ke para pembeli. Dan PSK itu – tak terduga sebelumnya – adalah  akronim dari Puncak Sate Kiloan. Karena sudah terlanjur masuk kawasan PSK, terpaksa kami harus makan sate yang dijual kiloan (artinya dijual per-kilogram dan 1kg berisi 45 tusuk). Memang enak. Rasanya seperti warung sate Belibul (kambing muda yang usianya Belum Lima Bulan) yang terletak di Kabupaten Slawi menuju pemandian air panas Guci. 
Siapa yang tidak penasaran dengan nama-nama seperti: PSK, Belibul, Ikan Gurami WTS (Warung Tengah Sawah) di Pemalang, Es bakar dan nasi bakar di Amplas (Ambarukma Plaza) Yogjakarta?
Nama bagi orang Indonesia sungguh memunyai makna. Orang Romawi kuno mengatakan bahwa nama adalah tanda,  "nomen est omen."  Ungkapan, "Gajah mati meninggalkan gading, macan mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama" hendak melegalkan bahwa nama itu memiliki makna.  Maka tidak mengherankan jika nama-nama jalan di setiap kota tentu menggunakan nama pahlawan. Karena setiap pahlawan itu harum namanya, seperti Ibu Kartini (1879 – 1904)  harum namanya.  Dari sana pula kita boleh beriskap kritis terhadap  Shakespeare (1564 – 1616)  yang mengatakan, "Apalah artinya sebuah nama, bunga mawar tetap harum meskipun namanya bukan mawar" (Bdk. Drama berjudul  Romeo-Juliet).
Sekali lagi,  "Nomen est omen!"  nama adalah tanda.  Orang Jawa memiliki nama yang panjang-panjang misalnya: Joko Hadiwijaya Nata Siswaya Mangku Singa Limo. Tetapi ingat bahwa orang Jawa juga dengan mudah mengganti nama,  seandainya orang yang mengenakan nama itu merasa "keberatan"  yang kadang ditandai dengan sakit-sakitan yang tidak kunjung sembuh. Maka atas nasihat orang-orang tua, sesepuh,  nama yang panjang dan indah itu bisa langsung diganti dengan nama Slamet. Dan ternyata anak itu jadi sehat walafiat. 
Di Gunungkidul – Yogjakarta zaman dahulu, banyak  orang menggunakan nama  yang  kelihatan  kampungan   – maaf – seperti: Markus Paimin.  Memang, nama itu di Gunungkidul  tidak begitu  keren. Tetapi ketika pindah ke Manado, nama Paimin itu menjadi  sangat  keren, karena di sana seperti  nama  fam (marga, keluarga).  Nama Paimin sejajar dengan Pandelaki, Tangkilisan, Wongkar dan lain sebagainya. Dan orang pun tidak sembarang memberi nama kepada anaknya.  Belum ada orang Kristen yang memberi nama Yudas kepada anaknya (padahal ada juga nama Yudas Tadeus yang rasul). Orang tua  tidak akan memberikan nama Hitler kepada anak kesayangannya. Orang tua tidak mungkin memberikan nama Doryudana kepada putranya yang semata wayang.
"Orang mati meninggalkan nama."  Kaisar Julius dan Kaisar Agustus ingin dikenang dalam Kalender.  Rupanya Kaisar Julius dalam Kalender menamakan diri sebagai bulan Juli dan Kaisar Agustus menamakan diri sebagai bulan Agustus.  Itulah sebabnya bulan September yang seharusnya menjadi bulan ketujuh (septem  artinya  tujuh) menjadi bulan kesembilan dan bulan Oktober yang seharusnya menjadi bulan kedelapan (Oktaf  artinya  delapan) menjadi bulan kesepuluh  (November, nona artinya sembilan dan Desember, decem  artinya  sepuluh).  Barangkali dari Surga Julius dan Agustus tersenyum karena namanya disebut setiap tahunnya.
Sepulang dari warung PSK (Puncak Sate Kiloan), kami menuju Collibah  dan menuju sebuah rumah. Di depan pintu muncullah seorang bapak muda yang siap menerima kami. Kemudian, bapak itu ingin tahu nama saya. Tetapi langsung saya bilang sambil menyitir  ungkapan Shakespeare, "Apalah pak arti sebuah nama!"  
Ketika mengaso sejenak di ruang tamu beberapa menit kemudian, bapak tersebut  mengeluarkan sebuah  pispot  untuk menyajikan  pisgor (pisang goreng).  Merasa jijik saya pun berkata, "Bapak kenapa  pispot  ini diisi dengan   pisgor?"
Dengan santai bapak itu pun berkata, "Saudara, Ini  pispot  baru dan amat bersih serta  belum pernah dipakai oleh siapa pun."  Katanya lagi, "Apalah arti sebuah nama!"
Saya tidak tega makan pisgor tersebut,  karena namanya saja  pispot, meskipun bersih dan tidak akan pernah dipakai untuk tempat  urine,  tetap pispot.
Rabu, 24 Juli 2013   Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 26 Juli 2013

Melibatkan Diri

MELIBATKAN DIRI
(Kontemplasi Peradaban)
 
Ada seorang yang amat sibuk dengan pelbagai kegiatan. Katanya pada suatu hari, "Kita harus terlibat dengan pelbagai kegiatan. Jika di pasar jadilah pedagang. Jika di sawah jadilah petani dan jika di sekolah jadilah murid!"  Kita menceburkan diri ke dalam aktivitas dan hangus di dalamnya. "Cinta untuk untuk rumah-Mu menghanguskan aku" (Yoh. 2: 17).

Dalam melibatkan diri, seseorang bisa terjun secara  total, namun juga ada yang setengah-setengah. Keterlibatan itu bisa dari urusan rumah tangga yang remeh-temeh, namun juga bisa intervensi sebuah negara yang menguras energi dan pemikiran.  

Orang yang melibatkan diri dalam suatu perkara harus memiliki komitmen yang tinggi dan berani menanggung resiko. Fulton Sheen (1895 – 1979)  dalam bukunya yang berjudul   Kristus menulis, "Wanita-wanita Israel membungkam, tetapi wanita kafir ini, Claudia  tampil membela ketidakbersalahan Yesus serta mohon kepada suaminya, Ponsius Pilatus, supaya memperlakukan Dia secara adil" (hlm. 378). Kita tahu bahwa pada zaman itu, tiada seorang wanita pun diperbolehkan campur tangan dalam proses peradilan atau mengajukan sesuatu usul mengenai prosedur perundang-undangan. Barangkali peristiwa ini merupakan emansipasi pertama dalam dunia. Menurut etimologi, kata emansipasi berasal dari ex = keluar,  manus = tangan, cupere = membawa. Jadi Claudia itu berani  "mengunjukkan tangan" atau  menampilkan diri (Bdk. Felix Lengkong,  Millis Pineleng: 27 Januari 2012)   Lihat saja para pendekar emansipasi wanita, seperti R.A Kartini (1879 – 1904),  berani melibatkan diri untuk mengangkat derajat dan martabat kaumnya.

Orang yang melibatkan diri dalam suatu perkara tidak hanya menyumbangkan ide atau gagasan, melainkan "terjun langsung" menanganinya. Tangan atau manus, sebagai media utama  untuk melibatkan diri, diambil   menjadi istilah dalam biara-biara, "labor manualis" yang berarti kerja tangan.  Ada saat-saat tertentu bahwa para biarawan-wati  terlibat langsung untuk kebersihan biara mereka. Maka tidak mengherankan jika Abert Durër ( 1471 – 1528) melalui lukisannya yang berjudul Tangan yang Berdoa  memberikan pemahaman kepada kita bahwa tangan dalam lukisan tersebut adalah tangan yang kasar karena bekerja sebagai buruh demi biaya sahabatnya itu.  Sahabat dari Durër ini, melibatkan diri untuk sebuah kesuksesan orang lain. Ir Sukarno (1901 – 1970)  dalam Sarinah menulis, "… belum pernah ada orang yang belajar sesuatu hal dengan tidak bekerja. Orang tak dapat belajar berenang dengan tidak terjun ke dalam air. Orang tak dapat belajar menjahit, jika orang tidak mulai mengambil jarum di dalam tangannya…" (hlm. 221).  Manusia diminta supaya menggunakan tangganya terus-menerus  dalam melakukan pekerjaan yang baik sebagaimana Kristus telah menyelsaikan tugas yang diserahkan kepada-Nya oleh Bapa (Yoh 4: 34; 9: 4; 18: 4; Ibr. 10: 5, 7).

Ketika orang terjun dalam pekerjaan, Mahatma Gandhi ( 1869 – 1948) berkata, "Berbuatlah, tetapi jangan mencari buah perbuatanmu. Perbuatanmu mengalirkan siapakah dirimu sebenarnya, itulah buah. Hal ini sedikit banyak seperti jatuh cinta – ketika cinta mengalir ke luar begitu saja kepada orang Anda cintai."  Keterlibatan kita dalam masyarakat tidak perlu menghitung  "untung-rugi".  Kita berkarya secara total dalam   seumur hidup  (lifetime achievement).  Penulis, pelukis, penyanyi, pemimpin dan guru serta profesi lain yang melibatkan diri secara total adalah mereka yang menggunakan tangan-tangannya untuk berbuat baik. Mereka itu memiliki prinsip hidup, I do good, I intend good, I am good – "betindaklah yang baik, niat yang tulus dan menjadi baik.
 
Sabtu, 20 Juli 2013   Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 21 Juli 2013

Antusias

ANTUSIAS
(M   o   t   i   v   a   s   i)
 
          Ada seorang  orator  yang berpidato di atas podium dengan penuh semangat dan berkobar-kobar.  Para pendengar tersihir dengan apa yang dikatakan. Mereka sangat antusias mendengarkan pidato  singa podium itu.
          Antusias! Adalah sebuah kata yang sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari. Bahkan saya pernah naik  angkot (angkutan kota) dan di sana sang sopir berkata kepada saya,  si penumpang, "Sobat, antusiasme terhadap  FaceBook  sekarang besar sekali ya?" Kemudian  saya pun menjawab, "Iya benar. Jika setiap orang memiliki antusiasme yang tinggi  terhadap pekerjaannya masing-masing, maka dunia ini menjadi indah sekali." Di sini antusiasme diartikan sebagai minat besar terhadap sesuatu: kegairahan, gelora semangat,  passion.  
          Antusiasme para prajurit  sangat tergantung dari komandannya. Dan seorang komandan yang tukang komando itu adalah orang yang pertama-tama pemberi antusiasme. Buku yang berjudul  The Best  of  Chinese Wisdom  tulisan Leman, menceriterakan tentang strategi sang komandan, bahkan jendral.  Melihat para tentara dalam kondisi lelah, akhirnya Cao Cao  –  penguasa Wei dan jendral yang sangat disegani –  memerintahkan mereka untuk beristirahat. Ketika para prajurit sangat kehausan, ia menemukan sebuah ide. Ia membisikkan sesuatu kepada salah seorang prajutinya. Sesuai instruksi, prajurit tersebut pun berangkat menunggang kuda. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan berita, "Ada kabar baik. Ada kabar baik. Di sana ada pohon plum, buahnya besar-besar!!" Mereka dengan bersemangat langsung berdiri dan berangkat mengikuti prajurit yang membawa berita tersebut. Mereka tidak menemukan buah plum. Namun antusiasme yang dimunculkan oleh keinginan menikmati buah plum itu telah membuat mereka berdiri, bergerak dan berjalan serta akhirnya berhasil membawa mereka ke daerah yang tidak lagi gersang dan tandus (hlm. 99 – 100).     
Orang menjadi antusias dengan membayangkan atau memimpikan sesuatu yang hendak dicapai. Bahkan George Lucas (lahir tahun 1944, sutradara  Star Wars  dan Pencipta  Trilogi  Indiana  Jones)  pernah mengatakan bahwa impian itu sangat penting. Katanya lagi, "Kita tidak bisa berbuat apa-apa sebelum membayangkannya."  Seorang karyawan muda yang  membayangkan sebagai direktur perusahaan akan lebih antusias daripada mereka yang tidak memimpikan masa depannya.  Bukankah orang tidak akan pernah bisa "terbang" kalau Wright bersaudara ( Orville Wright: 1871 – 1945 dan Wilbur Wright: 1867 – 1912)  tidak pernah membayangkan untuk menerbangkan manusia?  
Dari berbagai motivator yang ada, Norman Vincent Peale (1898 – 1993) adalah salah seorang yang suka menggunakan kata-kata antusias. Dalam bukunya yang berjudul  Enam Sikap Pemenang, ia menuliskan antusiasme dalam hidup sehari-hari.  Peale mensitir kata-kata William Danforth (1870 – 1955), seorang pemimpin bisnis terkenal, "Setiap pagi berdirilah tegak. Lalu pikirkanlah hal-hal yang tegak dan  yang besar. Lalu keluarlah dan berbuatlah kebesaran. Lakukan itu, maka sukacita akan mengalir kepada Anda. Sebarkanlah antusiasme sepanjang hari dan pada malam harinya Anda memiliki simpanan sukacita yang melimpah…" (hlm. 38).
Antusias itu sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yanani, en-theos yang artinya di dalam Tuhan.  Paulus dalam surat nya kepada orang-orang Kolose menulis, "Dalam segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita"  (Kol 3: 17).
(Sudah dipublikasikan di  Tribun Manado)
Rabu, 17  Juli 2013   Markus  Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 19 Juli 2013

JALAN
(Kontempasi Peradaban)
         
Ketika saya hendak berkunjung kesalah satu keluarga di Manado – di bilangan kota Teling, saya agak heran karena dulu nama jalan itu adalah Jalan Anoa. Tetapi sekarang nama Jalan itu sudah tidak ada dan yang masih ada adalah Jalan 14 Februari.  Setelah saya bertanya kepada penduduk setempat, ternyata nama Anoa itu telah di-pleset-kan ("digelincirkan") oleh penduduk lain, menjadi akronim: Anak Nakal Otak Anjing. Padahal nama Anoa (hewan endemic Sulawesi) itu indah. Karena nama Jalan itu menjadi  "tidak baik" orang-orang yang tinggal di Jalan Anoa tersebut sengaja menghilangkan nama yang indah itu, Anoa.
Tahun berikutnya (2112), saya mengadakan perjalanan ke Jawa Barat. Di sepanjang jalan saya merasakan ada kejanggalan, ketika melihat nama-nama Jalan di sana. Di sana tidak ada nama Jalan yang  menggunakan nama  Gajah Mada. Sekonyong-konyong terbersit dalam pikiran saya dengan novel  yang pernah saya baca yang berjudul  Perang Bubat  yang terjadi tahun 1357 tulisan Langit Kresna Hariadi. Dalam novel tersebut, dikisahkan tentang Dyah Pitaloka putri Raja Galuh Pajajaran. Dalam perang Bubat tersebut, Patih  GajahMada (circa 1290 – 1364 ) amat berperan besar. Mungkin itulah nama Gajah Mada sengaja dilupakan, bahkan ingin dihapus dari ingatan negeri Parahiyangan. Wallahualam bi shawab!!
Mengontemplasikan makna Jalan, kita diajak untuk memasuki relung-relung kehidupan itu sendiri, dari Jalan yang biasa (street atau road) hingga Jalan menuju kepada keabadian (eternity).Maka tidak mengherankan jika muncul kata  sirotol mustaqim  (jalan menuju surga), yang menurut bahasa Injil adalah sempitlah jalan menuju kesurga (Mat 7: 13 – 14).
Orang seperti saya yang terlahir di  ndesa kluthuk  (desa yang sangat udik) tentu banyak pengalaman mengenai Jalan. Saya masih teringat bagaimana di  sepanjang jalan desa kami ada  kendi yang diletakkan di depan rumah oleh tuan rumah. Ternyata  kendi-kendi  tersebut disediakan bagi orang-orang yang mengadakan perjalanan dari desa ke desa (zaman dulu belum ada kendaraan dan listrik pun belum masuk). Keramahtamahan dari tuan rumah pada zaman itu sungguh luar biasa. Para  "peziarah" itu dengan mudah bertanya arah mana yang harus ditempuh (Bdk. Peribahasa,  "Malu bertanya sesat di jalan"), apalagi banyak persimpangan. Pada waktu itu memang belum ada petunjuk jalan, rambu-rambu maupun marka yang menjadi fasilitas bagi para pengguna jalan seperti zaman sekarang ini.
Sebuah jalan bisa menjadi kenangan, seperti lagu yang berjudul,  "Sepanjang Jalan Kenangan" ciptaan Is Haryanto dan dipopulerkan oleh Tetty Kadi (1969). Menjadi kenangan karena – barangkali – di jalan tersebut untuk pertama kali berjumpa dengan kekasih hati. Jalan menuju kotaWonosari – Gunung kidul dulu ada Jalan yang namanya  Irung Petruk (hidung Petruk) yang bentuknya seperti hidung  Pinokio (Novel ini ditulis oleh Carlo Collodi yang lahir di Florence 1826 – 1890). Orang-orang yang sedang jatuh cinta dan berduaan naik kendaraan bermotor akan mengatakan bahwa mereka memasuki  "tikungan mesra." Pengalaman seperti inilah yang menjadi kenangan. NH Dini dalam novelnya yang berjudul  Sebuah  Lorong di Kotaku, menceritakan tentang sebuah lorong yang memberi kenangan di masa kecil. Kita pun tentu memiliki kenangan tersendiri di sepanjang Jalan hidup ini. Petrus – Paus Pertama memiliki pengalaman tersendiri mengenai Jalan. Di Jalan Appia atau Via Appia, Petrus hendak melarikan diri dari penyiksaan dan pembantian orang-orang Kristen  di kota Roma. Sementara hendak keluar dari kota Roma  di Via Appia, ia bertemu dengan seseorang dan berkata,  "Quo vadis Domini?"  Dan "Tuan" itu  pun berkata, "Aku hendak ke Roma untuk disalibkan kedua kali." Dari sanalah Petrus sadar bahwa  "Tuan" itu adalah Yesus (Kisah selengkapnya bisa dibaca dalam novel berjudul  Quo Vadis tulisan Henryk Sienkiewicks).
Jalan bagi The Beatles – group music dari Liverpool dipandang sebagai jejak-jejak kehidupan.  Syair yang berbunyi,   "The long and  winding road" mengajak kita untuk mengontemplasikan akan kehidupan yang panjang dan penuh liku. Dan kadang dalam menapaki Jalan ini, kita mengalami banyak susah-derita. MalahanYesus bersabda, "Setiap orang yang mau mengikuti Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikuti Aku"  (Bdk. Luk 9:   23). Tidak heran jika tradisi kekatolikan menanamkan Jalan salib atau  Via  Dolorosa  (JalanPenderitaan) sebagai sarana untuk menghayati kehidupan Yesus. Jalan Salib menjadi permenungan umat manusia. Melalui Jalan Salib itu, kita merenungkan akan penghakiman terhadap orang yang tidak berdosa  (Yesus diadili secara tidak adil), diolok-olok (orang-orang yang menertawakan dan mencibir), jatuh dalam perjalanan (Yesus Jatuh tiga kali), perjumpaan dengan orang-orang yang tulus (Simon dari Kirene dan Veronica), ditolong oleh orang-orang yang prihatin (ibu-ibu Yerusalem yang menangisi Yesus), dipukul dan disiksa (algojo-algojo Romawi) akhirnya diancam dan dibunuh.
Jalan dalam bahasa Jawa diartikan sebagai  dalan.  Orang yang hidupnya tidak lurus disebut sebagai orang yang  "orandalan"  yang  berarti hidupnya tidak tahu aturan. Jalan – dengan demikian – dikandung maksud suatu arah, pedoman dan tujuan. Oleh karena itu, tidak salahlah jika hakekat jalan pun memiliki makna  religious.  Jalan menuju keabadian.  Orang-orang Mesir meyakini bahwa untuk menghadap  Osiris perlu peta atau denah yang ditaruh di bawah kepala orang yang yang sudah meninggal. Mereka beranggapan bahwa peta itu merupakan petunjuk arah menuju Osiris (dewa bawah tanah dan hakim orang mati). Bagi orang Yunani, orang yang meninggal itu dalam bibirnya diselipi koin emas. Ini dipakai untuk  "membayar"  orang yang menyeberangkan sungai dan bertemu dengan Dewa  Hades (Dewa Kematian).  Orang-orang Katolik mengenal yang namanya  viaticum yang adalah sakramen bagi orang-orang yang dalam sakit berat dan sebagai bekal Jalan  (via) menghadap Bapa di surge atau  viaticum  dalam bahasa Teologi diartikan sebagai  "makanan bagi yang mengadakan perjalanan." Komuni suci yang diberikan kepada orang yang akan meninggal untuk menyiapkannya bagi kehidupan yang akandatang.
Jalan juga sering diartikan sebagai  way of life – cara hidup.  Maka tidak mengherankan jika Yesus menyebut diri-Nya sebagai Jalan.  Via vita, via verita  – Jalan Kehidupan dan Jalan Kebenaran (Bdk.  Yoh 14: 6). 
Sebenarnya saya hendak menutup tulisan ini seperti yang ditulis oleh Thomas Aquinas (1225 – 1274). Ia berbicara secara analog mengenai Allah dengan merumuskan:  Via Affirmationis  (Jalan Peneguhan),  Via Negationis (Jalan Penyangkalan) dan Via Eminentiae  (Jalan Mulia). Tetapi sementara berpikir-pikir untuk menyusun kata-kata, sahabat saya mengajakku Jalan-Jalan. Dalam benakku sempat terpikir bahwa  Jalan-Jalan itu tidak memiliki tujuan,  sekadar  mlaku-mlaku  (bahasa Jawa) atau  sirèng-sirèng  atau  klinthong-klinthong  atau  sightseeing.  Namun supaya tidak mengecewakan yang mengajak  Jalan-Jalan, saya mencoba untuk memaknai  Jalan-Jalan itu sebagai suatu Perjalanan (journey). Maka tidak mengherankan jika perjalanan hidup itu pun harus ditulis dalam Buku Jurnal.  Hidup adalah suatu Perjalanan dan bukan hanya Jalan-Jalan, pun pula bukan Jalan di tempat. Einstein (1879 – 1955) pernah berkata, "Sepeda itu baru bisa Jalan kalau bergerak dan tidak jalan di tempat. Dan jika tidak bergerak maka akan jatuh."  Kita pun sudah layak dan sepantasnya dalam  nglakoni  (bahasa Jawa dari kata: laku, mlaku  yang berarti Jalan) hidup ini dengan bergerak, "Yok  Jalan!"
Senin, 15 Juli 2013  Markus  Marlon

 
Sent by PDS
http://www.birotiket.com/?id=PDSTiket

Kamis, 18 Juli 2013

SEMANGAT
(M   o   t   i   v   a   s   i)
 
          Malam hari, ketika saya hendak masuk di sebuah restoran di Jl. Malioboro – Jogjakarta, para pramusaji menyapa kami secara serentak, "Semangat Pagi!!"
          Agak setengah heran dan terkejut saya bertanya kepada salah seorang dari mereka. Jawabnya, "Om,  kami di sini dimotivasi oleh General Manager, agar selalu semangat. Ungkapan semangat pagi yang tadi kami katakana itu  hendak menunjukkan bahwa kami  memiliki  semangat pagi  meskipun seharian bekerja hingga malam hari"  
          Semangat diartikan sebagai kemauan dan gairah untuk bekerja dan berjuang, "Hendaknya diusahakan supaya semangat bekerja dan jangan sampai luntur!" Semangat ini yang dalam bahasa motivasi disebut sebagai  passion.
          Ada beberapa kisah tentang orang-orang yang terpuruk namun bangkit lagi karena ada semangat. Dalam buku yang berjudul  1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa  ditulis, "Pada waktu setelah ditinggal Pram, kita pergi dari rumah dengan hanya baju yang menempel. Kalau kotor, cuci-kering langsung pakai lagi. Kita dibilang anak PKI-lah. Mereka menjauhi kita." Tulisanya lagi, "Tapi kita satu keluarga, setiap minggu selalu berkumpul. Kita ngobrol, harus bagaimana lagi? Lalu kita sekeluarga berpikir, kok kita mau  diginiin  orang? Ayo kita bangkit! Kita sampai jual kue dan macam-macam" (hlm. 94).  Orang bisa menjadi semangat dan bergairah karena sudah merasakan keterpurukan hidup. Mungkin benar  ungkapan yang berbunyi, "Sudah bosan menjadi orang miskin!" Maka orang menjadi semangat kerja supaya hidup lebih baik.
          Semangat  dan gairah karena dalam dirinya ada target yang hendak dicapai. Hal ini seperti yang dibuat oleh Yakub. Yakub harus bekerja selama tujuh tahun untuk Rahel, namun  "tujuh tahun itu dianggapnya seperti beberapa hari saja, karena cintanya yang besar kepada Rahel" (Kej 29: 20). Lihat juga bagaiman seorang ibu yang banting tulang dari pagi hingga malam dan tidak merasa lelah. Ibu muda itu berkata, "Saya bekerja sepertinya kepala jadi kaki dan kaki jadi kepala –  jempalitan – ini semua saya lakukan karena cinta kepada anak-anakku yang masih kecil-kecil."
          Dalam buku-buku motivasi, kita sering mendengar adanya orang yang bekerja hingga lupa waktu karena sungguh-sungguh mencintai pekerjaannya. Misalnya, orang yang  hobby-nya menyanyi kemudian ditawari rekaman. Orang ini merasa bahwa tarawan itu merupakan,  "Pucuk dicinta ulam tiba" dan tentu saja dalam rekaman itu akan menghasilkan sesuatu yang maksimal.  "Hobby yang menjadi pekerjaan" kata orang "Itu amat membahagiakan!"
          Suatu malam, ketika Thomas Edison (1847 – 1955)  pulang dari tempat kerjanya, istrinya berkata kepadanya, "Engkau sudah bekerja cukup lama tanpa istirahat. Baiklah engkau pergi berlibur!"
          "Akan tetapi, ke mana aku harus pergi?" Tanya Edison
          "Putuskan saja di tempat mana engkau lebih senang berada dibanding tempat lain di bumi ini," saran istrinya.
          "Baiklah istriku!" Akhirnya ia berkata, "Aku akan pergi besok!"
          Keesokan paginya ia kembali bekerja di  laboratorium-nya.
(Sudah dipublikasikan di Tribun Manado, 6 Juli 2013)
Jumat, 12 Juli 2013  Markus Marlon

Powered by Telkomsel BlackBerry®