Kamis, 19 Juni 2008

Sertifikat, pelajar dan Pembelajaran

Sertifikat, pelajar dan Pembelajaran
# Arvan Pradiansyah

Seorang dokter sedang memeriksa pasien yang terbaring lemas di tempat tidur.
Tak lama kemudian ia berdiri dan berkata kepada istri pasien. "Maaf, saya
turut berduka cita atas meninggalnya suami ibu". Lalu, suara protes lemah
terdengar dari tubuh lemas yang terbaring di tempat tidur, "Tidak, saya
masih hidup". Mendengar hal itu, istrinya langsung menjawab, "Diam! Dokter
itu lebih tahu daripada kamu!".

Mungkin anda tertawa mendengar lelucon tersebut. Sebenarnya, hal itu
merefleksikan kenyataan masyarakat. Kita sering lebih menghargai posisi
keteimbang kebenaran, lebih menghargai penampilan ketimbang karakter, lebih
menghargai sertifikat ketimbang isi dan substansi. Ini bisa menjelaskan
mengapa bznyak orang tertarik memperoleh gelar tanpa susah payah.
Padahal apa artinya sertifikat ? menurut saya, sertifikat hanyalah potret
mengenai perjalanan hidup seseorang, belum tentu menggambarkan kapasitas dan
kompetensinya. Orang yang bergelar doktor tapi kemudian berhenti belajar,
maka ia pun ketinggalan dalam waktu singkat, Orang yang memiliki SIM tapi
tak pernah menyetir mobil, pastilah kehilangan keahliannya. Jadi sertifikat
apapun bentuknya sebenarnya sekedar potret, sertifikat hanyalah nilai,
sedangkan prinsipnya adalah mendapatkan kompetensi dengan belajar.

Toh kenyataannya, banyak orang yang lebih mementingkan sertifikat ketimbang
proses belajarnya. Dalam suatu pelatihan bersertifikasi, saya pernah tidak
meluluskan seorang peserta, karena ia belum dapat menunjukkan keahlian yang
diperlukan, namun dia tetap menuntut sertifikat, akhirnya saya hanya
memberikan certificate of attendance ( sertifikat kehadiran ) kepadanya,
anehnya ia cukup puas dan bangga dengan sertifikat tadi.

Orang-orang seperti ini banyak kita jumpai di seminar dan studi banding ke
luar negeri / dalam negeri, sering yang dicari sertifikat atau citra (
seminar di luar negeri sering tidak mengeluarkan sertifikat ). Saya pernah
mengikuti konferensi internasional si salah satu negara ASEAN, ternyata
peserta terbanyak dari Indonesia. Namun, itu hanya pemandangan hari pertama
dan malam penutupan. Di hari-hari seminar, banyak peserta yang menghilang
entah kemana. Bahkan di hari terakhir, seorang peserta seminar mengatakan
kepada saya bahwa kopernya overweight, padahal ia akan mampir lagi di negara
tetangga buat berbelanja. Anda tahu barang apa yang lalu ditinggalkannya?
Tak lain, tas berisi semua makalah seminar. "Habis mau bagaimana lagi, koper
saya sudah terlalu berat."

Berbeda dari manusia jenis pertama yang lebih mementingkan citra dan
sertifikat, ada orang yang memang senang belajar, berdiskusi, ikut pelatihan
dan datang ke seminar. Ini disebut manusia pelajar. Orang ini banyak ilmunya
tetapi sayangnya ia tidak menerapkan ilmu itu untuk meningkatkan kualitas
hidupnya. Mereka tahu cara mendidik anak, tapi tetap tak bisa dekat dengan
anak. Tahu cara berkomunikasi, tapi lebih sering mengalami miskomunikasi.
Tahu cara mengelola organisasi, tapi menerapkan manajemen pokoke alias
manajemen otoriter. Inilah ciri pelajar, Stephen Covey mengatakan, "to know
but not to do is not to know." Maksudnya, mengetahui sesuatu tetapi tidak
melakukan apa-apa, sama saja dengan tidak mengetahui. Anda mempunyai banyak
buku terbaru, tapi tak pernah satu kalipun membacanya, sama saja nilainya
dengan orang yang tak pernah membeli buku, bahkan sama dengan orang yang tak
bisa membaca.!

Manusia terbaik adalah pembelajar. Inilah orang yang senantiasa belajar,
kemudian mengamalkan apa yang diperolehnya. Rekan saya mengatakan, perbedaan
antara orang Indonesia dan Amerika seperti ini, "orang Indonesia datang ke
seminar untuk belajar sesuatu yang baru, sementara orang Amerika datang ke
seminar untuk menerapkan hal yang baru." Orang pertama cuma menangkap,
sedangkan orang kedua menjalani proses pembelajaran yang meliputi empat
tahap : menangkap ( capture ), memperluas dan mengaitkan dengan pengalaman
sendiri ( expand ), menerapkan ( apply ), dan berbagi ( share ).
Dengan mengamalkan ilmu dan membagikan pengalaman menerapkannya kepada orang
lain, kita memenuhi bukan hanya kebutuhan mental ( to learn ), melainkan
juga kebutuhan spriritual ( to leave a legacy ). Kita meningkatkan kualitas
hidup orang lain. Dengan demikian, hidup kita pun lebih berkualitas dan
lebih bermakna.

(Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan SDM Franklin
Covey Indonesia )

Ubah dulu yang di dalam

UBAH DULU YANG DI DALAM
Action & Wisdom Motivation Training

Saat renovasi rumah, si empunya rumah sudah merencanakan memasang sebuah
lukisan potret keluarga di ruang tamu yang telah ditatanya dengan indah.
Lukisan itu telah dipesan melalui seorang seniman pelukis wajah yang
terkenal dengan harga yang tidak murah. Tetapi, saat lukisan itu tiba di
rumah dan hendak dipasang, dia merasa tidak puas dengan hasil lukisan dan
meminta si pelukis merevisiya sesuai dengan gambar yang dibayangkan.

Apa daya, setelah diperbaiki hingga ketiga kalinya, tetap saja ada sesuatu
yang tidak disukai pada lukisan tersebut sehingga setiap si pemilik rumah
melintas ruang tamu, selalu timbul ketidakpuasan dan kekecewaan. Itu
sangatlah mengganggu pikirannya. Menjadikan dirinya tidak senang,
uring-uringan, jengkel, kecewa dan sebal dengan ruang tamunya yang indah
itu. Semua gara-gara sebuah lukisan!

Suatu hari, datang bertamu satu keluarga sahabat ke rumah itu. Sahabat ini
termasuk pengamat seni yang disegani di lingkungannya. Saat memasuki ruang
tamu-setelah bertukar sapa begitu akrab dengan tuan rumah-tiba-tiba mereka
bersamaan terdiam di depan lukisan potret keluarga itu. Si tuan rumah
buru-buru menyela, "Teman, tolong jangan dipelototi begitu, dong. Aku tahu,
lukisan itu tidak seindah seperti yang aku mau, tetapi setelah di revisi
beberapa kali jadinya seperti itu, ya udah lah, mau apalagi?"

"Lho, apa yang salah dengan lukisan ini? Lukisan ini bagus sekali, sungguh
aku tidak sekedar memuji. Si pelukis bisa melihat karakter objek yang
dilukisnya dan menuangkan dengan baik di atas kanvas, perpaduan warna di
latar belakangnya juga mampu mendukung lukisan utamanya. Betul kan, Bu?"
tanyanya sambil menoleh kepada istrinya.

"Iya, lukisan ini indah dan berkarakter. Jarang-jarang kami melihat karya
yang cantik seperti ini. Kamu sungguh beruntung memilikinya," si istri
menambahkan dengan bersemangat. Kemudian, mereka pun asyik terlibat diskusi
tentang lukisan itu.
Setelah kejadian itu, setiap melintas di ruang tamu dan melihat lukisan
potret keluarga itu, dia tersenyum sendiri teringat obrolan dengan
sahabatnya. Kejengkelan dan kemarahannya telah lenyap tak berbekas.
Pembaca yang budiman,

Jika sebuah lukisan tidak bisa diubah atau banyak hal lain di luar diri kita
yang tidak mampu kita ubah sesuai dengan keinginan kita atau selera kita,
maka tidak perlu menyalahkan keadaan! Karena sesungguhnya, belum tentu
lukisan atau keadaan luar yang bermasalah, tetapi cara pandang kitalah yang
berbeda. Jika kita tidak ingin kehilangan kebahagiaan maka kita harus
berusaha menerima perbedaan yang ada.

Dengan mengubah cara berpikir kita yang di dalam, tentu kondisi di luar juga
ikut berubah.
Pada kesempatan yang baik ini, saya mengucapkan, Selamat hari Natal 2007 dan
Tahun Baru 2008! Mari kita pelihara semangat dan kebahagiaan kita, bukan
dengan mengubah dunia sesuai dengan keinginan kita, tetapi menerima
perubahan dengan cara mengubah yang ada di dalam diri kita terlebih dulu.

Andrie Wongso
Action & Wisdom Motivation Training

Selasa, 17 Juni 2008

Berjuanglah, Kemudian Pasrahlah!

Berjuanglah, Kemudian Pasrahlah!

Seorang pemuda pergi menemui mahaguru kebijaksanaan dan berkata, ''Guru, begitu besar kepasrahan saya pada Tuhan sampai-sampai saya tak pernah menambatkan unta saya itu. Saya biarkan unta itu dalam penjagaan Tuhan.''

Guru yang bijak itu berkata, ''Kembalilah keluar. Tambatkan untamu itu pada tiang, orang dungu! Tuhan tak akan melakukan sesuatu yang dapat kamu lakukan sendiri!''

Inilah pemahaman yang benar mengenai kepasrahan. Pasrah tak sama dengan menyerah. Pasrah justru sebuah sikap proaktif, sebuah perjuangan habis-habisan untuk melakukan apapun yang dapat kita lakukan sekaligus menyadari adanya suatu kekuatan yang bekerja di luar kontrol kita.

Apa yang kita hadapi pada dasarnya dapat dibagi menjadi tiga hal. Pertama, hal-hal yang dapat kita kontrol. Jangan salah, satu-satunya yang dapat Anda kontrol hanyalah perilaku Anda sendiri. Betapapun hebatnya Anda, Anda tak akan dapat mengontrol bawahan, pasangan, maupun anak Anda. Bisa saja Anda memaksa mereka melakukan apa yang Anda inginkan, tapi itu hanya akan terjadi di depan Anda. Di belakang Anda, percayalah, hal itu tak akan mereka lakukan.

Kedua, hal-hal yang tak dapat kita kontrol tapi dapat kita pengaruhi. Kita tak dapat mengontrol bawahan, tapi kita dapat mempengaruhinya agar bekerja lebih produktif. Kita tak dapat mengontrol kenaikan gaji di kantor, tapi kita dapat mengusulkannya kepada atasan. Kita tak dapat mengontrol anak untuk tak melakukan hal-hal tercela, tetapi kita dapat membekalinya dengan pendidikan agama. Sekali lagi, yang dapat kita lakukan hanyalah mempengaruhi.

Ketiga, hal-hal yang berada di luar kontrol kita. Ada banyak hal yang termasuk kategori ini, seperti krisis ekonomi dan moneter (pemerintah saja tak sanggup, apalagi kita!), biaya hidup yang semakin tinggi, pencemaran udara, kondisi keamanan yang rawan, dan sebagainya.

Untuk bersikap pasrah, pertama-tama Anda harus mengetahui apa yang dapat diubah dan apa yang tidak. Apapun masalah yang Anda hadapi, masukkanlah itu ke dalam ketiga kategori tersebut. Namun, disini Andapun harus hati-hati, jangan sampai salah memasukkan. Misalnya, dimana Anda akan memasukkan krisis ekonomi dan moneter? Dimana Anda akan memasukkan masalah banjir lima tahunan yang melanda Jakarta? Apakah hal itu di luar kontrol kita? Mungkin benar, kalau Anda rakyat biasa. Tapi kalau Anda adalah pejabat pemerintah dan para wakil rakyat, hal itu masuk hal-hal yang dapat Anda kontrol. Begitu juga dengan banjir lima tahunan, kalau Anda adalah pejabat di Pemda (termasuk Pak Sutiyoso) maupun beberapa pengusaha bisnis properti, masalah tersebut adalah kontribusi Anda.

Inti kedua dari kepasrahan adalah ''Selalu dapat melakukan sesuatu dalam situasi apapun.'' Kepasrahan bukanlah duduk termenung dan berdiam diri, tetapi konsep yang sangat dinamis dan proaktif. Anda tak dapat mengontrol harga-harga, tapi Anda dapat mengontrol gaya hidup Anda. Anda tak dapat mengontrol keamanan, tapi Anda bisa menghindari ke luar malam seorang diri. Anda tak dapat mengontrol jalanan yang macet, tapi Anda dapat berangkat ke kantor lebih pagi. Anda tak dapat melakukan apapun agar penerbangan Anda selamat, tapi Anda masih dapat menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan. Jangan salah, menyerahkan pada Tuhan bukanlah suatu tindakan yang pasif, tetapi suatu PILIHAN yang Anda ambil secara sadar.

Kepasrahan akan memberi Anda ketentraman yang sejati. Sewaktu bersekolah di Inggris dulu, saya seringkali dihantui ketakutan kalau-kalau tak sempat lagi bertemu dengan orang tua saya di Jakarta. Perasaan tersebut begitu mengganggu, sampai saya sadar bahwa ini adalah situasi tanpa kontrol. Saya baru memperoleh kedamaian dan ketenangan setelah saya MEMILIH menyerahkan hal ini pada ''penjagaan'' Tuhan.

Ada cerita menarik mengenai seorang rekan yang divonis menderita kanker rahim yang sangat ganas. Ia adalah pasien di rumah sakit yang sama dan dengan stadium yang sama dengan penyanyi Nita Tilana. Bahkan ia adalah pasien yang sedianya akan dioperasi persis sebelum Nita. Bedanya, kawan saya ini minta operasinya ditangguhkan selama sebulan. Selama itu ia berpuasa dan benar-benar menyerahkan dirinya pada Tuhan. Ia pun tak menceritakan hal itu pada keluarganya. Kemudian terjadilah keajaiban. Kanker yang sebelumnya menyebar, sekonyong-konyong menyatu di satu tempat, sehingga mudah dikeluarkan. Sampai saat ini rekan ini masih hidup dan bekerja bersama-sama dengan saya.

Jadi, kepasrahan berarti melakukan usaha semaksimal mungkin, tetapi menyerahkan hasilnya pada kehendak Tuhan. Dalam situasi tanpa kontrol, kepasrahan berarti memilih untuk menerima apa adanya, dan menghilangkan keinginan, ambisi dan cita-cita apapun. Kepasrahan yang total lebih dari sekedar meminta sesuatu kepada Tuhan, tetapi menyerahkan segala sesuatunya pada Tuhan.

Coba perhatikan doa Anda. Masih seringkah Anda meminta sesuatu kepada Tuhan? Ataukah Anda mengatakan hal berikut ini, ''Ya Tuhan, berikanlah kepadaku apa yang terbaik menurut kehendak-Mu.''

Oleh: Arvan Pradiansyah, Dosen FISIP UI & Pengamat Manajemen SDM e-mail: fcgi@republika.co.id faksimile: 021-7983623 alamat surat: Jl Warung Buncit Raya No 37, Jakarta 12510