Sabtu, 11 Juli 2015

MENTANG-MENTANG
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Asperius nihil est humili,
 cum surgit ini altum – tidak
 ada yang lebih beringas daripada
 ketika seorang yang berasal dari kalangan
rendah menduduki jabatan tinggi (Claudianus).
 
       Ketika saya berdarmawisata  di taman Prasejarah  Leang-Leang – Maros – Sulawesi Selatan (Selasa, 2 Juni 2015),  tidak sengaja mata saya tertuju pada sebuah warung kecil – mungkin milik orang Jawa – yang di pintunya bertuliskan demikian,
“Lamun siro banter ojo nglancangi” – sekalipun kamu bisa berlari kencang, tidak usah mendahului. “Lamun siro pinter  ojo ngguroni” – sekalipun kamu pintar jangan menggurui.  
 
          Kata mutiara berbahasa Jawa tersebut di atas,  hendak mengatakan bahwa dalam berelasi dengan sesama, manusia tidak boleh sewenang-wenang  dan mentang-mentang, meskipun memiliki kewenangan.  Diharapkan  ada toleransi maupun apresiasi terhadap orang lain, pun kepada mereka yang “derajatnya” di bawahnya.
          Mungkin kita pernah menjumpai atau mengalami sendiri bahwa ada orang yang memiliki  “kuasa” tiba-tiba lupa diri. Ia lupa bahwa jabatan diterima itu ada batasnya. Pada suatu saat nanti ia akan menjadi “bukan siapa-siapa,” nothing.
Mengenai hal ini saya punya pengalaman yang mungkin baik untuk di-share-kan.  Pernah saya jalan-jalan di sebuah wisma orang tua-tua para biarawan. Saya makan siang bersama dalam suasana kekeluargaan. Tetapi di pojokan ruangan, saya melihat seseorang yang memiliki raut wajah tegas dan kuat namun tubuhnya lunglai dan tak berdaya duduk di kursi roda. Lantas saya bertanya kepada temanku itu, “Hai sobat, siapa dia itu  koq  teman-temanmu yang masih muda-muda  tidak peduli terhadapnya?” Dengan tenang dia berkata, “Oh!!  orang itu beberapa tahun lalu pernah menjadi pemimpin kami. Tetapi sebagai pemimpin, tidak ada toleransi apalagi apresiasi terhadap anggotanya. Mungkin dia mengira  bahwa mandat  yang diberikan itu untuk selamanya.”  Tambahnya lagi, “mentang-mentang menjadi pemimpin, ia sewenang-sewenang dan sekarang  tuh liat,  tidak ada yang memedulikan!”
Saya terpekur dengan apa yang dikatakan sobat-ku tadi  dan dalam hati saya mbatin, “Rupanya pengalaman  ditindas oleh mereka yang menyalahgunakan wewenangnya itu akhirnya berimbas pada sakit hati.” Erasmus (1466 – 1536) menulis,  “laedere facile, mederi difficile” – menyakiti hati itu mudah, tetapi menyembuhkannya susah.
Siang itu saya hendak pulang dan pamitan kepada mantan pemimpin di kursi roda dan saya sempat mengulik buku yang dibacanya. Ia membaca buku yang berjudul, “Biografi Nelson Mandela” (1918 – 2013). Di bawah foto Mandela itu bertuliskan, “Memaafkan itu tidak mengubah masa lampau, tetapi mengubah masa depan”.  Dalam hati  saya berkata, “Semoga para biarawan muda itu mampu memaafkan mantan pemimpin yang  mentang-mentang”.  
Terus saya keluar  melewati kebun biara yang indah. Tidak sengaja saya menginjak pot bunga yang sedang digarap oleh tukang kebun. Tiba-tiba, tukang kebun  itu berkata, “Mentang-mentang  pakai sepatu bagus,  injak tanaman sembarangan!”  Saya diam saja, pura-pura tidak dengar.
 
Kamis, 9 Juli 2015    Markus Marlon

Tidak ada komentar: