Sabtu, 14 November 2015

Memimpin

MEMIMPIN
Kontemplasi Peradaban
 
“Omnia orta
occidunt” – Siapa saja yang
 naik berkuasa suatu ketika ia juga akan turun.
 
 
Pilkada sertentak (9 Desember  2015)  akan digelar. Masing-masing partai sudah mulai mengelus-elus jagonya.  Ingar-bingar pesta demokrasi tentunya akan menyerap dana miliaran rupiah,  bahkan (mungkin) triliyunan rupiah. Semoga saja dengan dana serta energi dari para calon tersebut, akan “ditemukan” para pemimpin daerah dan walikota yang  mumpuni.      
Rakyat merindukan pemimpin yang bijaksana, rakyat mendambakan pemimpinan yang adil, rakyat mencita-citakan seorang pemimpin yang mampu mengentaskan dari keterpurukan ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Suara rakyat adalah suara Tuhan, “Vox populi, vox Dei”. Itulah sebabnya amanat yang diberikan kepada para pemimpin, janganlah dicederai.
Banyak teori kepemimpinan yang sejatinya terarah kepada rakyat yang dipimpinnya. Dari para pujangga Jawa kita mengenal ajaran seperti:  Asthabrata,  Dasa Darma Raja,  Wulang Reh  dan  Tripama. Dari empat karya tersebut, kita bisa mengenal  delapan watak yang tunggal seorang pemimpin (Bumi, Matahari, Rembulan, Angin,  Samodra, Api,  Kartika, Mendhung). Juga sepuluh watak kebajikan dalam kepemimpinan (Paciraga, Ajava, Dhana, Tapa, Susila, Madava, Akrodha, Kanthi, Avirodhana, Avihimsa). Lantas kita kenal empat kode etik kepemimpian dalam  “Wulang Reh” dan tiga rujukan tokoh kepemimpinan yakni: Patih Suwando, Adipati Karna dan Kumbakarna (Bdk. Buku dengan judul,  “Sang Pemimpin”  tulisan Pardi Suratno).
Sejujurnya, rakyat tidak akan banyak menuntut atau neko-neko terhadap pemimpinnya.  Hal yang diharapkan dari mereka hanyalah tercukupinya kebutuhan primer: sandang-pangan-papan. Kita mungkin ingat akan kata-kata dari Juvenalis (60 – 140) penulis Romawi, “Panen et circenses”. Kelompok  yang dulu memberikan perintah, jabatan (politik), tentara dan semuanya kini mereka tidak mengurus apa-apa lagi dan mereka hanya mendambakan dua hal yaitu roti dan permainan. Rakyat disuguhi roti dan hiburan  (para gladiator yang sedang berlaga) agar rakyat tidak berontak.  Apa yang dibuat sang pemimpin,  tentu hanya menyejahterakan sebagian orang saja. Padahal, di sini pemimpin diharapkan menjadi payung, pangayom dalam menyejahterakan rakyat.
Kita jadi ingat kisah  heroic dari Umar bin Khattab (579 – 644) yang  rela memanggul beras berkeliling mencari warganya yang kelaparan (memerintah pada tahun 634 – 644). Atau penulis yang menamakan diri Multatuli.  Multa tuli (Bhs. Latin)  arti secara harfiah adalah “aku telah banyak menderita”. Perkataannya   terekam dalam  sebuah buku  yang berjudul,  “Max Havelaar”. Tulisnya, “Apa yang kita makan, minum, pakai dan sebagainya, alangkah bahagianya kalau itu bukan pemberian orang, bukan belas kasihan orang, melainkan keringat kita sendiri” (Bdk. “Tempo Intermezo” – Secangkir Kopi untuk Havelaar, 20 Juni 2010).  Seorang pemimpin berusaha untuk memberdayakan rakyatnya agar mandiri (berdiri atas kaki sendiri).
          Menjadi pemimpin tidaklah mudah seperti  membalikkan tangan. Menjadi pemimpin pertama-tama (seharusnya) memiliki kematangan emosi dan afeksi yang baik.  Pepatah Latin menulis, “Regnare nolo liber ut non sim mihi” – Aku tidak mau berkuasa jika terhadap diriku sendiri aku tidak menjadi orang bebas. Bagaimana mungkin menjadi pemimpin kalau dalam dirinya terbelenggu dengan orang-orang yang mendektenya. Sebenarnya apa yang ada di dalam dadanya adalah untuk memakmurkan rakyatnya.
Demikianlah kita tidak boleh lupa akan sejarah para pemimpin kita terdahulu. Tahun 1925 salah satu pendiri bangsa  yang kemudian menjadi ketua DPR pertama (dulu bernama KNIP), namanya  Kasman Singodimedjo (1904 – 1982). Dalam pidatonya, ia sempat  melukiskan sosok H. Agus Salim (1884 – 1954). Singodimedjo pun berkata, “Jalan pemimpin itu bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah menderita” – een leidersweg is een lijdensweg. Leiden is lijden.  Sekali lagi, itulah arti dari Multatuli. Yesus Kristus sendiri telah mengatakan beberapa abad yang lalu,“…Son of Man did not come to be served, but to serve...” – Anak Manusia  datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani ( Mrk 10: 45).
Akhirnya, kontemplasi ini akan saya akhiri dengan kisah sejarah yang sudah melegenda. Raja Harun Ar-Rasid (766 – 809) adalah kalifah kelima dari kekalifahan Abbasiyah dan memerintah tahun 786 – 803.  Ada banyak kisah tentang Raja Harun Ar-Rasid. Syahdan, raja itu terkenal karena sering menyamar sebagai rakyat jelata. Kadang-kadang baginda menyamar sebagai penjual martabak. Pernah pula sebagai seorang pengemis tua di pinggir jalan.
          Itulah yang disebut incognito. Menanggalkan segala keagungan, lalu menyamar sebagai orang yang tidak dikenal. Ber-incognito atau secara diam-diam menempatkan diri di tempat orang lain adalah cara yang paling baik kena untuk menyelami dan merasakan kenyataan yang sesungguhnya.

Jumat, 23 Oktober 2015   Markus Marlon

Tidak ada komentar: