Selasa, 23 Desember 2014

Tongkat

TONGKAT
(Kontemplasi  Peradaban)
 
"Tongkat ini adalah tanda otoritas Musa"
(Scott Hahn,  dalam bukunya yang berjudul,
 "Seorang Bapa yang Setia pada Janji-Nya" hlm. 153).
 
          Dunia perfilman Indonesia  saat ini, sedang di-geger-kan oleh Ifa Isfansyah (Lahir di Yogyakarta, 16 Desember 1979)  sutradara yang menciptakan film  berjudul,  "Pendekar Tongkat Emas". Sinopsis film ini dibuka dengan pergulatan perasaan guru Cempaka yang merasa bahwa sudah saatnya mewariskan ilmu andalannya,  "tongkat emas melingkar  bumi" kepada anak asuhannya. Tidak berbeda dengan cara estafet kepemimpian di sebuah lembaga, pikiran kita pun cenderung mengatakan bahwa orang yang akan menerima tongkat estafet haruslah mereka yang terhebat, mumpuni dan kompeten.
          Tongkat adalah kata-kata yang biasa. Ada tongsis (tongkat narsis), tongkat gembala, tongkat Musa, tongkat mayoret dan  tongkat komando. Tongkat dalam dunia pewayangan (Ramayana dan Mahabharata) dipakai untuk perang tanding. Tongkat tersebut  bentuknya "menggembung".  Perang tanding antara Doryudana dan Bima yang melegenda itu,  dua-duanya menggunakan "tongkat" dengan nama masing-masing: gada wesi kuning dan gada rujak polo  (Bdk. Kitab Mazmur 23: 4,  "Gada-Mu dan tongkat-Mu yang menghibur aku…"). Konon juga pernah diceriterakan ada tongkat komando dari sang Jendral yang sering patah karena sering digunakan untuk memukul para prajuritnya.
          Sebuah tongkat baru  memiliki makna tatkala dipegang  oleh orang yang memiliki otoritas. "Tongkat emas"  milik guru Cempaka, jika dipegang oleh orang yang tidak memiliki jurus "tongkat emas melingkar bumi" tentu akan menjadi tongkat biasa saja. Atau seperti  tongkat komando yang sering dipegang sang jendral sewaktu  upacara – (ketika dipegang oleh istrinya di rumah)  – maka, ia  tidak memunyai  bobot apa-apa. Tongkat atau  stick conductor  baru memiliki makna jika digunakan di depan para pemain orkes (pemegang alat music dan partiture)  yang telah dilatihnya.
          Tongkat, bagaikan  barang magis yang mampu menyihir orang-orang untuk mengikuti aba-abanya. Tidak heranlah jika setiap bawahan  "bermimpi" dan bercita-cita  untuk  mendapatkan "tongkat kepemimpinan" dari sang boss. Itulah sebabnya,  – konon –  Napoleon Bonaparte (1769 – 1821)  setiap latihan perang selalu berkata, "Hai para prajurit, simpanlah dalam setiap ranselmu sebuah tongkat komando, sebagai motivasi, bahwa suatu saat nanti kalian juga akan memegangnya!"  Setiap prajurit  atau  kroco sekalipun, berpotensi menjadi  comandant  karena pegang tongkat komando.
          Para raja – ketika duduk di singgasana – senantiasa memegang tongkat.  Zeus sebagai penguasa langit  dilukiskan sebagai raja yang memegang tongkat petir. Kristus Raja Semesta Alam  dilukiskan Yesus dengan mahkota dan tangan kiri-Nya memegang tongkat komando. Namun dalam  lukisan "Yesus gembala yang baik,"  Yesus dilukiskan  memegang  tongkat gembala dengan tangan kanan dan tangan kirinya adalah domba kecil atau lemah.
Akhirnya, "tongkat estafet" memiliki sejarahnya sendiri. Awalnya tongkat estafet dimulai dari bangsa Aztec, Inka dan Maya yang bertujuan untuk meneruskan berita yang telah diketahui supaya berita itu menyebar seantero  negeri. Lantas, di Yunani kuno, istilah  estafet yang kemudian dinamakan "estafet obor"  diselenggarakan dalam hubungannya dengan pemujaan leluhur serta untuk meneruskan api keramat ke jajahan-jajahan baru. Selanjutnya, tongkat estafet diterapkan dalam regenerasi pada kepemiminan (succession).  Ketika Yesus berkata kepada Petrus, "Gembalakanlah domba-domba-Ku"  – barangkali – sebagai tanda bahwa Petrus akan menerima "tongkat estafet" dari Yesus (Bdk. Yoh 21: 16).  Alexander Agung (356 – 323 seb. M) sewaktu sekarat, ditanya oleh para jendralnya, "Siapa yang menggantikan tongkat estafet sang Raja" Dia berkata,  "Orang yang terkuatlah yang akan memegang tongkat komandoku."
Dalam kepramukaan, jika  mengadakan kegiatan  "mencari jejak"  atau "jurit malam"  diwajibkan menggunakan tongkat.  Namun, orang tua yang sudah kesulitan berjalan dihimbau untuk  menggunakan tongkat. Di pihak lain, tongkat juga dipakai oleh mereka yang suka berziarah. Tetapi ingatlah bahwa hidup itu sendiri adalah  suatu  peziarahan, "Karena iman, maka Yakub,  ketika hampir waktunya akan mati, memberkati kedua anak Yusuf,  lalu menyembah sambil bersandar pada kepala tongkatnya"  (Ibr 11: 21). Sampai hembusan nafas yang terakhir pun seorang musafir tua masih memiliki tongkat di tangannya. Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja siap untuk berziarah. Jika kita benar-benar mau menghadapi tantangan hidup, kita harus mempertahankan pikiran yang senang menjelajah, "Mari kita siapkan tongkat!"

Senin, 22 Desember 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

15 Penyakit Rohani

15 "Penyakit Rohani" yang disebut Paus Fransiskus.

(RP. Albertus Sujoko MSC)
 
Refleksi ini ditujukan oleh Paus bagi anggota Curia Roma, namun berlaku untuk setiap orang katolik, siapa pun kita dan di mana pun kita berada.

Kalau menyimak isinya, memang Paus mengunakan kata "Para Rasul" (the Apostles) untuk menyebut orang-orang yang dimaksudkannya, yang mungkin maksudnya para anggota Kuria Roma yang adalah para Uskup. Namun nama itu berlaku juga untuk setiap orang katolik yang disapanya.

1. The disease of feeling 'immortal' or 'essential' (Merasa "abadi" dan "penting")

Anggota Kuria yang tidak melakukan kritik-diri, tidak berusaha untuk up to date, dan tidak berusaha untuk memperbaiki diri, adalah seperti "badan yang sakit". Paus mengatakan bahwa berkunjung ke tempat pemakaman dapat membantu kita untuk melihat nama-nama yang mungkin mereka waktu hidup berfikir bahwa mereka abadi dan penting, namun kini sudah dikubur.  Mereka yang mengidap penyakit ini adalah orang yang merasa diri "tuan" dan "atasan" dari pada merasa diri sebagai pelayan. Penyakit ini disebabkan oleh patologi kekuasaan, semacam "mesianik kompleks" dan narsistik.

2. The disease of excessive activity (Penyakit Super Sibuk)

Ini penyakit orang yang seperti Marta dalam Injil, menenggelamkan diri dalam aktivitas, dengan akibat mengabaikan apa yang lebih penting: duduk di kaki Yesus.  Paus mengingatkan Yesus yang berkata kepada para murid: "beristirahatlah sejenak. Mengabaikan apa yang lebih penting akan membuat kita cemas dan stress.
 
3. The diseases of mental and spiritual 'petrification' (Penyakit rohani dan mental yang disebut: memetruskan diri).

Penyakit ini diderita oleh anggota kuria yang kehilangan "kedamaian hati", semangat hidup (vitalitas) dan keteguhan (audacitas); mereka menyembunyikan diri di balik kertas-kertas dokumen dan menjadi "mesin prosedur" dan bukan lagi Men of God; mereka tidak bisa lagi "menangis dengan orang yang menangis; dan tertawa dengan orang yang tertawa. Mereka menjadi dingin dan kaku, seperti robot-robot.

4. The disease of overplanning (Penyakit: penuh rencana)

Jika para rasul (the apostles) merencanakan segalanya dengan cermat dan percaya bahwa dengan itu semuanya akan maju dengan efektif, maka mereka menjadi akuntan publik. Perencanaan yang baik memang perlu, namun jangan jatuh ke dalam pencobaan untuk mengekang dan membatasi kebebasan Roh Kudus…Selalu lebih mudah dan lebih nyaman untuk kembali kepada data statistik yang sudah ada dan posisi semula yang mapan.

5. The disease of bad coordination (penyakit: koordinasi yang buruk)

Penyakit ini menghinggapi anggota kuria yang kehilangan hidup komunitas dan "Tubuh" itu kehilangan  fungsinya yang harmonis sehingga menghasilkan bunyi orchestra yang fals karena para anggotanya tidak bekerjasama dan tidak hidup dalam komunalitas dan semangat team yang baik. 

6. The disease of spiritual Alzheimer's (penyakit "kelumpuhan otak" Rohani)

Penyakit ini adalah kemunduran kemampuan rohani yang semakin akut ( a 'progressive decline of spiritual faculties)  yang menimbulkan akibat-akibat buruk dan merugikan bagi umat,. Penyakit ini membuat orang-orang itu hidup dalam ketergantungan pada pandangan dan pendapat sendiri, yang sering hanya imaginasi atau ilusi saja. Kita dapat menyaksikan penyakit itu dalam diri mereka yang kehilangan "kenangan" (memory) akan pengalaman perjumpaan dengan Allah; Mereka tergantung pada obsesi dan pikiran-pikiran mereka sendiri.

7. Penyakit persaingan dan kemuliaan yang fana (The disease of rivalry and vainglory)
Ketika penampilan, model dan warna pakaian jabatan  dan kehormatan menjadi tujuan utama dalam hidup…itulah penyakit yang menjerumuskan mereka untuk menjadi orang-orang (pria dan wanita) yang palsu; mereka hidup dalam kesalehan yang palsu.

8. Penyakit kepribadian terbelah (The disease of existential schizophrenia)

Penyakit ini diderita oleh mereka yang menjalani "hidup ganda" akibat dari sikap hipokrit yang khas dari orang-orang yang mengalami kokosongan rohani. Kita sering terkejut bahwa seseorang meninggalkan karya pelayanan pastoral dan membatasi kegiatan mereka hanya pada urusan administrasi, dan mereka kehilangan kontak dengan realitas dan umat yang nyata.  Dengan cara itu, mereka menciptakan dunia mereka sendiri dan mereka mengabaikan apa pun yang dinasehatkan oleh orang lain.
 
9. Penyakit: Nggosip dan "karlotta"  (The disease of gossip and chatter)

Penyakit ini membuat seseorang menjadi "penabur kekacauan" (bahasa Yunani: diabolos = membuang ke segala arah; lawan dari dialogos (berbicara dua arah). Dan dalam banyak kasus penggosip itu adalah "pembunuh berdarah dingin" terhadap reputasi atau nama baik dari saudaranya atau koleganya sendiri. Penyakit penggosip ini diderita oleh orang-orang penakut, yang beraninya bicara di belakang, tidak berani terus terang…waspadalah terhadap terrorisme gossip!

10. Penyakit mendewakan (mentuhankan) pemimpin (The disease of deifying the leaders)
Penyakit ini menghinggapi mereka yang "menyogok para atasan mereka", mereka menjadi budak karierisme dan oportunisme; mereka menghidupi panggilan dengan berfikir apa yang  dapat saya peroleh dan bukan apa yang dapat saya berikan.  Para atasan juga mengidap penyakit yang sama jika ia menyuap para bawahannya untuk mendapatkan loyalitas dan kepatuhan mereka.
 
11. Penyakit cuek bebek (The disease of indifference to others)
Gejala penyakit ini adalah bila orang yang berfikir tentang dirinya sendiri dan kehilangan ketulusan dan kehangatan dalam relasi dengan sesamanya. Jika orang yang sudah pengalaman tidak mau menularkan pengetahuan itu kepada rekan kerja dan penerusnya. Dan jika karena iri hati, maka kita gembira bila melihat teman jatuh, dari pada ingin mengangkat dan memberikan peneguhan kepada mereka.
 
12. Penyakit "muka asam" (The disease of the funeral face)

Penyakit ini menghinggapi orang-orang yang merasa diri supaya nampak serius, maka mereka harus menunjukkan wajah yang asam, cemberut, dan dingin seperti kuburan. Padahal itu disebabkan oleh rasa minder atau rendah diri. Pada kenyataanya, kekakuan teatrikal dan pesimisme yang mandul itu adalah gejala dari rasa takut dan rasa tidak aman terhadap diri sendiri. Kita anggota kuria harus berusaha untuk menjadi orang yang sopan, tenang, bersemangat dan penuh kegembiraan…Paus mengajak kita untuk bisa "menertawakan diri sendiri" dan betapa bermanfaatnya kalau hal itu bisa kita lakukan.

13.  Penyakit untuk "mengamankan diri" (The disease of hoarding)
 
Penyakit ini kambuh jika murid Yesus mencari untuk memenuhi kebutuhan yang ia rasakan dengan menumpuk harta milik, bukan karena diperlukan untuk pelayanan, melainkan hanya demi rasa aman.

14. Penyakit "merasa diri lingkaran dalam" (The disease of closed circles)

Penyakit ini dialami oleh orang yang merasa bahwa menjadi bagian dari "lingkaran dalam" itu lebih penting dari pada menjadi bagian dari Tubuh Mistik Gereja, atau lain kali bahkan menjadi bagian dari Kristus sendiri. Penyakit ini bahkan muncul pula dari kemauan baik, namun lama kelamaan menjalar ke seluruh anggota kuria roma dan seluruh Gereja dan menjadi penyakit kanker ganas.

15. Penyakit "keuntungan duniawi dan pamer diri  (The disease of worldly profit and exhibitionism)

Penyakit ini terjadi jika kita mengganti pelayanan dengan kekuasaan, dan kekuasaan diubah menjadi komoditi yang menghasilkan keuntungan duniawi, dan bahkan menghasilan kekuasaan yang lebih besar lagi. Dan untuk mencapai hal itu, ia menghalalkan segala cara, termasuk mendiskreditkan orang lain bahkan melalui Koran dan majalah. Tentu saja hal itu ia lakukan untuk memaperkan superioritasnya di atas orang lain. Penyakit ini sangat berbahaya, karena bisa menghancurkan Gereja karena hal ini dapat mengarah pada pendapat bahwa orang dapat menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya.
 
Paus memberikan nasehat kepada para imam: Imam itu seperti pesawat terbang. Ia menjadi berita ketika ia jatuh. Banyak pesawat terbang dan imam yang tidak jauh, dan mereka tidak menjadi berita. Lebih banyak orang mengkritiknya, dan sedikit yang mendoakannya. Perumpamaan ini sangat penting karena menggarisbawahi dua hal: pertama, betapa pelayanan imam itu "gampang-gampang susah" dan kedua, betapa jatuhnya imam itu menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi Gereja.
 
Diterjemahkan dengan bebas oleh Sujoko
Dari Vatican Insider


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 18 Desember 2014

Maaf

MAAF
(M   o   t    i   v   a   s   i)

Kebencian tidak pernah dipadamkan oleh kebencian. Hanya cinta kasih yang dapat memadamkan kebencian. Inilah Hukum yang abadi (Dhammapada: 3,4,5).
   
       Ketika membaca novel tulisan Paulo Coelho (Lahir, 1947 di Rio de Janerio – Brasil) dengan judul,  "Manuskrip yang ditemukan di Accra"  saya terkesima dengan kata-kata singkat, "Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin yang menerpanya." Memaafkan orang yang pernah berbuat salah kepada kita, memang tidak mudah. Dan sepertinya tidak mungkin.  
          Ada baiknya kita  "mengintip sejenak"  orang-orang besar yang telah mencapai level  memaafkan. Nelson Mandela (1918 – 2013) mengatakan bahwa  memaafkan tidak akan mengubah masa lampau, tetapi memaafkan akan mengubah masa depan. Ia telah membuktikan  dengan tidak membalas  dendam tatkala harus mendekam di penjara selama 27 tahun.  Ann Landers (1918 – 2002) –  seorang  columnist, berkata,  "One of the secret of longevity and meaningful is to forgive any mistakes every person every night before going to bed" – Salah satu rahasia umur panjang dan bermakna adalah memaafkan kesalahan setiap orang setiap malam sebelum tidur.
          Eknath Easwaran, penulis tentang meditasi dan kematian  dalam bukunya yang berjudul, "Menyelami Misteri Kematian"  menguraikan tentang  pemberian maaf yang membuat hidup menjadi ringan. Ternyata kalau kita memaafkan, seluruh beban pun hilang. Tidak hanya beban kesalahan orang lain. Barangkali inilah arti memaafkan yang sesungguhnya. Fransiskus dari Asisi pun berkata, "Ketika  memaafkan orang lain, sebenarnya  kita sendiri juga dimaafkan."  Kita – orang awam – tentu akan berkata, "Memaafkan itu tidak semudah membalik telapak tangan!" Inilah kata-kata pesimistis dan  kedengarannya tidak mungkin.  Tetapi Thérèsa dari Liseux (1873 – 1897), Mahatma Gandhi (1869 – 1948) dan tokoh lain telah memberikan kesaksian dengan rendah hati dan jujur. Seolah-olah – dalam kebisuan –  mereka berkata,  "Kami sudah melakukannya. Oleh karena itu, kalian juga bisa melakukannya."
          Lain cerita!  Di belahan dunia yan lain, ada tumbuhan yang berbunga ungu, namanya Natnitnole. Tumbuhan ini selalu tumbuh di sela-sela kerikil, terutama di jalan menuju rumah. Setiap pagi, di sekitar rumah  tersebut selalu menyebar keharuman sehingga sang kerikil yang ada di sela-selanya bertanya kepada sang tumbuhan, "Mengapa engkau selalu tersenyum setiap pagi dan berharum ria?"
Bunga Natnitnole menjawab "Saya bersyukur setiap pagi, tuan rumah berjalan melalui jalan kita ini dan setiap pagi pula saya mengeluarkan bunga yang baru. Hal ini terjadi karena, setiap jejak kaki yang diinjakkan oleh sang empunya rumah telah meremukkan mahkota dan kerena itulah saya mengeluarkan aroma yang wangi (Buku tulisan Parlindungan  Marpaung  dengan judul  "Setengah Isi-Setengah Kosong"  hlm.182).
Ilustrasi singkat di atas hendak mengatakan kepada kita betapa luhur bunga  Natnitnole itu. Meskipun diinjak-injak dan  diperlakukan tidak adil, ia mampu memaafkan.
      
Jumat, 19 Desember 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 16 Desember 2014

Kata

KATA
(M   o   t    i   v   a   s   i)
 
"Mala aurea in lectis argenteis Qui loquitur verbum in tempore suo" – Perkataan yang diucapkan tepat pada waktunya adalah seperti buah apel emas di pinggan perak (Ams 25: 1).
 
       Pernah suatu kali saya membaca sebuah kata mutiara yang ditulis oleh Marie-Louise de la Ramée (1839 – 1908) - novelis, "Persahabatan bisa berakhir hanya karena satu kata yang tidak bijaksana."  Sering kita jumpai ada orang-orang yang dulu akrab sekali, tiba-tiba mereka menjadi benci satu sama lainnya. Hal itu hanya  gara-gara salah ngomong. 
          "Memang lidah tak bertulang" kata sebuah syair dari sebuah lagu yang berjudul,  "Tinggi Gunung Seribu Janji."  Karena tidak bertulang, maka ia bisa lentur dan kadang-kadang berkelit. Lidah yang tidak terkendali amat berbahaya dan bisa menimbulkan  perang mulut dan adu argument.  Dan kadang-kadang bisa menguras energi dan melelahkan.
"Lidah" merupakan sepenggal daging, namun memiliki peran yang besar bagi kehidupan kita. Bahkan Paulo Coelho (Lahir, 1947 di Rio de Janerio – Brasil) sempat menorehkan  makna "lidah" untuk  novelnya yang berjudul, "Manuskrip yang Ditemukan di Accra."  Tulisnya, "Senjata yang paling merusak bukanlah lembing ataupun  meriam yang bisa melukai badan dan merobohkan tembok. Senjata yang paling berbahaya adalah kata-kata yang bisa menghancurkan kehidupan tanpa meninggalkan jejak darah dan luka-luka yang ditimbulkannya tak pernah bisa sembuh. Karenanya marilah kita menahan  lidah kita dan tidak menjadi budak ucapan-ucapan kita sendiri."  
Kita harus menjadi pribadi yang  "bebas dan bertanggung jawab" dengan apa yang kita ucapkan. Confusius (551 – 479 seb. M) memberikan pengajaran tentang kata-kata yang keluar dari bibir kita. Ajarannya,  "Not to converse with a man worthy of conversation is to waste the man. To converse with a man not worthy of conversation is to waste words. The wise waste neither men or words" – Tidak berbicara dengan orang yang layak diajak berbicara berarti mensia-siakan orang. Berbicara dengan orang yang tidak layak diajak berbicara berarti mensia-siakan kata-kata. Orang bijak tidak mensia-siakan orang maupun kata-kata.
Sungguh benar, di sini kita diajak untuk menjadi orang yang "hemat" dengan kata yang kita ucapkan. Amat disayangkan jika kita menjadi orang yang mudah "obral" kata, sehingga kata-kata kita hilang percuma, karena  "menguap" entah ke mana. Pepatah China menulis,  "Jika kata-kata diucapkan terlalu banyak, terkadang kata-kata  tersebut sudah  kehilangan maknanya dan sulit dinilai bobot kebenarannya."

Rabu, 17 Desember 2014   Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 14 Desember 2014

Putih

PUTIH
(Kontemplasi  Peradaban)
                                                                  Putih indah berseri
Mekar harum mewangi
Melati suntingan hati
 
Kau lambang kesucian
Cinta yang abadi
Yang selalu kurindukan

       Sepenggal syair lagu lawas dengan judul, "melati putih"  besutan Bimbo  di atas, tersirat sebuah makna kesucian dalam  warna putih.  Memang, dalam psikologi warna, warna putih melambangkan kemurnian dan kepolosan, memberikan perlindungan, ketentraman, kenyamanan dan memudahkan refleksi.
          Bagaimana kita memandang warna putih sungguh amat istimewa dibandingkan dengan warna hitam yang memiliki konotasi yang – maaf – kurang elok, misalnya: black campaign , noda hitam atau  black pope –  paus hitam.  
          Jika kita menengok ke belakang yakni  berabad-abad yang lalu, hari gembira penuh sukacita itu  dinamakan hari putih. Plutarch (45 – 120) sejarawan, pembuat biografi dan esais,  menceriterakan bahwa Pericles (495 – 429 seb. M) negarawan, orator dan Jendral Athena,  ketika menyerbu Samos, sadar  bahwa penyerbuan itu akan berlangsung lama. Ia tidak ingin pasukannya keletihan dan bosa, maka dibagilah pasukannya menjadi delapan. Setiap hari kedelapan pasukan itu mengambil undian. Lantas, tatkala diundi dan pasukan yang mendapat biji putih itu  terbebas dari tugas hari itu dan mereka dapat menikmati hari itu sesuka hati mereka (William  Barclay, dalam bukunya yang berjudul, Kitab Wahyu 1- 5  hlm. 143).
Tidak heranlah, jika pengaruh warna putih itu tersebar ke mana-mana. White  (putih) itu berasal dari Inggris kuno, hwit yang berarti: bright, brilliant  dan radiant. Dalam  warna putih terkandung suatu keceriahan, sukacita dan sinar yang berkilau indah, "As he prayed, the aspect of his face was changed and his clothing become brilliant as lightning" – sementara Yesus berdoa di situ, muka-Nya berubah dan pakaian-Nya menjadi putih berkilauan (Luk 9: 29).
          Para calon itu kadang nampaknya jujur dan polos. Mereka  disebut sebagai  candidate. Dan  candidate  itu sendiri berasal dari bahasa Latin, candĭdātus yang berarti berpakaian putih. Mereka berusaha memperoleh jabatan karena ia mengenakan  pakaian putih. Dan tentu saja dalam bersikap harus menunjukkan kejujuran. Para candidati  itu dalam bertindak pun bagaikan anak domba yang tulus,  "Seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya" (Yes 53: 7).
          Orang yang muram, sedih, murung-murung dan  berduka akan menjadi sempurna jika mengenakan  pakaian hitam. Kita, ketika melayat untuk melihat keranda hitam, tidak terbayangkan jika tidak mengenakan pakaian hitam. Sang Nabi Muhammad SAW melarang bagi masyarakat Arab dalam hadis-nya, "mencelupkan pakaian dengan warna merah karena itu termasuk ke dalam pakaian keindahan yang tidak cocok dengan suasana berkabung."  Namun, masyarakat China dan negara-negara Asia lainnya pun cenderung memilih warna putih sebagai warna berkabung. Perhatikanlah  film-film seperti: Red Cliff, The Three Kingdoms, Sun Tzu Art of War, yang ketika sedang berkabung menggunakan warna putih. Benar kata pepatah,  "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya."    
          Dalam pelbagai kebudayaan,  seperti Jawa (Kesultanan  Yogyakarta dan Kasuhunan Surakarta) warna putih memiliki simbol tersendiri. Kraton Surakarta menggunakan warna putih sebagai bentuk penolakan terhadap yang jahat, tidak baik dan merusak. Oleh karenanya warna putih sering menjadi warna sunan dan ksatria. Pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I  (1717 – 1792) di Yogyakarta  warna putih dijadikan warna dasar ageman (pakaian) para ksatria. Terutama pasukan Wirabraja mengenakan warna putih sebagai lambang keteguhan hati membela kebenaran.  Dari kebudayaan Jogjakarta dan Surakarta itu, muncullah seorang Satria yang juga Raja Pandawa yang bernama Puntadewa atau Yudistira.  Puntadewa dilukiskan sebagai raja yang memiliki  getih putih – darah putih. Ia tidak pernah berbohong dan berjiwa tulus. Darah putih akan melakukan segala hal tanpa pamrih, ikhlas dan tidak mengambil keuntungan untuk diri sendiri.  
          Setelah mengontemplasikan makna warna putih ini, sepertinya, ada kaitan antara suci dan putih. Sejenak  marilah kita senandungkan lagu, "Melati Suci" syair  Guruh Sukarno Putra. Konon lagu itu dipersembahkan untuk ibu Fatmawati, yang nama aslinya Fatimah (1923 – 1980):
Putih-putih melati
Mekar di taman sari
Semerbak wangi penjuru bumi.
 Suci-suci melati
Suntingan 'bu Pertiwi
Lambang nan luhur budi pekerti.
 
Saya menjadi ingat akan para pemimpin agama yang ketika menjadi  pontifex  yang bukan  maximus (pembuat jembatan  antara Tuhan dan Manusia) mengenakan  alba (Bhs. Latin, alba = pakaian putih), kecuali pendeta Buddha  yang mengenakan warna orange.  Tentu saja hatinya suci, murni, tulus  seperti jubah, toga, alba yang dipakainya.  Wallahu a'lam!  Dan Allah Mahatahu!

Senin, 15 Desember 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Mata

MATA
(Kontemplasi Peradaban) 

"Tujuh kota berperang memperebutkan Homerus,
 yang sudah wafat, yang ketika  hidup,
tidak punya atap untuk menidurkan kepalanya"
 (Thomas Heywood, penyair Inggris: 1575 - 1641).
 
          Kita tahu bahwa Homerus (800 – 750 seb.M) adalah pendongeng ulung yang buta. Saya membayangkan sosok Homerus yang buta itu mirip dengan Prabu Drestarasta, raja Astina istri  Gendari, yang juga buta. Sang permaisuri  – dalam kisah Mahabharata itu – digambarkan sebagai ibu dari para Kurawa yang solider dengan penderitaan suaminya.  Ia sengaja menutup matanya dengan kain hitam supaya senasib dan sepenangungan dengan Sang Prabu.
          Kita tentu tidak tahu apa motivasi Gendari itu menutup mata. Lantas kita bertanya, "Apakah ketertutupan mata Gendari itu sama dengan Dewi Iustitia?"  Dewi Iustitia  atau dewi Keadilan, merupakan simbol kebanggaan orang-orang Romawi.  Kedua matanya ditutup dengan sehelai kain. Ia memegang sebuah neraca di tangan kirinya dan sebilah pedang di tangan kanannya. Mata yang tertutup menampilkan gagasan keadilan. Mata yang tertutup menunjukkan sikap netral, tidak memihak pihak-pihak yang bertikai.  Memang untuk menjadi adil, orang harus melihat dengan  "mata hati" seperti yang ditulis oleh Antoine de Saint-Exupéry (1900 – 1944),  "Hanya dengan hati seseorang dapat melihat  dengan benar, apa yang penting tidak terlihat mata."
          Kita sering mendengar kata-kata, "anak semata wayang" yang berarti anak satu-satunya. Disebut semata wayang karena wayang hanya memiliki satu mata (arti kiasan). Atau kita pernah mendengar kisah "Pendekar bermata satu"  dan juga film yang berjudul "Si Buta dari Gua Hantu."  Kalau dalam "Mitologi Yunani"  kita mendapatkan sebuah cerita dari Homerus yang buta itu tentang ras manusia purba raksasa yang memunyai satu mata di tengah-tengah dahinya, namanya Cyclops. Dan akhirnya kisah "Rusa Betina Bermata Satu" tulisan Aesop (620 – 560 seb.M).  Dalam kisah itu, Rusa yang bermata satu jika merumput di pantai, mata yang buta diarahkan kepada laut. Ia beranggapan bahwa dari laut tidak mungkin ada predator yang mengancam. Namun dalam kisah ini, Rusa terbunuh karena tidak menggunakan mata sebelah yang tidak buta (Bdk. David Noonan dalam bukunya yang berjudul,  "The Turtle Becomes a CEO" hlm. 159).
          "Mata adalah jendela hati disitulah bentuk cermin jiwa" demikian kata pepatah. Namun pepatah tersebut kini dipatahkan oleh "suara rakyat" yang mendambakan para pejabat yang melihat dengan "mata hati".  Sukardi Rinakit dalam  analisis politik-nya menulis, "Para pejabat tidak hanya melihat perikehidupan rakyat dengan mata terbuka, tetapi juga dengan mata hati. Mata terbuka justru harus ditutup karena semu dan sering menipu" (Kompas, 9 Desember  2014). Lantas, kita melirik kembali apa yang terjadi pada  sebuah padepokan Roemah Petroek di desa Karang Klethak, Sleman, Yogyakarta (Selasa 25 November 2014). Di sana "Mata Presiden Jokowi Ditutup Kain Hitam."  Dalam teater ini, sebelum meninggalkan panggung, Ferry menutup mata patung Jokowi dengan kain hitam, "Supaya presiden ketujuh ini tidak hanya bisa melihat realitas di negeri ini dengan mata fisiknya, tapi harus bisa membaca dengan mata hatinya seperti Gus Dur" (Kompas, Selala, 2 Desember 2014).
          Yesus pernah bersabda, "Jika matamu menyesatkan engkau cungkilah...." (Mrk 9: 47).  Memang, dari mata muncul banyak keinginan, dari mata tumbuh iri hati dan  dari mata……….. (isi sendiri). Dari sana pula, saya teringat drama  "Oedipus Rex" – Oedipus sang Raja,  tulisan Sophokles (497/ 496 – 406/405 seb.M). Dalam akhir drama, Jacosta pun sadar dengan tragedi yang menyakitkan.  Ia telah menikahi anak kandungnya sendiri, juga yang telah membunuh suaminya. Dengan hati yang pedih dan hancur, Oedipus pun menyadari hal ini dan mengutuk dirinya. Oedipus kemudian menemukan Jocasta telah tewas gantung diri. Dengan menggunakan tusuk konde dari Jocasta, Oedipus melukai kedua matanya sendiri hingga buta.

Rabu, 10 Desember 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 08 Desember 2014

Wafat

WAFAT
(Kontemplasi Peradaban)
 
Dalam keranda hitam tubuhmu terbujur
Ada misteri yang tak pernah terungkap
Alis matamu tebal menyimpan rahasia
Adakah waktu akan mampu mengurai?
Kematian ini memisahkan kita,
Selamat jalan
 
(Ebiet G. Ade dalam sebuah lagunya yang berjudul, "Dua Menit ini Misteri")
Pastor Ronny Raditya Rotinsulu Pr  sudah  wafāt (Bhs. Arab yang berarti tutup usia). Perjalanan panjangnya dalam derita sakit sudah berakhir.  Memang benar ungkapan  yang dikatakan Horatius (65 – 8 seb. M) penulis sastra Romawi bahwa  "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kini ia sudah  almarhūm  (Bhs. Arab yang berarti sudah dirahmati oleh Tuhan). Maka pantaslah kita mengucapkan sebuah salam, "Ad vitam aeternam" – selamat memasuki hidup abadi.  Dan akhirnya kami yang masih berziarah di dunia ini,  hendak mengumandangkan sebuah lagu, "in paradisum deducant te angeli" – para malaikat mengantarmu ke firdaus.
Sering kali kita "protes" kepada Tuhan, "Mengapa orang yang masih muda dan masih dibutuhkan cepat-cepat Engkau panggil?"  Untuk menjawab pertanyaan itu kita pun sering mendengar ungkapan, "Virtuous people die at an early age, because the gods want those people to be with them in the afterlife."  Atau dalam pepatah Latin berbunyi, "Quem dii diligunt adulescens moritur" – yang disayang oleh para dewa, mati muda. Ungkapan tersebut ditulis oleh  Plautus ( 254 – 184 seb.M). Lantas, kita bertanya seperti  apa yang ditulis  oleh Soe Hok Gie (1942 – 1969)  dalam bukunya yang berjudul, "Catatan seorang Demonstran" yang berbunyi,  "Seorang filsuf  Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan yang kedua dilahirkan tapi mati muda."
Pastor Ronny tidak sendiri.  Banyak tokoh dunia yang umurnya pendek.  Wolter Monginsidi  wafat dalam usia: 24 tahun, RA Kartini: 25 tahun, Alexander Agung: 32 tahun, Van Gogh: 37 tahun, Martin Luther King: 39 tahun dan Che Guevara: 39 dan akhirnya Yesus Kristus : 33 tahun.  Di sini berlaku pepatah Latin seperti  apa yang dikatakan oleh Seneca (4 – 65 M) filsuf, negarawan dan dramawan Romawi, "Quam bene vivas non quam diu refert"  – yang penting bukan lama engkau hidup, tapi bagaimana engkau hidup dengan baik.
Menurut kesaksian sahabatnya yakni Pastor Steven Lalu Pr  (sedang study di Roma),  setiap kali ditanya oleh orang lain, Pastor Ronny selalu menjawab, "Sekarang sudah lebih baik!"  Sebuah kesaksian iman yang luar biasa. Menurut saya, Ronny telah memelihara iman, "Aku telah memelihara iman."  Memang,  memulai sesuatu itu mudah tetapi mengakhirinya tidaklah mudah. Seseseorang yang sangat  terkenal pernah mendapat saran untuk menulis  biografinya ketika ia masih hidup. Namun ia sama sekali menolaknya dengan alasan, "Aku  telah melihat banyak orang gagal di putaran terakhir."
Paulus berkata, "Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garus akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan" (2 Tim 4: 6 – 8).  Bahkan John Bunyan (1628 – 1688) dalam bukunya yang berjudul, "The Pilgrim's Progress"  menulis,  "Sebelum jalan menuju surga ternyata ada lorong turun ke neraka."
          "Mengenai diriku," kata Paulus, "Darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan." Kata Yunani untuk "persembahan" adalah  spendhesthai yang secara harfiah berarti menuangkan anggur sebagai persembahan untuk para dewa. Setiap kali orang Romawi makan selalu diakhiri dengan semacam korban. Secawan anggur diambil dan dituangkan (spendhesthai) bagi para dewa. Seolah-olah di sini Paulus  berkata, "Hari sudah berakhir, inilah waktunya untuk bangkit dan pergi; dan hidupku harus dituangkan sebagai kurban bagi Allah" (Willian Barclay dalam bukunya yang berjudul, "Memahami Alkitab Setiap hari – Surat 1 & 2 Timotius, Titus, Filemon"  hlm. 323).
Kita juga percaya bahwa mungkin selama masa sakitnya Pastor Ronny, memberi banyak kesaksian tentang hidupnya yang berani menghadapi kematian dan kehidupannya telah menjadi persembahan terbaik bagi Tuhan.  Kadang-kadang sejarah terulang secara aneh. William Tyndale (1494 – 1536) berada di penjara di Vilvoorde menunggu kematian karena ia berani menyebarkan Al-kitab kepada masyarakat dalam bahasa mereka. Saat itu adalah musim dingin yang lembab. Ia menulis surat kepada temannya, "Demi Yesus , kirimkan kepadaku topi hangat, sesuatu untuk menambal pembalut kakiku, baju wool dan di atas semua itu Alkitab Ibrani."  Tyndale berani menghadap Tuhan dengan "kelakar"
 Julius Caesar (100 – 44 seb.M)  pernah berkata,  "pengecut mati berkali-kali sebelum nafas penghabisan, pemberani mati hanya satu kali" dan pepatah Latin yang berbunyi, "Haud timet mortem qui vitam sperat – yang berharap hidup tidak akan takut mati, sebagai ucapan selamat jalan saya kepada Pastor Ronny Raditya Rotinsulu Pr  (28 April 1981 – 07 Desember 2014).

Senin, 08 Desember 2014  Markus Marlon   


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 24 November 2014

Menilai

MENILAI
(Kontemplasi Peradaban)
 
"Jangan menilai seseorang berdasarkan masa silamnya, karena setiap orang mampu berubah,  malah (mungkin) jauh lebih baik dari apa yang kita sangka" (Markus Marlon).
 
Saya pernah bertanya kepada seorang pembina yang mengurusi para subyek binaannya. Pertanyaan saya itu  tentang saat-saat mana baginya yang paling rawan dalam proses pembinaan. Dengan tenang dia berkata, "Situasi yang paling rawan bagi saya adalah ketika harus mengevaluasi atau menilai para subyek bina." Dia berkata lagi, "Kadang saya melihat ada orang yang memiliki prospek yang baik, tetapi dari segi intelek  kayaknya  berat. Terpaksa dia  harus keluar!"  Dari pengakuannya sendiri, kadangkala dirinya tidak bisa tidur nyenyak ketika harus memberitahu kepada yang bersangkutan tentang penilaiannya itu,  esok hari.  

Menilai seseorang itu bagaikan "memotret individu" yang sering muncul dalam wawancara-wawancara. Pewawancara bisa saja terjebak dalam gejala-gejala  "hallo effect" yaitu terpengaruhnya pewawancara oleh kesan pertama. Dan hallo effect ini sangat memengaruhi penilaian seseorang.  Proses pembinaan pun pada hakikatnya sebuah "wawancara" yang terus-menerus.  Subyek bina seharusnya dikenali secara mendalam. Pepatah kuno mengatakan, "Don't judge a book by its cover"  – jangan menilai buku dari sampulnya. Jangan menilai seseorang atau sesuatu berdasarkan penampilannya. Penampilan kadang menyesatkan. Kenalilah lebih dalam sebelum kita memberikan penilaian.

Memang benar, menilai atau mengevaluasi seseorang itu tidak mudah. Karena yang dinilai adalah manusia yang memiliki: perasaan, pikiran, kehendak dan cita-cita.  Marilah kita ikuti kisah  "kristal labrador" untuk memudahkan memahami makna penilaian terhadap seseorang.

Sekilas pintas, kristal  labrador  itu tidak menarik. Tetapi kalau kristal tersebut diputar-putar secara pelan-pelan sambil digoyang ke sana dan ke mari, maka ia akan sampai dalam kedudukan tertentu di mana sinar  matahari masuk dan tiba-tiba kristal tersebut akan memancarkan sinar yang sangat indah dan luar biasa.

Manusia kira-kira seperti kristal itu. Mereka mungkin kelihatan tidak baik hati,  hanya karena kita tidak mengenal secara utuh dan mendalam. Di dalam setiap pribadi selalu ada sesuatu yang baik. Dalam hal ini, tugas kita bukanlah menilai atau menghakimi berdasarkan penampilannya yang mungkin tidak menarik kala itu.  Sekali lagi kukatakan, "Jangan menilai seseorang berdasarkan masa silamnya, karena setiap orang mampu berubah,  malah (mungkin) jauh lebih baik dari apa yang kita sangka."

Senin, 24 November 2014  Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 12 November 2014

Laba-laba

LABA-LABA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
"Sebuah kamar dinilai bersih kalau tidak ada sarang laba-laba" kata sebuah ungkapan.  Coba saja jika kita menginap pada sebuah "Hotel Melati"  misalnya  dan ternyata ada sarang laba-laba, tentu saja kita akan mengurungkan niat untuk menginap di sana.
          Memang, laba-laba  kadang-kadang menjijikkan untuk beberapa orang, apalagi ketika laba-laba itu menggunakan jaringnya untuk  menjerat mangsa. Sadis bener!  Melihatnya kita menjadi tidak simpati kepadanya.  Bahkan ada pepatah Latin, "plenus sacculus est aranearum" – kantong uang itu penuh laba-laba. Ungkapan yang dicetuskan oleh Catullus (84 – 54 seb. M) memiliki makna: dompetnya kosong.
  Arānea  yang dalam bahasa Latin  berarti laba-laba itu dalam Mitologi Yunani memiliki nama yang tidak harum. Tulisan Sukartini Silitonga – Djojohadikusuma dalam bukunya yang berjudul,  "Mitologi Yunani"  mengajak kita untuk menimbang asal-usul si laba-laba itu.  Pada waktu itu, hiduplah seorang wanita muda bernama Arakhne. Ia dinilai sombong, terlebih karena kepandaiannya menggunakan jarum. Bahkan dia tidak ragu-ragu mengukur kepandaiannya dengan Athena. Padahal Dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan ini luar biasa  pandai menggunakan jarum.
Athena mengajak lomba Arakhne untuk berlomba menenun dan ia kalah. Karena malu, maka Arakhne ingin lari dan menggantung diri. Namun Athena tidak ingin Arakhne secepat itu hilang dari gelanggang, maka  dengan cepat pula sang Dewi mengubahnya menjadi laba-laba. Arakhne dihukum untuk tidak henti-hentinya menenun dan  "membuat jaring".
Setelah menyimak kisah-kisah di atas, seolah-olah tidak ada kebaikan dalam diri laba-laba itu. Tetapi jangan berprasangka buruk terlebih dahulu, karena ada  laba-laba yang menjadi dewa penolong, "spider-man" contohnya. Kisah fiksi ini sudah difilmkan dengan berbagai versi.  Dan meskipun memiliki rekam jejak yang negatif, laba-laba atau sering juga disebut  tarantula itu memiliki kisah yang menarik dalam menyelamatkan nabi-nabi besar: Nabi Isa Al-Masih 'alaihissalam  dan Nabi Muhammad  Shallallahu 'alaihi wa sallam.
          Tatkala laba-laba itu melihat bayi Isa as yang digendong ibunya dan  ingin bersembunyi dari pengejaran, ia memutuskan untuk menyelamatkan-Nya. Hal yang ia lakukan adalah menenun jaring di pintu masuk gua, sehingga jaring itu menjadi semacam kain pelindung yang menghangatkan lubang di dalamnya.
          Di luar gua terdengar derap sepatu tentara-tentara yang dikirim oleh Herodes mencari bayi untuk dibunuh. Ketika rombongan tentara itu tiba di depan gua, mereka ingin segera menerobos masuk ke dalam gua dan mencari bayi Isa as. Ketika kapten melihat adanya jaring yang dibuat oleh laba-laba, ia pun berkata, "Lihat jaring laba-laba ini. Jaring ini sama sekali tidak rusak, sehingga tidak mungkin ada orang di dalamnya."  Berkat sang laba-laba, selamatlah Nabi Isa as.
          Nabi Muhammad pun berhutang nyawa kepada laba-laba. Pada saat Muhammad meninggalkan Mekkah bersama sahabat karibnya Abu Bakar, kemarahan orang-orang suku  Quraisy sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan membiarkan kedua orang yang akan berpindah tempat itu sampai di Madinah dengan tenang. Namun Allah melindungi mereka dengan mengirimkan seekor laba-laba yang menenun  jaring  melintang di mulut gua dan sepasang merpati yang membuat sarang dekat jalan masuk gua. Ketika para pencari tiba di gua, mereka dengan segera melupakannya karena tempat tersebut tidak pernah didatangi orang seperti terbukti dari  sarang  laba-laba dan merpati. Kanjeng  Nabi dan Abu Bakar pun selamat, kemudian melanjutkan perjalanan kepindahan mereka ke Medinah (Bdk.  Buku dengan judul "The Everything Koran Book" tulisan Duaa Anwar. Hlm. 35).
          Tuh khan, "Kalau tidak ada laba-laba pada waktu itu, bagaimana yang akan terjadi dunia ini?"  Jaringan yang saling ber-connect itu aslinya mirip jaring yang dibuat laba-laba. Dunia zaman sekarang ini,  manusia saling terhubung dan dari sana muncullah istilah www, World Wide Web atau JJJ, Jejaring Jagat Jembar.  Akhirnya, laba-laba, "terima kasih atas jasamu!"
 
Rabu, 12 November 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 07 November 2014

Boros

BOROS
(Kontemplasi  Peradaban)
   
"Orang bijaksana bukanlah orang yang memperbanyak kebutuhan, tetapi mereka yang mampu membatasi kebutuhan. Dengan cara membatasi diri, ia akan mencapai kepuasan. Ia menghindari tindakan yang berlebihan" (Epikuros, 342 – 270 seb. M).
 
          Dalam dunia Islam kita mengenal Syaikh As Sa'di  rahimahullah  (1889 – 1956) seorang ahli bahasa Arab dan ahli fiqih serta ahli tafsir yang mengatakan bahwa orang yang boros disebut temannya setan karena setan tidaklah mengajak selain pada sesuatu yang tercela. Setan mengajak manusia untuk pelit dan hidup boros atau berlebih-lebihan. Padahal Allah memerintahkan kita untuk bersikap sederhana dan pertengahan (tidak boros dan tidak terlalu pelit).
          Dalam situasi politik yang mengerucut seperti saat ini, serta berita-berita miring tentang para pejabat yang korupsi, perlulah "dihadirkannya" sebuah  "pemerintahan yang bersih."  Konsekuensi logis dari itu adalah bahwa pemerintah harus menjadi pionir untuk hidup ugahari dan tidak boros. Tjahyo Kumolo (Mendagri) meminta supaya seluruh Pemda harus mengurangi pemborosan. Hal-hal yang tidak perlu dibelanjakan lebih baik diarahkan untuk petani, nelayan dan buruh…" (Luwuk Post, 4 November  2014).  Dana Kementrian – Presiden meminta kabinet transparan dan tidak boros (Kompas, 4 November 2014).
          Maria Antoinette (1770 – 1793) permaisuri dari Louis XVI (1754 – 1793) memiliki banyak julukan namun sayang bahwa  sebagian besar julukan itu negatif.  Ia sering merayakan pesta di istana, membelanjakan barang-barang perhiasan yang mahal-mahal, bahkan ketika negeri Prancis mengalami kesulitan keuangan, "Ia berfoya-foya di atas penderitaan rakyat."  Seneca (4 seb. M – 65 M), filsuf-negarawan-dramawan  mengatakan, "Invisa nunquam imperia retinentur diu" – pemerintahan yang dibenci tidak pernah dapat bertahan lama.  Dan akibatnya dapat kita ketahui, ia dan suaminya dihukum pancung dengan hukuman  guillotine.  Memang, "gula plures interemit quam gladius" – kerakusan itu (dapat) membinasakan lebih banyak hal dibandingkan dengan pedang.

          Keinginan manusia itu tidak terbatas. Mahatma Gandhi (1869 – 1948)  pernah berkata, "Seluruh isi bumi ini tidak cukup bagi orang yang serakah" dan kata-kata itu benar adanya. Tidak jarang kita melihat para ibu yang suka belanja dan kebanyakan yang dibeli itu bukan yang dibutuhkan tetapi yang diinginkan (Bdk. Buku dengan judul  "Miss Jinjing – banjir diskon").  Lantas, dalam dunia pewayangan kita kenal tokoh, Petruk yang bergelar  "kanthong bolong" – sakunya berlubang, sehingga uang terus-menerus keluar.  Ia membelanjakan – barangkali –  hal-hal yang tidak berguna, useless expenditure. Orang semacam itu dalam kitab Amsal dikatakan, "Harta yang indah dan minyak ada di kediaman orang bijak tetapi orang bebal memboroskan hartanya" (Ams 21: 20). 

Kamis, 06 November 2014   Markus Marlon

__._,_.___
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 03 November 2014

Rileks

RILEKS
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Waktu saya menikmati pemandian santai di  "Relax Spa" – Cirebon beberapa tahun yang lalu, sejenak saya terkesima dengan tulisan ruangan spa  tersebut, "Santai adalah Rileks."   Spa sendiri – sejauh saya tidak salah ingat – merupakan akronim dari  "Sanitas per Aquam"  atau  "Salus per aquam"  – Kesehatan melalui Air.
          Kadangkala, orang menyamakan antara "santai" dengan "rileks," padahal kedua kata tersebut tidak sama. Kata "santai" itu berasal dari bahasa Palembang yang berarti: seenaknya atau  tidak bersungguh-sungguh. Ada juga yang mengatakan bahwa santai itu kependekan dari santap sambil melantai, makan-makan sambil duduk di lantai dan mendengarkan lagu.  "Uenak tenan" – enak sekali.  Sedangkan  "rileks" dari bahasa Latin, "relaxare" yakni: re, ke awal, lagi + laxare,  menjadi kendor. "Rileks"  yang dalam bahasa Inggris  relax berarti tidak tegang atau kendor.  Mungkin setelah berjam-jam bekerja kepala menjadi tegang, seseorang perlu untuk  refreshing,  relaxing dan itu bisa didapat dengan rekreasi.
          Pernah ada sebuah  pertanyaan yang ditujukan kepadaku, "Percayakah kamu bahwa pada saat rileks, banyak  masterpiece  – karya agung yang tercipta?"   Cicero (106 – 43 seb. M) ahli pidato, pengacara, politikus dan filsuf  Romawi pernah berkata,  "Homo relaxus"  – orang yang rileks memiliki daya cipta dan ide-ide yang tak terduga. Dalam suasana rileks, ide-ide yang terkurung menjadi "liar". Bahkan Albert Einstein (1879 – 1955) pernah berkata,  "thinking will onl get you from A to B, but imagination is able to take you from A to wherever" – nalar hanya akan membawa Anda dari A menuju B, tetapi imaginasi membawa Anda dari A ke mana pun.
          Seringkali kita mendengar  joke seperti ini, "Kantornya dipindahkan ke lapangan  golf"  Lelucon itu muncul bukan tidak tanpa alasan. Para bos dan para pemimpin tinggi dalam pemerintahan atau para direktur utama,  adalah pemegang kebijakan, stakeholder  atau pembuat   keputusan, decision maker.  Biasanya mereka tidak mengambil keputusan pada saat yang  otot dan suasana tegang. Tidak heranlah jika lobby, makan siang di restoran yang memberi suasana nyaman dan tenang acapkali dijadikan tempat pertemuan  – yang bisa jadi – menentukan nasib orang banyak.
          "Mungkin kita ingat pencipta lagu  masyur Beethoven?"  Ludwig van Beethoven (1770 – 1827)  adalah seorang komponis musik  klasik dari Jerman dan karyanya yang terkenal adalah "Simfoni ke-5"  dan "Simfoni ke-9" dan "Für Elise."  Ternyata beberapa simfoni itu dihasilkan dari kreasi mengubah yang enteng dan remeh-temah menjadi berbobot.  Yok, kita rileks jika otot tegang. Namun jangan seperti yang dinyanyikan Rhoma Irama, "Yok  kita santai agar otot tidak tegang!"

Senin, 03 November 2014   Markus Marlon
 
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 31 Oktober 2014

Mengendalikan Emosi

Mengendalikan Emosi demi Hidup Damai
 
Apa yang akan terjadi, kalau Anda menjadi bulan-bulanan ejekan? Saya yakin, hati Anda terasa sakit. Mungkin Anda akan marah terhadap orang yang melakukannya.
Berawal dari sakit hati karena diejek, MF alias Al (14) pelajar sebuah SMP di Jakarta Timur tega membacok rekannya Yakobush Lincoln Abraham Yunus (13) siswa kelas VII SMP Advent Ciracas, Jakarta Timur. Di hadapan penyidik Polres Metro Jakarta Timur, MF telah mengakui kejadian yang dilakukannya pada Sabtu (10/5) pukul 20.00 WIB. MF bersama enam temannya menemui Bus, sapaan akrab Yakobush, di sebuah lapangan di dekat rumahnya di Jalan Pule Dinas Kebersihan, Ciracas, Jakarta Timur.
"Hasil pemeriksaan penganiayaan dilatarbelakangi pelaku sakit hati terhadap korban. Korban dianiaya dengan senjata tajam sampai akhirnya meninggal, karena kehabisan darah," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Metro Jakarta Timur, Ajun Komisaris Besar Didik Sugiarto.
Sebelumnya, MF mengakui telah merencanakan melakukan penganiayan kepada korban. Pasalnya, ketika menemui Bus, MF melalui temannya AS alias M (14), telah menyiapkan sebilah celurit. Sebelum MF menyerang Bus, mereka terlihat sempat adu mulut. Bahkan MF mencekik leher korban dengan tangan kirinya sampai akhirnya terjadi penganiayaan.
Rekan Bus yang juga berada di lokasi kejadian langsung melarikan Bus ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Rebo. Sayang, dalam perjalanan korban kehabisan darah dan langsung meninggal.
Kepala Polisi Sektor Ciracas, Komisaris Suwanda mengatakan, pelaku dendam lantaran kerap diejek oleh korban. "Dia (MF) sering di kata-katain setiap kali bertemu. Kemudian timbul rasa ingin balas dendam," kata Suwanda.
Sahabat, dendam yang dipendam bisa menjadi malapetaka bagi kehidupan. Soalnya, mengapa orang merasa dendam terhadap orang lain? Tentu saja ada banyak alasan orang merasa dendam terhadap orang lain. Namun menghakimi orang lain tetap menjadi suatu perbuatan melawan hukum. Apalagi sampai melakukan perbuatan kriminal terhadap sesama.
Kisah di atas menjadi suatu kisah yang memilukan hati manusia. Memang, tidak enak rasanya menjadi bulan-bulanan ejekan dari orang lain. Namun orang mesti menyadari bahwa menghakimi sendiri orang yang mengejek kita, bukan suatu tindakan yang benar. Ada jalur hukum yang bisa dilakukan untuk meminta keadilan. Sayang, MF tidak mau mengambil jalur hukum. Ia ingin menjadi hakim sendiri. Hasilnya, sangat tragis bagi kehidupan.
Orang beriman mesti memupuk kesabaran dalam hidup. Dengan demikian, orang tidak terbawa emosi yang kemudian berakibat tragis bagi kehidupan orang lain. "Janganlah engkau menghakimi sesamamu manusia, agar Anda tidak dihakimi dengan lebih berat lagi," kata seorang bijaksana.
Ungkapan ini mau mengajak kita untuk selalu berusaha mengendalikan emosi kita. Emosi yang tidak terkendali hanya menimbulkan suasana hidup yang tidak harmonis. "Kalau Anda sedang dalam perjalanan menuju pengadilan bersama lawanmu, sebaiknya Anda mengajak lawanmu itu berdamai. Jangan sampai Anda yang dijebloskan ke dalam penjara," kata Yesus.
Tentu saja orang beriman tidak ingin hidup orang lain mengalami dukacita karena perbuatannya. Justru sebaliknya, orang beriman selalu memperjuangkan kebaikan dalam hidup ini. Mari kita terus-menerus memperjuangkan damai dalam hidup ini. Dengan demikian, hidup kita menjadi berkat bagi orang lain. Tuhan memberkati. **
 
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 21 Oktober 2014

Singgah

SINGGAH
(Kontemplasi Peradaban)
          Budaya Jawa memiliki falsafah hidup  – yang kemungkinan – setiap orang Jawa pernah mendengarnya,  "Urip iku mung mampir ngombé" – hidup itu hanya sekadar singgah untuk minum.  Ungkapan ini semakin bisa dipahami tatkala kita membandingkan usia  jagat raya yang umurnya  4.54 miliar tahun. Seolah-olah, hidup kita di dunia ini hanya sekejab saja. Pemazmur menulis, "Manusia seperti angin, hari-harinya laksana bayang-bayang berlalu" (Mzm 144: 4)Dan tidak dapat disangkal bahwa umur manusia pun terbatas, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10). Penyair Romawi Kuno Vergilius (70  – 19 seb. M)  berucap, "Fugit irreparabile tempus" – Waktu berlalu terus dan tidak akan kembali.
          Yang namanya singgah  itu tentu sifatnya tidak  lama namun hanya sejenak dan singkat.  Dengan singgah di rumah sahabat misalnya, seseorang bisa bicara  ngalor-ngidul  dan kadang bisa menemukan kegembiraan dalam percakapan. Namun yang perlu diingat yaitu bahwa ketika seseorang singgah, ia akan tetap ingat akan tujuan yang sebenarnya yaitu  "rumahnya sendiri". Dalam arti ini, manusia adalah sang peziarah, homo viator  yang senantiasa berjalan dan berjalan. Tidak heranlah ketika dalam perjalanan, ia singgah sana dan singgah sini. Yakub selama hidupnya adalah seorang peziarah atau musafir. Sampai embusan nafas yang terakhir pun, ia adalah  seorang musafir tua yang masih memiliki tongkat perjalanan di tangannya. Menjelang akhir hidupnya, ia masih saja siap untuk berjalan (Bdk. Ibr 11: 21). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa makna hidup,  "urip mung mampir ngombé"  itu memiliki korelasi dengan  "ngèlmu sangkan paraning dumadi" – ilmu asal-usul kehidupan manusia. Manusia itu berasal dari sang Pencipta  dan akan kembali pada Sang Pencipta.
          Masing-masing kita diberi  "waktu singgah"  oleh sang Penyelenggara Kehidupan. Seorang  kickboxer dari Amerika,  Joe Lewis (1944 – 2012) berkata, "You only live once, but if you work it right once is enough – Anda hanya diberi waktu hidup sekali, tetapi jika anda hidup dengan benar maka sekali saja sudah cukup.  Memang yang penting bukan seberapa lama kita hidup, tetapi yang penting adalah seberapa bergunanya kita bagi sesama selama kita hidup ini. Benyamin Franklin (1705 – 1790) menulis, "Do you love life? If 'yes' do not squander time, because time does build  a life" – Apakah anda mencintai hidup? Kalau 'ya' jangan menyia-nyiakan waktu, sebab waktulah yang membangun kehidupan.
          Kita bukanlah  "penguasa kehidupan"  dan kita hanya diberi  waktu oleh Sang Pemberi Kehidupan. Suatu saat jiwa kita pun akan diambil, "Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu" (Bdk. Luk 12: 13 – 21). Waktu kita terbatas. Steve Jobs (1955 – 2011) mengingatkan kita dengan menulis, "Your time is limited, so don't waste it living someone else's life" – Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.
          Kadang dalam  nglakoni hidup ini  menuruti kehendak orang sehingga kita kehilangan arah dan tujuan. Kita singgah di tempat yang salah. Kita menjadi orang yang  "diem eximere dicendo" – melewatkan hari dengan omong kosong.  Atau sebuah kata yang pernah ditulis oleh Suetonius (71 – 135 M), "diem perdidi" aku telah kehilangan hari (karena singah sana dan singgah sini, tetapi tidak memiliki makna). Padahal kita menyadari bahwa  "dies diem docet" – hari yang satu mengajar hari yang lain. Hari berikutnya adalah murid dari hari sebelumnya.
          Sekali lagi, persinggahan di dunia ini terlalu singkat, "Tempus fugit" – waktu berlari. Lantas kita berkata dalam hati, "Apa makna hidupku yang singkat ini?"  Mari kita renungkan ungkapan dalam bahasa Prancis ini, "Ce qua nous faisons est à peine une goutte d'eau dans l'ocean, mais si nous ne faisons pas notre goutte d'eau manuqerait à  l'océan"  –  Apa yang kita kerjakan hampir tidak lebih dari sebuah tetes air dalam samodra. Tetapi kalau kita tidak mengerjakannya, maka samodra itu akan berkekurangan satu tetes air kita.

Selasa, 21 Oktober 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 19 Oktober 2014

Batas

BATAS*
(Kontemplasi Peradaban)
 
                Beberapa tahun yang lalu (1988 – 1994), ketika saya sebagai skolastik dan Romo Budi sebagai superior, ia pernah berkata kepada saya, dalam bahasa Jawa yang kental,  "Lon, urip iku ana watese" – Lon hidup itu ada batasnya. Kata-kata itu berbunyi merdu dalam hatiku hingga detik ini. Dan ia berkata lagi, "Ada batas untuk popular, ada batas waktu memiliki jabatan, ada batas untuk sehat dan ada batas umur. Semua ada yang atur dan kita hanya  ngaloni saja!"
 
          Selama Romo Budi dirawat di RS Geriyatri, saya beberapa kali  diberi info perkembangan kesehatannya dan akhirnya Tuhan sendiri yang menjemputnya. Dan dalam waktu dekat, nama Romo Budi akan masuk dalam  album necrologium  (Buku Kematian).  Lantas,  saya pun berkata, "Pada suatu waktu, nama saya pun akan tertulis dalam album necrologium. Entah kapan!" Tiap orang ada batasnya.  Terminus  vitae  – tonggak akhir kehidupan.  
          "Batas" sungguh memiliki makna yang mendalam. Saya masih ingat tanggal  9-9-99 ada isu kiamat. Menjelang tanggal tersebut  wartel-wartel  (warung tilpon – waktu itu HP belum  popular),  dipenuhi dengan anak-anak muda yang  "mengaku dosanya" kepada orang tuanya. Kebanyakan mereka adalah pelajar yang menimba ilmu di luar kota. Sempat terdengar kata-kata, "Ma,  minta maaf  yah,  selama ini saya tidak mau dengar  mama. Ma, saya takut mati jauh dari keluarga!"  Dengan adanya waktu yang terbatas, muncullah kualitas kata-kata yang indah untuk  orang-orang yang dicintai.  Bahkan waktu orang hendak mati, dirinya ingin dikelilingi oleh orang-orang tercinta.  Pagi ini (Sabtu, 18 Oktober 2014) sebelum wafatnya, kelompok Legio Mariae dan koster dari Purwosari telah mendoakan "Doa Pembebasan" (Pukul 08.45) dan setelah selesai doa rasario, Amin. Romo Budi wafat (Pukul  09.00), "Consummatum est" – sudah selesai.
          Jonathan  Swift (1667 – 1745) dalam bukunya yang berjudul   Gulliver's  Travels  melukiskan tentang negeri orang-orang Luggnaggi. Di negeri tersebut ada orang yang "ditakdirkan bebas dari bencana universal dan dari kodrat manusiawi,"  yakni kematian. Namun ketika akhirnya berjumpa dengan mereka, Gulliver sadar bahwa sesungguhnya mereka inilah makhluk-makhluk yang paling malang dan patut dikasihani. Mereka menjadi tua renta dan dungu. Di usia senja tubuh mereka mengidap berbagai penyakit dan  mereka menumpuk rasa dendam dan keluh kesah serta  mereka merasa sangat bosan menghadapi perjuangan hidup.  Kita pun menjadi sadar bahwa batas usia menjadikan waktu yang singkat ini menjadi bermakna.
          Dalam hidup ini memang kita berlomba dengan diri sendiri untuk  mencapai garis  finish  atau garis batas seperti yang ditulis oleh Paulus, "Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir  dan aku telah memelihara iman" (2 Tim. 4: 7). Menanggapi  tentang batas kehidupan, Horatius (65 – 8 seb.M) nama  lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus  menulis sebuah dictum  bunyinya, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Kematian yang adalah batas hidup ini mendidik manusia untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan terhadap sesamanya serta Tuhan. Berkaitan dengan ini, Seneca (4 – 65 M) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca menulis, "Quam bene vivas, non quam diu refert" – yang penting bukan lamanya engkau hidup, tetapi bagaimana engkau hidup dengan baik.  Memang batas kehidupan sungguh misteri. Tidak seorang pun yang tahu sampai kapan ia sampai pada batas hidupnya. Dalam sebuah kisah, Sang Buddha (563 – 483 seb. M) bertanya kepada seorang gadis penenun tentang batas hidupnya, "Saya tahu, tetapi saya tidak tahu."  Budda tersenyum dan mengetahui kebijaksanaannya.  Seseorang bertanya kepada gadis tersebut, "Apa yang kamu maksud dengan kamu tahu, tetapi kamu tidak tahu?" Gadis itu pun menjawab bahwa dia tahu bahwa dia akan mati, tetapi tidak tahu kapan dia akan mati (Bdk. Ajahn Brahm dalam bukunya yang berjudul,  Hidup Senang Mati Tenang , hlm. 169).
          Tanggal 2 November  beberapa tahun yang lalu saya berdoa di Kerkop (kuburan Eropa) Purworejo – Jawa Tengah. Di Pintu gerbang makam tersebut ada tulisan, "Homo, memento vivere, memento mori" – Hai manusia, ingatlah akan kehidupan dan ingatlah akan kematianmu.  Kemudian saya duduk termangu di depan nisan yang bertuliskan, "Requiescat In Pace" – Rest  In Peace – Beristirahatlah dalam Damai. RIP. Lalu, pikiran saya  menerawang ke negeri antah-berantah  yang memiliki orang-orang hebat yang sudah  meninggal dunia,  namun masih meninggalkan  karya-karya yang belum terselesaikan, unfinished works.  Di atas nisan Johann Sebastian  Bach (1685 – 1750) masih ada  symphoni yang belum selesai. Di atas makam Vincent Willem van Gogh (1853 – 1890), terdapat lukisan-lukisan yang belum purna. Di atas kuburan WS Rendra  (1935 – 2009) nama lengkapnya: Willibordus Surendra Broto Rendra, masih terdapat puisi yang  "bergentayangan."
          Tentu saja kita berharap bahwa Romo Budi masih bisa berkarya di tengah-tengah kita, apalagi hidupnya sungguh-sungguh  menjadi inspirasi bagi banyak orang dan masih banyak  karya-karya yang belum terselesaikan,  unfinished works.  Tetapi kita yakin dan percaya bahwa seperti bacaan kemarin dalam Peringatan  St. Ignatius dari Antiokia (Jumat, 17 Oktober 2014) kita menemukan bacaan yang bagus, "Jika benih gandum mati, ia akan menghasilkan banyak buah" (Bdk. Yoh 12: 24 – 26).  Romo Budi, "Sugeng tindak" – selamat jalan!

*Kontemplasi Peradaban Edisi Khusus

Sabtu, 18 Oktober 2014  Markus  Marlon
 

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 17 Oktober 2014

Fitnah

FITNAH
(Kontemplasi Peradaban)
 
       Pagi hari – setelah sarapan – biasanya  saya minum kopi sambil membaca harian lokal (Rabu, 15 Oktober 2013). Dalam rubrik  Hot Seleb's  tertulis "Luna Maya Santai Digosipkan Aborsi."  Luna Maya mengaku telah difitnah dan ia tidak marah, "Siapa pun yang menyebar fitnah tentang diri saya,  saya berterima kasih karena telah mengurangi dosa-dosa saya.."
          Apa yang dikatakan Luna itu, membuatku termenung untuk beberapa saat. Dalam hati saya bertanya, "Apakah dengan difitnah dosa-dosaku berkurang?" Wallahualam!!   Kata  Fitnah  itu berasal dari bahasa Arab yang berarti: penyebaran kabar bohong atau hasutan karena dengki dan iri. Kaum muslimin diperintahkan untuk tidak membicarakan orang lain di belakang-belakang atau membicarakan keburukan orang bukan di hadapan yang bersangkutan. Dalam  hadis  pernah dilukiskan seperti ini. Ketika para sahabatnya bertanya tentang makna memfitnah, sang Nabi menjabarkannya. Ia mengatakan bahwa mengumpat adalah "mengatakan sesuatu tentang saudaramu yang tidak dia sukai."  Sang Nabi menambahkan, "Jika yang kalian katakan mengenai seseorang memang benar, maka itu berarti kalian telah mengumpatnya dan jika tidak benar maka kalian telah memfitnahnya" (Buku tulisan Christine Huda Dodge yang berjudul, "Memahami Segalanya Tentang Islam,"  hlm. 188).  Memang benar apa yang dikatakan  Kanjeng Nabi bahwa memfitnah itu sungguh-sungguh merugikan orang lain dan membawa luka di hati. Pepatah Latin menulis, "Audacter calumniare, semper aliquid haeret" – memfitnah secara gegabah selalu akan menggoreskan sesuatu yang buruk.
          Dalam bahasa Inggris, kata fitnah ini memiliki beraneka ragam makna, seperti: asperse, detract,  defama, slander dan calumniate. Kata "slander"- lah yang sering digunakan untuk merujuk makna fitnah. Slander  dari bahasa  Inggris  Kuno  yaitu  sclandre dan kata itu  berasal dari  scandal dari bahasa Latin scandalum dan dari  bahasa Yunani, skandalon, skandalon  yang berarti  "batu sandungan"  (stumbling-block).  Tentu saja, orang yang memfitnah itu akan menjadi batu sandungan bagi banyak orang.
          Pada zaman kekaisaran Romawi – ketika kekristenan mulai menyebar di kota Roma – tuduhan fitnah bagi orang Kristen adalah mereka dituduh sebagai kanibal. Fitnahan ini dilontarkan dengan cara memutarbalikkan kata-kata yang ada dalam Perjamuan Kudus, "Inilah piala darah-Ku …..yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang..." Orang-orang Kristen dituduh membunuh dan memakan anak kecil dalam perayaan-perayaan mereka (Bdk. Buku tulisan  William Barclay dengan judul, "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat Yakobus, 1 dan 2 Petrus"  hlm. 322).  Itulah sebabnya orang-orang yang percaya kepada Kristus atau Kristen itu dikejar-kejar untuk dibunuh karena hasutan atau fitnahan. Para pemfinah itu bertindak kesetanan atau berjiwa iblis yang dalam bahasa Yunaninya  adalah  diabolos, diabolos yang arti harfiahnya adalah pemfitnah  (slanderer).
          Kita menjadi sadar bahwa memfitnah adalah tindakan yang sangat tidak terpuji. Tidak heranlah jika  orang yang menyebarkan fitnah itu  disebut juga sebagai iblis (diabolos).  Quintus Horatius Flaccus  (65 – 8 seb.M) – penulis lirik dan penulis satir Romawi Kuno – pernah menulis, "Absentem qui rodit amicum, qui non defendit alio culpante, hic niger est, hunc tu, Romane caveto!!" –  yang  memfitnah teman yang tidak hadir dan tidak membelanya ketika teman itu dipersalahkan, dia itu adalah orang yang berwatak jahat. Hai orang Romawi, hati-hatilah terhadap orang semacam itu!!

Jumat, 17 Oktober 2014  Markus  Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 14 Oktober 2014

Iri

IRI
                                                           (Kontemplasi  Peradaban)
 
       Belum lama ini saya diundang menghadiri pesta pernikahan (Minggu, 07 September  2014). Banyak orang yang datang dalam pesta ini dan di tempat itu pula saya seperti menonton  "panggung  pertunjukan."  Para ibu dalam pesta pernikahan itu laiknya  contest  pakaian dan memamerkan gaya rambut mutakhir model Syahrini.  Samar-samar seorang ibu yang berpakaian  a la fantastik itu  berkata, "Ih, ngapain   ibu sana itu  menggunakan baju lagaknya bagaikan burung  merak saja!"  Saya lihat wajahnya yang cemberut itu menunjukkan rasa iri.
          Secara harfiah, iri berarti "mata jahat"  (Bhs Latin, invĭdeo, vīdi, vīsum = memandang dengan mata jahat).  Melihat keberhasilan dan kebahagiaan orang lain sedemikian rupa – seandainya bisa – ia akan mengirimkan kutukan jahat terhadap keberhasilan orang tersebut. Kita lihat saja kisah Yusuf,  "Invidebant ei igitur fratres sui; pater vero rem tacitus considerabat" – Maka iri hatilah saudara-saudaranya kepadanya tetapi ayahnya menyimpan hal itu dalam hatinya (Kej 37: 11). Para saudaranya iri melihat Yusuf yang dimanja oleh kedua orang tuanya dan pakaiannya yang selalu  wah  itu  membuat mereka iri. Karena iri, tidak heranlah jika kesebelas saudaranya ingin membunuhnya. Memang, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
          Banyak kisah iri yang tertulis dalam kisah-kisah mitologi, drama fiksi maupun  sejarah. Dalam kisah yang berjudul  "Buah Apel Sumber Perselisihan Faham" dilukiskan ada tiga  diva yang amat cantik memerebutkan apel yang bertuliskan, "Untuk yang tercantik!"  Mereka adalah Juno, Minerva dan Venus. Dipilihlah Paris sebagai "wasit" untuk memutuskan siapa yang tercantik. Pada akhirnya, Paris meletakkan apel itu pada tangan Venus. Tentu saja, keputusan ini menimbulkan kemarahan dan iri dari  Minerva dan Juno. Sepenggal kisah tersebut di atas  yang merupakan pemicu  "Perang Troya."   Paris – yang disebut juga pencuri hati Helena – dilihat sebagai orang yang "pilih kasih" (Bdk. Buku dengn judul "Mitologi Yunani"  tulisan Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, hlm. 115 – 116).  Dalam hal ini benar apa yang dikatakan oleh Titus Livius (59 seb.M – 17 M) sejarawan Romawi Kuno,"Intacta invidia media sunt" – yang berada di tengah tidak tersentuh oleh iri.
           Shakespeare (1564 – 1616) mengisahkan kisah iri dalam drama  tragedy  yang berjudul, "Othello."  Dalam cerita ini dituturkan bahwa Othello memperoleh nama harum karena kesuksesannya dalam perang. Ia mengawini Desdemona yang juga sangat mencintainya dengan tulus. Othello kemudian mengangkat Cassio menjadi panglima tentara Venesia. Sementara itu, Iago – seorang calon kuat lain – merasa iri atas pengangkatan itu. Iago memilik rencana jahat untuk mengacaukan relasi antara Othello dan Cassio. Dibuatlah cerita "khayalan" bahwa ada relasi intim antara Cassio dan Desdemonia. Othello menjadi sangat iri dan mencemburui hubungan antara Desdemona dan Cassio. Maka Othello membunuh sang istri di tempat tidurnya (Bdk. Artikel dengan judul  "Cemburu" tulisan Markus Marlon). Sekali lagi, "caeca invidia" – iri hati itu buta!
          Terakhir adalah  kisah tentang seorang yang iri dengan prestasi seseorang. Kita mungkin pernah mendengar orang yang bernama Mozart (1756 – 1791), seorang seniman besar  yang senang pesta pora, mengucapkan guyonan tentang seks yang berlebihan, tertawa terbahak-bahak dan sulit untuk diajak bicara secara serius. Seolah-olah popularitasnya didapat tanpa penuh perjuangan. Di pihak lain,  Antonio Salieri (1750 – 1825), seorang  componist, conductor dan guru musik klasik itu berupaya mati-matian untuk mendapatkan kemasyuran. Namun usahanya itu tidak semudah membalikkan tangan.  Puncak dalam film dengan judul,  "Amadeus"  itu adalah rasa iri dari Salieri yang menyalahkan Tuhan. Salieri sangat iri terhadap Mozart dan secara sembunyi-sembunyi ingin  "menjatuhkan" kedudukan Mozart. Namun sang maestro tenang-tenang saja, sedangkan Salieri hatinya: riuh, gaduh, dendam, tidak tenang, dengki dan iri. Seolah-olah Salieri dalam hati berkata, "Tuhan mengapa aku harus Engkau beri rasa iri, sehingga hidupku sangat menderita!"
 
Selasa, 14 Oktober 2014   Markus Marlon
 

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 09 Oktober 2014

Tua

TUA
(Kontemplasi  Peradaban)
          Membaca  millis dari Pastor Sujoko yang berjudul, "Sapaan Konfrater yang Lansia dan Sakit" (Kamis, 09 Oktober 2014) saya menjadi sadar bahwa saya juga akan tua dan sakit. Tak salahlah jika Marcus Terentius (116 – 27) sastrawan Romawi Kuno  berkata,  "Senectus ipsa est morbus" – menjadi tua itu sendiri adalah sebuah penyakit. Kemudian ada juga orang yang mengatakan bahwa "menjadi tua itu keniscayaan (kata "niscaya" itu dari bahasa Sansekerta artinya: tanpa pilihan) tetapi  menjadi dewasa itu suatu  pilihan!"  Dan – maaf – kadang-kadang  kita menjumpai ada orang tua yang kekanak-kanakan. Dan benarlah Pepatah Latin yang berbunyi  "Senes bis pueri" – orang yang sudah tua menjadi kanak-kanak untuk kedua kalinya.
          Sedikit demi sedikit dan tanpa kita sadari umur membuat kita tua. Lantas dalam hati saya bertanya,  "Dua  decade lagi, umur saya sudah 69 tahun dan Bruder  Matias yang tahun ini merayakan  -Pesta Perak Hidup Membiara-  dua dasa warsa lagi akan seperti apa dan Pastor Sujoko yang saat ini  powerful  kira-kira dua puluh tahun lagi apakah masih punya tenaga untuk mengajar dan menulis?"  Walahualam!  Barangkali kita perlu merenungkan tulisan sang Pemazmur, "Dies annorum nostrorum in ipsis septuaginta anni. Si autem in potentatibus octoginta anni, et amplius eorum labor et dolor" – Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan  jika kami kuat, delapan puluh tahun dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan" (Mzm 90: 10).
          Marcus Tullius Cicero (106 – 43 seb.M) dalam bukunya yang berjudul, "De Senectute"  mengatakan,  "Senectus est natura loquacior" – dari kodratnya orang yang menjadi tua itu cerewet. Memang kebanyakan orang tua itu sudah banyak  "makan garam" – banyak pengalaman. Maka jika kita bertamu ke rumah mantan pejabat atau "penguasa"  kata-kata yang sering muncul adalah, "Dulu ketika saya sebagai…." Atau "Dulu ketika saya menjabat …."  Rupanya  Shakespeare (1564 – 1616)  sudah "melihat" sikap dan sifat dari  orang tua pada zamannya,  maka ditulislah drama yang berjudul  "King Lear". Dalam drama itu, Sang Raja menghendaki puji-pujian dari ketiga anaknya: Goneril, Regan dan Cordelia. Raja Lear adalah seorang tua yang tidak mau melepaskan kekuasaannya. Dan drama itu berakhir tragis. Ia mengalami  post-power syndrome.
Apa yang disebut  post-power syndrome ini terjadi karena seseorang memandang jabatan sedemikian tingginya, bahkan menjadi identitas diri. Orang lupa bahwa jabatan adalah sesaat dan kontraktual tak ubahnya baju. Pastor Sujoko menyitir  tulisan dari Pastor Anton Moningka, "Dalam tarekat MSC, kita semua mendapat tugas. Tugas kita bisa bermacam-macam jenisnya: di paroki, di bengkel, di kebun, di sekolah-sekolah atau sebagai: provinsial, ekonom, dosen dan lain-lain. Tugas yang sedang diemban  itu sifatnya tidak tetap. Kalau tugas-tugas tersebut dapat berubah-ubah (karena Surat Keputusan), lain dengan perutusan. Perutusan memiliki nilai yang tetap. Bahkan orang yang sudah tua dan barangkali sakit-sakitan masih memiliki "perutusan." Dan "kehadiran" itu sendiri dalam sebuah komunitas sudah merupakan perutusan."
Dua puluh tahun lagi, kita yang masih aktif dan semangat melayani mungkin sudah tidak memiliki SK lagi dan tinggal di biara. Kehidupan  "Wisma Orang Tua" tentu berbeda dengan "Rumah Karya". Di sini orang tua perlu "disiapkan" (Bdk. Buku yang berjudul, "Seni Untuk Menjadi Tua" – maaf buku itu sudah hilang).  Sharing dari buku itu ialah bahwa para orang tua tetap diajak untuk memberi makna setiap harinya. Sebaiknya dibentuk kelompok minat dan diajak untuk memelihara binatang yang hidup atau menanam tumbuh-tumbuhan. Quintus Horatius Flaccus (65 – 8 seb.M) penulis satir dari Romawi Kuno pernah menulis, "Non eadem est aetas, non mens" – umur itu tidak sama, tidak demikian dengan jiwa, maksudnya: meskipun umurnya berbeda  tetapi semangatnya sama.
Demosthenes (384 – 322 seb.M)  ahli pidato Yunani Kuno pernah berkata, "Aku menganggap orang yang menelantarkan orangtunya sebagai seorang yang tidak beriman dan dibenci oleh dewa-dewa." Lalu Philo dari Alexandria (20 seb.M – 50 M) ketika menulis hukum untuk menghormati orang tua berkata, "Ketika seekor burung tua sudah tidak dapat lagi terbang ia hanya tinggal di sarang dan diberi makan oleh anak-anaknya yang berusaha tak kenal lelah dalam memenuhi kebutuhannya karena mereka sangat berbakti" (William Barclay dalam bukunya yang berjudul  "Pemahaman Alkitab Setiap Hari – Surat 1 dan 2 Timotius, Titus, Filemon"  hlm. 167).  Dalam Al-Qur'an  surat Lukman ditulis bahwa perintah bersyukur kepada orang tua diletakkan sebaris dengan perintah bersyukur kepada Allah. Ini menunjukkan betapa Allah meminta pada semua hamba-Nya agar pandai berterima kasih serta mencintai orang tua. Maka tidak mengherankan jika, orang tua menjadi  "rebutan" untuk tinggal di rumah anak-anak dan secara bergiliran  serta anak-anak ingin mendampinginya.
Kita berharap sebagai lansia nanti berbahagia (Bdk. Millis  Pastor Sujoko yang berjudul,  "Lansia Bahagia" 10 Oktober 2014).  Tetapi sayang bahwa harapan kadang meleset. Saya pernah berkunjung pada sebuah biara yang ada orang tua maupun mereka yang masih muda-muda – tentunya masih aktif. Pada waktu itu saya dibuat kaget, ada orang tua yang duduk di kursi roda dibiarkan kepanasan di kebun. Lalu saya bertanya, "Apakah tidak ada yang menghibur orang tua itu. Kasihan!" Mereka menjawab, "Duh!  Waktu masih muda dan aktif,  beliau itu selalu "duduk" dalam dewan pimpinan, galaknya minta ampun bahkan tidak ada ampun. Beliau tidak merasa bahwa nanti suatu saat akan pensiun tua dan sakit!"
Saya diam seribu basa  dan bermenung, "Semoga dua puluh tahun lagi – kalau masih hidup – saya tidak menjadi orang tua seperti itu!"

Jumat, 10 Oktober  2014   Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Rabu, 08 Oktober 2014

Kubu

KUBU
(Kontemplasi  Peradaban)
       Belum lama ini, saya singgah di rumah sahabat lama. Ketika dijamu  di ruang tamu, tiba-tiba anaknya yang berusia 10 tahun berkata, "Saya ikut  mama  ke  mall. Kakak tidak boleh ikut karena kakak ada di kubu papa!"   Lalu saya bertanya akan  kata-kata yang baru saja terucap dari anaknya itu, kenapa ada kubu-kubuan. Dia hanya tersenyum saja. Saya sendiri tidak memahami makna senyuman sahabat lamaku itu. Walahualam!
          Kata "kubu" akhir-akhir ini sedang marak.  Hampir setiap media cetak maupun elektronik mem-broadcast  tentang kubu ini dan kubu itu.  Konsekuensi logis dari munculnya  kubu ini adalah adanya persaingan, bahkan bisa mengarah kepada polemik, perang urat saraf dan fitnah. Dalam dunia politik, "perang" antar kubu ini disebabkan ada perebutan kekuasaan atau perebutan kursi kepemimpinan.
          Kata "Kubu" itu berasal  dari bahasa Jawa,  "kuwu" yang berarti kemah atau rumah sementara di medan perang.  Nah! dari katanya saja, kita tahu bahwa kubu itu merupakan rumah sementara di medan perang. Maka, tidak mengherankan  jika  "perang" antarkubu  yang sementara  gayêng (ramai, lucu serta memprihatinkan) ini pada akhirnya – diharapkan dan semoga  –  menyejahterakan rakyat (bonum commune communitatis) dan bukan sebaliknya, menyengsarakan rakyat.  
          Sebenarnya kalau kita nonton film-film perang seperti: perang  Mahabaratha, Perang  Ramayana, perang  Samkok, perang  Troya, perang di bawah panji  Julius Caesar (100 – 44 seb.M), perang yang dipimpin Napoleon Bonaparte (1769 – 1821), pasti di sana ada kemah atau tenda. Dalam kubu, tenda dan kemah ini para "pemikir" atau ahli strategi perang berupaya menghancurkan kubu seberang (Bdk. Strategi perang  Sun-Tzu)  – kalau mungkin dengan –  menghalalkan segala cara  a la  Machiavelli (Nama Machiavelli: 1469 – 1527, kemudian diasosiakan dengan hal yang buruk, "menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan."  Orang yang melakukan tindakan seperti ini disebut makiavelis).      
          Mengontemplasikan arti "kubu" di atas, seolah-olah agak sulit mereka saling bertemu, apalagi dalam bahasa politik, kubu ini menamakan dirinya sebagai  partai oposisi (Latin: "opposition"  – op: lawan dan positio: letak. positus dari  ponere yang berarti menempatkan. Kalau seseorang sudah secara sengaja menempatkan diri sebagai lawan, tentu saja tidak mudah untuk "berdamai."  Kita ingat akan  Proverbia  Latina – yang sering saya kutip – berbunyi, "Hostis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum" – lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi; yang abadi hanyalah kepentingan. Rakyat kecil,  wong cilik  seringkali dibuat geram oleh para pelaku politisi (badut-badut) yang hari-hari sebelumnya  "berkelahi" tapi hari berikut mereka minum bersama dan melakukan  toast.  Mereka sudah berhasil melakukan  lobby dan mufakat.  Barangkali – sekali lagi – kepentingan mereka sudah tercapai, sehingga kedua kubu itu bisa saling bertemu.
          Yang paling tragis dalam perang antarkubu adalah terpisahnya anggota keluarga karena beda idiologis  yang bisa mengacu pada perang saudara. Dalam perang Troya, sebuah episode yang mengharukan dapat dilihat ketika Priamus ayah Paris harus  mundhuk-mundhuk (minta dengan sangat sambil tunduk kepada pihak musuh) kepada Achilles untuk mengambil jenazah Hektor,  "Priamus berlutut dan mencium tangan Achilles" (bdk.  Mitologi Yunani  tulisan Edith Hamilton, hlm.178)  Atau dalam kisah Mahabaratha,  kita tahu bahwa Kunthi memiliki anak yang tinggal di kubu Kurawa. Seorang ibu begitu sedih ketika  hendak menyaksikan  "perang saudara" antara Karna dan Arjuna yang adalah anak-anaknya sendiri. Kunthi sembunyi-sembunyi memasuki kubu lawan. Tetapi lobby  yang dibuat Kunthi dengan Karna gagal total.
          Akhir-akhir ini, setiap orang bebas meng-akses berita tentang "perebutan kursi kepemimpinan." Masing-masing kubu mengelus-elus jagonya. Merenungkan musyarawah dalam  parlement,  saya menjadi ingat akan kisah William Wilberforce (1759 – 1833), seorang politikus Inggris dan pemimpin pembebasan perbudakan. Dalam biografinya yang sudah difilmkan itu, ia begitu tegas dan membela mati-matian kamu kecil yaitu para budak. Waktu itu, kubu yang berseberangan merupakan kubu yang mayoritas dan suaranya garang-garang. Namun bisa dikalahkan ketika masing-masing anggota  parlement disadarkan bahwa semua demi kepentingan rakyat kecil. Kekuatan kubu yang menggebu-gebu itu akhirnya kalah menjadi abu.

Selasa, 07 Oktober 2014   Markus Marlon


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Menerima Perbedaan

Menerima Perbedaan untuk Memperkaya Hidup
 
Apa yang akan Anda lakukan ketika Anda diperlakukan secara tidak adil? Saya yakin, Anda akan marah. Anda akan merasa sakit di hati
Dani Alves, back sayap Barcelona FC, beberapa waktu lalu memperoleh perlakuan rasis dari fans Klub Villarreal. Seorang penonton melempar pisang kepadanya saat ia hendak mengambil tendangan pojok. Ia segera mengambil pisang itu dan memakannya di hadapan para penonton sebelum melakukan tendangan bebas.  
Jawaban atas lemparan pisang itu, Dani Alves mengaku terkejut mendapatkan banyak dukungan dari berbagai kalangan. Rasanya, Alves ingin membalas perlakuan fans itu di internet. Di Eropa, melempar pisang kepada seseorang merupakan simbol rasialisme, karena menyatakan orang tersebut sama dengan monyet.
Pemain dari seluruh dunia memposting sebuah gambar sambil memegang pisang, sebagai bentuk dukungan terhadap Alves. Presiden FIFA, Sepp Blatter, juga menyesalkan tindakan fans Villarreal itu. Sebagai hukumannya, fans itu dihukum seumur hidup tidak boleh memperlihatkan batang hidungnya di El Madrigal, Stadion Vilareal.
Dalam sebuah wawancara, Alves mengaku dukungan itu sungguh mengejutkannya. "Saya terkejut karena semua orang memberikan dukungan. Itu merupakan sesuatu yang saya lakukan tanpa memikirkan dampaknya. Dunia telah berkembang dan kita harus berevolusi dengan itu. Jika bisa, saya ingin memposting foto suporter itu di internet untuk balas mempermalukannya," kata pemain asal Brasil itu.
            Sahabat, dunia sudah maju begitu pesat. Sayang, masih ada saja orang-orang yang punya pikiran yang picik. Orang hanya mementingkan dirinya sendiri. Masih ada orang yang hanya berjuang untuk rasnya sendiri. Padahal peradaban manusia telah berevolusi dalam kemajuan yang pesat.
            Kisah di atas menjadi suatu kisah yang sangat menyedihkan bagi kehidupan manusia. Rasa hormat terhadap sesama begitu rendah. Padahal semua orang memiliki martabat yang sama. Tuhan menciptakan manusia itu setara. Tuhan pun mencintai semua ciptaan itu tanpa membeda-bedakan. Karena itu, ketika seseorang mendiskreditkan sesamanya, ia menolak ciptaan Tuhan sendiri. Artinya, orang itu menolak kebaikan Tuhan bagi hidupnya.
            Tuhan menciptakan manusia dengan warna kulit dan ras yang berbeda-beda dengan maksud yang baik. Tuhan ingin, agar manusia saling berbagi kehidupan. Hal ini juga mau menegaskan bahwa kehidupan ini memiliki warna-warni. Hidup yang berwarna-warni itu hidup yang menyenangkan dan baik.
            Karena itu, orang beriman mesti terus-menerus memperjuangkan kehidupan bersama sebagai upaya untuk menemukan damai. Orang beriman mesti berani berbagi kehidupan meski memiliki ras yang berbeda. Perbedaan itu memperkaya kehidupan manusia. Mengapa? Karena melalui perbedaan itu orang saling belajar tentang hal-hal yang baik dan menyenangkan.
Mari kita terus-menerus menghargai kehidupan ini dengan menerima perbedaan yang ada. Dengan demikian, hidup ini menjadi suatu kesempatan untuk saling memperkaya. Tuhan memberkati. **
 
Frans de Sales SCJ
Tabloid KOMUNIO/Majalah FIAT


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 29 September 2014

Kerja

KERJA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Suatu kali, saya mengunjungi sahabat lama  yang  "Sudah menjadi orang." Saya kaget bukan kepalang, ternyata sahabat saya ini di rumah sendiri sudah dianggap raja, karena status yang disandangnya. Dia sudah  emoh lagi mencuci piring atau menyapu ataupun mencuci pakaiannya sendiri. Padahal waktu masih kecil, semua dikerjakannya sendiri. Dia bilang, "Ini  mah pekerjaan  pembantu!"  Lewat percakapan singkat itu, saya diajak untuk merenungkan makna sebuah  kerja.
          Tidak diragukan lagi bahwa umur pekerjaan itu seusia dengan peradaban manusia itu sendiri. Jika kita menilik lebih jauh lagi – khususnya dalam Kitab Suci – di sana kita bisa merenungkannya. Pada waktu Adam dan Hawa hidup di Taman Eden, mereka bahagia dan tampaknya mereka memunyai waktu penuh untuk perkara-perkara rohani. Mereka "memelihara dan mengusahakan taman itu." Dengan demikian, sejak awal mula, kerja merupakan usaha yang mendatangkan kekayaan rohani. Kemudian "pasutri" (pasangan suami-istri) itu melakukan kesalahan. Mereka dibuang dari Eden dan sejak saat ini kerja menjadi sesuatu yang harus mencucurkan keringat (Kej 3: 17).
          Memahami makna kerja tersebut, seolah-olah kita bekerja hanya karena untuk hidup. Inilah yang membuat manusia – kadang-kadang – menjadi obyek. Maka tidak heranlah jika kita sering mendengar ungkapan, "diperbudak oleh pekerjaannya sendiri."
Pekerjaan Tidak Menurunkan Martabat
          Orang beranggapan bahwa pekerjaan kasar itu hanya diperuntukkan bagi mereka yang berpendidikan rendah.  Mereka menggunakan  okol untuk bekerja kasar  dan mereka yang berstatus tinggi menggunakan  akal.  Seolah-olah mereka yang  "berstatus tinggi" itu adalah malaikat yang kerjanya hanya berdoa.
Ada sebuah lukisan dengan judul, "The Angel."  Dilukiskan bahwa ada  seorang malaikat sedang menimba air. Wajahnya cerah pertanda sukacita saat melakukan tugas. Keringat masih membekas di wajahnya dan ini menjadi bukti bahwa ia serius menjalankan tugasnya. Mungkin kita bertanya, "Bukankah malaikat bertugas melayani, bukan mengerjakan hal-hal yang tempaknya duniawi seperti menimba air."
Acapkali kita membeda-bedakan hal-hal yang  akal dan  okol. Dan tugas yang menggunakan  akal  itu bagaikan tugas rohani, seperti para direktur, para pastor atau para biarawan-wati. Sedangkan yang menggunakan kekuatan  okol  itu adalah para tukang kebun, tukang sapu serta para pekerja kasar lainnya.
Inilah yang menyebabkan seolah-olah seorang majikan tidak pantas bekerja mencuci piringnya sendiri.  Mereka akan dengan  enteng mengatakan, "Ini  khan  tugas pembantu." Mereka lupa lukisan  "The Angel" yang wajahnya  berkeringat karena bekerja. Itulah sebabnya Paulus tidak segan-segan bekerja dengan tangannya sendiri, "Kami melakukan pekerjaan tangan yang berat. Kalau kami dimaki, kami memberkati; kalau kami dianiaya kami sabar" (I Kor 4: 12).
Bekerja Menjadi Suatu Panggilan
          Tidak dapat kita pungkiri bahwa ada orang yang bekerja karena ingin mendapatkan nafkah. Ada pula yang bekerja untuk mendapatkan jenjang tertentu dalam karier. Namun ada juga orang yang bekerja karena panggilan (calling  atau vocation).
          Orang yang bekerja karena panggilan dalam jiwanya ada passion  atau gairah.  Bekerja bukanlah suatu beban yang berat, melainkan ia  "bermain-main" dengan pekerjaan itu. Ada anthusiasm yang tinggi dalam menekuni pekerjaan itu.  
 
          Ketika Michaelangelo (1475 – 1564) hendak memahat patung Pieta, ia membawa bongkahan marmer dari perbukitan. Sementara menarik-narik bongkahan marmer yang begitu besar itu, seorang temannya menegur, "Michaelangelo, untuk apa kamu membawa marmer yang berat itu?"   Sang  maestro itu dengan tegas mengatakan, "Sebab di dalam marmer ini ada malaikatnya. Maka saya bekerja dengan penuh semangat."  Di sini Michaelangelo meyakin bahwa pekerjaan yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh menghasilkan kebahagiaan dan  kemuliaan, "Gloria sine labore nulla" – tanpa ada kerja, tidak ada kemuliaan.
          Kita pun sudah layak dan sepantasnya meyakini bahwa setiap pekerjaan yang kita kerjakan itu ada malaikatnya. Setiap pekerjaan memiliki nilai rohani. Bahkan dalam bekerja kita ini sebagai kawan sekerja Allah (co-creation). Paulus dan Barnabas tidak pernah berpikir bahwa karena kekuatan merekalah semua tercapai. Mereka mengatakan Allah-lah yang "bekerja." Mereka menganggap diri mereka hanya sebagai kawan sekerja Allah (Kis 14: 21 – 28).
Bekerja Sebagai Aktualisasi Diri
          Pernah suatu kali saya berjumpa dengan orang yang sudah  mapan hidupnya. Boleh dikatakan orang tersebut "bebas secara finansial." Kalau dalam bahasa Motivasi, dikatakan bahwa uang mengejar dirinya atau uang bekerja untuknya karena ia memiliki "pabrik uang."
          Namun yang membuat saya heran yaitu bapak tersebut tetap bekerja dan mengaku bahwa gaji bukanlah yang utama, melainkan sebagai  self-actualization. Teori ini ditulis oleh Abraham Maslow (1908 – 1970) yang mengatakan bahwa setiap manusia ingin dirinya berarti dan berharga dengan "bekerja."  Maka benarlah kata-kata dari Mahatma Gandhi (1869 – 1948), "Kebahagiaan seseorang tergantung pada apa yang dapat diberikan, bukan apa yang dia peroleh."  Marcus Valerius Martialis (38 – 104   ) Penulis puisi Romawi berkata, "juvat ipse labor" – kerja itu sendiri adalah sesuatu yang menyenangkan.
Ora et Labora    
          Amat sering kita membaca pepatah Latin yang berbunyi,  "Ora et Labora" – Bekerjalah dan berdoalah. Pepatah itu sudah amat biasa kita baca di mana-mana, bahkan anak kecil pun sudah tahu sepenggal kata tersebut.
          Namun jika kita menelusuri lebih dalam, kata labora  tidak perlu dipahami sebagai kerja yang "ngoyo" (Bhs. Jawa. bekerja mati-matian sampai  membanting tulang).  Ungkapan  "ora et labora" ini diciptakan oleh tokoh spiritualis besar abad IV yaitu St. Benediktus dari Nursia (± 480  –  ± 547). Bagi Benediktus, kata  labora digunakan untuk mengungkapkan "kerja tangan" atau  "opus manuale" yang sebenarnya untuk mengimbangi  "opus Dei" (Kerja atau karya Allah) yang berarti: berdoa, meditasi dan membaca. Jadi antara bekerja dan berdoa tidak ada pemisahan.
Penutup
          Quintus Horatius (65 – 8 seb. M) – penyair Romawi  pernah berkata, "Nihil sine labore" – tidak ada sesuatu yang tanpa kerja. Bahkan Yesus sendiri bersabda, "Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga" (Yoh 5: 17). Yesus hidup di keluarga Nasaret bersama Yosef, seorang tukang kayu dan bersama dengan Maria. Yesus mencela perilaku hamba yang tidak berguna yang menyembuyikan talentanya di dalam tanah (Bdk. Mat 25: 14 – 30).
          Marilah kita memulai suatu pekerjaan dan meyakini bahwa pekerjaan itu akan menghasilkan sesuatu yang indah, seperti dikatakan Publius Vergilius Maro (70 – 20 seb.M),  "Aspirat primo fortuna labori" – nasib baik memberi angin pada permulaan pekerjaan.
 
Senin, 29 September 2014  Markus Marlon
 
       
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com