Senin, 23 September 2013

Dul

Dul 

Oleh: Rhenald Kasali 

KITA tentu tak menyangka bagaimana mungkin seorang bocah berusia 13 tahun sudah dilepas membawa mobil sendiri pada tengah malam. 

Memang ia ditemani seseorang, tetapi ia juga masih terbilang bocah. Bukan mengemudi di dekat rumah dengan pengawasan orangtua, melainkan di jalan tol, menempuh jarak yang terbilang jauh. Dan apesnya, enam orang tewas, dan beberapa anak langsung menjadi yatim piatu. 

Ini tentu sangat memprihatinkan. Namun setiap kali melihat bagaimana masyarakat mendidik anak-anak, saya sebenarnya sangat khawatir. Tak dapat dipungkiri, tumbuhnya kelas menengah telah menimbulkan gejolak 
perubahan yang sangat besar. 

Namun reaksinya sangat ekstrem: Yang satu mengekang habis anak-anak dengan dogma, agama dan sekolah sehingga melahirkan anak-anak alim yang amat konservatif, yang 
satunya memberi materi dan servis tiada batas, sehingga menjadi amat liberal. 

Di segmen atas anak-anak diberikan mobil, di bawah menuntut dibelikan sepeda motor meski usianya belum 17 tahun. Kebut-kebutan menjadi biasa, korban pun sudah sangat sering berjatuhan. Karena mereka bukan 
siapa-siapa maka kecelakaan dan kematian yang ditimbulkan tidak masuk dalam orbit media massa. Kematian yang ditimbulkan Dul mengirim sinyal penting bagi kita semua. 

Business class di pesawat terbang, mungkin hanya di Indonesia, Anda bisa menyaksikan 
keluarga-keluarga muda membawa anak-anaknya duduk di kelas bisnis. Dua orang baby sitter, duduk sedikit di belakang, tak jauh dari batas kelas eksekutif mengawal anak-anak yang sudah bukan bayi lagi itu. Di masa liburan, bukan hal aneh menemukan keluarga menunggu di business lounge, dan naik pesawat dengan tiket termahal. 

Sayang sekali, cara makan anak-anak belum dididik layaknya kelas menengah. Berteriak-teriak di antara kalangan bisnis, makan tercecer di jalan, dan di atas pesawat 
memperlakukan pramugari seperti pembantunya di rumah. Sebentar-sebentar 
bel dipijit, dan pramugari bolak-balik sibuk hanya melayani dua orang kakak-beradik yang minta segala layanan. Menjelang tiba di tujuan, orangtua baru mulai menyentuh anak-anaknya, dibantu baby sitter yang terlihat gelisah. Orangtua mereka umumnya adalah pemilik areal pertambangan, pedagang, atau ada juga seleb-seleb muda yang belakangan 
banyak bermunculan. Ayah dan ibu memilih tidur. 

Jarang ditemui percakapan yang memotivasi, atau mengajarkan sikap hidup. Paling banter, mereka bermain video game, dari iPad yang dibawa anaknya. Padahal di luar negeri, iPad adalah alat kerja eksekutif yang dianggap 
barang mewah. Kesulitan orangtua tentu bukan hanya berlaku bagi kelas menengah saja. Di taman kanak-kanak yang diasuh istri 
saya di Rumah Perubahan, di tengah-tengah kampung di dekat Pondok Gede hal serupa juga kami temui. Belum lama ini sepasang suami-istri menitipkan anaknya untuk sekolah di tempat kami, dan setelah mengecek status sosial-ekonominya, anak itu pun diputuskan untuk diterima. 

Namun ada yang menarik, setelah diobservasi, anak berusia lima tahun itu 
seperti belum tersentuh orangtuanya. Ia seperti rindu bermain, motorik halus dan kasarnya belum terbentuk, jauh tertinggal dari teman-teman sebayanya. Setelah dipelajari dan orangtua diajak dialog, kami menjadi benar-benar paham pergolakan apa yang tengah terjadi dalam masyarakat kita. Orangtua selalu mengatakan, "Saya bekerja keras untuk menyiapkan masa depan anak-anak. Saya juga sering mengajak mereka berlibur". Namun, anak-anaknya menyangkal semua pemberian itu. 

Faktanya, anak-anak tak terbentuk. Sikap sosialnya, termasuk modal dasar yang 
disebut para ahli pengembangan anak sebagai executive function dan self regulation tidak 
terbentuk. Orangtua hanya fokus pada kemampuan anak berhitung dan membaca. Padahal, mereka juga harus pandai mengelola "air traffic control" yang ada dalam pikiran anak-anaknya agar kelak mampu menjadi 
insan mandiri yang bertanggung jawab. 

Executive function anak-anak kita menghadapi dunia baru yang benar-benar berbeda dengan kita, sehingga mudah sekali "berpaling" dari hal-hal rutin seperti sekolah dan belajar. Mereka hidup dalam dunia yang penuh dengan "gangguan" 
(distraction) seperti sosial media dan telekomunikasi yang saling bersahutan. Kita semua akan sangat kesulitan menjaga dan membimbing anak-anak kita bila modal dasar executive function tidak ditanam sejak 
dini. Apalagi bila sekolah hanya fokus pada angka dan huruf, seakan-akan pengetahuan dan rumus adalah segala-galanya. 

Menurut berita yang saya baca, Dul ternyata 
sudah sejak Juni lalu tak sekolah. Saya tak tahu tentang kebenaran berita ini. Tetapi Minggu dini hari dia masih mengendarai mobil, mengantar pacar lewat jalan tol, tentu mengindikasikan anak itu (ini juga bisa terjadi pada anak-anak kita, bukan?) telah hidup dalam abad distraction, sulit untuk fokus sekolah dan belajar. Studi-studi tentang executive function dalam child development antara lain banyak bisa kita 
temui dalam buku dan video yang diberikan psikolog-psikolog terkemuka, seperti Ellen Galinsky dan Debora Philip. 

Mereka menemukan, di abad ini, anak-anak perlu mendapat fondasi hidup yang jauh lebih penting dari sekadar tahu angka dan huruf. Anak-anak itu perlu dilatih tiga hal: Working memory, Inhibitory control, dan Mental 
flexibility. Ketiga hal itulah yang akan membentuk generasi emas yang bertanggung jawab dan produktif. Mereka sedari dini perlu dibentuk cara bekerja yang efektif, fokus, tahu dan bekerja dengan aturan, sikap positif terhadap orang lain, mengatasi ketidaknyamanan, dan permintaan yang beragam, serta cara mengelola informasi yang datang bertubi-tubi. 

Pikiran mereka dapat diibaratkan menara Air Traffic Control di Bandara Cengkareng dengan ratusan pesawat yang datang dan pergi, semua berebut perhatian dengan sejuta masalah yang harus direspons cepat. Maka itu, masalah Dul bukanlah sekadar masalah Ahmad Dhani yang menjadi seleb, 
atau masalah keluarga broken home. Ini adalah masalah kita bersama, masalah yang dihadapi anak-anak kita. Dari kita yang tidak fokus dan sibuk mencari uang atau mengurus orang lain. Kita yang dibentuk oleh sistem pendidikan model revolusi industri yang masih berpikir cara lama. 

Ditambah guru-guru yang juga banyak tidak fokus, tidak paham problem yang dihadapi generasi baru, yang punya ukuran kecerdasan menurut versi mereka sendiri, dalam model persekolahan yang materialistis dan old fashion. Sekolah yang menjenuhkan dan tidak membuka fondasi yang diperlukan anak-anak sehingga mereka lari dari 
rutinitas. 

Ini pun sama masalahnya dengan orangtua yang lari dari dunia nyata dan berlindung dalam benteng-benteng dogma dengan menyembunyikan anak dari dunia riil ke tangan kaum konservatif yang menjadikan anak hidup dalam dunia yang gelap dan steril. Anak-anak kita perlu pendekatan baru untuk 
menjelajahi dunia baru. Mereka perlu dilatih keterampilan-keterampilan hidup, fokus dan selfregulations, menjelajahi hidup dalam aturan, yang ditanam sedari usia dini. 

RHENALD KASALI 
Pendiri Rumah Perubahan 


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 08 September 2013

TEKUN
(Kontemplasi Peradaban)
 
Ada seorang ibu yang malu sekaligus bangga dengan putranya yang mendapatkan nilai  pas-pasan  pada  raport-nya.  Ibu itu bangga sebab  dalam belajar, putranya itu tidak kenal waktu. Bahkan untuk mendapatkan angka 6+, dibutuhkan kerja  super-extra. Al hasil, ia lulus ujian, yang menurut wali kelasnya karena ketekunannya yang luar biasa.
Menjadi orang yang tekun itu tidak mudah. Orang yang tekun itu berarti harus  "melawan gravitasi"  hidupnya. Manusia – dalam hidupnya  –  ditarik untuk hidup santai,  easy going dan  semau gue, yang oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV  (Surakarta, 2 September  1768 – 2 Oktober 1820) dalam bukunya yang berjudul  Serat Wulang Reh  dilihatnya  sebagai  "aja pijer mangan nendra"   –  jangan hanya makan dan tidur saja. Sebaliknya, Pakubuwono mengajak agar manusia dalam menjalani hidupnya di atas  "panggung sandiwara" itu harus tekun.  Ia menulis, "Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip" – asahlah hatimu dengan tekun agar bisa memahami hidup.
Orang yang berjiwa besar tidak mudah putus asa, jika menghadapi tantangan. Lihat saja, misalnya  Agatha Christie (Torquay,  England, 15 September 1890  – 12 Januari 1976)  yang adalah penulis cerita misteri terkenal di dunia. Banyak orang yang tidak tahu bahwa lima buku pertama yang ia tulis gagal total. Tidak laku atau  tidak dilirik oleh penerbit mana pun. Menghadapi kegagalan tersebut, Christie tidak putus asa. Ia bertekad untuk menulis lagi sambil belajar dari kegagalannya. Ketekunannya mendorongdirinya menjadi penulis produktif. Ia berhasil menulis 66 cerita misteri, ditambah 6 novel dan banyak cerita pendek. Ketekunan memang luar biasa. Albert Einstein (Germany, 14 Maret 1879 – 18 Agustus 1955) bahkan  pernah berkata bahwa untuk sukses, seseorang membutuhkan 1% bakat dan 99 % adalah ketekunan.
Mengontemplasikan makna hidup yang kadang sukses dan gagal tersebut, ketekunan seolah-olah menjadi syarat mutlak –  sine qua non.  Ketekunan bagaikan mengerjakan sesuatu terus-menerus tanpa lelah atau sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit atau dalam Pepatah Latin biasa ditulis,   "Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo"  – tetesan air itu melubangi batu, bukan karena kekuatannya, tetapi karena tetesannya yang terus-menerus. Siddharta (Nepal  ± 563 – 483 seb.M ) pun belajar ketekunan dari suara sungai yang mengalir terus-menerus. Ia menyimak dan mendengarkan. Dibantu oleh suara sungai yang gemericik, Sang Buddha bermeditasi tentang kehidupannya. Dan terdorong oleh hasratnya untuk menyempurnakan  hidup rohaninya, ia pun meninggalkan tempat ayahnya dan pergi ke hutan.  
Ketekunan bukanlah cuma kegiatan teoritis. Dalam  tembang orang-orang Jawa tertulis,  "Ngelmu itu, kalakone kanthi laku" – mencari ilmu itu harus dengan praktek.  Kita harus terjun, kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman.  Kita harus berada dalam perbuatan dan merasakan dalam  laku  (praktek).
Hidup kita kadang diliputi dengan beban yang berat, entah itu beban dari diri sendiri (pemalu, pemalas, sakit-penyakit) tetapi juga yang datang dari luar (fitnah, misalnya). Untuk menghadapinya dibutuhkan ketekunan. Dalam bahasa Yunani, ketekunan memiliki arti  hypomonè (meno: "menetap" dan  hypo: di atas).  Orang yang tekun tetap menetap di atas meskipun menghadapi beban yang berat.

Senin, 9 September 2013 Markus Marlon

(Sudah dipublikasikan di Harian Umum)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 05 September 2013

ARTI  HIDUP
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Membaca drama karya Shakespeare (1564 – 1616) yang berjudul  Machbet, saya menjadi terkesima. Machbet merasa bahwa dalam hidup ini tidak ada yang bisa dinilai dan tidak ada yang bisa dikutuk atau dipuji dari perbuatannya. Machbet  berpikir bahwa hidup itu tidak berarti apa-apa. Ia menjadi seorang nihilis.
          Pada kesempatan lain, dalam kesempatan mengontemplasikan  hidup ini, saya pun tercenung, "Saya terlahir di dunia, sekolah, bekerja untuk bertahan hidup, kadang sehat dan kadang sakit. Dalam hidup kadang suka dan kadang duka.  Akhirnya mati!"  Dalam hati saya berkata, "Untuk apa hidup di dunia ini?" dan saya bertanya lagi, "Entah mengapa saya menjadi melankolis dan pesimis."
          Namun dalam sikap yang pesimis itu, saya selalu teringat akan sabda Sang Nabi, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (Al Hadis).  Melalui hadis ini kita bisa menyaksikan bagaimana seorang ibu rela bekerja keras,  ibarat kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, demi anaknya. Seorang bapak muda bangun pagi-pagi buta dan tidur larut malam karena bekerja untuk keluarga. Seorang mantan dosen ternama rela berkutat di perpustakaan mencari jawaban yang ditanyakan mantan mahasiswanya.  Ia  merasa dirinya  masih berguna bagi sesamanya atau  liyan.
          Maka tidak mengherankan jika kisah-kisah romantis yang berbau kepahlawanan itu memberi motivasi kepada kita bahwa kehidupan itu memiliki arti.  Setelah  membaca  novel  yang berjudul  Roro Mendut  tulisan Y.B Mangunwijaya, kita bisa melihat seorang  Pranacitra yang berani mati bersama Roro Mendut.  Atau cerita rakyat Bali tentang Ni Layonsari yang "mengikuti"  Jayaprana, kekasihnya dan akhir mereka fatal.  Dalam hati kita bertanya, "Apa artinya hidup menurut pandangan mereka?"  Kita sering terpekur oleh kisah-kisah tentang  passion  yang begitu nekat namun  begitu indah.  The meaning of life.
          Perasaan  berguna dan berarti bagi sesama menjadi "pemicu" manusia untuk  hidup, bergerak dan ada (Kis. 17: 28).  Saya kenal dengan seorang kakek yang kuliah di fakultas kedokteran pada usia 70 tahun.Dan  kakek itu pun memunyai cerita.  Di kampus,  ia disapa oleh mahasiswa lainnya yang masih muda, "Pak Prof..., hendak  mengajar  mata kuliah apa?" 
Ia pun menjawab, "Saya bukan profesor, saya juga mahasiswa seperti Anda. Saya ingin menjadi dokter pada usia 75 tahun. Kalau Tuhan memberi saya usia sampai 85 tahun, saya masih bisa menolong orang selama 10 tahun. Bila tiap hari ada 10 pasien, maka saya dapat memberikan kesehatan pada 36.500 orang. Jumlah yang tidak sedikit bukan?"
Apa yang dibuat oleh Profesor tadi menurut  Psikolog kondang  Alfred Adler  (1870 – 1973)  dipandang sebagai perasaan keberartian dalam hidup, "The meaning of life".  Ia berkata, "Hidup kita bermakna karena kita mengisinya untuk kepentingan dan kehidupan orang di sekitar kita."
          Orang Jawa memiliki kata-kata mutiara, "Sangkan paraning dumadi" – dari mana dulu kita berasal dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Ungkapan ini hendak mengajak kita untuk merenungkan arti hidup kita di dunia ini. Kita terlahir di dunia ini  "sudah direncanakan oleh sang pencipta" dan bukan secara kebetulan.  Tuhan telah membentuk kita sejak dari kandungan ibu (Yes 44: 2).  Dan untuk mengisi hari-hari hidup tersebut, Ignasius Loyola (1491 – 1556)  menulis dalam  Spiritual Exercises-nya  (Latihan Rohani) no. 23, "Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan melayani Tuhan dan demikian, ia memeroleh keselamatan jiwanya…"

Senin, 02 September 2013   Markus Marlon
P.S. Sudah dipublikasikan di Suara Pembaharuan, 31 Agustus 2013
 
                            
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com