Sabtu, 30 Juli 2016

Tambun

TAMBUN(Kontemplasi  Peradaban)

“Exeat aula, qui vult esse pius” – Yang ingin menjadi orang baik, hendaknya meninggalkan istana.

Belum lama ini, kita sering mendengarkan kata-kata seperti, “Rekening gendut”. Tak dapat disangkal bahwa dunia politik mudah sekali memunculkan kata-kata baru. Memang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), gendut juga memiliki makna “menguntungkan” misalnya, “Jangan bertingkah yang menggedutkan diri pribadi dalam dunia politik”.

Belum lama ini pula,  kita mendengar istilah baru yaitu  “koalisi tambun”.  Koalisi berasal dari bahasa Latin,  coalescere. Co = bersama-sama dan alere = tumbuh subur. Dalam bahasa politik diartikan sebagai: gabungan beberapa partai untuk tujuan khusus. Dikatakan tambun, sebab partai-partai yang dulunya bergabung dalam KMP (Koalisi Merah Putih) kini merapatkan barisan  sebagai pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Itulah sebabnya, KIH (Koalisi Indonesia Hebat) menjadi tambun.

Dengan hijrahnya beberapa partai ke pemerintahan Jokowi-JK, maka program-pogram yang dicanangkan akan berjalan dengan mulus. Pemerintah tidak begitu cemas lagi. Kritikan yang bertubi-tubi bahkan vulgar dari oposisinya kini hanya akan menjadi kenangan belaka. Yang terdengar dalam  parlement  hanyalah monotone. Setiap kali palu diketok, mereka akan berteriak, “Setuju!” 

Para pengamat politik mengkuatirkan pemerintahan seperti itu. Dengan berkurangnya tantangan, kritikan, kontrol dan evaluasi dari pihak oposisi maka pemerintah akan “terlena” atau hidup dalam“comfort zone”.  Kenyamanan itu akan membuat orang “tertidur”.  Ini mirip dengan kisah monyet yang tertidur dan terlena karena diterpa oleh  angin sepoi-sepoi basah (Bdk. “Kisah Monyet di Tahun Monyet 2016”). 

Oleh Buddha Gautama (563 – 480 seb.M), orang yang sedang mengalami keterlenaan itu perlu “disadarkan” kembali.

Pemerintahan yang kuat dan solid perlu adanya tantangan. Bung Karno (1901 – 1970) pernah mengkirik  sebuah negara dalam kisah pewayangan yang namanya negeri Uttarakuru. Negeri itu  tenang damai dan tidak ada pergolakan apa pun. Atau dalam bukunya yang berjudul, “Mengganyang Malaysia”,  Bung Karno pernah berkata, “Saya lebih senang dilahirkan di bawah terik matahari yang  panas dan bukan di bawah sinar bulan purnama.” Ingatlah kita akan kata mutiara ini, “Gelombang yang mengamuk akan membuat pelaut trampil?”

Demikian pula yang pernah dialami oleh Pandawa (Bdk.  “Kisah Mahabharatha” tulisan C. Rajagopalachari). Ketika para Pandawa hidup dalam tekanan dan berperang melawan kebatilan, mereka menjadi kuat dan kompak. Siang malam mereka berupaya bagaimana menyusun strategi perang yang jitu. Mereka bekerja keras dan selalu waspada dan tidak pernah istirahat sedetikpun.

Namun, setelah mengalami kejayaan,  Pandawa hidup tenang dan damai serta hidup dalam zona nyaman.  Dan pada akhir kisah, mereka mati satu per satu – bukan karena perang – melainkan  karena kelelahan naik Gunung Semeru.  Hidup dalam situasi  “nyaman” membuat orang terlena dan mati.

Dalam bekerja perlu adanya peyeimbang, sebagaimana didengung-dengungkan yaitu  balance and check.  Penyeimbang juga berfungsi sebagai kontrol, agar pemerintah dalam melakukan pekerjaannya tidak mengalami disorientasi. Tak heranlah kalau  Prabawa Subianto ketika berpidato pada HUT Partai Gerindra yang ke-9, ia berpesan bahwa demokrasi itu butuh keseimbangan. Dia berkata, “Gerindra akan tetap mendukung kebijakan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Namun jika tidak, Gerindra akan mengkritiknya.”  Saya pun berani berkata, “Terima kasih Pak Prabowo, Salut!”

Rabu, 10 Februari 2016  
Markus Marlon

Rabu, 27 Juli 2016

Kebenaran

KEBENARAN (Kontemplasi  Peradaban)

Dicit ei Pilatus, “Quid est veritas?” – Kata Pilatus kepada-Nya, “Apakah kebenaran itu” (Yoh18: 38) 

Pernah suatu kali, saya  diomongin  orang bahwa saya ini bla-bla-bla. Dalam hati saya berkata, “Setiap orang berhak berbicara dan nanti kebenaran yang akan berbicara!” Orang Jawa memiliki pepatah,  “Becik ketitik ala ketara” – yang baik kelihatan dan yang buruk pun akan kelihatan. Setelah berjalannya waktu, orang yang memfitnahku pun datang dan meminta maaf, “Nihil est veritatis luce dulcius” –  Tak ada yang lebih manis daripada sinar kebenaran.

Di mana-mana, kebenaran akan menang, meskipun untuk mencapainya banyak sekali halangan. Apalagi jika upaya untuk mencapai kebenaran itu bersangkut paut dengan kehormatan. Selang beberapa waktu ternyata  kebenaranlah yang “menang”. Memang,  “Veritas premitur non opprimitur” – kebenaran dapat ditekan tetapi dia tidak akan dapat dihancurkan.

Mungkin kita pernah mendengar tokoh sosok yang bernama Copernicus (1473 – 1543) seorang ilmuwan, astronom dan ahli matematika. Masterpiece-nya yang berjudul,  “Revolutions of Heavenly Bodies” menghebohkan dunia khususnya gereja.  Pada abad ke -16, ia menemukan teori bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Bumilah yang mengelilingi matahari.  Dan setelah itu, astronom itu pun wafat.

Teori itu diakui oleh Galileo Galilei  (1564 – 1642) astronom kelahiran Italia. Bahkan ia mengakui di depan umum. Pada 1616, ia dipanggil untuk diperiksa di Roma dan keyakinannya pun dikutuk.  Lantas, apa yang disampaikan Copernicus dan Galileo pun disanggah.

Sanggahan itu bunyinya demikian : “Dalil pertama  bahwa matahari adalah pusat dan tidak mengitari bumi adalah bodoh, tidak masuk akal, secara teologis keliru dan sesat karena bertentangan dengan Kitab Suci. Dalil kedua, bahwa bumi bukan pusat tetapi mengitari matahari adalah tidak masuk akal, secara filosofis keliru dan paling tidak dari sudut pandang teologi bertentangan dengan iman yang benar.”

Galileo mengalah. Lebih mudah menyesuaikan diri daripada mati dan selama bertahun-tahun ia tetap diam.  Ternyata Copernicus dan Galileo  lah yang benar. Namun – konon – gereja baru minta maaf setelah 200 tahun kemudian.

Orang-orang dan lembaga, bahkan gereja bisa saja membungkam kebenaran bahkan memenjarakan orang yang membawa kebenaran itu. Andrew Melville (1545 – 1662) , teolog Skotlandia  mengatakan, “Anda tidak berkuasa mengasingkan kebenaran.”  Tidak ada orang  yang menderita hukuman karena gagasannya.

Orang-orang yang memiliki hati lurus, ditakuti banyak orang. Ia difitnah tetap tenang. Ia dipenjarakan, tetap teguh dan ketika  digiring ke pembantaian pun, ia pun  tidak melawan.  “Quo res cumque cadunt, semper stat linea recta” – apa pun yang terjadi, senantiasa berdiri di garis lurus. 

Setelah mengontemplasikan makna kebenaran, saya menjadi ingat akan  orang yang memfitnah saya beberapa tahun yang lalu. Kebenaran itu dapat saja diserang, ditunda, ditekan dan diolok-olok, tetapi ingat bahwa waktu akan membuat perhitungan pembalasannya dan akhirnya kebenaran akan menang.  Orang harus berhati-hati agar ia tidak berperang melawan kebenaran, “Vincit Omnia veritas”  – kebenaran menaklukkan semuanya.

Jumat, 12 Februari  2016  
Markus Marlon

Senin, 25 Juli 2016

Ajal

AJAL (Kontemplasi  Peradaban)

“Matiya kanthi mati patitis” – matilah dengan kematian yang sempurna (Peribahasa Jawa).

Belum lama ini saya layat ke orang yang sudah sekarat. Tiba-tiba salah seorang ponakan berkata, “Tante sudah di ambang ajal”.

Dalam situasi demikian, seorang yang sekarat tidak bisa berbuat apa-apa – dalam istilah Jawa –  disebut sebagai, “Nawa angga lupa” – kesembilan berhias lupa. Manusia yang memasuki masa menjelang ajal, mencapai angkal nol, kosong, tidak berangan-angan lagi kecuali maut.

Kami mengelilingi seorang ibu yang lunglai terbujur di pembaringan. Kami melihat nafasnya satu – satu. Tidak lama kemudian, ajal pun menjemputnya. Mengharukan, “ “Requiescat In Pace” – Semoga ia beristirahat dalam damai (Mzm 4: 9).

Kata ajal berasal dari kata Arab, “ajalu” yang berarti kematian. Allah Swt berfirman, “Tiap-tiap umat memunyai batas waktu, maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun tidak dapat (pula) memajukannya” (QS al-A’raf [7]: 34).

“Death is the great leveller”  – kematian menciptakan kesetaraan. Ketika mati, manusia melepaskan semua atribut duniawinya: pangkat, derajat, jabatan, harta dan kedudukan.

Kehidupan dan kematian memang rahasia Allah, tak seorang pun yang tahu apa yang dilahirkan kehidupan dan tak satu pun mengira siapa yang menjemput kematian dan ajal memang tak ubahnya seperti tagihan utang. Ajal datang tak bilang-bilang.

Peribahasa Indonesia mengajarkan, “Sebelum ajal, berpantang mati” maknanya: jangan takut mati karena ajal adanya di tangan Tuhan, bertobatlah sebelum ajal menjemput. Peribahasa Inggris mengajarkan,  “Cowards die many times before their deaths” –  Penakut mati berulang kali sebelum kematiannya. Penakut selalu membayangkan dirinya berada pada titik kematiannya saat menghadapi bahaya. Mereka berulang kali merasa mau mati.

Ada raja yang tidak takut mati yaitu Raja Louis IX (1214 – 1270). Sang Raja Prancis yang saleh ini mendapat gelar Santo (orang kudus) dan sangat disayangi rakyatnya.  Pada suatu hari, ia menceriterakan rahasia keberhasilannya sebagai raja yakni bahwa sebagai seorang Kristen ia tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun, termasuk kematian. Hal itu dialaminya setelah ia mendirikan sebuah bangunan di tengah-tengah istananya, tempat ia menguburkan jasad-jasad leluhurnya. Tempat itu begitu strategis sehingga ia bisa melihat dari tempat tidur. Dia juga telah membangun bagi dirinya sebuah makam tempat dirinya akan dibaringkan apabila ia wafat. Dengan demikian setiap hari ia berhadapan dengan kematian.

Selasa, 16 Februari 2016  
Markus Marlon

Sabtu, 23 Juli 2016

Menghormati

MENGHORMATI (Kontemplasi  Peradaban)

“Speak well of the dead” – bicaralah hal-hal yang baik saja jika menyangkut orang yang sudah meninggal (Peribahasa Inggris)

Pernah suatu kali saya layat pada seorang bapak yang sudah meninggal. Ketika jenazah akan diberangkatkan ke peristirahatan terakhir, seseorang memberikan kata sambutan. Dan semua orang tahu bahwa orang yang meninggal ini dikenal sebagai pribadi yang tidak disukai oleh masyarakat sekitar. Tapi aneh bin ajaib, ternyata  yang dipidatokan untuk almarhum ini semuanya yang baik-baik. Dan tidak ada satu patah kata pun muncul keburukan atau cacat cela dalam diri orang yang sedang terbujur kaku tersebut. 

Memang benar kata Pepatah Latin, “De mortuis nil nisi bene” – bagi orang yang sudah meninggal hanya yang baik-baik saja yang dikatakan. Peribahasa Inggris menulis, “Of the dead all things are good” – mengenai orang yang meninggal, segala sesuatunya hanya baik adanya. Orang yang sudah meninggal tidak bisa bicara lagi dan tidak bisa membela dirinya. Maka, kita perlu menghormatinya dengan mengenang kebaikannya dan memaafkan kesalahannya, “Dead men tell no tales” – Orang mati tidak dapat bercerita lagi.  Dan jika kita mendengarkan “Riwayat Hidup” dari orang yang meninggal, maka semua menunjukkan keberhasilan dan penghargaan-penghargaan yang telah diterimanya. Atau  Obituary  (Bhs. Latin: “Obiit” yang berarti dia telah meninggal)  terpampang di media massa merupakan ungkapan bela sungkawa atau duka cita. Bahkan  barangkali orang yang memberi ucapan itu tidak kenal. Namun  karena yang meninggal itu adalah mama dari bos-nya, maka ia pun memberi ucapan “berduka cita”. 

Saya menjadi ingat tulisan Goenawaan Muhamad yang tertuang dalam bukunya yang berjudul, “Kata, Waktu: Esai-esai  Goenawan Muhamad 1960 - 2001”. Ia menulis demikian. Ada sebuah iringan jenazah dari jauh dan Nabi  Muhammad SAW berdiri untuk menghormatinya. Ketika prosesi itu mendekat, seorang sahabat tiba-tiba menyadari sesuatu, ia berkata, “Tetapi jenazah itu orang Yahudi”  tetapi sang nabi tetap tegak dan berkata, “Jika ada iringan jenazah lewat, berdirilah!”

Ketika ada orang yang  meninggal,  pernahkan kita bertanya, “Agamanya apa?”. Yang pasti kita ingin layat dan menghormati sang  almarhum atau almarhumah.

Kamis, 18 Februari 2016  
Markus Marlon

Senin, 18 Juli 2016

KONTROL (Kontemplasi Peradaban)

“Vincit qui se vincit” – Pemenang adalah orang yang dapat mengalahkan dirinya sendiri.

Medio Februari 2016, saya jalan-jalan di Kutai Kartanegara – Kalimantan Timur, sebuah kota yang indah dan memesona. Sang sopir, sekaligus tour leader selalu mengontrol mobil yang mengangkut kami. Di sela-sela perjalanan, ia menerangkan bahwa dalam hidup kita ini harus senantiasa dikontrol. Katanya, “Kontrol kesehatan, kontrol penggunaan keuangan, sampai pada kontrol emosi.”

Sejarah telah membuktikan bahwa karena tidak adanya kualitas hidup yang baik atau terkontrol, maka Alexander Agung (356 – 323 seb.M) “jatuh”. Di tengah-tengah kemabukan dan percabulan, Alexander tidak dapat mengontrol dirinya. Ia mencabut tombaknya dan membunuh temannya yang paling akrab. Alexander Agung memang agung karena di usia yang sangat muda, ia sudah memiliki kekuasaan yang luar biasa. Hanya patut disayangkan bahwa dirinya pada saat tertentu tidak bisa menguasai dirinya.

Kitab Amsal menulis, “A man who controls his temper than one who takes a city” – orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota (Ams 16: 32 b). “Compesce mentem” – Kuasailah nafsumu. Dalam arti ini, Rasulullah SAW mengajarkan, “Orang kuat itu bukan orang yang menang gulat, tetapi orang yang  kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat (yang memungkinkan) ia marah” (HR Bukahri-Muslim). 

Setiap saat kita berusaha untuk hidup harmonis dengan sesama. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa itu tidak mudah. Dalam bukunya yang berjudul, “Sermon”  Agustinus (354 – 430) berkata, “Pertentangan berjalan terus di dalam dirimu sendiri. Engkau tidak memerlukan musuh di luar. Kalahkan dirimu sendiri dan engkau telah mengalahkan dunia.” 

Dus, kita menjadi percaya bahwa setiap detik, kita berhadapan dengan kontrol diri. Kata-kata emas bahasa Jawa menulis,  “Lauwamah amarah supiyah muthmainah” –  makanan, amarah, seksual, kesucian. Perlambang empat nafsu manusia. Tiga nafsu pertama yakni suka makanan enak, suka marah dan suka kenikmatan dan seksual jika sudah berhasil dikendalikan maka manusia baru akan mencapai ketenangan dan kesucian diri.

Mungkin kita masih ingat kisah pewayangan dengan judul,  “Begawan Ciptaning  menerima senjata pasopati”. Paso atau phasu memikili makna hewan. Selanjutnya pati berarti mati. Dengan demikian, pasopati bermakna nafsu hewani yang telah binasa di dalam jiwa manusia. Sebab itu, Begawan Ciptaning yang telah mendapat anugerah panah pasopati itu bisa menaklukkan lima sifat hewani yang berada di dalam jiwanya.  Kita juga memiliki kelima nafsu itu dalam diri. Tidak mudah mematikan nafsu-nafsu tersebut.

Dan akhirnya, kontrol diri itu  pertama-tama seharusnya dimiliki oleh para pemimpin, karena mereka yang memegang tampuk pemerintahan. Oleh karena itu, calon pemimpin harus bisa berpuasa (menahan diri) dari godaan nafsu al-takâstur (menimbun dan menguasai) yang tidak ada hasilnya, hingga masuk ke liang lahat. 

Tidak heranlah jika seorang pemimpin sangat rentan dengan godaan, maka tidak salah jika orang-orang Jawa menulis, “Ya marani nira maya” – dalam mendekati hal-hal yang maya perlu hati-hati.  Hal yang maya, termasuk di dalamnya setan yang sering menggoda pemimpin amat berbahaya.

Manakala pemimpin mampu menaklukkan setan berarti mampu menguasai hawa nafsunya. Baik setan maupun hawa nafsu adalah musuh tersamar seorang pemimpin. 

Jumat, 26 Februari 2016   
Markus Marlon

Jumat, 15 Juli 2016

ALTRUIS

ALTRUIS(Kontemplasi Peradaban)

“Kabeh tindakanmu tepakna karo awakmu dhewe” – Semua tindakanmu sesuaikanlah  dengan dirimu ( Pepatah Jawa).

Pernah suatu kali saya jalan-jalan di pasar – sebut saja – blusukan. Di pinggir jalan, ada orang buta yang mau membeli sesuatu, tetapi sejak tadi tidak ada yang menghantar. Saya ingin sekali membantu bapak tua yang buta itu.
Lantas, bapak itu saya gandeng dengan jarak tempuh yang cukup jauh dan rumit karena melewati jalan setapak. Sesampai di tempat yang dituju, saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dalam hati saya berguman, “Hidupku berarti bagi orang lain”.

Tentu dalam hidup, kita berharap bahwa hidup kita tidak hanya berguna bagi orang lain, melainkan lebih dari itu yaitu menjadi berkat bagi sesama. Ini yang sudah dikatakan Isiah Berlin (1909 – 1997), “Manusia tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif untuk menghadirkan kebaikan, 'Mercy for the mankind' atau rahmat lil-alamin".  

Ternyata, tidak hanya yang menerima yang merasa bahagia dalam memberi. Yang memberi – ternyata – lebih bahagia. Barangkali kisah tentang seorang yang bernama Monobaz bisa mengajak kita menyadari pentingnya “hidup bagi orang lain” dengan cara memberi dan  memberi itu mempunyai nilai rohani.

Monobaz mewarisi kekayaan yang besar dari leluhurnya.  Ia seorang yang baik dan peduli terhadp orang lain dan murah hati. Pada masa kelaparan ia memberikan seluruh hartanya untuk membantu orang miskin. Saudara-saudaranya datang kepadanya dan berkata, “Para leluhurmu mengumpulkan harta dan itu ditambahkan pada harta yang mereka warisi dari leluhur-leluhur mereka dan kamu bermaksud menyia-nyiakan semua?” 

Ia menjawab, “Para leluhurku mengumpulkan harta di bawah; aku telah mengumpulkan harta di atas sana. Para leluhurku mengumpulkan kekayaan mammon; aku mengumpulkan kekayaan bagi dunia yang akan datang".

Itulah sebabnya, Yohanes Krisostomus (349 – 407), yang sering disebut juga si mulut emas berkata,  “Orang yang hidup sesungguhnya hidup untuk orang lain. Sebaliknya orang yang hidup untuk dirinya sendiri dan tidak menghargai serta tidak memerhatikan orang lain adalah orang yang tidak berguna".  

Kontemplasi ini akan saya tutup dengan sebuah tulisan karya Pius Pandor dalam bukunya yang berjudul, “Seni Merawat Jiwa” yang salah satunya mengisahkan  tentang perekrutan yang dilakukan  Sokrates (470/469 – 399 seb. M ). Katanya, “Ketika seorang pemuda datang kepada saya dan menyatakan keinginannya untuk menjadi seorang murid, saya menyuruh dia melihat ke dalam sebuah kolam untuk mengetahui apakah yang dilihatnya di dalam kolam itu. Jika dia kembali dan kemudian mengatakan kepada saya bahwa dia melihat ikan yang sedang berenang, maka saya menerimanya sebagai seorang murid. Tetapi sebaliknya, jika dia kembali kepada saya dan kemudian mengatakan bahwa dia hanya melihat bayangan wajahnya sendiri, maka saya tidak akan menerimanya sebagai seorang murid. Dia lebih menaruh perhatian pada dirinya sendiri daripada orang lain (altruist).”

Kamis, 17 Maret 2016  
Markus Marlon

Rabu, 13 Juli 2016

Tuntas

TUNTAS (Kontemplasi Peradaban)

“Regard your work as the place where God does His Work” - Pandanglah pekerjaanmu sebagai tempatödi mana Tuhan melakukan pekerjaan-Nya (Max Lucado)

Pernah suatu kali, ketika saya masih kecil (± Tahun 1975-an), diminta menyapu halaman rumah. Ketika menyapu, memang saya bersungut-sungut, sehingga kotoran masih ada di sana-sini. Lantas, ibu saya pun berkata, “Kalau menyapu halaman rumah  seperti ini, maka namanya  mindhon gaweni. Nanti disapu ulang ya le” 

Mindhon gaweni  artinya bekerja dua kali karena tidak tuntas dikerjakan. Sebaliknya, jika seseorang  bekerja sungguh-sungguh, ada rasa puas tak terkira.  Bila seseorang mampu menuntaskan apa yang sedang dikerjakan ada rasa bangga di dada. Bahasa mentereng-nya adalah “sense of accomplishment” – naluri untuk menuntaskan pekerjaan.

Ingatkah kita, akan penulis buku dengan judul,  Harry Potter ?  Buku ini ditulis oleh Joanne Kathleen Rowling (Lahir di Yate tahun 31 Juli 1965) atau sering disingkat menjadi JK Rowling. Sebelum buku-bukunya  –  Harry Potter  – itu laris manis, apa yang dikerjakan itu tidak tanpa perjuangan.  Ia datang dari penerbit ke penerbit supaya “bakal buku” itu diterbitkan namun selalu saja ditolak. 

Dengan semangat yang membara serta punya keyakinan bahwa apa yang dikerjakan itu tidak sia-sia,  Rowling tidak pernah mau mundur setapak pun, “success is walking from failure to failure with no loss of enthusiasm” – sukses adalah menjalani kegagalan  demi kegagalah tanpa kehilangan antusiasme.

Saya jadi teringat akan seorang penulis kandidat peraih Nobel, Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006). Ia tetap menulis,  meskipun mengalami penolakan dan penyingkiran serta penyanderaan yang keji atas dirinya. Namun, siapa sangka bahwa akhirnya  apa yang diperjuangkan itu membuahkan hasil.

Dalam hal ini barangkali benar apa yang dikatakan Eleanor Roosevelt (1884 – 1962), “People grow through experience if they meet like honestly and caurageously. This is now character  is built” – Manusia bertumbuh melalui pengalaman jika mereka menghadapi kehidupan dengan kejujuran dan keberanian. Inilah bagaimana caranya karakter itu dibangun.

Orang-orang yang sedang mengerjakan karya agung atau mahakarya atau masterpiece, dimulai dari mengerjakan hal-hal kecil terlebih dahulu.  Ini seperti pepatah china, “The man who removes a mountain begin by carrying away small stones” – seseorang yang akan memindahkan gunung harus pertama-tama membawa batu-batu kecil terlebih dahulu. Hal-hal kecil dirampungkan sehingga mudah merampungkan hal-hal yang besar. Di sini diperlukan orang-orang yang kuat, yang menurut Erasmus (1466 – 1536) disebut sebagai “Omnium horarum homo” – manusia segala waktu.

Rabu, 23 Maret 2016  
Markus Marlon