Jumat, 25 September 2015

Gusur

GUSUR
(Kontemplasi  Peradaban)

“Omnia sint
fausta et prospera” –
Semoga semua sejahtera dan makmur.

Menyaksikan foto alat berat backhoe merobohkan hunian warga di bantaran sungai Ciliwung di kawasan Kampung Pulo, Jatinegara, Jakarta Timur terasa miris.  “Betapa tidak?” Sebab “rumah mereka yang penuh kenangan itu” akan lenyap dari pandangan mereka. Di rumah itu, mereka memadu kasih, di rumah tersebut, mereka bercengkrama dan di rumah itu mereka berteduh setelah seharian mencari uang di terik sinar matahari yang panas.
“Rumah” betapa pun jeleknya tetap dirindukan. Itulah sebabnya orang ingin selalu pulang ke kampung halaman ketika lebaran tiba (mudik). Dan di rumah itu, terasa “nyes”  serta damai. Maka, tidak mengherankan jika orang Jawa memunyai ungkapan  “sedumuk bathuk senyari bumi”.  Sedumuk bathuk berkaitan dengan harga diri.  Sedangkan  Senyari bumi  berkaitan dengan kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah jangan sampai diganggu orang lain, diserobot atau diambil alih orang lain. Bagi orang Jawa mengenai  urusan tanah memang sangat sensitif. Hal ini karena sebagai petani (agraris) mata pencahariannya terkait dengan produksi lahan.  Itulah sebabnya ada salah satu warga yang berkata, “Selama ini kami tinggal di rumah kami sendiri. Tak pernah membayar. Bagaimana kalau kami tak sanggup, kami khan bisa diusir” kata Emi (Kompas, 21 Agustus 2015).  Waktu di rumah yang sekarang sudah diratakan itu dalam hatinya, ia berkata, “Pauper in aere suo” – Meskipun miskin tetapi tanpa utang, seperti apa yang ditulis oleh Horatius (65 – 8 seb.M).  Ia tinggal di rumah tanpa beban sewa atau kost.
“Kampung Pulo Telah Diratakan” begitulah bunyi sebuah tulisan di internet. Dan mereka akan direkolasi ke Rusunawa Jatinegara Barat. Namun sebagian besar penghuni kuatir tak mampu membayar biaya sewa unit Rusunawa Rp. 300.000,-  per bulan. Kekuatiran tersebut dapat dimengerti, sebab pekerjaan mereka tidak tetap. Di sinilah Ovidius (20 seb.M – 17 M ) penulis Romawi kuno pernah berkata, “Pauper ubique iacet” – di mana-mana orang miskin itu tidak dihargai. Bahkan mereka bagaikan kaum Nisadha dalam “Kisah-kisah Mahabaratha”. Kaum Nisadha ini sudah miskin, terpinggirkan lagi. Bahkan tidak jarang mereka itu dijadikan  tumbal.  Sekali lagi, Ovidius berkata, “Pauperis est numeris pecus” – orang miskin itu (sebentar-sebentar) menghitung (jumlah) sapinya. Ya, orang miskin itu selalu penuh perhitungan. Penuh perhitungan karena uang yang didapatkan harus bercucuran keringat dan membanting tulang.
Di lain pihak, jangan dikiranpihak pemerintah tidak bergumul menghadapi masalah itu. Dari hatinya yang terdalam, mereka juga sedih karena mereka juga sesama manusia yang memiliki perasaan. Sebagai pemegang kebijakan (stakeholder), mereka diperhadapkan dengan suatu dilema yang sangat pelik. Di sinilah Kahlil Gibran (1883 – 1931) dalam bukunya yang berjudul, “The Voice of The Master” menulis, “Apakah kalian seorang gubernur yang memandang rendah kepada rakyat, tidak pernah keluar, selain untuk menggeledah saku-saku mereka atau mengeksploitasi mereka demi keuntungan sendiri?”
Apa yang ditulis Gibran di atas sebenarnya hendak mengatakan kepada kita, betapa pentingnya melayani rakyat jelata. Saya menjadi ingat kisah Istana dan puri serta kisah cinta para putri dan pangeran.  Yang masih terpateri dalam ingatan adalah  kisah, “The Queen” – Sang permaisuri.  Diceriterakan bahwa Sang Permaisuri senantiasa berhias diri kamar atas sebuah puri.  Di kamar itu hanyalah ada cermin-cermin sehingga sang  permaisuri selalu berkata, “Dari sudut mana pun saya tetap cantik dan molek.”  Tindakan yang dibuat oleh sang permaisuri itu diprotes oleh sang raja. Maka, dibobolah cermin-cermin tersebut dan dari sana tercipta lobang-lobang. Dan betapa kagetnya dia, tatkala melihat melalui  “lobang  jendela” ternyata di seberang sana banyak rakyat yang menderita. Mereka tinggal di daerah kumuh yang sebelumnya tidak terbayangkan oleh sang permaisuri.
“Bonum commune” – kebaikan bersama, adalah  cita-cita dari para pemangku kebijakan. Mereka bekerja melayani masyarakat, supaya “semua rakyat merasakan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan.”  Penggusuran yang dilakukan pemprov (pemerintahan provinsi) itu tidak tanpa alasan. Dari penelurusan Litbang Kompas, Kampung Pulo sudah menjadi kawasan langganan banjir sejak sebelum masa kemerdekaan dan dikelilingi aliran sungai. Pada 1970-an, Kampung Pulo menjadi bagian dalam program perbaikan kampung MH Thamrin, khususnya untuk perbaikan serta pembangunan jalan dan saluran air (Kompas, 21 Agustus 2015).
Kini, Kampung Pulo sudah diratakan dan yang perlu dipikirkan ialah “iustitia omnibus”  – keadilan bagi semua. Program penormalan sungai memang harus dilakukan, tetapi jangan abaikan  manusia di dalamnya.

Sabtu, 22 Agustus 2015   Markus Marlon

Tidak ada komentar: