Senin, 30 November 2015

Rela

RELA
Kontemplasi Peradaban
 
“Qui proiecto
vestimento suo exiliens, venit ad eum”
 – Lalu ia menanggalkan mantolnya, segera
 berdiri dan pergi mendapatkan Dia (Mrk 10: 50).
 
       Saya pernah mendengar sebuah lagu secara samar-samar, “Aku rela kasihku  pergi bersama si dia….” Sebuah lagu yang menyentuh kalbu dan mengharukan. Lantas kita bertanya, “Tetapi benarkah, orang itu rela melepaskan dia?”

          Zaman sekarang ini, sering kita dengar ungkapan seperti, “Aku rela berkorban demi nyai” atau “Para relawan mengawal  nawacita  yang dicanangkan oleh Jokowi” atau, “Pejabat itu dengan mudah rela melepaskan jabatannya yang empuk”. Memang, orang yang rela itu seolah-olah mengganggap bahwa relasi, kekayaan itu bagaikan mainan. Kemudian kita bertanya,  “Benarkah demikian?”

          Sri Paduka Mangkunagara IV (1809 – 1881) dalam bukunya yang berjudul, “Wedhatama”  menulis, “Lila lamun, kelangan nora gegetun...” – rela yang berarti tidak menyesal, apabila kehilangan sesuatu.  Istilah  lila yang biasanya diterjemahkan sebagai “rela” sebenarnya memiliki makna yang jauh lebih dalam.  Lila juga berarti “permainan”.  Kerelaan hanya bisa terjadi, apabila kita mengganggap dunia  ini hanya sebagai suatu permainan atau pertunjukan. Kehilangan dan keperolehan atau  suka dan duka semuanya hanya terjadi dalam “permainan” yang sedang kita mainkan. Maka,  saya sering  merasa heran apabila ada orang yang memiliki jabatan, kemudian  bersikap mati-matian untuk memegang jabatan tersebut. Ingatlah bahwa semuanya akan berlalu, “There is a time for everything…” – untuk segala sesuatu ada masanya (Pkh 3: 1).

          Memang benar bahwa yang paling sulit itu adalah rela melepaskan jabatan. Dengan jabatan itu, seseorang bisa memerintah dan memiliki fasilitas. Shakespeare (1564 – 1616) dalam dramanya yang berjudul, “King Henry VIII” memperlihatkan kepada kita bahwa seorang raja yang ambisius tidak pernah mau melepaskan jabatannya. Dalam drama itu, Kardinal Wolsey berkata,

                   Aku menuntutmu ‘tuk mengenyahkan ambisimu!
                   Karena itulah dosa yang membuat malaikat jatuh!
 
          Sang Kardinal mengingatkan bahwa jabatan itu sifatnya hanya sementara. Hal itu sama dengan kisah-kisah  “Bhagavad Gita”  –  Nyanyian mulia  yang ditulis  3000 tahun  sebelum Masehi.  Ketika Arjuna dalam keadaan loyo – tidak semangat, Krishna memberi nasihat, “Ibarat seseorangmelepaskan pakaian lama dan memakai pakaian baru…”        Hidup ini bagaikan melewati  cakra panggilingan  (roda berputar) yang bermakna: hari ini memegang jabatan tapi esok atau lusa tentu harus dilepaskan.

          Sebagai akhir dari kontempasi ini, baiklah kita merenungkan lebih dalam lagi,  dengan mengutip kisah Bartimeus (Mrk 10: 50). Ditulisnya, “Ia menanggalkan mantolnya, melonjak dan datang kepada Yesus.” Menanggalkan mantolnya memunyai arti sama dengan meninggalkan segala-galanya. Mantol sejak jaman kuno memiliki makna khusus, “Kalau engkau mengambil mantol  saudaramu sebagai tanggungan, engkau harus mengembalikannya sebelum matahari terbenam; sebab mantol itu satu-satunya yang ia punyai untuk menutup tubuhnya (Kel 22: 25 – 26).

 

Jumat, 30 Oktober 2015 
Markus Marlon

Tidak ada komentar: