Senin, 17 Oktober 2011

KAMBING HITAM

KAMBING HITAM
(Sebuah Percikan Permenungan)

Yang namanya melemparkan kesalahan kepada orang lain atau
mengkambinghitamkan orang lain itu senantiasa nampak dalam sktesa kehidupan
kita. Dan biasanya yang menjadi korban adalah wong cilik, yang tidak
berdaya. Ini memang dapat dimaklumi karena memang mereka tidak memiliki
apa-apa, sehingga yang ada hanyalah "salah dan kalah". Orang miskin dalam
cerita jawa sering disebut sebagai tumbal. Disebut tumbal karena
diperlakukan tidak adil serta sewenang-wenang oleh mereka yang bertindak
culas dan tentu saja yang diinjak-injak itu tidak mempunyai perlawanan yang
seimbang. Akhirnya menjadi apatis, karena meskipun berjuang dengan daya
upaya, para penguasa tidak memiliki telinga (lagi) untuk mendengarkan.
Kisah wong cilik ini akan begitu nyata dalam cerita pewayangan dengan judul
"Bale Sigala-gala". Ceritanya mengisahkan usaha Kurawa membinasakan para
Pandawa, ketika mereka masih remaja. Bale Sigala-gala dirancang oleh arsitek
Astina bernama Purucona atas petunjuk Mahapatih Sengkuni. Dinding
pesanggrahan itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar. Namun ternyata
mereka bisa lolos. Lalu ditemukan 6 orang yang terbakar. Mereka adalah para
pengemis yang "numpang tidur" yang dikiranya adalah para putra Pandawa dan
ibunya, Kunthi. (Bdk. "Mahabaratha", tulisannya Nyoman S. Pendit). Para
pengemis itu adalah orang yang tidak punya suara atau voiceless. Mereka
tewas karena keserakahan para penguasa. Proyek-proyek pemerintah seperti
pendirian mall, lapangan golf dan jalan toll senantiasa menimbulkan korban.
Penggusuran pun terjadi sewenang-wenang sehingga jeritan dan terikan serta
tangisan orang-orang miskin itu tidak digubris lagi. Inilah negeri nyiur
melambai yang dulu terkenal dengan keramah-tamahannya. Namun saat ini negeri
ini penuh dengan ingar-bangar kekerasan, demo dan amuk massa.

Tetapi sebenarnya kisah "kambing hitam" itu bisa kita lihat dalam Kitab
Suci. Harun meletakkan kedua tangannya di atas kepala kambing jantan yang
masih hidup dan mengakui segala kesalahan dan pelanggaran mereka. Setelah
itu, kambing dilepaskan di padang gurun. Demikianlah dosa dan kesalahannya
sudah dibawa si kambing jantan itu. (Im 16: 20 – 22). Kisah kambing jantan
tersebut – barangkali – menjadi cikal bakal terjadinya kambing hitam. Tidak
jauh beda dari itu, dalam tradisi Jawa ada kisah di gunung Bromo yakni suku
Tengger. Dikisahkan ada ibu janda yang bernama Roro Anteng, yang memiliki
banyak anak. Pada waktu itu gunung Bromo mengalami kegoncangan hebat. Untuk
membuat harmoni alam semesta, maka bumi meminta "korban". Kerelaan Joko
Seger, putranya yang bungsu untuk mengorbankan diri itu merupakan
penyelamatan alam semesta.

Kisah-kisah kambing hitam yang besar setelah penyaliban Yesus ada dalam
diri Socrates (469-349 BC). Model pengajaran yang dipakai oleh Socrates
adalah mencari kebenaran dengan model dialog. Kebenaran sejati yang
ditemukan oleh Socrates itu ternyata menohok para pejabat pemerintahan kota
Athena. Tentu saja mereka kebakaran jenggot dan konsekuensi logis dari itu
semua adalah bahwa dirinya harus disingkirkan. Maka, dicarinya "kambing
hitam". Socrates yang adalah filsuf, dianggap oleh pemerintahan kota Athena
sebagai orang yang memengaruhi kejahatan kaum muda. Socrates dihukum mati
dengan meminum racun kalau tidak mau menarik ajaran-ajarannya. Tetapi
Socrates tidak mau menarik ajarannya dan dia berani untuk membela ajaran
yang diyakininya. Ia mati dengan minum racun untuk membela kebenaran. (Bdk.
Buku judul, "Peradilan Socrates") Kisah yang agak sama dan juga di negeri
Yunani adalah kisah Oedipus. Drama yang sudah diterjemahkan oleh Rendra
berjudul "Oedipus Rex" dengan apik ini memiliki kekuatan magis sekaligus
tragis. Sophocles (496-406 B.C) penulis drama tersebut mengisahkan tentang
Oedipus¸yang dianggap bersalah oleh semua orang. Hanya Oedipuslah pihak yang
harus dituduh, karena ia melakukan pembunuhan Laius dan mengawini Yocasta,
ibunya sendiri. Karena tindakan itulah Oedipus menjadi penyebab penyakit
menular yang menjadi bencana kota. Ia seorang monster yang harus
disingkirkan. Memang, akhirnya Oedipus sengaja menyakiti diri sendiri dengan
mencungkil kedua matanya dan hidup terlunta-lunta di hutan belantara. Ajaran
Socrates dan "penyimpangan" Oedipus itu membuat kekacauan kosmik, chaos dan
disorder. Maka untuk memulihkan dunia supaya menjadi harmoni, order harus
ada korban yakni kematian Socrates dan penderitaan Oedipus.

Kisah "kambing hitam" yang sempurna ada dalam diri Kaisar Nero. Pada tahun
64 Kaisar Nero, yang memiliki nama lengkap, Nero Claudius Caesar Drusus
Germanus (37-68 AD), dipersalahkan karena menyebabkan kebakaran besar yang
menghancurkan sebagian besar kota Roma. (Bdk. Novel "Quo Vadis", karya
Henryk Sienkiweicz,) "Oleh karena itu, untuk menghilangkan desas-desus,"
sejarahwan Romawi yang paling mendalam yang bernama Tacitus (55-115 A.D)
menuliskan. "Nero menetapkan perkumpulan orang-orang Kristenlah sebagai yang
telah melakukan kejahatan." Mereka diejek, difitnah dan dikoyak oleh
singa hingga akhir hayat atau diikat pada salib dan ketika hari petang
dibakar dan digunakan sebagai penerang di kebun kekaisaran. Sang kaisar
membuat kesalahan, namun ia sendiri tidak mau mengakuinya, bahkan
melemparkan kesalahan itu kepada kelompok kecil yang dijuluki nazarenos,
pengikut orang yang bernama Yesus dari Nasaret.

Kadangkala, "kambing hitam" juga ditujukan kepada suasana, keadaan dan benda
yang tidak bisa kita gapai atau peroleh. Jika kita menginginkan sesuatu,
tetapi tidak mampu untuk mendapatkannya, kita akan menyalahkan "yang lain".
Kisah ini sudah dituturkan oleh Aesop, pendongeng ulung Yunani kuno (620 –
560 BC) dengan fable-nya (cerita binatang) yang berjudul "anggur yang asam"
(sour grapes). Rubah itu sungguh bernafsu untuk mendapatkan anggur. Tetapi
berhubung sudah berusaha mendapatkannya, tetapi lompatannya tidak sampai,
sehingga gagal mendapatkannya. Sambil bersungut-sungut, Rubah itu berkata,
"paling anggur itu asam." Dunia binatang merupakan "cermin" yang tepat
untuk kehidupan kita.

Menyalahkan orang lain itu memang paling mudah. Kalau kita menunjuk dengan
jari ke orang lain, sebenarnya empat jari yang lain menunjuk pada diri
sendiri. Maka orang perlu mengenali diri sendiri dengan baik sebelum
menyalahkan orang lain. Ungkapan "gnoti souton" (Bhs. Yunani) yang artinya
kenalilah dirimu sendiri, rupanya tepat untuk menekankan supaya kita lebih
hati-hati dalam hidup ini, sebelum membicarakan orang lain. Tetapi lebih
baik, "Jangan pernah membicarakan tentang orang lain."

Kantor "Percikan Hati", 06 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO
Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Selasa, 11 Oktober 2011

KEKUASAAN

KEKUASAAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Saya mempunyai seorang teman yang hidupnya sangat tertekan. Dari pagi
hingga malam, dia tidak pernah luput dari "kekuasaan" orang tuanya. Ketika
orang tuanya pergi, ia mulai "menunjukkan" kekuasaannya dengan "menguasai"
pembantunya di rumah. Pembantu merasa tertekan sebab dibentak, dipukul,
dicaci-maki, dihina dan dijelek-jelekkan. Suatu ketika si pembantu itu tidak
tahan lagi, namun ia tidak berani menghadapi anak majikannya itu secara
frontal. Dengan penuh amarah dan rasa dendam, ia memukuli kucing milik sang
majikan, hingga kucing itu lari terbirit-birit hampir mati. Dalam bahasa
psikologi, tindakan si pembantu itu disebut sebagai kompensasi. Kompensasi,
menurut Alfred Adler (1870 – 1937) seorang psikiater Austria adalah suatu
proses reaksi psikologis dari perasaan inferior (rendah diri) seseorang.
Orang yang terkena sindrom inferior cenderung bertindak agresif terhadap
orang lain. Rasa inferioritasnya ditutupi dengan sebuah rasa percaya diri
yang berlebihan. Dalam fenomena psikologis ini terlihat dalam hamparan
realitas hidup keseharian kita, termasuk dalam perilaku para penguasa.

Dalam Olympus kisah-kisah Dewa Yunani, misalnya Dewa Kronos begitu tega
menelan anak-anaknya sendiri, karena ia takut kalau kekuasaannya kelak
direbut oleh anak-anaknya. Dalam Kitab Suci, Absalom yang terburu-buru
merebut kekuasaan ayahnya: Daud dan berperang melawan Moab. Tetapi sangat
disayangkan bahwa Absalom tewas bukan karena perang face to face dengan
Yoab, melainkan karena kepalanya terantuk pada dahan pohon (2 Sam 18: 9 –
33).

Dalam buku yang berjudul, 48 Hukum Kekuasaan tulisa Robert Greene ada
kutipan tentang makna kekuasaan, "Untuk dikagumi oleh rakyat, buatlah mereka
takut kepadamu. Ciptakanlah terror supaya rakyat minta perlindungan
kepadamu." Kata-kata tadi merupakan ajaran Niccolo Machiavelli ( 1469 –
1527 ), penulis buku Il Principe. Kalau Adolf Hitler (1889 – 1945) membaca
Il Principe di atas ranjang setiap setiap hari, maka Lenin (1870 – 1924) dan
Yosef Stalin (1879 – 1953) mempelajarinya secara khusus di sebuah
Universitas di Rusia. Bahkan Benito Mussolini (1883 – 1945) secara
terang-terangan mengaku diri sebagai pengikut setia Machiaveli oleh karena
itu, ia sering mengutip kalimat-kalimat magisnya dalam pidato-pidatonya.
Buku Imperium, yang cover-nya adalah wajah Cicero ( 106 – 43 BC) bercerita
tentang perebutan kekuasan yang dimulai dengan perdebatan para senator. Dari
sana ada kisah yang menarik. Dalam perdebatan tercetus perdebatan tentang
pembusukan (corruption) dengan mengambil contoh seekor ikan. Ikan itu jika
membusuk, yang akan busuk adalah kepalanya terlebih dahulu. Demikian pula,
para penguasa adalah orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi. Negara
hancur, corrupt, bankrupt dan collapse pertama-tama karena "kelakuan"
penguasanya. Memang, penguasa adalah pemegang kebijakan yang membuat negara,
organisasi, perkumpulan dan lembaga bisa maju atau hancur. Pepatah Latin,
"Imperia et potestates pudorem ac auctoritatem non iam habentes" artinya
para petinggi dan penguasa tidak lagi mempunyai rasa malu dan kewibawaan
mengajak kita untuk berrefleksi, sejauh ini bagaimana sikap penguasa yang
kita kenal.

Perilaku penguasa itu aneh dan unik. Ketika pertama kali ia ingin menggapai
kekuasaan, dirinya akan tampil sebagai penampung aspirasi rakyat. Ia
berbicara tentang kepeduliannya terhadap wong cilik. Ia membuka diri untuk
menerima input yang berupa ide-ide dari constituent-nya. Tetapi ternyata
"bulan madu" antara calon penguasa dan pemberi suara itu pun tidak
berlangsung lama, karena secepat kilat sang penguasa mulai memutar haluan
"kapal kekuasaannya". Kritik pun mulai ditampik dan dirinya dibentengi oleh
puluhan bodyguard yang berotot kekar tetapi stupid. Bahkan tidak jarang
para penguasa – karena dikritik – berusaha untuk membungkam dan memberangus
media massa.

Untuk melawan pemegang kekuasaan, Seno Gumira Ajidarma dalam Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, menulis bahwa menutupi kebenaran
adalah perbuatan yang paling bodoh yang bisa dilakukan oleh manusia di muka
bumi ini. "Lawanlah itu!" Voltaire (1694 – 1778) misalnya ikut andil dalam
merekayasa terjadinya Revolusi Prancis (1789) dan dia pun ikut meringkuk di
penjara Bastile yang terkenal itu. Sebuah tulisan atau kumpulan tulisan
berseri mampu mengoyak kaki kekuasaan hingga terpelanting sembab. Buku
adalah musuh bebuyutan dari orang-orang berkepribadian kurang jujur.
Pramoedya Ananta Toer, penulis novel tetralogi yang tersohor itu pernah
berkata, "Janganlah pernah membungkam sebuah tulisan." Pada zaman abad-abad
gelap di Eropa, penguasa (Gereja) berusaha untuk melarang terbitnya
buku-buku, bahkan buku-buku tersebut dibakar. Daftar tulisan-tulisan
tersebut dinamakan Tridentine Index. Tetapi kita harus sadar bahwa ide dan
gagasan yang tertulis dalam buku itu bagaikan "anak" revolusi, demontrasi
dan protes. Pepatah Latin yang berbunyi, "verba volent, scripta manent"
artinya kata-kata itu akan terbang, sedangkan yang tertulis itu akan
menetap. Gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan itu "tinggal tetap" dan hanya
menunggu "bom waktu" saja.

Memang, tidak semua orang tergila-gila dengan kekuasaan. Banyak orang
"sehat" di dunia ini, sekalipun masyarakat sudah "sakit". Mengutip tulisan
Priyono Sumbogo dalam Forum Keadilan (26 Juni 2011) terbersit suatu
harapan bahwa kita pernah memiliki teladan publik bangsa. Tulisnya, "Dulu
kita memiliki tokoh-tokoh sipil seperti Buya Hamka, Nurcholis Madjid dan
Romo Mangunwijaya. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik, tidak memiliki
massa yang terorganisasi, juga tidak punya cukup untuk membeli gengsi.
Mereka hanya memiliki kata-kata yang secara umum mulia, walaupun mereka
tetap tidak luput dari kesalahan. Kata-kata mereka didengar oleh banyak
orang, meskipun barangkali tidak dijalankan. Dalam bersyiar, Buya Hamka
tidak meledak-ledak, tidak menyakiti siapa pun, juga tidak tunduk pada
kekuatan politik apa pun. Nurcholis dipanuti oleh semua penganut agama,
karena selalu mengingatkan bahwa "Tuhan bagi siapa saja". Nurcholis juga
disukai semua golongan, karena semua partai, semua suku dan semua kelompok
dapat menjadi berkah bagi semua negara. Romo Mangun menjauhi hingar bingar.
Ia menyepi di tepian Kali Code, Yogyakarta untuk mendidik anak-anak yang
tidak diperhatikan oleh negara. Tetapi para wartawan seringkali datang
menemuinya, kemudian menyebarkan pikiran-pikiran Romo Mangun yang jernih dan
menyejukkan."

Sidharta Budda Gautama (563 – 483 BC) adalah pangeran yang semula menikmati
harta kekayaan sang ayah. Setelah ia melihat sendiri bahwa nasib manusia itu
ditandai oleh kelahiran, kesengsaraan, penyakit dan mati, ia segera
melepaskan dirinya dari jejaring kekuasaan itu dan hidup sebagai petapa
miskin. Yesus adalah putra Allah yang turun ke dunia dan mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:8). Ajaran Yesus
tentang kekuasaan amat paradoksal dan tidak masuk akal bagi kekuasaan zaman
sekarang. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu (Mat. 23: 11). Sebutan Minister yang kalau di Indonesia adalah
mentri itu sebenarnya berarti pelayan (to minister, artinya melayani,
meladeni).

Kekuasaan itu nikmat, sehingga dikejar oleh semua orang, entah yang
berpangkat tinggi, maupun yang rajin berdoa. Karena nikmatnya itu, maka
perlu dibatasi. Mother Theresa dari Calcuta (1910 – 1997), pernah berkata,
"Berhentilah makan sebelum kenyang." Kekuasaan juga demikian, jika orang
terlalu lama menjabatnya, rakyat pun akan mengalami kejenuhan dan kurang
penyegaran (pemikiran dan ide baru). Seorang penguasa yang berhenti sebelum
masa jabatannya berakhir dan pada puncak jayanya, dirinya akan tetap
dicintai dan dikenang oleh rakyatnya. Dalam permenungan ini, saya jadi ingat
ketika saya menjadi pastor di paroki kecil. Tetapi seringkali saya merasa
bahwa "berkuasa" sendirian itu nikmat, sebab tidak ada orang yang
mengontrol. Apa yang saya katakan dianggap benar oleh umatku. Bahkan, ketika
harus pindah dari tempat tugas, rasa-rasanya berat. Sekali lagi, kekuasaan
itu nikmat. Tidak lama kemudian saya dinasihati oleh sahabatku, "Untuk
memegang kekuasaan, obatilah terlebih dahulu luka psikologis itu dengan
pencerahan budi dan pendewasaan diri. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan itu
bukan lagi soal nikmat, melainkan itu sungguh suatu hikmat."

Kantor "Percikan Hati", 30 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Rabu, 28 September 2011

MAHKOTA

MAHKOTA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kata Inggris, "no pain, no gain" dan "no cross no crown" memiliki makna yang
mendalam bagi kehidupan kita. Untuk mendapatkan kesuksesan memang orang
tidak boleh berpangku tangan, melainkan harus bekerja dan berjuang bahkan
harus disertai dengan penderitaan. Di Yunani kuno, istilah untuk
pertandingan adalah agoon. Dan untuk memenangkan sebuah pertandingan perlu
latihan dan kerja berat. Dari situlah maka muncul kata agony yang dalam
bahasa Inggris berarti penderitaan. Dengan demikian, peribahasa yang
berbunyi, "berakit-rakit dulu, berenang ke tepian" mendapatkan artinya di
sana. William Shakespeare ( 1564 – 1616) dalam Julius Caesar
menerangkan makna mahkota. Ketika Julius Caesar (100 – 44 SM) dinobatkan
menjadi kaisar seumur hidup, dia melemparkan mahkotanya kepada rakyat.
Markus Antonius (82 – 30 SM), orang kepercayaannya menjunjung tinggi di
depan Julius Caesar yang sudah menjadi mayat itu dengan pidatonya yang
masyur. Katanya, "Kalian semua melihat bagaimana aku di Lupercal sampai tiga
kali menawarkan mahkota kepadanya dan tiga kali pula ia tolak. Apa ini gila
kekuasaan?" Rupanya Julius Caesar hendak membuktikan bahwa kekaisaran Roma
yang saat itu maju itu dibutuhkan kerja keras.

Tetapi banyak kejadian dan peristiwa yang ingin mendapatkan mahkota tanpa
penderitaan akan berakhir dengan penderitaan. Drama tragedi karangan –
sekali lagi – William Shakespeare yang berjudul, "Machbath" melukiskan
bagaimana si Machbath atas bujukan istrinya, membunuh Sang Raja, hanya
karena menginginkan mahkota dan supaya cepat dilantik menjadi raja. Tetapi
selama hidupnya, Machbath dihantui dengan pembunuhan keji yang telah dia
lakukan. Memang yang namanya perebutan mahkota itu selalu saja menghasilkan
suatu korban.
Sede vacante, tahta lowong, bagi suatu kerajaan memang merupakan
malapetaka. Ketika Rama dan Sinta dalam Anak Bajang Menggiring Angin tulisan
Sindhunata, diusir oleh Dewi Kaikeyi, maka terjadilah tahta lowong, putra
mahkota yang menjadi idaman seluruh rakyat Ayodya harus mengembara di hutan
Dandaka selama 14 tahun. Maka terciptalah puisi indah, "Tanpa raja, sebuah
negara pasti musnah/ Tanpa raja, panenan tak akan dituai/tanpa raja anak
akan melawan orang tua/ tanpa raja, kejahatan akan merajalela//" Dalam hal
ini, maka kedudukan seorang pemimpin sangat mutlak.

Tapi yang namanya manusia itu dalam mencapai kemuliaan tidak jarang
menggunakan mental instant (sekali jadi). Dalam dunia perpolitikan kita
kenal money politic atau "politisi busuk". Dalam dunia bisnis ada ungkapan
uang pelicin dan nepotisme ketika hendak mencari pekerjaan. Dunia
pendidikan sempat dihebohkan karena adanya kebiasaan "menyontek" atau
plagiat skripsi maupun tesis. Dalam mencari kedudukan, seseorang tidak mau
menempuh jalan yang panjang dan berliku-liku, seperti yang pernah
dinyanyikan oleh Iwan Fals dengan judul, "Jalan Panjang yang berliku."
Liriknya: Jalan panjang yang berliku / jalan lusuh dan berbatu / Namun
kuharus mampu menempuh / bersama beban di batinku //. Saya sendiri
meyakini bahwa apa yang kita dapatkan dengan mudah hasilnyapun tidak akan
memuaskan. Maka dalam membangun hidup berkeluarga pun ada masa untuk pacaran
yakni masa saling mengenal dan menjajagi satu dengan yang lain. Kalau satu
hari kenalan dan langsung mau dihadapkan pada Sang Penghulu untuk
dinikahkan, tentu saja akan mengalami kesulitan di kemudian hari. Seorang
mahasiswa yang hanya belajar satu malam saja menjelang ujian tentu saja
berbeda dengan seorang mahasiswa yang dengan setia belajar dari hari ke hari
untuk menghadapi ujian. Dalam arti ini, persiapan batin sangat diperlukan
untuk menghadapi dunia yang penuh dengan pergolakan. Bukankah untuk
mendapatkan mahkota, seseorang harus bersih hatinya supaya tidak tercemar
dengan pengaruh-pengaruh yang tidak baik.

Untuk mencapai mahkota kemuliaan, seseorang perlu berproses yakni
mengundurkan diri dan mengolah batinnya. Markus Marlon dalam Suara
Pembaharuan menulis, " Ketika Musa mendapatkan tugas dari Allah, maka Musa
sengaja menyendiri, retreat di padang gurun (Kel 2: 15 – 20). Tatkala Paulus
mendapatkan penampakan Yesus di Damaskus, maka Paulus pergi ke tanah Arab
untuk menyepi, retreat (Gal 1: 17). Sewaktu Yesus hendak memulai karya-Nya,
Ia menyendiri, retreat di padang gurun selama 40 hari lamanya (Mrk 1: 12).
Karen Armstrong dalam Muhammad sang Nabi menulis bahwa Muhammad tinggal di
gunung Hira' di lembah Mekkah untuk melakukan semacam retreat (menyepi).
Ini merupakan kebiasaan umum di jazirah Arab pada saat itu. Muhammad mengisi
waktu sebulan itu – pada bulan Ramadhan – dengan ibadah dan memberi sedekah
kepada kaum miskin" (SP 30 Juli 2011). Ternyata untuk mendapatkan sesuatu
yang berharga kita perlu mengundurkan diri untuk menimba kekuatan dari dalam
diri, karena buah-buah karya yang baik itu tidak datang dari langit.
Olimpiade pertama (776 SM) yang diselenggarakan untuk menghormati para
pahlawan itu, para pemenangnya diberi mahkota daun salam yang disebut dengan
laurel. Seorang olahragawan hanya dapat memperoleh mahkota sebagai juara,
apabila ia bertanding menurut peraturan-peraturan olahraga (2 Tim 2: 5). Ini
berarti usahanya selama berlatih itu tidak sia-sia. Memang, segala sesuatu
yang kita kerjakan itu tentu akan menghasilkan buah. Dan untuk menghasilkan
sesuatu yang optimal itu perlu waktu. Seperti ungkapan dalam bahasa Inggris
menyebutkan, "Rome was not built in one day" yang artinya, kota Roma tidak
selesai dibangun dalam satu hari.

Skolastikat MSC, 29 Agustus 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Selasa, 27 September 2011

RELASI

RELASI
(Sebuah Percikan Permenungan)

Di negeri antah berantah, hiduplah seorang permaisuri yang memiliki puri
yang indah dan dibangun di bukit tengah kota. Sang permaisuri begitu
mencintai puri itu, sehingga dibuat tidak memiliki jendela. Ia tidak rela
kalau perabot puri itu diketahui dan dilihat oleh orang lain. Di kamarnya
yang dikelilingi dengan cermin-cermin itu, sang permaisuri memanjakan
dirinya dengan bersolek. Karena kegemarannya bersolek itulah sang raja
marah. Dibongkarnya cermin-cermin itu dan dibuatlah lobang. Dengan adanya
lobang tersebut, ia menyadari bahwa di seberang puri tersebut banyak orang
menderita yang perlu untuk dikunjungi dan dibantu. Sejak saat itulah, sang
permaisuri menyuruh membuat jendela-jendela di purinya dan membuat jembatan
untuk menghubungkan antara puri kerajaan dan rakyatnya. Jembatan yang
terhampar, jendela dan pintu yang terbuka hendak melukiskan bahwa dirinya
mau berelasi dengan orang lain.

Gereja pun menyadari akan perlunya berelasi. Paus Yohanes XXIII (1881 –
1963) yang sebelumnya bernama Kardinal Roncalli, merasa bahwa Gereja harus
membuka pintu perubahan lebar-lebar. Ia menekankan kebutuhan gereja akan
"aggiornamento" artinya disesuaikan mengikuti zaman. Gereja harus mengejar
ketinggalannya dengan dunia modern. Walaupun dogma tidak berubah,
pengungkapannya dapat dan harus berubah. Orang Protestan harus dilihat
sebagai "saudara-saudara yang terpisah" bukan sebagai penyesat yang jahat.
Kini di setiap keuskupan bahkan paroki ada seksi HAK (Hubungan Antar
Keagamaan) yang hendak membangun relasi yang baik dengan agama-agama lain.
Setiap kali ada kerusuhan yang menyangkut SARA, para tokoh umat beragama
berkumpul dan membahas isu tersebut. Syukur kepada Allah bahwa suasana yang
sempat panas itu pun akhirnya menjadi kondusif. Dialog, kumunikasi,
musyawarah, kesepakatan dan perundingan adalah cara yang efektif untuk
meredam relasi yang memanas. Paus Yohanes Paulus II (1920 – 2005) adalah
seorang Paus yang suka melanglang buana untuk membangun relasi dengan
negara-negara lain dan agama serta aliran kepercayaan lain. Kata Pontifex
Maximus, menurut interpretasi saya mengandung arti: pont = jembatan dan
facere = membuat). Tugas salah satu Paus adalah membuat jembatan / membangun
relasi. Maka tidak mengherankan jika pada tahun 1987 dan sesudahnya Yohanes
Paulus II bertemu di Asisi dengan pimpinan banyak agama sedunia untuk
mendoakan damai bagi seluruh dunia. Belum lama ini, Paus Benediktus XVI
menemui tokoh-tokoh agama di biara, tempat Martin Luther dulu belajar di
Erfurt dan dihadiri 20 pemimpin dalam Kompas, 24 September 2011. Untuk
hidup berdamai dengan sesama perlulah berelasi dengan baik.

Orang yang ingin membangun relasi dengan orang lain memiliki niat – dalam
hatinya – untuk berdamai. Relasi dari tingkat pribadi sampai ke
negara-negara sudah menjadi kebutuhan. Di sinilah setiap negara memiliki
duta. Duta adalah utusan yang membawa kedamaian bagi negara yang dikunjungi.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, dengan amat bagus memberikan
ilustrasi tentang Hanoman, duta Rama. Tanggung jawabnya begitu berat sebagai
duta karena harus menghadapi pelbagai tantangan. Baik dari pihak dalam
(para kera pengikut Rama) maupun dari pihak luar (para ksatria pembela
Rahwana). Meskipun berat tugas yang diembannya, Hanoman, putra Anjani ini
tetap melaksanakannya dengan sepenuh hati. Prof Kong Yuanzhi dalam Cheng
Ho Muslim Tionghoa, menceriterakan seorang duta perdamaian yang luar biasa.
Cheng Ho berhasil dalam membangun relasi dengan negara-negara tetangga dan
dari relasinya yang baik dengan negara-negara yang dikunjungi itu,
terjalinlah pertukaran: budaya dan hasil bumi. Tidak sedikit hambatan yang
yang dihadapi oleh Cheng Ho. Bahkan tantangan dari dalam (kerabat sendiri)
tidak kalah dahsyatnya. Ia berprinsip, "Orang sering melempar batu di jalan
kita. Tergantung kita mau membuat batu itu jadi tembok atau jembatan."
Kritikan-kritikan dari orang lain dibangunnya sebuah "jembatan" sehingga
bisa dipakai untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang tadinya
mengkritiknya. Itulah yang sering kita sebut sebagai kritik yang membangun.
Sekolah Komik Pipilaka dalam Laksamana Cheng Ho menulis bahwa relasi
dengan negara-negara lain itu tidak bertahan lama, sebab ketika Cheng Ho
mangkat, buku-buku yang ditulis selama pelayaran dibakar musnah oleh
orang-orang yang kontra dengannya.

Membangun relasi memang tidak mudah. Ibarat rumah yang sudah dibangun
dengan baik, dapat dengan mudah dirobohkan. Pepatah China berbunyi, "Satu
musuh kebanyakan dan seribu teman masih kurang" mengajak kita untuk
bermenung bahwa yang namanya membangun relasi itu memang tidak mudah.
Terkadang kita merasa bahwa relasi yang kita miliki itu sudah solid. Maka
dengan modal itu, orang bisa membuat kesepakatan yang gegabah. Ada dua ibu
yang merasa sudah akrab satu dengan yang lain. Karena keakrabannya itu,
mereka berdua sepakat untuk bekerja sama membangun usaha. Pada awalnya,
mereka saling percaya, tetapi dalam perjalanan waktu, usaha itu semakin
besar dan dari sana mulai ada saling curiga. Pecunia not olet yang artinya
siapa pun suka pada uang. Tidak lama kemudian, relasi yang dibangun dengan
niat yang baik, akhirnya layu sebelum berkembang.

Relasi yang sudah dibangun dengan baik pun kadang bisa juga dirobohkan
oleh kekuatan roh jahat. Di dunia ini tidak semua orang akan sependapat
dengan gagasan yang kita lontarkan. Niat ini muncul sebab dalam dirinya ada
rasa iri, dengki dan kecewa. Elizabeth M. Ince dalam Thomas More dari
London, melihat adanya relasi yang indah antara Raja Henry VIII (1491 -
1547) dan Thomas More (1478 - 1535). Sang raja bahkan sering beranjang sana
di rumahnya. Namun kekecewaan sang raja itu muncul setelah mengetahui bahwa
Thomas More tidak mendukung pernikahannya dengan Anne Boyle. Thomas More
setia dengan Paus. Akhir dari relasi itu adalah pemenggalan lehernya. Dalam
Kitab suci, Saul awalnya begitu menyayangi Daud, bahkan sudah dianggap
seperti anaknya sendiri. Tetapi ketika Saul mendengar sendiri, rakyat
memuji Daud, maka relasi mereka berdua menjadi terganggu dan ada niat
terselubung bahkan terang-terangan mermaksud membunuh Daud (1 Sam 21: 1 –
26: 25). Tetapi dalam diri Daud tidak ada dendam dan benci kepada Saul.
Daud semakin dikuatkan karena memiliki relasi yang baik dengan putra Saul,
yakni Yonatan (Sam 18: 1 – 20: 42)

Ada juga relasi yang dari luar nampaknya kuat, tetapi fundamennya rapuh.
Ini berlaku dalam relasi antara atasan dan bawahan. Seorang pemimpin adalah
orang yang "kesepian". Ketika waktu senggang tiba, ia menginginkan
sanjungan, pujian dan pengakuan dari bawahannya. Inilah kesempatan yang
ditunggu-tunggu oleh para penjilat. Secara berlebihan mereka memuji
pemimpinnya. Apa yang dikatakan oleh pemimpin itu selalu benar. Muncullah
badut-badut baru yang membuat gelak tawa. Tertawa kemunafikan. Kisah ini
bisa diperdalam ketika membaca dongeng "Pakaian Baru Kaisar" tulisan Hans
Christian Andersen (1805 – 1875), penulis dongeng Swedia. Relasi karena
jilat-menjilat tidak akan berlangsung lama. Ketika pemimpin mendapat SK
pemberhentian, mereka pun akan mundur teratur dan pada gilirannya akan
menjilat pemimpin yang baru. Relasi yang rapuh.

Inti dari relasi adalah komunikasi. Perseteruan, perkelahian, bahkan perang
itu terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik. Sang duta
dipermalukan, seperti yang terjadi dalam kisah, "Kubilai Khan" dan "Arya
Penangsang". Perundingan gagal total, sepertinya yang terjadi dalam kisah
Mahabaratha dengan lakon, "Kresna Duta". Di pihak lain, komunikasi yang
baik akan menumbuhkan sikap perdamaian. Setiap pagi, sebelum mengawali
tugasnya, Yesus senantiasa berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Ia pergi ke
tempat sunyi dan berdoa (Mrk 1: 35). Semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah
(Luk 6: 12). Yesus senantiasa berelasi dengan diri-Nya sendiri,
lingkungan-Nya , sesama-Nya dan Bapa-Nya.

Skolastikat MSC, 26 September 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Rabu, 21 September 2011

GIGIH

GIGIH
(Sebuah Percikan Permenungan)

Jansen Sinamo dalam Kafe Etos menulis, "Nama Jenghis Khan (1162 – 1227)
mungkin tidak terlalu asing bagi kita. Sudah banyak buku yang ditulis
untuknya dan sudah banyak film yang dirilis baginya. Sepenggal kisah –
mungkin lebih tepat disebut sebagai hikayat – yang mengisahkan tentang
pengalaman sewaktu dikejar-kejar, dia bersembunyi di dalam gua. Di sana ia
melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan. Segerombolan semut yang sedang
berusaha mengangkat sebongkah makanan melewati sebuah dinding batu setinggi
kepalan tangannya, yang di mata semut-semut itu adalah tebing yang amat
curam. Berulang kali ketika mereka hampir sampai di puncak, makanan itu
jatuh, sehingga mereka harus turun kembali ke dasar untuk beramai–ramai
mengangkatnya. Mengamati perjuangan semut-semut yang tidak pernah putus asa
itu merupakan keasyikan tersendiri bagi Temujin. Iseng-iseng ia pun mulai
menghitung, berapa kali mereka jatuh bangun mengangkat makanan tersebut.
Satu kali, dua kali, tiga kali, empat kali, sepuluh kali, lima belas kali,
dua puluh kali, sampai lebih daripada lima puluh kali, hingga hitungan yang
kesekian, semut-semut itu pun berhasil. Pengalaman di dalam gua inilah yang
menjadi strating point bagi Jenghis Khan untuk menata hidupnya di kemudian
hari."

Gigih adalah suatu sikap seseorang untuk maju terus meskipun banyak
tantangan yang dihadapi. Anak-anak Sparta dalam Spartan memberikan
pengajaran kepada kita bahwa sejak awal, kehidupan manusia adalah berjuang.
Seneca (4 SM – 65) berkata, "Vivere militare" yang berarti hidup itu adalah
berjuang. Nyoman S. Pendit dalam Mahabaratha, hidup di dunia ini adalah
suatu perjuangan untuk mukti (mendapatkan kekuasaan, hidup mulia dan
sejahtera) atau mati. Ini terjadi dalam lakon pewayangan berjudul,
"Doryudana Gugur". Sang Putra Mahkota Astina itu bertanding melawan Bima.
Ketika hendak gugur, dari bibirnya sempat keluar kata-kata, "Hidup ini yah,
jika tidak mukti yah mati!" Kegigihan dari para prajurit Sparta dan Bima
adalah untuk mendapatkan martabat yang tinggi.
Memang untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera-aman-tentram-damai-mulia
itu tidak serta merta didapatkan begitu saja, seperti membalikkan tangan.
Kisah-kisah penuh penderitaan dalam dongeng maupun biografi, hendak
menunjukkan kepada kita bahwa untuk mendapatkan mahkota kemuliaan, orang
tidak bisa menghindari duri, no thorn no crown. Untuk mendapatkan pencapaian
yang prima, harus dilalui dengan penderitaan, no pain no gain. Lebih dari
semua itu dibutuhkan suatu semangat dan kegigihan yang tinggi. Charles
Perrault (1628 – 1703), sastrawan Perancis dan penulis dongeng Cinderella,
mengisahkan tentang seorang gadis miskin yang tidak memiliki apa-apa.
Meskipun tidak ada dukungan dari saudari-saudari dan ibu tirinya, dia tetap
mengerjakan tugas-tugas hariannya yang super berat itu dengan setia.
Cinderella tidak mau menyerah dengan situasi dan kondisi yang ada.
Kebanyakan orang akan berhenti berjuang ketika menyaksikan bahwa apa yang
dikerjakan itu terlalu berat dan sia-sia. Orang juga menjadi tidak
bersemangat kalau dirinya bekerja sendiri, padahal orang-orang di sekitar
tidak mengerjakan apa-apa. Ini semua dialami oleh Cinderella.

Kegigihan bisa luntur ketika yang hendak dicapai sungguh-sungguh di luar
kemampuannya. Aesop (± 6 SM) dalam Aesop's Fables, menceriterakan seekor
rubah yang hendak memetik buah anggur. Rubah itu pun berjuang dengan
gigihnya supaya mendapatkan anggur-anggur itu. Tetapi berhubung tidak bisa
mendapatkan anggur-anggur tersebut, sang rubah itu pun berkata,
"Paling-paling anggur-anggur itu adalah anggur yang asam!"

Dalam Kitab Suci, kita mengenal kegigihan Paulus dalam mewartakan kabar
gembira. Katanya, "Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit;
kami habis akal, namun tidak putus asa, kami dianiaya, namun tidak
ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa" (2 Kor 4: 8 –
9). Rupanya para nabi memang memiliki nasib yang sama. Yeremia yang
mendapatkan panggilan Tuhan untuk menyuarakan kebenaran kepada umat Israel
yang mulai meninggalkan Tuhan dan menyembah illah-illah lain. Para penguasa
memusuhi dan nyaris membunuhnya (Yer 11: 21). Yeremia juga dimasukkan ke
dalam sumur, yang tentu akan mati kelaparan (Yer 38: 5 – 13). Orang-orang
yang mendapat panggilan Tuhan untuk mewartakan kebenaran, banyak tantangan
yang harus dihadapi. Para nabi itu mati di Yerusalem. "Yerusalem, Yerusalem,
engkau yang membunuh nabi-nabi dan melempari dengan batu orang-orang yang
diutus kepadamu!" (Luk 13: 34). Dunia memang sungguh adil. Ketika banyak
orang ditindas dan ketika para penguasa bertindak sewenang-wenang, muncullah
"pahlawan" yang dengan tulus ikhlas ingin menjadi pembebas. Spartacus,
gladiator dari Thrace yang di Capua pada tahun 73 – 71 SM memulai
mengadakan penyerangan kepada Roma yang menindasnya. Judah Ben Hur dalam
film Ben Hur memperlihatkan kepada kita bahwa kebebasan adalah hak azasi
manusia. Judah berjuang dengan gigih di bawah tekanan Roma, teristimewa
Messala. Selama 4 tahun, Judah hidup sebagai budak dan hidup dalam
pengasingan. Namun tekadnya yang gigih itulah yang membuat Judah bertahan.
Laura Ingalls Wilder (1867 – 1957) dalam Rumah Kecil di Padang rumput
mengisahkan tentang kegigihan keluarga. Perjuangan keluarga ini tidak pernah
berhenti. Perindahan dari desa satu ke desa yang lain, musibah dalam
keluarga, berhadapan dengan suku Indian merupakan tantangan yang senantiasa
dihadapi. Tetapi kegigihan tersebut memberikan hasil yang luar biasa. Pa,
Ma, Mary dan Laura serta Caroline menjadi keluarga yang kuat dalam
menghadapi pelbagai masalah .

Untuk menutup permenungan ini, Aesop – sekali lagi – memberikan kisah
tentang kegigihan. Dongeng yang berjudul," Elang dan Kumbang." Mengisahkan
tentang elang yang sewenang-wenang berlaku kasar terhadap kelinci. Kumbang
sudah memperingatkan elang untuk bertoleransi terhadap kelinci itu, tetapi
elang tidak mau mendengarkan dan membunuhnya. Maka, kumbang mati-matian
mengobrak-abrik sarang elang setiap kali bertelur, hingga elang itu melapor
kepada Jupiter. Meskipun demikian, kumbang tetap gigih untuk
"membalasdendamkan" si kelinci yang sudah dibunuhnya. (The Turtle becomes a
CEO, tulisan David Noonan). Kegigihan kumbang itu perlu untuk kita
teladani.

Skolastikat MSC, 12 September 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Selasa, 13 September 2011

PUTUS ASA

PUTUS ASA
(Sebuah Percikan Permenungan)

Penyakit merupakan bencana yang menakutkan dan ditakuti dari generasi ke
generasi. Orang-orang Eropa tentu masih ingat bencana nasional yang
menghantui mereka dengan black death-nya. Penyakit sampar itu terjadi pada
pertengahan abad ke-14. Bencana itu dibawa dari Timur Tengah oleh
tikus-tikus yang dibawa oleh para saudagar. Dan itu menyebar sampai ke
Itali, Spanyol, Perancis pada tahun 1347, Inggris (1348), Jerman (1349) dan
akhirnya Rusia (1350). Kisah ini bisa kita baca dalam 100 Peristiwa yang
Membentuk Sejarah Dunia tulisan Bill Yenne dan Eddy Soetrisno.

Pemandangan penyakit yang mematikan itu membuat orang kehilangan harapan. Di
zaman sekarang pun kita tidak bisa menutup mata dengan adanya penyakit yang
dinamakan AIDS/HIV. Kalau kita ikut nimbrung dalam percakapan sehari-hari,
kata-kata seperti kolesterol, trigliserit dan asam urat serta diabetes sudah
menjadi ungkapan yang akrab dengan hidup kita. Orang-orang gamang
menghadapi pelbagai penyakit tersebut. Kalau seseorang tertimpa penyakit
dan tidak sembuh-sembuh biasanya ada rasa putus asa yang mendalam dan lebih
gawat lagi jika menyalahkan Tuhan. Penyakit memang momok yang sangat
menakutkan di jaman modern ini.
Dalam dunia politik yang melibatkan peperangan, jika negara atau kerajaannya
kalah, sang jendral tidak mau tunduk kepada conqueror, maka jalan
keputusasaannya adalah bunuh diri. Kita bisa membacanya dalam Three Kingdoms
tulisan Kim Woo Il atau dalam The Life of Hitler yang mengisahkan Adolf
Hitler dan kekasihnya, Eva von Braun yang bunuh diri setelah Jerman kalah.
Keduanya menelan racun maut yang menghantarkan mereka ke alam baka di
bunker yang mereka buat sendiri.

Ada pepatah yang berbunyi, "kegagalan adalah sukses yang tertunda." Tetapi
tidak semua orang setuju dengan ungkapan tersebut. Kita lihat saja, di
Jepang dikabarkan memiliki tingkatan bunuh diri tertinggi, karena gagal
dalam study misalnya, seorang siswa bisa terjun bebas dari hotel lantai 10.
Keputusasaan juga melanda di dalam hidup harian manusia pada zaman sekarang
ini. Kelangkaan BBM – yang jika harganya naik – tentu akan membuat harga
barang-barang semakin melambung. Orang-orang miskin marah dan melampiaskan
dengan demontrasi. Tetapi nampaknya sia-sia belaka. Banyak orang menjadi
putus asa, ke mana harus mengadu jika diri mereka terimpit dalam masalah
ekonomi dan keamanan. Orang menjadi tidak bersemangat jika harus berurusan
dengan pemerintah. Ibaratnya, jika kehilangan ayam dan melaporkan kepada
yang berwajib malah akan kehilangan kambing. Sungguh tragis ibu pertiwi yang
menjadi pijakan kaki ini. Himpitan hidup semakin ketat, hanya karena uang
puluhan ribu rupiah saja, orang bisa baku bunuh.
Putus asa sungguh memasuki area yang begitu kompleks dan melebar. Orang
putus asa, bukan hanya masalah ekonomi, resistensi terhadap hidup yang
sudah di ambang batas, tetapi juga masalah percintaan. Kisah-kisah
percintaan dalam pelbagai budaya hendak menunjukkan bahwa pikiran yang buntu
bisa memaksa seseorang untuk mengakhiri hidupnya. Drama Romeo-Juliet
tulisan Shakespeare (1564 - 1616) merupakan kisah keputusasaan, setelah dua
sejoli itu tidak menemukan way out bagi kisah cinta mereka. Di Cina ada Sam
Pek dan Eng Tay dan di Indonesia khususnya Jawa Tengah ada Pronocitra dan
Roro Mendut. Mereka meyakini bahwa hidup mereka akan di alam ke-langgeng-an
setelah mati bersama dan percintaan mereka menjadi abadi.

Yang lebih tragis dan paling klimaksnya adalah keputusasaan karena merasa
hidupnya tidak berarti, meaningless. Dia merasa bahwa eksistensinya di
dunia ini tidak memiliki makna apa-apa, maka way out-nya adalah mengakhiri
hidupnya sendiri yakni bunuh diri, suicide.

Putus asa kadang melekat dengan kehidupan kita dan kita terlibat di
dalamnya. Secara tidak sengaja, saya membuka tulisan tentang putus asa dalam
Ensiklopedi Gereja. Adolf Heuken dalam Ensiklopedi Gereja menulis "Putus
asa merupakan kejahatan besar terhadap Bapa Yang Maharahim. Pengalaman
menunjukkan bahwa kecenderungan seseorang untuk putus asa dapat membahayakan
kesehatan jasmani dan mental dan tidak jarang menyebabkan seseorang
menjermuskan diri ke aneka kejahatan. Cukup banyak orang beriman merasa
tidak dikasihi Allah, karena kurang beruntung dibandingkan orang lain. Maka,
mereka menjauhi Allah. Sikap seperti ini berbahaya untuk iman."


Skolastikat MSC, 18 Juli 2011

Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Sabtu, 10 September 2011

Bosan

BOSAN

Di antara kita mungkin pernah mengalami bosan. Bahkan bosan untuk berbuat
baik, sebab orang kita baiki ternyata tidak merasa dibaiki. Ada orang yang
mengeluh demikian, "Saya seperti berada dalam sebuah liang. Siang saya
mengerjakan pekerjaan yang sama setiap hari. Pergi ke kantor, pulang ke
rumah. Makan, nonton TV, tidur. Saya ingin mengadakan perubahan, tetapi saya
tidak mampu."

Jika tidak diselesaikan dengan benar, kebosanan bisa menyebabkan penyakit
kejiwaan. Tandanya ialah: hilangnya pengharapan, depresi dan pesimis. Tetapi
sebagai orang beriman, kita harus menyertakan Kristus dalam hidup ini. St.
Paulus berkata, "Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan dan
perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan" (Kol 3:1). Demi nama
Tuhan, saya bekerja. Jika kita berpikir bahwa apa yang kita kerjakan itu
semua untuk Tuhan, maka pekerjaan kita akan memberi sebuah pandangan baru
pada pekerjaan. Jika kita telah menyadari bahwa kita melakukannya untuk
Tuhan, kita memberikan nilai tambah, nilai plus pada pekerjaan yang sedang
kita lakukan.

Misalnya, ada suami istri yang sementara baku marah. Kemudian dengan
diam-diam, sang suami menyerahkan baju untuk diseterika. Meskipun hati ini
agak marah dan jengkel, tetapi pandanglah dengan kaca mata iman, bahwa yang
sementara diseterika itu adalah jubah Yesus. Maka, sang istri itu akan
menyetrika dengan perasaan lain, dengan pandangan baru.

Skolastikat MSC, 17 Mei 2011
Pineleng - Manado
Sulawesi Utara

Markus Marlon msc

JENUH

JENUH
(Sebuah Percikan Permenungan)

Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar kata-kata seperti, "Aku
jenuh dengan apa yang kukerjakan." Kejenuhan terjadi - kemungkinan - karena
adanya rutinitas yang selalu dihadapi. Mitologi Yunani telah melukiskan
rutinitas itu dalam diri Sisyphus. Tipu daya dan kelicikan serta pembunuhan
adalah reputasi buruk yang dibuat oleh Sisypus. Zeus marah. Ia membunuh sang
penipu itu dan masuk ke dunia bawah (Neraka). Di Neraka pun, ia memperdaya
para penjaga di sana. Akhirnya, ia diijinkan pulang ke dunia orang hidup,
namun hanya untuk sebentar saja. Di dunia orang hidup, ia tetap membuat
ulah, yakni tidak menghormati saran para dewa. Mereka akhirnya mengirim
Sisypus kembali ke Neraka. Ia dihukum untuk mendorong sebuah batu besar naik
ke atas bukit. Setiap kali sampai di puncak, batu itu pun akan menggelinding
lagi ke bawah. Sisypus, si penentang para dewa itu, harus memulai tugasnya
mendorong ke atas lagi dalam waktu yang tak terbatas (Bdk. Edith Hamilton)
Di mata Albert Camus (1931 - 1960), Sisypus adalah simbol bagi manusia yang
berhadapan dengan keseharian yang rutin, yakni absurditas yang harus
ditanggulangi setiap saat. Inilah yang dalam hidup harian kita sebut sebagai
rasa jenuh.

Ada banyak rasa jenuh yang dirasakan oleh manusia. Jenuh dengan pekerjaan,
jenuh dengan acara Televisi, jenuh dengan masakan yang dimakan dan - bisa
jadi - jenuh dengan pasangan hidup. Betapa jenuhnya jika kita setiap hari
menghadapi pekerjaan yang itu-itu saja dan dijalani bertahun-tahun.

Ada sebuah kisah motivasi yang patut untuk kita renungkan. Diceriterakan
ada seorang karyawan dari sebuah perusahaan yang hendak pensiun. Orang ini
amat senang, sebab umurnya sudah mencapai 60 tahun. Meskipun sudah purna
tugas, oleh boss-nya, ia diminta membantu perusahaan selama 2 tahun lagi
dengan dijanjikan jam bertali emas. Tugas utamanya adalah menempel
harga-harga pada sebuah kotak. Ia menyetujuinya. Tetapi ternyata, setiap
hari, dalam menunaikan tugas, dirinya diliputi rasa kejenuhan yang
mendalam. Setiap bangun pagi dan tatkala hendak berangkat kerja, ada rasa
sakit perut dan mual-mual. Kejenuhan yang berlarut-larut dan tidak diatasi
secara serius akan mengakibatkan penyakit kejiwaan. Orang bisa menjadi
apatis terhadap sesuatu yang sedang dihadapi.

Jenuh juga sering dialami oleh para prajurit dan perwira-perwira dalam
berperang. Dalam film yang berjudul, "Three Kingdom" atau kalau kita ingin
membacanya, bisa ditengok dalam buku yang berjudul, "Samkok". Ada episode,
bagaimana jika sepasukan utusan kerajaan hendak menyerang sebuah kerajaan.
Istana-istana di negeri Tiongkok pada zaman itu memiliki tembok yang tinggi
dan dibatasi dengan sungai yang dalam. Tak ayal lagi bahwa pasukan tersebut
tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu dan menunggu. Teriakan-teriakan
dan ejekan-ejekan yang ditujukan kepada "orang yang menjadi target"
dimaksudkan supaya mereka emosi dan marah dan pada saaatnya mau menanggapi
sepasukan penyerang tersebut. Strategi perang a la Sun Zu tersebut, jika
tidak ditanggapi, maka pasukan tersebut akan merasa jenuh. Untuk
menghilangkan rasa jenuh, biasanya mereka membersihkan peralatan perang,
seperti pedang, tombak, ketopong dan perisai maupun minum tuak. Mengisi
rasa jenuh bisa dilakukan dengan membuang waktu - yang dianggapnya sebagai
waktu sial. Yang pasti adalah bahwa ada dua sikap dalam menghadapi rasa
jenuh. Segi positifnya adalah membersihkan peralatan perang dan segi
negatifnya adalah minum tuak sampai mabuk.

Memang benar bahwa mengatasi rasa jenuh itu tidak semudah membalikkan
tangan, melainkan penuh perjuangan yang tiada henti. Namun sayangnya bahwa
perasaan jenuh itu sering dianggap hal yang biasa dan orang-orang tidak
menyikapinya secara serius. Tidak mengherankan jika kebanyakan dari kita
mengisi rasa jenuh tersebut dengan mencari hiburan yang tidak sehat dan
menikmati kenikmatan sesaat. Kita tidak bisa membunuh waktu yang diberikan
oleh Tuhan kepada kita, tetapi kita harus "bersahabat" dengannya.

Dibutuhkan sikap yang dewasa dan serius untuk mengelola kejenuhan. Sejak
masa muda, kita sudah menyadari gerak-gerik langkah laku kita. Ada orang
yang jika hati lagi "sumpek" pergi ke pantai. Di sana, ia berteriak
keras-keras dan melepaskan apa yang sementara ini menjadi pergumulannya.
Ada lagi orang, jika merasa jenuh berjalan-jalan dengan sahabat-sahabatnya.
Melalui rekreasi, jiwanya menjadi segar (refresh) dan kembali ke rumah
dengan hati senang dan gembira. Dengan rekreasi (Bhs. Latin, artinya
mencipta kembali) seseorang menjadi semangat kembali mengerjakan sesuatu
dengan semangat baru. Ada lagi keluarga-keluarga yang mengetrapkan suatu
jadual tetap bahwa hari Sabtu dan Minggu adalah waktu untuk keluarga dan
oleh karena itu tidak bisa diganggu gugat. Semua tilpon, hand-phone,
blackberry, e-mail di-off-kan. Itu semua merupakan cara-cara yang sehat dan
terpuji dalam mengatasi rasa jenuh.

Biara Hati Kudus, 23 Mei 2011

Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado - Tomohon KM. 10
Pineleng II, Dusun VI
MANADO
Sulawesi Utara 95361

Markus Marlon MSC

Jumat, 09 September 2011

MERAYAKAN HUT

MERAYAKAN HUT
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kebudayaan Cina menjunjung tinggi umur panjang sebagai ukuran kebahagiaan.
Lambangnya adalah pohon pinus, yaitu sejenis cemara yang tinggi dengan daun
seperti jarum dan tetap hijau (ever-green) sekalipun diselimuti salju. Umur
pohon pinus dapat mencapai empat ratus tahun. Maka, gambar-gambar dinding di
rumah orang Cina kebanyakan pohon pinus. Di Eropa, lambang pohon Natal
adalah cemara, melambangkan umur yang panjang dan selalu segar. Kitab Suci
memandang umur panjang dengan Pohon Zaitun. Taman zaitun yang dahulu
digunakan Yesus istirahat dengan para murid, sekarang pohon-pohonnya masih
tumbuh dan belum mati. Umurnya 2000 tahun.

Merenungi tentang usia, tidak salahlah kalau kita menghubungkan dengan Hari
Ulang Tahun. Di kampung saya – Gunung Kidul, yang namanya Hari Ulang Tahun
itu merupakan "barang langka". Simbah (bhs Jawa: kakek, maaf menggunakan
bahasa ndesa kluthuk) saya barangkali akan heran setengah mati, ketika para
cucunya menyanyikan lagu, "Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya
serta mulia!" Karena simbah saya tidak tahu kapan dilahirkan dan tidak ada
pengarsipan di sana. simbah saya hanya pernah berkata kepada saya bahwa
katanya dia dilahirkan ketika gunung njebluk. (bhs Jawa: gunung meletus).
Dengan demikian, hampir pasti bahwa simbah saya ini tidak memiliki tanggal
lahir yang pasti untuk HUT-nya. Kasihan! Barangkali di antara kita juga ada
yang tidak pernah merayakan HUT. Banyak pengarang buku ragu dengan
silsilah Sukarno. Penulis Jerman, Bernard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan
Kemerdekaan, mengaku bingung dengan tanggal kelahiran Sukarno: 6-6-1901.
Sebab dalam catatan stambuk HBS (Hoogere Burgerschool) Surabaya, ia
menemukan bahwa proklamator itu lahir pada 6-7-1902. Bernard Dahm menduga,
Raden Soekemi (1869 – 1945) – ayah Sukarno – memudakan umur anaknya saat
melamar ke HBS. Bung Karno, tidak memiliki tanggal lahir pasti. Bisa jadi
demi sesuatu maksud tertentu, seseorang mengubah tanggal lahir, misalnya
sebagai persyaratan test masuk suatu lembaga tertentu.

Setiap kali mendapatkan ucapan Hari Ulang Tahun, terbersit dalam diri kita
sebuah makna usia. Hari demi hari waktu kita berlari tanpa henti, bahkan
tanpa kompromi meninggalkan kita. Penyair Roma berkata, "tempus fugit" yang
artinya waktu berlari dengan cepatnya. Penulis Mazmur pun dengan tidak
ragu-ragu menulis, "masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kuat, delapan
puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab
berlalunya buru-buru dan kami melayang lenyap" ( Mzm 90: 10). Adrian
Pristio dalam Jalan Spiritual Sehari-hari, menulis, "Waktu perjalanan
kembali ke Allah itu hanya sekitar 25.000 sampai 30.000 hari atau 70 sampai
80 tahun dan selebihnya merupakan bonus. Merenungkan tulisan-tulisan itu,
betapa singkatnya hidup manusia itu. Dan kita harus menyadari bahwa setiap
kali kita memperingati HUT, kita harus sadar bahwa umur kita berkurang
satu tahun. Perayaan HUT kadang dirayakan dengan ingar-bingar. Dan
anehnya ada beberapa orang – khususnya para wanita – tidak suka jika orang
mengetahui berapa umurnya. Dan betapa senangnya seseorang jika pada hari
HUT-nya mendapat pujian bahwa dirinya awet muda. Pujian tersebut akan
membuat hatinya berbunga-bunga. Tidak salahlah apa yang dikatakan oleh
Jonathan Swift (1667 – 1745) penulis dari Irlandia, "Everyone wants to live
long, but nobody to be old" yang artinya semua orang ingin panjang umur,
tetapi tidak seorang pun mau menjadi tua.

Ralph Waldo Emerson (1803 – 1882) penulis Amerika menulis, "It is not the
length of life, but the depth of life" yang berarti hidup ini bukan
persoalan berapa lama, tetapi berapa dalam. Kata-kata itu memang sungguh
memiliki arti yang mendalam. Kedalaman hidup itu terwujud ketika ketika
hidup kita memberi kontribusi bagi "dunia". Dalam hidup ini pertama-tama
kita tumbuh. Dalam bertumbuh tersebut kita perlu disiram, dipupuk dan
dipelihara. Setelah bertumbuh dengan baik, maka berbunga dan berkembang. Di
sanalah orang menjadi indah, harum dan banyak sahabat. Perkembangan ini
tentu saja merupakan rahmat dari Tuhan, tetapi sekaligus sebagai tugas untuk
semakin mewujudkan cita-cita. Tahap terakhir adalah berbuah (Mat 13: 1 –
9). Buah-buah ini yang dirasakan oleh banyak orang. Bagi orang-orang yang
mengasihi, usia tua adalah musim panen. Benih-benih cinta kasih yang ditanam
dengan sangat saksama pada waktu lalu telah menjadi matang bersama waktu.
Orang yang mengasihi dikelilingi dalam masa senjanya oleh kehadiran
orang-orang lain yang penuh perhatian. Apa yang telah diberikan secara
cuma-cuma dan penuh suka gembira mendapat balasan penuh minat dan perhatian
pada masa tuanya.

Renungan ini, akan saya akhiri dengan sebuah arti umur. Lao Tze ( sekitar
abad – 4 SM ) penulis buku Tao Te Ching dan pendiri agama Tao di China
pernah berkata demikian :

"Orang pada umur 20 tahun belajar bijaksana,
orang umur 30 tahun tumbuh bijaksana,
orang umur 40 tahun merasa bijaksana,
orang umur 50 tahun mencoba bijaksana
orang yang berumur 60 tahun mulai bijaksana
Dan orang berumur 70 tahun baru bijaksana".

Akhirnya saya ucapkan kepada orang-orang yang ber-HUT, baik itu tanggal
beneran maupun tanggal rekayasa, "Vivat ad multos annos, ad summam
senectutem" artinya Semoga ia hidup panjang umur mencapai usia tertua.

Skolastikat MSC, 15 Agustus 2011
Biara Hati Kudus - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Jumat, 29 Juli 2011

SENI BELAJAR

Seni Belajar
(Sebuah Percikan Permenungan)

Kemandegan adalah kata yang amat ditakuti bahkan bisa menjadi momok dalam
diri manusia yang ingin maju. Dalam buku yang berjudul, "Bhagavad Gita bagi
orang Modern" dikatakan bahwa Arjuna itu berarti "ia yang tidak lurus."
Dalam arti kata lain, ia yang bengkok. Begitulah sifat manusia, tidak
mandeg dan tidak bisa mapan. Kemandegan akan membuat manusia tumpul,
padahal ia harus berkembang terus. Atau dalam istilahnya Driyarkara dalam
filsafat manusia, manusia sebagai pribadi yang "menyebelum". Kemandegan
berarti pemberhentian. Seorang manusia dipanggil untuk maju dan berkembang
serta tidak cepat merasa puas diri. Tulisan ini, merupakan permenungan saya
pribadi, bagaimana peziarahan hidup sebagai religius mengalami jatuh bangun
untuk menemukan jati diri. Dan dari sana, saya meyakini bahwa sepanjang
hidup ini kita harus belajar atau istilah kerennya "on going formation",
atau "non scholae sed vitae discimus"

Awal Pembinaan di Seminari : Apresiasi Seni

Tidak dapat disangkal bahwa pembinaan di Seminari membawa kenangan indah.
Dan yang amat mengesankan bahwa pembinaan watak amat ditekankan. Saya masih
ingat, bagaimana harus menghafal kamus bahasa Inggris 6000 kata, ketika di
toilet. Dan ketika sore hari sementara bacaan rohani (lectio divina),
diperdengarkan musik klasik karya Johann Sebastian Bach (1685-1750), musisi
berkebangsaan Jerman, Ludwig van Beethoven (1770-1827) composer lagu klasik
dari Jerman, Joseph Haydn pemusik handal dari Austria dan Frans Peter
Schubert (1797-1828) seniman asal Austria pula. Peristiwa besar seperti MK
(Malam Kreativitas) dan Mamuri (Malam Musik Seminari), kiranya mengajak
para siswa untuk berani bebas mencipta. Dari sana pula, saya teringat
istilah creatio ex nihilo (dari tidak ada menjadi ada). Maka yang terjadi,
para seminaris ditantang untuk menjadi manusia yang kuat dalam memajukan
diri gaya Spartan. Menjelang Malam Kreativitas, para siswa rela wayangan
hanya demi satu artikel. Di ambang acara Mamuri, para siswa didorong
melototi not-not yang menghasilkan sebuah lagu. Last but not least, adalah
belajar bahasa Latin. Masih terngiang dalam benak saya bagaimana
mempelajari kisah legendaris Remus dan Romulus dalam cerita Historia Populi
Romani, dan Julius Caesar, seorang negarawan dan sastrawan Romawi. Selama
empat tahun dibina dalam tempat pendidikan itu amat membantu saya dalam
study Filsafat-Teologi dan terutama dalam karya pastoral di tengah umat.

Romo Dick Hartoko SJ (alm) pernah menuangkan gagasannya bahwa seorang
pastor haruslah menjadi seniman. Saya tidak bisa mengatakan bahwa ini benar
atau salah, tetapi saya sendiri menyadari betapa pentingnya sastra, dan
penghargaan terhadap seni bagi tugas perutusan. Apakah tradisi bacaan
rohani masih dimiliki para religis zaman sekarang? Kalau saya berjumpa para
frater, lalu saya bercerita tentang "Perang Troya", "Dua belas tantangan
Herkules", "Odysseus"-nya Homerus dan "Raja Oidipus" serta "Eneas"-nya
Virgilius, mereka seolah-olah mlongo seperti mendengar barang asing.
Rupanya kisah-kisah klasik yang membentuk watak (humaniora) mulai pudar di
kalangan para seminaris.

Padahal, pengetahuan klasik semacam itu, amat berperan bagi cara berpikir
di kemudian hari. Ketika study di seminari Tinggi, dasar-dasar pengetahuan
sudah dicicipi ketika belajar bahasa Latin. Dalam buku yang berjudul, "The
Complete Texts of Great Dialoguse of Plato", di sana begitu banyak
kutipan-kutipan lengkap tentang mitologi Yunani. Orang besar seperti
Sokrates, ( 470–399 s.M.) Plato ( 428–348/347 s.M.) dan Aristoteles
(384–322 s.M.), tidak mungkin terlepas di dalam seluruh study di Seminari.
Dan dari segala buku-buku yang kita baca sering ditemukan kata-kata seperti
"gadis itu cantik seperti Venus", "panah amor", "tumit Akhiles" dan masih
banyak lagi serta terlalu banyak untuk disebutkan semuanya. Sungguh, betapa
seninya belajar sastra kuno pada waktu itu. Dan kini, setelah menjadi
religius yunior, saya dapat memetik hasilnya.

Belajar Tiada henti sebagai suatu Seni.

Sabda sang Nabi Muhammad (570-632) yang berbunyi, "Kejarlah ilmu sampai di
negeri Cina" rupanya amat tepat bagi kehidupan religius. Hidup religius
yang sebagai saksi Kristus di tengah-tengah dunia nyata, hendaklah memiliki
sikap hidup yang mau belajar tiada henti. Dalam Mahabharata, ketika
menjelang perang dimulai, Doryudana dan Arjuna menghadap Krishna untuk
minta bantuan. Krishna berkata, "Dalam keadaan seperti ini, aku terpaksa
harus membagi rata bantuan yang dapat kuberikan. Kepada satu pihak, akan
kuberikan seluruh bala-tentara Dwarkawati, kepada pihak yang kedua, aku
serahkan diriku, seorang diri tanpa senjata apa pun." Doryudana ditunjuk
untuk menjatuhkan pilihan, tentu memilih bala-tentara Dwarkawati, sedangkan
Arjuna memilih Krishna. Arjuna berkata kepada Doryudana, "Terima kasih Kak,
sebenarnya yang pihak kami kehendaki hanya keberadaan serta nasihat-nasihat
Sri Krishna dan itu pula yang kami peroleh; terima kasih sekali lagi."
Kekuatan fisik dan kekuasaan materi semuanya itu tidak begitu penting.
Kemampuan untuk berpikir secara jernih, itulah yang penting. Kemampuan
berpikir secara jernih itu, salah satunya dengan banyak belajar. "Catatan
Harian Anne Frank" adalah sebuah buku yang menghebohkan dunia dan ditulis
sejak tanggal 12 Juni 1942. Kisah buku itu diawali oleh seorang remaja
putri, Anne Frank yang suka membaca buku. Dia mengatakan bahwa buku adalah
sahabat yang paling setia, yang tidak mungkin berkianat. Dari sana pula,
sebenarnya kita belajar banyak, betapa pentingnya memperbaharui hidup
dengan cara membaca. Dalam buku yang berjudul, "To have and to be", Erich
Fromm (1900-1980), penulis, psikoanalis dan kritikus sosial membedakan
makna "to have" dan "to be". Dalam diri seorang religius yang bermental "to
have", ia membanggakan diri pada pencapaian atau perolehan (achievement)
atau gelar. Gelar sarjana yang didapatkan sebagai titik akhir dari
hidupnya. Setelah selesai kuliah, selesai sudah belajarnya. Sedangkan
religius yang bermental "to be" ialah mereka yang manjadikan gelar sebagai
titik awal dari hidupnya. Dengan demikian, seorang religius diharapkan
senantiasa memperbaharui diri terus-menerus dengan belajar. Ia sebagai
orang yang "menjadi" menurut Erich Fromm.

Penutup

Arjuna dalam pedalangan sering diucapkan dengan predikat lelananging jagad,
yang artinya lelakinya dunia. Justru karena predikat tersebut, maka Arjuna
dilukiskan sebagai seorang play boy. Kemudian muncul pameo bahwa istri
Arjuna itu "sekethi kurang siji" yang artinya seratus ribu kurang satu. Di
samping Sumbadra dan Srikandhi, terdapat pula Larasati, Ulupi, Suryawati,
Srimendang, Citragada. Semua wanita itu adalah putri para pendeta tempat
Arjuna berguru. Dalam buku "Mahabharata" tulisan P. Lal ini, perkawinan
Arjuna dengan banyak wanita itu merupakan simbol, bahwa ia kawin dengan
pengetahuan yang didapatkan dari para guru. Arjuna adalah tipe pribadi yang
suka belajar. Selamat belajar untuk hidup!!!!

Merauke, 22 Maret 2011

Markus Marlon msc

Senin, 25 Juli 2011

TEKUN

TEKUN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Ketekunan, sungguh menakjubkan. Dalam novel yang berjudul, Count of Monte
Christo, Alexandre Dumas (1802-1870), penulis Prancis, yang juga sering
dipanggil Dumas pere, memberikan ilustrasi yang begitu bagus tentang makna
ketekunan. Edmond Dantes, tokoh utama dari novel itu diperlakukan secara
tidak adil itu akhirnya masuk penjara yang mengerikan. Nama penjara itu
Chateau d'lf. Selama hampir 15 tahun, Edmond Dantes hidup dalam
keterasingan yang mendalam. Dalam penjara tersebut, hilanglah segala
harapan untuk bertemu lagi dengan Mersedes, tunangannya. Ketika dia sedang
merenungkan tulisan di dinding penjara, "Tuhan akan memberikan Keadilan",
tiba-tiba muncullah seorang napi lain yang sudah menggali dinding penjara
selama bertahun-tahun. Napi itu seorang pastor. Pertemuan dua anak manusia
itu sungguh luar biasa. Edmond Dantes yang dulunya seorang yang buta huruf
dengan penuh ketekunan ia akhirnya menguasai beberapa ilmu. Ia juga
berlatih untuk bermain pedang yang nantinya akan dipakai perang tanding
melawan Ferdinand Montego, yang memasukkan dirinya ke dalam penjara, karena
dia menginginkan Mersedes. Dan benar, ketekunannya dalam belajar di penjara
itu memberikan mukjizat yang luar biasa.

Cuplikan sepenggal kisah di atas meneguhkan kita bahwa kesuksesan seseorang
bisa diraih pun oleh orang yang tidak memiliki gelar akademik. Bahkan
beberapa kisah sukses banyak yang diduduki oleh mereka yang tidak mengenal
sekolah. Ada pemilik perusahaan adalah orang yang tidak memiliki gelar
akademik, tetapi memperkerjakan orang-orang yang memiliki gelar akademik.
Perusahaan menjadi besar tidak tanpa perjuangan, tetapi dilaluinya dengan
jatuh-bangun. Sang pemilik perusahaan itu berkisah, "Perusahaan ini menjadi
menggurita berazaskan pada kejujuran, kepercayaan dan ketekunan". Ketekunan
menata perusahaan, ketekunan memahami para karyawan, ketekunan mengadakan
ekspedisi, ketekunan berelasi dengan Bank adalah modal yang harus dilalui
untuk membesarkan sebuah perusahaan.

Kebanyakan dari kita dalam berkarya memimpikan kalau bisa langsung
menduduki tempat pucuk tertinggi. Kursi direktur, meja ka-bag, dan ruang
inspektur merupakan tempat yang empuk. Tetapi, apakah kita menyadari bahwa
untuk menuju ke sana, seseorang harus merangkak dari bawah?? Orang yang
merangkak dari bawah mengandalkan ketekunan yang luar biasa. Seorang
pemimpin yang baik memang harus berjuang dari bawah. Lewat perjuangan dan
ketekunannya, ia bisa merasakan dan solider dengan bawahannya. Alexander
Agung (356–323 s.M.) misalnya adalah seorang raja Macedonia dan menjadi
jendral terbesar pada zamannya, amat mengenal para prajuritnya. Di kala
istirahatnya, ia berkeliling dari tenda ke tenda untuk menyapa dengan
menyebut nama dan tanggung jawab mereka masing-masing. Alexander Agung
menyelami tugas para prajuritnya. Memang, untuk menjadi jendral tertinggi,
Alexander Agung harus mulai berjuang dengan tekun dari bawah. Namun yang
terjadi saat ini, mental menerabas sudah masuk dalam bagian hidup kita.
Mental menerabas mengandalkan koneksi, pelicin, katebelece, memo, sehingga
seseorang menduduki tempat yang empuk tanpa melalui perjuangan dan
ketekunan. Inilah yang menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme di negara
kita.

Dalam dunia pewayangan ada tokoh yang bernama Ekalaya. Ekalaya dikenal
sebagai raja tampan, sakti yang beristri cantik dan setia bernama
Anggraini. Suami Anggraeini ini tidak pernah mengalami pendidikan strategi
perang dari guru agung, Dorna. Hal itu dikarenakan dia bukan dari keturunan
dinasti Bharata. Meskipun demikian, ia tidak pernah pantang menyerah. Maka
yang ia buat adalah memasang patung sang guru di studio-nya (ruang kerja).
Dan dari situ, ia belajar memanah "di bawah asuhan" Dorna. Berkat
ketekunannya, maka keahlian memanah Raja Ekalaya setara dengan Arjuna. Ia
tidak minta dikasihani, ia mulai memotivasi diri untuk ahli dalam bidang
memanah. Ketekunan tidak jatuh dari langit, melainkan harus diraih dan
harus diusahakan.


Jogjakarta, 10 April 2011
Markus Marlon msc

Minggu, 24 Juli 2011

SI BULE ...

SI BULE DAN TONGKAT AJAIB

Setelah mengirimkan renungan semalam dan mencari menu yang cocok untuk
santap malam, aku sedikit repot berkeliling untuk menemukannya. Ya, bagiku
tidak
ada makanan yang paling enak nan murah meriah selain nasi goreng apa pun
macamnya. Akhirnya, kutemukan di sebuah rumah makan kecil yang dilengkapi
dengan musik dan layar lebar yang membuat kita bisa mendengar musik sambil
melihat para penyanyi dan gerakan tubuh nan gemulainya. Kupesan nasi goreng
"seafood dengansegelas ice tea" menjadi cukup untuk santap malamku.

Kira-kira 3 meter dari mejaku seorang bule tua dengan tongkat kecil di
tangannya sedang bersantai ria dengan 2 botol beer hitam. Ada yang lucu dari
penampilan bule tua ini yang sendiri mengakui bahwa dia telah berumur 67
tahun, yakni ia selalu menyanyi mengikuti si penyanyi di layar walaupun
kadang ia sendiri tidak
menghafal syair lagunya. Maklum mungkin beberapa botol beer telah
dihabiskannya sehingga ia mulai mabuk dan berbicara sembarangan. Setiap lagu
diperdengarkan dan penyanyi tampil di layar yang berukuran besar itu, si
bule selalu berkomentar; "Aku menyanyi lebih bagus darinya." Ia mengulang
terus kalimat
yang sama untuk setiap lagu. Dari instrument awal lagu berikutnya langsung
kutahu bahwa itu lagu "To Love Somebody" sehingga ketika beliau mencoba
mengingat judul lagunya, aku langsung berteriak; Sir, itu lagu "To Love
Somebody." Terlihat kegembiraan di raut wajahnya ketika dia mendengar
suaraku
sebagai dukungan baginya. Maklum, cuma ada dua orang asing di dalam
restaurant kecil itu, yakni si bule dan aku. Ia langsung beranjak dari
tempat duduknya
dan menjabat tanganku seraya mengatakan; "You are my brother! I really love
the black man." (Dalam hati saya mengeluh; Sial si bule ini…biar pun hitam
begini
tapi suaraku lebih bagus dari kamu, tahu!) Aku membalasnya; "Thank you,
brother! Kita berdua seperti apa yang dinyanyikan oleh Michael Jackson
dalam
lagunya; "Black or white." Dia memelukku sekejab dan mengatakan; "I really
like your words" Kemudian, si bule langsung kembali ke tempat duduknya
ketika ia
melihat si pelayan telah menghampiri mejaku dengan nasi goreng seafood dan
segelas ice tea pesananku. Reaksi minuman membuat si bule sudah benar-benar
mabuk dan mulai berkomentar terhadap apa saja yang dilihat dan didengarnya
di dalam restaurant kecil itu. Kadang ia menjadikan tongkat kecilnya itu
sebagai
gitar dan memainkan mengikuti irama music, atau kadang ia menggunakannya
sebagai mikrofon dengan memperdengarkan suara jeleknya yang katanya lebih
bagus
dari para penyanyi di layar itu. Wow, sungguh seorang tua yang sedang
menikmati masa tuanya kalau tidak dengan secara negatif dikatakan sedang
menghibur diri.

Saudaraku,
Di sekitar kita pun atau di dalam komunitas atau di dalam keluarga, sering
kita bertemua bahkan hidup bersama dengan mereka yang sudah lanjut usianya.
Ada
sebagian yang tenang tanpa banyak bicara, tapi ada juga yang rewel dalam
sikap dan tingka lakunya, yang kadang membuat kita sulit untuk menerima
kehadiran
mereka. Si bule tua dalam cerita di atas adalah salah satu diantaranya.
Kendatipun suaranya jelek ketika terdengar di telinga tapi ia masih mau
menjabat
tanganku dan menguncapkan "good night" ketika aku meninggalkan restaurant
kecil itu. Ia merasa bahwa haya akulah satu-satunya yang mendengarkan dia,
yang
mau memuji dia dan rela menjadi sahabatnya tadi malam. Ia merasakan bahwa di
masa tuanya masih ada orang yang peduli dan mau berbagi dengannya.

Apa yang bisa kita petik sebagai pelajaran dari kisah kecil ini bahwa di
satu pihak, sebagai orang tua (lanjut usia) sebaiknya kalian tidak perlu
membandingkan masa lalu dengan masa sekarang, membandingkan dirimu dengan
diri orang muda di zaman ini seperti si bule tua yang selalu berkomentar;
"Saya dapat menyanyi dengan lebih baik darinya." Apa yang indah adalah
mengakui bahwa zaman telah berubah. Anda tidak mungkin membawa semua
kelebihan, keunggulan dan
segalanya di masa lampau ke masa sekarang dan memaksakan generasi muda untuk
mengikutimu dalam segala hal dan segi kehidupan. Biarlah masa lalumu menjadi
sebuah kenangan indah yang tak terlupakan dan akuilah ciri khas dan keunikan
masa sekarang ini sehingga hidup dan kesekitarannya tidak dikeluhkan setiap
saat melainkan dinikmati. Rasanya terlalu singkat waktu bagimu untuk
mengeluh dan tidak akan ada yang berubah sesuai dengan keinginanmu. Apa yang
singkat dalam hidupmu saat ini adalah menikmatinya tanpa keluhan sehingga
hidupmu sungguh menjadi berkat bagi generasi muda yang hidup bersamamu.
Sebaliknya, bagi generasi muda, hidup bersama orang-orang yang sudah lanjut
usia juga menjadi kesempatan untuk melatih kesabaran serta menjadi saat
pemberian terindah dari Tuhan untuk berbagi kasih, belajar mengerti dan
memahami kesepian dan kerinduan mereka yang lanjut usia. Menjadi seorang
sahabat bagi mereka di masa tua adalah sebuah kekuatan bagi mereka untuk
merasakan bahwa kehadiran mereka sungguh menjadi berkat bagi anak-cucu
mereka. Memang tidak semua hal pasti mengenakkan dari mereka, tapi mengikuti
kemauan mereka untuk beberapa kali rasanya tidak membuat hidupmu menjadi tak
berarti, kan?

Saudaraku,
Aku hanya mempunyai sebuah keyakinan dan keyakinan ini ingin kubagikan
kepadamu sebagai saudaraku malam ini bahwa "jika yang tua mau menyesuaikan
diri
dengan dunia sekarang dan yang muda rela memahami yang tua, maka keduanya
dapat hidup bersama dalam satu dunia dengan aman dan damai." Jika ini dapat
terjadi maka hidup ini sungguh menjadi sebuah berkat bagi orang lain di
sekitarmu. Keakraban dan keharmonisan antara yang tua dan muda sungguh
menjadi sebuah tanda bahwa damai itu indah bila kita masing-masing bisa
berpartisipasi di dalamnya. Bila itu terjadi maka hidup sesungguhnya menjadi
sebuah kesempatan untuk selalu bersyukur kepada Sang Pemberi hidup, yakni
Tuhan Pencipta kita. Ya, Anda putih saya hitam; Anda berambut lurus saya
keriting; Anda tua saya muda; Anda miskin saya kaya; Anda seorang karyawan
saya adalah bos; dan berbagai status dan ciri khas lainnya yang membuat Anda
dan saya berbeda, tetapi Anda dan saya adalah manusia. Ada sebuah lagu
karismatik yang syairnya sungguh indah untuk dimaknai;"beragam-ragam kita
hadir di sini tapi kita satu" semoga tetap mengingatkan saudara dan aku
(kita) untuk saling menerima yang lain apa adanya, dan hanya dengan inilah
kita dapat hidup dengan damai dan harmonis dalam dunia ini.

Salam seorang sahabat untuk para sahabat,

***Duc in Altum***
Efix Sj

PIDATO SANG PEMIMPIN

PIDATO SANG PEMIMPIN
(Sebuah Percikan Permenungan)

John Kennedy (29 Mei 1917 – 22 November 1963), dalam usia 43 tahun dilantik
sebagai Presiden Amerika Serikat, menjadikannya sebagai pria termuda dan
sekaligus penganut Katolik pertama yang menjadi presiden sepanjang sejarah
Amerika. Pidatonya yang memukau saat dilantik menjadi presiden memupus
ketakutan masyarakat bahwa ia terlalu muda dan tidak berpengalaman untuk
menduduki jabatan setinggi itu. Kennedy pandai dan senang berpidato. Ia
mempersiapkan dan memperbaiki sendiri naskah pidato pelantikannya sebagai
presiden selama dua bulan. Pidato yang disampaikan di Washington, 20
Januari 1961 saat pelantikannya menggoncang dunia. Ia berorasi, "Jangan
tanya apa yang bisa dilakuan negara untukmu; tanyakan apa yang bisa kamu
berikan untuk negaramu". Menarik juga apa yang diucapkan oleh Martin Luther
King Jr (15 Januari 1929 – 4 April 1968) dalam pidato terkenalnya berjudul,
"I have a dream" di Lincoln Memorial, Washington DC, 28 Agustus 1963.
Pidato yang mengagumkan juga disampaikan oleh Bung Karno (1901 - 1970),
"Kemerdekaan hanyalah dimiliki oleh bangsa yang jiwanya bekobar-kobar
dengan tekad merdeka – merdeka atau mati!"

Pidato yang disampaikan oleh "singa podium" ini mampu mengubah cara pandang
orang atau mindset, sehingga dengan kesadaran kolektif bisa mengubah dunia.
Pidato John Kennedy yang tekenal itu, rupanya sulit kita temukan dalam
pidato-pidato yang disampaikan oleh pemimpin kita zaman sekarang ini.
Apakah kita pernah menyaksikan pidato pelantikan Presiden kita dihadiri
oleh mantan-mantan Presiden sebelumnya ? Seharusnya sebagai Pemimpin bukan
lagi menjadi milik partai ini atau partai itu. Yang terjadi seharusnya
adalah sebagai satu kesatuan membangun negara. Secara tidak sadar, saya
diingatkan kembali akan motto Kota Merauke yang berbunyi, "Izakod Bekai,
Izakod Kai" yang berarti Satu Hati Satu Tujuan. Anehnya para pemimpin kita
terang-terangan mengatakan bahwa dirinya adalah tokoh oposisi yang tugasnya
mengawasi jalannya pemerintahan. Memang benar bahwa setiap kebijakan
Pemerintahan itu perlu untuk dievaluasi, supaya terkontrol. Namun sangat
disayangkan bahwa bentrokan terjadi di mana-mana, sehingga energi yang
sebenarnya dipakai untuk membangun negara
malah terkuras habis untuk urusan remeh-temeh.

Seorang pemimpin bertugas melindungi, mengayomi dan memotivasi para
rakyatnya. Pidato yang disampaikan bagaikan kata-kata inspirasi yang
mendorong mereka melaksanakan tugas sesuai dengan peran masing-masing.
Semakin sang pemimpin itu dicintai, maka para rakyat ingin berlomba-lomba
berbuat kebaikan baginya. Bahkan karena fanatiknya, seorang rakyat jelata
mempunyai jargon demikian, "pejah gesang ndherek Paduka" yang artinya hidup
mati saya ikut Paduka. Kepasrahan total kepada orang yang memimpin
mendorong rakyat semakin mencintai panutannya. Di sini bukan karena
pengaruh pidato yang disampaikan, melainkan karena sang pemimpin itu layak
untuk dibela dan layak untuk dicintai. Janji-janji ketika kampanye merebut
hati rakyat sudah saatnya diuji ketika rakyat tertimpa pelbagai masalah.
Seorang pemimpin ucapannya bisa dipegang dan tidak boleh plin-plan. Untuk
melukiskan seorang pemimpin yang tidak konsekwen bisa dikatakan, "Esok
dhele, sore tempe", yang artinya pagi hari mengatakan kedelai, sore harinya
berubah menjadi tempe. Ini yang bisanya mengecewakan hati rakyat.
Pidato-pidato yang disampaikan kepada rakyat, akan menjadi afdol jika
dibarengi dengan tindakan-tindakan nyata yang bertujuan mengangkat martabat
rakyatnya. Napoleon Bonaparte (15 Agustus 1769 – 5 Mei 1821) di sela-sela
waktu luangnya mencoba berjumpa dengan para prajurit dan bersendau gurau
serta menanyakan kabar keluarganya. Betapa bahagianya, orang yang disapa
oleh sang Kaisar tersebut. Perhatian, meskipun kecil dari seorang Pemimpin
dapat menumbuhkan semangat yang membara dan pada gilirannya membela
mati-matian Sang Pemimpin tersebut. Pidato-pidato Sang Pemimpin bagaikan
kata-kata magis yang menyihir orang-orang yang mendengarnya. Pidato-pidato
yang diucapkan oleh pemimpin itu memberikan inspirasi dan motivasi bagi
orang-orang yang mendengarkannya. Ki Hajar Dewantoro (2 Mei 1889 – 28 April
1959), sesepuh pendidikan pernah berujar : "Ing ngarso sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani" yang artinya, "Di depan menjadi
teladan, di tengah mendampingi dan di belakang memberi semangat". Pidato
Sang Pemimpin, akhirnya bukan sekadar berbicara ba-bi-bu, melainkan
bagaimana dirinya memenuhi janji-janji dan komitmen yang telah dipidatokan.
Menurut Sujatmoko seorang cendekiawan, sebuah ide haruslah memiliki kaki.
Demikian pula, pidato yang telah diucapkan akan ditangkap oleh para asisten
ataupun dewannya dan dilancarkan dengan program-program yang pada
gilirannya diharapkan dapat menyejahterakan yang dipimpinnya.


Merauke, 2 Februari 2011

Markus Marlon msc

Selasa, 05 Juli 2011

Untuk yang sudah punya anak.

Mitos Pendidikan Anak : Menjadi Mandiri Itu Identik "Tidak Butuh Orang Lain"

 


Selamat tahun baru 2010! Saya ingin menawarkan sebuah tulisan tentang pendidikan anak, yang terbuka untuk dikritik. Tulisan ini berakar pada pengalaman saya dalam keluarga, saat masih hidup bersama dengan orangtuaku (+) Aloysius Mujiman & Mg M Sulastimah, serta kedua adikku, Iie, & (+) Sugeng. Kenangan cara mendidik orang tuaku rasanya sangat mengesan bagiku. Pendidikan yang mengesan itu karena ternyata beberapa praktek yang saya jalani itu mengubah cara berpikir "keyakinan lama" tentang kemandirian anak. Keyakinan lama itu bisa jadi sebuah mitos yang masih diyakini "kebenarannya", antar lain ada pemahaman sbb,:  " anak yang dewasa adalah anak yang mandiri. Anak mandiri itu mampu mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan orang tuanya"


Pemahaman "kemandirian" itu menggerakkan banyak bapak ibu mendidik anaknya dengan tujuan "mandiri": bisa mengurus dirinya sendiri, tanpa merepotkan ayah ibunya. Itulah yang terjadi, banyak orang tua suka membentak-bentak anaknya karena mereka minta tolong diambilkan minum, minta ditemani belajar, minta ditemani beli sepatu, dsb. Dengan alasan kemandirian itulah, banyak orang tua juga akhirnya membuat acara tersendiri, saat anak anak belajar atau tidur siang, mereka pergi atau menghibur dirinya sendiri dengan nonton TV atau pergi jalan jalan tanpa mengajak anaknya.
Kalau ditanya, "Pak, Bu, kenapa anak anak tidak diajak pergi ?" Jawabnya dengan entheng, "Lha, anak anak kan harus belajar sendiri dan belajar mandiri, masak belajar saja ditemani. Kami orang tua kan juga mesti punya waktu untuk menghibur diri sendiri. Memangnya kita ini jadi Bapak Ibu harus terus menjaga anak ? Nanti kalau sudah nikah, kami juga akan ditinggalkan! Kuno, Mas, kalau orang tua diminta untuk menemani anak belajar, menemani beli sepatu! Kalau bisa kerjakan sendiri, kenapa mesti ditolong ? Bukankah pendidikan model "pertemanan" itu membuat anak jadi manja dan tergantung pada orang tua ?"


Di balik jawaban orang tua tadi, ada sebuah pemahaman tentang "kemandirian" yang sangat "pragmatis": bisa sendiri.
"Kemandirian" dalam bahasa Latinnya itu "otonom", dari kata auto & nomos= auto: sendiri, dan nomos: urusan rumah tangga. Namun otonomi itu diakui adanya justru hanya dalam "RELASI". Semakin banyak orang memiliki relasi, akan semakin jelas "otonominya": jelas bagaimana dia mengurus dirinya sendiri. Karena itu, "kemandirian" itu hanya tumbuh dan berkembang makin matang dalam "BERELASI". Relasi yang mengembangkan "otonomi" adalah relasi yang membebaskan orang untuk "mengambil keputusannya sendiri". Itulah inti dari "memberdayakan orang untuk mandiri: jadi dirinya sendiri". Persoalannya adalah "bagaimanakah kita akan mampu memberdayakan orang lain jadi "mandiri" kalau tidak mau membangun relasi ?


Relasi orang tua dan anak yang memungkinkan tumbuhnya otonomi anak adalah "relasi yang menawarkan pilihan". Sejak mereka sudah mulai bisa mandi sendiri, makan sendiri, mereka bisa diberi pilihan, "Dik, mau mandi sendrii, atau dimandikan? Mau disuapin atau makan sendiri? Besok mau cari baju baru: dibelikan saja, atau pilih sendiri tapi ditemani? Adik ditemani belajar, atau mau belajar sendiri?" Dengan berbagai pilihan itu, anak anak akan belajar untuk memutuskan, sekaligus mereka belajar untuk terbuka menanggung resikonya. Itulah latihan yang sangat sederhana, namun butuh ketekunan.


Masih ada banyak kesempatan untuk "menciptakan ruang" agar anak anak belajar ambil keputusan sendiri. Semakin dilatiih untuk membuat keputusan, di situlah anak akan belajar "menjadi dirinya sendiri", bukan menjadi "wayang" atau "copy" dari ayah -ibunya. Kebiasaan "menawarkan" pilihan, akan membuat anak merasa tidak terancam, melainkan merasa nyaman karena dipercaya untuk memutuskan sendiri. Anak itu akan belajar, kalaupun gagalpun orang tua akan ikut menanggung resikonya.


Cara berpikir macam ini, bukankah sebenarnya menjadikan "paham kasih" menjadi konkret : kasih orang tua kepada anak, bukan soal memberi barang atau fasilitas mewah, melainkan KASIH itu berarti "menjadi sahabat" yang membuat anak "TIDAK KETAKUTAN", melainkan MERASA NYAMAN untuk tampil sebagai pribadi. "Dalam ketakutan tidak ada kasih!" Dalam situasi yang tidak takut, anak pun bisa bertanya, "Pak, Bu, boleh nggak saya minta ditemani kalau saya belajar? Boleh nggak saya minta tolong untuk ditemani beli sepatu?" Itulah anak yang mulai mandiri, berani beresiko, juga kalau ayah atau ibunya tidak sanggup memenuhi permintaannya. Namun anak itu tidak lagi "memerintah" melainkan "meminta tolong".Itulah anak mandiri, yang tetap butuh bantuan orang lain, namun ia mengasihi orang tuanya, karena ia mampu menciptakan "ruang" bagi orang tuanya juga untuk membuat pilihan tanpa terpaksa. Dengan kebiasaan begitu, terbukalah harapan banyak anak makin tumbuh manusiawi.


Semoga di tahun baru 2010 ini kita belajar menciptakan "RUANG HIDUP" yang membuat siapapun tidak takut berhadapan dengan kita, melainkan mereka TERTANTANG untuk membuat pilihannya sendiri.


Warm regards

bslametlasmunadipr

 

Minggu, 03 Juli 2011

Buku Kehidupan

BUKU KEHIDUPAN

''Nama yang harum lebih baik daripada minyak yang wangi, dan hari kematian
lebih baik daripada hari kelahiran'', Pengkhotbah 7:1.

Hidup manusia seperti sebuah BUKU. Cover depan adalah tanggal lahir yang
merupakan awal kehidupan yang hanya sementara. Cover belakang adalah tanggal
kematian yang merupakan awal kehidupan yang kekal. Tiap lembarnya, adalah
tiap hari dalam hidup kita dan apa yang kita lakukan.

Ada buku yang tebal, ada buku yang tipis. Ada buku yang menarik, ada yang
tidak menarik sama sekali. Sekali ditulis, tidak akan bisa dihapus lagi.
Tapi seburuk apapun halaman sebelumnya, selalu tersedia halaman selanjutnya
yang putih bersih, baru dan tanpa cacat.

Sama dengan hidup kita, seburuk apapun kemarin, ALLAH selalu menyediakan
hari yang baru untuk kita. Kita selalu diberi kesempatan baru untuk
melakukan sesuatu yang BENAR dalam hidup kita setiap harinya. Kita selalu
dapat memperbaiki kesalahan kita dan melanjutkan jalan hidup kedepannya
sampai saat tutup usia, yang sudah ditetapkan NYA. ''Masa hidup kami 70
tahun dan jika kami kuat, 80 th,'' Mazmur 90:10a.

Terima kasih TUHAN untuk hari yang baru ini.

Mari kita isi halaman buku kehidupan kita dengan hal2 yang BENAR dan KUDUS.
Jangan pernah lupa, untuk selalu bertanya kepada Allah: '' Apa yang harus
kutulis untuk hari ini ?'' Sehingga pada saat halaman terakhir buku
kehidupan kita selesai, kita dapati diri ini sebagai pribadi yang berkenan
kepadaNYA. Dan buku kehidupan itu layak untuk dijadikan TELADAN bagi anak
cucu kita dan siapapun nanti.

Selamat menulis BUKU KEHIDUPAN. Tulislah dengan tinta IMAN dan CINTA KASIH,
serta pena KEBIJAKSANAAN.

''Ajarlah kami menghitung hari=hari kami sedemikian, hingga kami beroleh
hati yg BIJAKSANA'', Mazmur 90:12.

Bumijawa, 3 July 2011

From the desk of Jungky Junanto
- United Under One Star -

Sabtu, 02 Juli 2011

CEMBURU

CEMBURU
(Sebuah Percikan Permenungan)

Bahasa Ibraninya Cemburu adalah qin'a. Kata itu aslinya ialah menyala,
kemudian berarti warna merah yang kelihatan pada wajah seseorang yang
diliputi perasaan membara, lalu perasaan tidak senang terhadap seseorang
yang memiliki sesuatu, yang tidak dimiliki sendiri. Kata itulah yang
dikenakan pada sikap Rahel terhadap kakaknya. Ketika dilihat Rahel bahwa ia
tidak melahirkan anak bagi Yakub, ceburulah ia kepada kakaknya itu, lalu
berkata kepada Yakub, "Berikanlah kepadaku anak; kalau tidak, aku akan
mati." (Kej. 30: 1). Rahel cemburu terhadap Lea yang dikaruniai banyak
anak, sedangkan dirinya belum mendapatkan seorangpun. Kecemburuan ini
disebabkan karena dirinya tidak memiliki apa yang dimiliki oleh orang lain.
Tetapi ketika anak-anak Rahel yakni Yusuf dan Benyamin disayangi Yakub, maka
pada gilirannya anak-anak Lea cemburu kepada Yusuf si tukang mimpi itu,
sehingga sampai hati menjual kepada orang asing (Kej. 37: 12 – 36).
Kecemburuan sungguh mempunyai efek yang luar biasa.

Ada sebuah kisah rekaan tentang rasa cemburu yang mungkin bisa untuk kita
renungkan. Diceriterakan dua orang ibu pedagang sembako (Sembilan bahan
pokok) yang warungnya berhadapan. Tetapi amat disayangkan bahwa mereka
berdua memiliki rasa saling cemburu satu dengan lainnya. Pada suatu hari,
datanglah seorang malaikat untuk memberikan sesuatu kepada salah satu ibu.
Katanya, pada suatu kali kepada seorang ibu, "Ibu, saya akan memberikan
kepada ibu sesuatu. Jika saya memberi ibu satu rumah baru, maka ibu di
seberang jalan itu akan saya beri dua rumah baru. Jika Saya membuat warung
ibu laris dua kali lipat, maka ibu di seberang ibu akan mendapatkan laba
empat kali lipat. Sekarang ibu minta apa dari padaku?" Ibu itu berpikir
sejenak, kemudian berkata, "Malaikat yang baik, saya minta butakan mataku
sebelah kiri saja, supaya ibu di seberang jalan tersebut matanya buta
dua-duanya." Orang mau menderita – asal – orang yang dicemburui itu lebih
menderita. Cerita rekaan tadi merupakan kecemburuan karena kepemilikan
yang kurang. Orang menjadi puas, jika dirinya sudah berkelebihan dan orang
lain yang adalah "saingannya" berada di bawahnya. Orang yang memiliki
rasa cemburu kepemilikan, senantiasa berusaha menjadi "orang yang lebih".
Perasaan ini yang membuat dirinya tidak tenang dan tidak merasa berdamai
dan dia terus-menerus berusaha hidup dalam situasi yang tidak nyata.

Yang paling sering terjadi adalah cemburu dalam dunia percintaan. Bahkan
dikatakan dalam sebuah kelakar bahwa "cemburu adalah bumbu cinta." John is
jealous when he sees his girl joking around with another guy. (Si Joni
cemburu melihat pacarnya bercanda dengan cowok lain). Rasa cemburu yang
terjadi dalam percintaan, ada kecenderungan bahwa pihak yang satu ingin
memiliki yang lain. Maka tidak mengherankan jika kadangkala ada pertumpahan
darah dalam percintaan hanya karena cemburu. Drama tregedi berjudul
"Othelo" karangan William Shakespeare (1564-1616) hendak memperlihatkan
kepada kita betapa dahsyatnya cemburu itu. Wajah Othello menjadi menyala
ketika melihat Desdemona, istrinya sedang bercakap-cakap dengan Cassio.
Othelo cemburu karena disulut oleh Iago, yang provokasinya berhasil dengan
baik. Cassio dilukiskan sebagai letnan yang tampan, handsome, simpatik
sedangkan Othello orang Moor yang wajahnya - maaf - jelek dan cenderung
menakutkan. Rasa cemburu yang tidak beralasan itu mencapai klimaksnya pada
kematian istrinya di ranjang, yang yang dibunuh oleh Othello, dengan
menutup hidungnya dengan bantal sampai tidak bernafas lagi. Kecemburuan
dalam percintaan yang juga menghebohkan terjadi dalam diri Achilles dan
Agamemnon karena merebutkan seorang budak bernama Bereas (Bdk. "Illiad" –
tulisan Homerus – yang hidup ± 8 Seb. M). Cemburu bisa juga terjadi
tatkala orang masih kecil dan bertumbuh menjadi dewasa. "Bibit" kecemburuan
itu ditanam oleh orang tua serta leluhurnya, dan ini memicu perang yang
besar yakni Mahabartha (Bdk. "Mahabaratha", tulisannya Nyoman S. Pendit).
Rasa cemburu yang lain juga dialami oleh Gulliver, yang menjadi "tontonan"
baru di sebuah istana di negeri Brobdingnag karena badannya yang kecil.
Penghibur istana yang sudah lama di situ, karena banyolannya dan disayangi
oleh para bangsawan, kini mulai tidak laku lagi, sebab ada saingannya. Tidak
ayal lagi bahwa Gulliver itu pun terancam jiwanya karena kecemburuan si
cebol (Bdk. "Gulliver's Travels" tulisan Jonathan Swift, yang hidup tahun
1667 - 1745).

Ada lagi kisah tentang cemburu berkenaan tentang persaingan yang pada
akhirnya malah mematikan dirinya sendiri. Dikisahkan bahwa di kota Athena
ada seorang juara lari dalam olimpiade. Maka, sang juara tersebut dimahkotai
dan diarak sekeliling kota. Bahkan tidak tangung-tanggung, persis di
perempatan jalan, didirikanlah sebuah patung besar dari beton untuk
menghormati dirinya. Tentu saja, patung monumental tersebut semakin membuat
cemburu saingannya. Si Pencemburu, dengan maksud yang jelek ingin merobohkan
patung tersebut. Maka – setiap malam – ketika orang-orang di alam mimpi,
dirinya mendatangi patung tersebut untuk merobohkannya. Sedikit demi
sedikit, ia mencoba untuk melobangi beton tersebut. Tidak terasa, apa yang
dilobangi tersebut semakin menganga dan tumbanglah patung itu hingga menimpa
orang yang cemburu itu. Tak dapat disangkal, orang itu akhirnya mati konyol.

Rasa cemburu tidak hanya menyangkat hal-hal duniawi (percintaan, kekayaan,
persaingan dan ketrampilan), namun juga bagi mereka yang bekerja dalam ranah
religius. Karya pastoral yang telah dibuat oleh seorang pastor dan sukses
bisa menimbulkan rasa cemburu bagi pastor lain. Istilah dalam bahasa Latin
adalah invinida clericalis. Tentu saja, kecemburan dalam bidang pastoral
ini membuat bingung umat yang dilayani dan terkadang membuat umat jadi
terpecah belah (Bdk. 1 Kor 1:12 dan 3:4). Selain itu kita juga memiliki
Allah yang pencemburu (Kel. 34: 14), sebab Dia mempertahankan hak-Nya
sebagai Satu-satunya yang boleh disembah dan Dia tidak akan memberikan
kemuliaan-Nya kepada orang lain (Yes 42: 8). Sifat cemburu Allah itu membuat
kita semakin mencintai-Nya dan tidak menduakan-Nya.

Rasa cemburu adalah pengalaman yang amat nyata karena kita sering
mengalaminya sendiri. Melihat orang lain lebih maju, kita cemburu.
Akibatnya, jantung berdetak tidak teratur serta membuat hidup tidak tenang.
Ada seorang istri yang cemburu dengan Surat Kabar. Karena setiap pagi,
sembari minum kopi sang suami yang pertama-tama pegang adalah Surat Kabar.
Istrinya tidak hanya cemburu, tetapi marah juga kepada kertas yang diberi
nama Surat Kabar tersebut. Akhirnya, sebelum dibaca oleh sang suami, Surat
Kabar tersebut sempat diremas-remas karena gemasnya. Ah, ada-ada saja!!

Kantor "Percikan Hati", 30 Mei 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO
Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Kamis, 30 Juni 2011

KESABARAN

KESABARAN

Guru Buddhis yang terkenal dari India diundang ke Tibet untuk membeberkan
Dharma. Guru ini membawa serta seorang laki-laki yang tidak hanya bawel dan
tidak bertanggung jawab, tetapi juga merupakan tukang masak yang jelek.
Setelah mengamatinya beberapa waktu, orang-orang Tibet mendekati sang Guru
dan berkata dengan penuh hormat, "Mengapa Guru begitu tenggang rasa dengan
tukang masak yang tidak berguna itu. Ia kelihatannya cuma menimbulkan
masalah, alih-alih membantu Guru. Mengapa Guru tidak pulangkan saja. Kami
akan dengan senang hati melayani Guru." Sang Guru tersenyum dan menjawab,"Ah
kalian tidak mengerti. Ia bukan pelayanku, tapi ia guruku." Orang-orang
Tibet kaget dan memohon penjelasan, "Kenapa bisa begitu?" Sang Guru
menjelaskan, "Kalian lihat, perangainya yang rewel dan tidak menyenangkan
itu telah mengajariku untuk bersikap sabar dan bertenggang rasa setiap
hari. Karena itulah aku menghargainya."

"Percikan Hati"
Skolastikat MSC
Pineleng - Manado, 15 Mei 2011
Markus Marlon MSC

Senin, 27 Juni 2011

DENDAM

DENDAM
(Sebuah Percikan Permenungan)

Dendam, memang sungguh luar biasa. Tidak ada suatu sikap yang lebih
mengerikan daripada dendam. Buku yang berjudul "The death of Adolf Hitler"
memberikan pelukisan yang jelas tentang apa yang dirasakan oleh Hitler.
Hitler (1889-1945) pada masa mudanya pernah hidup sangat melarat. Ia
bekerja serabutan. Dengan terus-terang, dia mengatakan bahwa dirinya amat
menderita. Penderitaan itu membangkitkan dendam dalam dirinya. Rasa marah
karena derita yang dialaminya, akhirnya tertuju pada orang-orang kaya
keturunan Yahudi, yang dianggapnya sebagai penyebab kemelaratannya. Pada
awal karir politiknya, Hitler adalah seorang pemuja Benito Mussolini (1883 –
1945). Dalam Mein Kampf, (sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
Penerbit Narasi) Hitler menyebut Benito Mussolini sebagai seorang manusia
agung (a great man) berkelas dunia. Tetapi Hitler juga memiliki pengalaman
baru yang dianggapnya sebagai penghinaan. Ketika ia menulis surat kepada
Mussolini untuk memohon potretnya yang bertanda tangan pribadi, diktator
Italia itu memandang hina permintaan itu dan menjawab melalui Kedutaan Besar
Italia, "Il Duce tidak merasa pantas mengabulkan permintaan Anda." Merasa
dipermalukan, maka Hitler tidak pernah akan melupakan peristiwa tersebut. Ia
menjadi pribadi pendendam.

Orang yang dendam itu bagaikan seseorang yang memelihara singa di rumahnya.
Ketika masih bayi, singa itu amat jinak. Sang singa itu mau makan daging
ayam yang disediakan oleh pemeliharanya. Namun singa tetap singa yang adalah
binatang buas pemakan daging. Demikian pula, orang yang dendam adalah
pribadi manusia yang memelihara binatang buas dalam hatinya. Dan binatang
itu, suatu saat akan menguasai yang memeliharanya. Dendam itu meredam dalam
hati dan pada suatu saat tentu akan "meletus" bagaikan letusan gunung
Vesuvius di tahun 1005. Para pendendam itu – barangkali – sudah
memiliki bibit kedendaman sejak masih kecil. Tetapi berhubung sudah
menumpuk, maka tidak mengherankan – dalam hal ini seperti yang dilakukan
oleh Hitler – jika dalam jangka waktu beberapa tahun saja, sekitar
6.000.000 orang Yahudi disiksa di kamar gas dan melayang jiwanya.

Banyak sekali tema dendam dalam film-film. Film yang berjudul, "Revenge"
dan "Vendetta" memberikan pelajaran yang berharga tentang makna dendam.
Dengan saling mendendam, akhirnya dua-duanya tewas dalam perkelahian. Dalam
film persilatan atau Kung Fu, ketika hendak beradu jurus-jurus, seseorang
menyediakan dua galian kubur. Satu untuk lawan dan satunya untuk dirinya
sendiri. Hal ini hendak menunjukkan bahwa dendamnya dibawa sampai mati.
Lebih jauh lagi kita menyaksikan adegan dendam dalam diri Sun-Tzu. Sun Tzu,
panglima perang dalam film "Sun Tzu" melukiskan bahwa strategi perang yang
termasyur itu akhirnya membuat dirinya mundur dari panglima dari negeri Wu.
Dia pun akhirnya menyadari bahwa dalam perang tersebut yang ditemukan
adalah dendam. Orang yang menang perang sine qua non harus berjaga-jaga
perlawanan dari orang yang dikalahkan. Dan yang kalah mencari waktu yang
tepat untuk membalas dendam supaya amarahnya bisa terbalaskan. Saling
membalas dendam tidak berujung itu kita sebut sebagai lingkaran setan
(vicious circle).

Kemudian kita bertanya, "Bagaimana dendam itu bisa diamsusikan sebagai
perasaan benci yang dibawa sampai mati?" Ada seorang yang marah kepada
tetangganya. Kemarahannya itu rupanya akan menjadi dendam. Maka, pergilah
orang itu ke orang yang bijak. Sang bijak mulai memberikan wejangannya,
"Tersebutlah seorang bapak sedang baku marah kepada tetangganya. Lalu
bapak itu disuruh menulis ungkapan hati kemarahannya di air, kertas dan
beton. Jika ditulis di air, maka setelah orang itu marah dan setelah itu
hilanglah rasa marahnya. Jika ditulis di atas kertas kemarahannya bisa
dihapus ataupun di tip-ex. Namun rasa marah itu bisa berlangsung beberapa
hari. Tetapi orang yang kemarahannya dipahat di atas beton, pahatan itu
akan terukir beberapa tahun bahkan tujuh turunan keluarga. Inilah yang kita
sebut sebagai dendam. Kekesalan dan kemarahan itu kita ukir dalam hati,
sehingga kebencian itu mengristal yang tentunya menunggu bom waktu saja,
kapan hendak meletus. Dalam pepatah Latin, kita kenal ungkapan yang
berbunyi, "Immortale odium et numquam sanabile vulnus," yang artinya
kebencian yang abadi dan luka yang tidak pernah dapat disembuhkan.

Pengalaman masa kecil dalam keluarga tentu diwarnai dengan perkelahian
entah baik fisik maupun non fisik. Kalau seorang anak kecil berkelahi dengan
kakaknya, biasanya yang terjadi adalah merusak permainan atau membuat
berantakan pakaian yang sudah diatur dengan rapi di lemarinya.
Perkelahian di masa kecil ini tersebut tidak membawa kebencian yang mengarah
kepada dendam. Setelah anak-anak itu dewasa dan meninggalkan rumah serta
sudah memiliki keluarga sendiri, "pengalaman masa lalu" itu malah menjadi
kenangan yang indah, jika diadakan reuni keluarga, "ngumpulake balung
pisah". Hal ini lain dengan "perkelahian" yang dialami saudara kembar:
Yakub dan Esau.

Film rohani berdasarkan Al-Kitab yang berjudul , "Jacob and Joseph" yang
disutradarai oleh Michael Cacoyannis, mengingatkan kita bahwa
kakak-beradik, bahkan saudara kembar pun diceritakan adanya dendam kesumat.
Pokok cerita dalam film tersebut berkisah tentang pergumulan dua anak
manusia tentang hak kesulungan. Esau anak kesayangan ayahnya, Ishak yang
berniat menyampaikan kepadanya berkat yang merupakan hak anak sulung (Kej
27: 1). Tetapi keunggulan Yakub atas kakaknya itu, yang sudah dikemukakan
sebelum mereka lahir dan pada saat kelahiran mereka (Kej 25: 21 – 26) dan
secara tidak disadari disahihkan oleh Ishak yang sudah tua itu (Kej 27: 22 –
29). Karena kejadian itulah, Esau menaruh dendam kepada Yakub (Kej 27:
41). Esau ingin membunuh Yakub dan dia pun disuruh lari oleh ibunya ke
negeri yang jauh sampai kemarahan kakaknya itu surut dan melupakan peristiwa
yang pernah dia alami (Kej. 27: 43 – 45)

Kantor "Percikan Hati", 02 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO
Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC