JALAN SEMPIT
“Et arcta via est, quae ducit ad vitam” – dan sempitlah jalan yang menuju kepada kehidupan (Mat 7: 14).
“Pernahkan kita mengalami hidup itu terasa nyaman, sepertinya tidak ada masalah?” Seolah-olah jalan begitu lebar dan luas, tanpa gangguan. Tetapi tiba-tiba dalam kasus lain, sepertinya jalan begitu berat dan akhirnya kita menyerah.
Setiap saat, kita senantiasa diperhadapkan pada pertanyaan dalam diri, “Saya akan ikut jalan mana?” Para tetua penduduk asli Amerika memberikan petuah kepada anak-anak muda supaya berani melangkah di jalan yang sempit dan berkelok-kelok, menanjak dan melintasi gunung-gunung terjal. Mereka menambahkan lagi, “Jalan itu penuh dengan begitu banyak kesulitan dan rintangan dan hanya yang kuatlah yang bisa mencapai puncak gunung.” Melalui legenda itu, para orang tetua suku Indian mengajar anak-anak bahwa bahwa jalan yang paling mudah bukanlah jalan yang terbaik.
Ronggowarsito (1802 – 1873 ) yang popular dengan “jaman edan”-nya memberikan ulasan tentang kehidupan manusia yang tidak mau ikut arus. Ia memuji orang yang waspada dan tidak lupa, “… begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada” – Namun bagaimana pun juga betapapapun nikmatnya kehidupan mereka yang ikut menjadi edan, masih lebih bahagia mereka yang tetap mempertahankan kesadarannya. Kalau kita ikut arus zaman edan tersebut, akan banyak teman yang pasti hidup lebih terjamin di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus hidup di jalan yang benar, karena “invia virtuti nulla est via” – untuk sebuah kebajikan tidak ada jalan yang tidak bisa dilalui.
Hal yang sama juga apa yang ditulis oleh Richard Bach (lahir 23 Juni 1936) yang terkenal dengan buku the best seller-nya yang berjudul, “Jonathan Livingstone Seagull”. Si camar itu berani meninggalkan cara hidup yang biasa-biasa saja. Semua burung lain melarangnya, namun ia tetap berpendirian untuk menjadi “yang lain” dan akhirnya menemukan kebahagiaan. Lain dengan cerita yang dikisahkan Antony de Melo (1931 – 1987) dalam bukunya yang berjudul “Burung Berkicau” di sana ada orang lebih senang ikut masyarakat umum dan mengikuti cara hidup mereka (ikut arus) dan memang terasa nyaman.
Masih tentang “jalan sempit”. Salah seorang murid Socrates yang bernama Cebes menulis di dalam bukunya yang berjudul, “Tabula” demikian, “Apakah engkau melihat sebuah pintu kecil yang ada di depannya, namun tidak ramai serta hanya sedikit saja yang melaluinya ?” Itulah jalan yang menuju kepada pengajaran sejati (Bdk. William Barclay dalam bukunya yang berjudul, “Pemahaman Alkitab Setiap hari Injil Matius”, hlm. 454). Jalan sempit yang menyelamatkan juga ditulis oleh John Bunyan (1628 – 1688) dalam bukunya yang sangat terkenal bahkan monumental, “The Pilgrim’s Progress”. Bunyan menulis bahwa jalan sempit itu penuh resiko dan tantangan, “Siapa takut?”
Senin, 19 Oktober 2015 Markus Marlon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar