Kamis, 03 Desember 2015

AMARAH
Kontemplasi Peradaban
 
Furor fit laesa saepius patientia – kesabaran yang
 sering dinistakan dapat berubah menjadi kemarahan (Publius Syrus).
 
       Siapa pun orangnya tentu pernah marah. Ada yang marah terlihat dari body language-nya yang tenang-tenang saja. Namun ada juga yang marahnya tidak terkendali seperti Baladewa, saudara  Kresna: meluap-luap. Dan  ketika kita melihat amarahnya, dari raut mukanya seolah-olah akan berbuat jahat. Itulah dalam bahasa Arab, ammarat  itu berarti menyuruh seseorang untuk berbuat jahat. Tidak heranlah jika dalam bahasa Latin, ada pepatah, “furor arma ministrant” – kemarahan mengarah untuk memakai senjata.

          Kebanyakan di antara kita berpikir bahwa amarah hanyalah dipunyai oleh mereka yang berkuasa. Seorang jendral marah kepada para prajutir, seorang direktur marah kepada karyawan-karyawannya dan seterusnya. Adolf  Hitler (1889 – 1945) misalnya – dalam biografinya – dituliskan bahwa kalau ada yang tidak sesuai dengan keinginannya langsung marah-marah. Penulis buku “Strategi Perang”  Sun Tzu (544 – 496 Seb. M) pernah menulis, “When the officer  get angry  easily with their men, it indicates that they are weary  of war” – Jika seorang pemimpin mudah marah-marah terhadap bawahannya, ketahuilah bahwa ia sudah capek dan jenuh dengan perang.

          “Menghadapi orang yang sedang marah-marah, jangan dilawan dengan marah”  kata seorang bijak, “Namun hadapilah dengan penuh kesabaran.”  Shakespeare  (1564 – 1616) dalam dramanya yang berjudul,  “Merchant of Venice”  merekam apa yang dikatakan Antonio. Antonio (tokoh utama) itu berkata, “Kan  kulawan kemarahannya dengan kesabaran, kan
kutanggung derita di bawah kuasa amarahnya dengan sikap setenang roh…”  Kalau ada api padamkanlah  dengan air.

          Kita harus sadar bahwa nafsu kemarahan itu hanya sejenak. Banyak orang yang menyesal setelah marah besar terhadap anaknya. Horatius (65 – 8 seb. M) pernah menulis, “Ira furor brevis est: animum rege, qui nisi imperat: hunc frenis, nunc tu compesce catena” – Nafsu amarah itu hanya sejenak: Arahkanlah hatimu, jika nafsu itu tidak ditundukkan, ia akan menguasaimu. Kekanglah nafsu itu dengan kendali atau dengan rantai.”

          Ya, memang, tali pada busur kadang-kadang  dikendorkan  – biarpun itu busur Apolo  –  agar tidak putus. Demikian pula, menurut bahasa Konfusius (551 – 479 seb. M), “Orang tidak dapat melihat bayangannya sendiri di dalam air yang mengalir, tetapi ia dapat melihatnya pada air yang diam.”

Rabu, 28 Oktober 2015  
Markus Marlon

Tidak ada komentar: