Rabu, 26 Desember 2012

MESTAKUNG
(Kontemplasi Peradaban)

Belum lama berselang, saya diundang makan malam bersama beberapa keluarga di swiss-belHoteL – Merauke.  Dalam benak saya ada rasa enggan, karena nanti harus duduk berlama-lama dengan beberapa orang yang – mungkin – tidak saya kenal dan ini akan membuatku salah tingkah.  Saya ingin mencari alasan untuk tidak hadir, namun belum  saya dapatkan. Tiba-tiba  mak brês, hujan deras menyelimuti kota Merauke.  Dalam hati saya berseru, "Syukur kepada Allah!"  Di sinilah,  alam semesta mendukung apa yang saya pikirkan. Mestakung.

Yohanes Surya dalam Mestakung, mengajak para pembaca untuk tidak ragu-ragu terhadap apa yang diinginkan.  Dalam hal ini seperti apa yang dikatakan oleh  Cicero (106 – 43 seb.M),   "Animus hominis semper appetit agere aliquid" – jiwa manusia selalu ingin melakukan sesuatu.  Kalau seseorang  memiliki cita-cita yang baik, maka alam semesta tentu akan mendukung kita.

Tommy Siawira dalam Blueprint Kepribadian, mengedepankan tujuan dari visualisasi. Tulisnya, "Kalau kamu berharap memiliki rumah mewah di bilangan Jakarta Pusat, maka fotolah gedung-gedung itu dan tempelkan picture itu di kamar tidur, di toilet dan  di meja kerjamu. Cepat atau lambat, sebuah rumah mewah akan menjadi milikmu!"  Apa yang dikatakan Tommy itu tidak tanpa alasan. Kesungguhan seseorang dalam menggapai cita-cita akan didukung oleh niat dan  kegigihan. Inilah yang menurut Rhonda Byrne dalam The Secret sebagai kekuatan dalam diri untuk mendapatkan sesuatu seperti yang diimpikannya. Paulo Coelho dalam The Alkemis juga memberikan alasan yang sama bahwa  apa yang dibuat oleh Santiago  mantan seminaris itu "berkeliling dunia" dengan domba-dombanya dan akhirnya mendapatkan apa yang diimpikannya, termasuk mendapatkan Fatima tentunya.

Ungkapan Latin, "Fortuna favet fortibus"  – nasib baik menyertai orang yang berani,  rupanya tepat untuk mereka yang sedang mengejar cita-cita.  Astuti Ananta Toer (penyunting) dalam 100 wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, membeberkan betapa keberanian sang sastrawan kandidat  penerima Nobel itu dalam mewujudkan cita-citanya. Ia hidup dalam tiga masa (Belanda, Orla dan Orba). Ia keluar-masuk penjara dan pada masa Orba, selama 14 tahun diasingkan di Pulau Buru. Namun di tempat yang "tidak bersahabat" itulah tetralogi (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca)  itu  terbit. Dari tangannya pula terlahir novel-novel yang jumlahnya puluhan. Karena impiannya dan keberaniannya, sastrawan besar kelahiran Blora 1925 ini dapat  disejajarkan dengan  Gunters Grass (Jerman), Albert Camus, Jean-Paul Sartre (Prancis), Multatuli (Belanda),  Rabindranath Tagore (India), Gao Xinjian (Cina),  Gabriel Garcia Marquez (Kolombia), maupun Jose Saramago (Portugis).  Alam semesta mendukung Pram, meskipun ia ditekan oleh  pelbagai pihak. 

Kahlil Gibran (1883 – 1931)  dalam Sang Nabi telah menulis, "Bila cinta mendatangaimu, ikuti dia, walaupun jalannya sulit dan terjal. Dan ketika sayapnya mengembang mengundangmu. Walaupun pedang yang tersembunyi di antara ujung sayapnya dapat melukaimu." Penyair dari Lebanon itu  benar. Sebagai contoh, Seorang ibu memiliki keberanian makantar-kantar, ketika memperjuangkan kehidupan bagi anak-anaknya – orang-orang yang dicintainya.  Nyalinya tidak mengecil ketika ada tantangan yang hendak mencelakai anak-anaknya.  Ibu itu  tidak akan merasakan susah-derita, ketika orang-orang yang dikasihi membutuhkan dirinya. Cita-citanya hanya satu: kebahagiaan orang-orang yang dikasihi. Ternyata jauh sebelum itu, Johann Wolfgang Goethe (1749 – 1832),  sastrawan asal Jerman pernah berkata, "Apa  yang dapat engkau lakukan atau impikan dapat engkau lakukan, lakukanlah itu! Keberanian itu punya kuasa, kejajaiban  serta kejeniusan di dalamnya." Alam semesta akan mendukung jika seseorang berbuat untuk kebaikan sesama. Mestakung!!!

(261212). Markus Marlon


Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 20 Desember 2012

IBU
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Kasih ibu kepada beta
          Tak terhingga sepanjang masa
          Hanya memberi, tak harap kembali
          Bagai sang surya menyinari dunia
 
          Syair tersebut di atas sungguh  familiar dengan telinga kita. Seorang ibu adalah pribadi terdekat dari  anak-anak yang dilahirkan dari rahimnya.  Maxim Gorki dalam Mother  – sudah diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer (1925 – 2006)  menuliskan bahwa seorang ibu itu amat mencintai anaknya melebihi segalanya, bahkan nyawanya sendiri.

          Pengorbanan seorang ibu yang dilukiskan dalam syair di atas nampak dalam kisah-kisah menyedihkan sekaligus membanggakan. Robin Maxwell dalam Signora da Vinci, melukiskan perjuangan Caterina, ibu dari Leonardo da Vinci (1452 – 1519) dalam menapaki kariernya.  Sang ibu rela meninggalkan kampung halamannya dan ayahnya, Ernesto untuk pergi ke Florence. Di sana Caterina menyamar sebagai lelaki, untuk mendampingi anaknya yang sedang belajar melukis. Keberuntungan bepihak pada Leonardo muda karena dia dilindungi oleh keluarga kaya yakni: Keluarga Medici.  Ia memotong rambutnya yang panjang dan memakai kemben yang ketat serta  berganti nama menjadi Cato, "meminjam" nama  penyair Romawi yang terkenal itu. (Membayangkan penyamaran yang dibuat oleh Caterina, saya jadi ingat akan novel yang berjudul Pope Joan, yang sudah di-film-kan.  Novel dan film-nya tidak jauh berbeda. Paus Joan mengungkapkan kefeminitasannya karena melahirkan secara tak diharapkan dalam sebuah prosesi. Bdk. Rahasia-rahasia Vatikan, hlm 89.  Ini adalah  kisah fiksi tentang  Paus wanita). Berkat pengorbanan sang ibu, Leonardo da Vinci akhirnya menjadi seniman multi-talent yang belum ada tandingannya hingga detik ini. 

Pengorbanan seorang ibu itu sebenarnya sudah bisa kita lihat dalam tradisi Gereja abad pertengahan yakni burung pelican.  Dalam  mozaik-mozaik gereja, sering ada lukisan seekor burung yang temboloknya berwarna merah. Itulah darah. Ketika sang induk  tidak dapat memberikan makanan bagi anak-anaknya, maka ia mencucukkan temboloknya sendiri  dan mengambil makanan itu untuk diberikan kepada piyék-piyék-nya (anak burung). Tentu saja sang induk merasa kesakitan. Oleh para biarawan MSC, kisah ini disenandungkan dengan syair, "Pelikan yang kudus, Yesus Tuhanku."

          Kisah-kisah kerajaan maupun kekaisaran sering menampilkan para ibu suri, garwa padmi, permaisuri yang berambisi untuk  mengangkat putranya sendiri untuk  menjadi putra mahkota atau pangeran.  Pearl S.  Buck dalam Maharani mengisahkan seorang ibu yang berkorban mati-matian supaya anaknya menjadi Kaisar – kekaisaran Manchu di Cina. Namun sayang bahwa perjuangan sang Maharani – nama kecilnya Yehonala – itu tidak terwujud, sebab sang Kaisar, putranya  itu mati muda. Ada juga permaisuri bernama Olympia, yang  berambisi supaya anaknya, Alexander Agung dari Makedonia (356 – 323 seb.M) itu nantinya sebagai Raja bagaikan dewa. Maka, ketika mengandung, ia rela "ditemani tidur"  bersama ular-ular berbisa  (Bdk. Alexander the Great). Atau, Ibu dari Fransiska dalam Badai Pasti Berlalu tulisan Marga T,  memiliki keinginan supaya sang putri yang mengalami patah hati itu bisa hidup normal lagi. Ada tiga pria dalam kehidupan Fransiska yaitu: Kris, Helmy dan Edo. Atau kisah dari   Meggy Cleary,  seorang ibu yang luar biasa tegar. Colleen McCullough dalam The Thorn Birds mengisahkan pengorbanannya dalam membesarkan  putranya yang bernama Dane O'Neill yang bercita-cita menjadi pastor. Anak ini terlahir dari  hubungan gelap antara Meggy dengan seorang pastor dan akhirnya menjadi Kardinal.  Kardinal itu bernama Ralp de Bricassart. Akhir dari kisah ini yaitu, kematian Dane dan atas pertolongan sang Kardinal di Vatikan mengembalikan jenasah Dane ke kampung halaman di Drogheda  – Australia. Sedih memang!

          Lebih sedih lagi, ketika kita mengontemplasikan Ibu Kunthi, seorang  ibu dari Pandawa Lima (Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa). Nyoman S. Pendit dalam Mahabharata melukiskan kesedihan Ibu Kunthi ketika hendak menyaksikan dengan kepala sendiri perang tanding antara Arjuna dan Karna. Mereka berdua dalah anak kandung sendiri. Ibu Kunthi menangis dengan air mata berlinang supaya peperangan itu dibatalkan. Namun kedua satria itu harus menjalankan dharma-nya masing-masing dan keberuntungan diraih pada pihak Arjuna (Bdk. Lakon wayang berjudul Karno Tanding dengan dalang Hadi Sugita).  Kita bisa juga melihat kesedihan seorang ibu dalam kisah Sangkuriang maupun kesedihan Yocaste dalam Oidipus Rex, kesedihan seorang janda dalam Malin Kundang dan penderitaan Penelope yang menunggu suaminya Odysius yang selama sepuluh tahun mengadakan perjalanan panjang dan penuh tantangan – the long  and winding road – dari  Troya menuju Itacha.  Maaf  kepada yang mulia:  Helene dari Troya (Tokoh ini ada dalam Iliad  karya  Homerus ± abad VIII seb. M) dan Cleopatra  dari Mesir (69  –  30 seb. M), sebab nama kalian tidak masuk dalam daftar ini.

          Seorang ibu itu bagikan pribadi yang memiliki kekuatan seperti baja namun lembut bagaikan bunga. Jung Chang dalam Angsa-Angsa Liar mengisahkan "keperkasaan" tiga generasi wanita hidup dalam tekanan dan penderitaan pada masa kekuasaan Mao Tse-Tung (1893 – 1976). Dalam suasana yang chaos, mereka bisa bertahan. Tidak ada pengeluhan, tidak ada penyesalan dan tidak ada rasa putus asa. Sebaliknya yang ada adalah harapan dan kegembiraan untuk menyambut hari esok yang membahagiakan. Barangkali ini yang sering didengung-dengungkan oleh orang-orang Kristiani, "Dia membuat segala sesuatu indah pada waktunya" (Pkh 3: 11).

          Kekuatan seorang ibu terletak pada kelembutannya. Tidak heranlah jika banyak  nama-nama yang disematkan untuk menghormati nama ibu, seperti:  Ibu pertiwi, Ibu kota, alma mater, rumah induk dan induk semang. Saya menjadi  ingat dan rindu kepada ibu saya yang tinggal di desa Playen – Gunungkidul. Saya memanggilnya simbok. Setiap pagi, simbok saya ndhodhok sambil mbopong (membawa) tenggok. Simbok  bekerja dari subuh hingga maghrib dan tidak pernah mengeluh, meskipun sakit boyok, yah karena menggendong  tenggok  tadi. Itulah ibuku.

221212.  
Markus Marlon

         
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 16 Desember 2012

HASUT
(Kontemplasi  Peradaban)
 
          Belum lama ini saya mengunjungi kampung yang bernama  Matara, sebuah kampung di Wendu – Merauke (16 Desember 2012). Sesampai di  kampung tersebut pikiran saya teringat pada sebuah kota yang bernama Tara, tempat tinggal dari tokoh utama novel Gone with The Wind yang bernama Scarlett O'Hara. Dalam perjalanan itu saya juga membaca buku Ramayana tulisan Nyoman S. Pendit. Tanpa sadar, saya terpukau dengan seorang wanita tengah baya yang bernama Mantara.  Ceritanya hampir sama dengan Anak Bajang Menggiring Angin tulisan Sindhunata.  Kedua novel tersebut menyinggung Dewi Tara yang jadi rebutan antara Sugriwa dan Subali.

          Di sini, saya hendak mengontemplasikan bahwa nama Tara, Matara dan Mantara  – mungkin juga Tara-tara, sebuah kampung di Minahasa –itu memiliki kisah yang menarik. Dikisahkan bahwa Dasaratha sudah menyiapkan Rama untuk menjadi raja di Ayodya. Ketiga permaisuri itu adalah: Sumitra, Kausalya dan Kaikeyi. Mereka bertiga hidup tentram, rukun dan damai. Tidak ada rasa iri, dendam dan mementingkan diri sendiri. Namun kerukunan itu sirna, tatkala Mantara  seorang wanita – maaf – mirip mak lampir itu menghasut Kaikeyi bahwa yang berhak menjadi Raja adalah Bharata putranya. Sudah berkali-kali, Kaikeyi tidak mau mendengar apa yang dikatakan Mantara. Tetapi karena "diilikithik" (digoda terus-menerus), maka menyerahlah Kaikeyi dan menghadap  Dasaratha supaya pemahkotaan Rama  atau Rajasuya  dibatalkan. Bahkan Dasaratha harus membuang Rama di hutan Dandaka yang terkenal angker dan menobatkan Bharata menjadi Raja. Mantara, si penghasut itu pernah mendengar janji Dasaratha kepada permaisuri tercantik, Kaikeyi bahwa di kemudian hari anaknya akan diangkat sebagai putra mahkota.

          Karena hasutan itulah, sebuah rencana bisa gagal. Karena hasutan sebuah impian menjadi mimpi buruk di tengah bolong. Karena hasutan sebuah kehidupan yang indah jadi berantakan. Marga. T dalam Sepagi itu Kita Berpisah menggambarkan sosok Odi Bobadila sebagai penghasut Keluarga Deni dan Triska Omega.  Orang yang menghasut itu bermain di luar. Ia berusaha supaya suasana yang teratur-rapi menjadi amburadul. Dalam permainan kartu, orang yang  ngasut adalah orang yang mengocok kartu dan membagikan kartu-kartu itu kepada para pemain.   Jadi dialah yang menjadi dhalang ataupun sutradara.

          Hasutan baru terjadi jika diwujudnyatakan, entah itu dalam kata-kata maupun perbuatan. Pembunuhan Julius Caesar  (100 – 44 seb.M) yang terjadi pada pertengahan Maret 44 karena ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus (85 – 42 seb.M). Peristiwa ini terjadi karena adanya kata-kata yang mengarah pada perundingan (conspiration) dari Marcus Brutus, Cassius, Casca, Trebonius, Ligarius, Decius Brutus dan Mettelus Cimmber. Akan lebih mendalam  jika kita membaca kisah-kisah konspirasi dari para Mafioso dan Godfather serta  Sherlock Holmes tulisan Sir Arther Conan Doyle.

          Pikiran  menjadi ladang empuk untuk terjadinya penghasutan. Beberapa kaisar Romawi ada yang mentahbiskan  dirinya sebagai Dewa. Para Firaun mendirikan Piramida untuk makamnya. Kaisar-kaisar di Cina membangun makam-makan mewah untuk dirinya sendiri,  seperti yang terlihat dalam  terra cota. Itu karena dalam dirinya terobsesi   – mungkin – terhasut untuk menjadi abadi. Sidik Nugroho dalam 366 Reflections of Life, menulis hasutan yang terjadi dalam diri Adolf  Hitler. Hitler menganggap dirinya sebagai "Penerus tugas-tugas Martin Luther yang belum selesai." Ia menebarkan ajaran bahwa semua orang Yahudi perlu dibasmi karena merekalah yang membunuh Yesus. Ia menghasut dirinya sendiri terus-menerus, sehingga tidak kurang dari 6.000.000 orang Yahudi tewas dalam kamp konsentrasi.

          Zaman sekarang ini, hasutan-menghasut ada di mana-mana.  Karyawan kantor menghasut kepala kantor, tukang cukur menghasut para pelanggannya, sopir pribadi menghasut majikannya, tukang pijat menghasut orang yang keseleo, pembantu Rumah Tangga menghasut tuannya, koster menghasut Dewan Paroki, Umat menghasut pastor paroki dan masih banyak lagi hasutan-hasutan. Mbuh ra weruh!!  artinya, entah saya tidak tahu lagi (16 Desember 2012). 

 

Rm. Markus Marlon MSC

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 19 Oktober 2012

Lebah dan Lalat.

Mengapa lebah cepat menemukan bunga?
Mengapa lalat cepat menemukan Kotoran?

Karena didalam pikiran lebah hanyalah madu dan madu saja, sedangkan didalam pikiran lalat hanyalah kotoran dan kotoran saja.

Alhasil susah bagi lebah untuk menemukan kotoran, tapi mudah dan cepat bagi lebah untuk menemukan bunga dimanapun.

Sebaliknya,susah bagi lalat untuk menemukan bunga, tapi mudah dan cepat bagi lalat untuk menemukan kotoran dimanapun.

Apa hasil akhirnya?

Lebah menghasilkan madu yang sangat bermanfaat, sedangkan lalat menyebarkan kuman penyakit.

PESAN MORAL.

Apa yang kita pikirkan akan menghasilkan apa yang kita lihat dan apa yang kita lihat akan menghasilkan apa yang akan kita peroleh.

Hidup kita sangat tergantung dengan hati dan pikiran kita.

Kalau hati dan pikiran kita selalu negatif, maka apa saja yang kita lihat akan selalu menjadi negatif dan hasil akhirnya adalah sebuah kehidupan negatif yang penuh permasalahan.

Kalau hati dan pikiran selalu positif, maka apa saja yang kita lihat akan selalu menjadi positif dan hasil akhirnya adalah kehidupan positif yang penuh kebahagiaan.

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 18 September 2012

KEMBALI*
(Sebuah Percikan Permenungan)
 
          Ketika saya mengadakan perjalanan ke  Jakarta ada rasa gembira. Di ibu kota itu, segala macam hal dapat kita dapatkan. Bahkan saya boleh berkata, "Tidak ada hal yang tidak ada di Jakarta." Gedung-gedung mewah dengan segala fasilitasnya untuk sementara waktu menyenangkan. Namun tidak lama kemudian, saya ingin kembali ke rumah, apalagi ingat film yang berjudul "Home, Sweet Home,"  sebuah film tentang kehidupan John Howard Payne (1791 – 1852).

          Rumah, bagaikan rahim yang menerima kita apa adanya. Anand Krisnha dalam  99 Nama Allah bagi Orang Modern menunjuk  pada makna  Ar-Rahim yang berarti Maha Penyayang.  Allah begitu menyayangi umat dan Allah rindu para umatnya untuk kembali ke dalam fitrah-nya. Henri J.M. Nowen (1932 – 1966)  dalam The Return of The Prodigal Son,  melukiskan betapa bahagianya, jika ada seorang anak yang kembali ke pelukan bapanya  (Luk. 15:  11 –  32).  Perjalanan kembali ke rumah yang dipenuhi dengan keraguan serta rasa malu yang tinggi, akhirnya disambut dengan tangan terbuka. Cover dari buku tersebut  tersebut memberikan inspirasi kepada kita tentang pengampunan. Dalam lukisan tersebut, Rembrant (1606 – 1669) mengajak kita  untuk merenungkan arti rangkulan seorang bapa  terhadap  anaknya. Tangan kanan bapa, kuat dan legam, sedangkan tangan kirinya halus dan indah. Ini melukiskan bahwa kebapakan dan keibuan telah menerima anak yang hilang tanpa syarat.

Sebuah lagu yang dipopulerkan kembali oleh  Marcello Tahitoe yang nama pop-nya Ello, berjudul "Pergi untuk Kembali"  memiliki makna bahwa setiap kita memiliki tugas untuk pergi: mencari kehidupan.  Edith Hamilton dalam Mitologi Yunani, memaparkan  seorang pahlawan bernama  Herkules.   Selama hidupnya, ia berpetualang dan  diberi pelbagai tugas,  yang terkenal dengan sebutan The twelve labours of Hercules. Bertahun-tahun "anak Dewa Zeus" ini sibuk dengan tugas-kewajibannya. Namun pada akhirnya, ia kembali ke rumahnya hidup bersama istrinya, Deianeira dan anak laki-lakinya.  E.V. Rieu dalam Odyssey juga mengisahkan tentang petualangan Odiseus yang setelah perang Troya berakhir ia ingin kembali ke Itacha. Selama sepuluh tahun ia berpetualangan dalam pelbagai pengalaman. Betapa bahagianya ketika akhirnya ia kembali ke istananya dan berjumpa dengan Penelope, istrinya dan Telemachus, anaknya. Dalam keluarga itu Odiseus menemukan dirinya sendiri. Home sweet home. 

Mungkin orang pada masa mudanya memiliki aneka macam pekerjaan. Ada pekerjaan yang merupakan tugas, ada pekerjaan lain sebagai kewajiban. Namun ada pekerjaan yang sungguh-sungguh ia senangi. Setiap kali mengerjakan tugas itu ia mendapatkan gairah, semangat dan passion. Pekerjaan inilah yang dianggap sebagai vocation atau calling  (panggilan jiwanya).  Ia pergi ke mana-mana, akhirnya kembali ke dalam dirinya yang sungguh-sungguh membuatnya bahagia, yaitu panggilan jiwanya.

Kembali sangat memiliki makna spiritual. Prosesi lilin  Tuan Ma  yang diadakan setiap pekan suci (Paskah) di Larantuka – Flores,  memiliki makna spiritual yang mendalam. Pada malam itu setiap nisan diberi lilin menyala. Di beberapa daerah seantero negeri ini, setiap hendak memasuki bulan Ramadhan masyarakat mengadakan bersih-bersih makam. Selain mensyukuri kedatangan bulan Ramadhan, juga untuk menghormati arwah kaum kerabat yang sudah meninggal dunia, seraya menziarahi dan mendoakannya. Kemudian di makam-makam Katolik yang sering  disebut dengan nama  kerkoff,  tertulis pada gapura "Memento Mori" yang berarti Ingatlah akan kematian.   Filosofi  Jawa menulis, "Sangkan paraning dumadi" yang berarti dari mana kita berasal dan akan ke mana setelah hidup kita di dunia ini.

Tatkala kita kembali ke kampung halaman,  ada rasa nyês bila berjumpa dengan sahabat  dan handai taulan.  Kembali ke tempat kelahiran sungguh memiliki makna yang mendalam. Tiada pengalaman yang semendalam, ketika kembali melihat dan mengenang kembali masa-masa kecil. Sapaan-sapaan dari sahabat dan handai taulan yang setia "menunggu" kampung halaman membuat ingat kembali masa lalu. Dari sana pula, saling memaafkan dan kembali kepada fitrah. Dalam filsafat kita kenal istilah tabula rasa  (bahasa Latin), terjemahan bebasnya  berarti papan tulis yang masih bersih. Seorang bayi itu suci dan kudus, belum terkontaminasi dengan dunia luar. Dalam kekristenan, kita mengenal "dilahirkan kembali" atau dibaptis (Yoh. 3: 3).

Inilah pertanyaan dalam diriku, setiap kali merenungkan hidup ini, "Ke manakah aku bakal kembali?  Di mana tempat hinggap- ku,  andai melesat terbang  dari kurungan (badan jasmani) di dunia ini? Ke manakah aku  hendak kembali setelah aku pergi bertandang di dunia ini?" (17 September 2012).

*Sudah dipublikasikan di Suara Pembaharuan Minggu, 13 – 19 September 2012

Markus Marlon
"Biara Hati Kudus"

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu, 09 September 2012

Sabar

SABAR
(Sebuah Percikan Permenungan)
 
          Film yang  berjudul The Vow garapan Michael Sucsy,  mengisahkan dua sejoli: Leo (Channing Tatum) dan Paige  (Rachel McAdams) sebagai  sepasang suami istri yang amat  harmonis. Karena sebuah kecelakaan yang fatal, mengakibatkan istrinya menderita amnesia (hilang ingatan). Bahkan dia juga tidak ingat bahwa dirinya adalah suami Leo. Berbulan-bulan, Leo "membimbing" Paige untuk menemukan dirinya kembali. Tentu saja yang dibutuhkan Leo adalah kesabaran, kesabaran dan kesabaran. Pepatah Latin yang berbunyi, "patientia vincit omnia"  (kesabaran mengalahkan segalanya),  tepat jika disandangkan kepada Leo. Akhir dari kisah nyata tersebut, Leo bisa mengajak kembali istrinya di rumahnya dan memiliki dua orang anak.

          Sikap-sikap hidup manusia yang  tidak sabar rupanya sering kita jumpai dalam hidup sehari-hari.  Ketika sedang mengendarai mobil kemudian dilambung oleh yang lain,  kadang terdengar makian karena tersinggung. Gara-gara uang Rp. 10.000,00 orang bisa baku bunuh. Orang salah bicara sedikit, terjadi salah paham dan menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Orang Jawa memiliki ungkapan  "dowo ususe"  yang artinya panjang ususnya, panjang sabar.  Orang yang kurang sabar atau mudah marah itu diistilahkan sebagai orang yang pendhek ususe atau pendhek sumbune.  Seseorang yang memiliki sumbu pendek, tentu saja mudah tersulut  oleh api. Orang bisa mengamuk jika harapannya tidak dipenuhi dengan merusak fasilitas-fasilitas publik. Rupanya orang Inggris terkesan dengan istilah amuk ini, sehingga kata amuk itu dimasukkan dalam perbendaharaan kata ( vocabularium) . Bangsa Indonesia menyumbangkan kata amok itu ke dalam kancah internasional.

          Bahkan budaya antri atau mengurus adminstrasi di kantor-kantor, juga tidak ada kesabaran. Mereka ingin segera mendapatkan KTP atau SIM misalnya,  dengan cara "menembak".  Menurut Koentjaraningrat (1923 – 1999),  mental menerabas adalah nafsu untuk mencapai tujuan secepat-cepatnya tanpa banyak berusaha secara bertahap dari awal hingga akhir. "Sikap mental ini diikuti pula oleh sifat-sifat buruk lainnya, seperti tidak berdisiplin, suka mengabaikan tugas yang diberikan dan meremehkan kualitas serta tidak peduli pada aturan-aturan yang berlaku," tuturnya.

          Aesop (± 620 – 564 seb. M), pendongeng fable dari Yunani Kuno, ratusan tahun lalu  menulis dongeng yang berjudul, The goose and the golden eggs. Kisah ini  merupakan permenungan bagi manusia yang tidak sabar menunggu angsa yang bertelur emas setiap hari. Karena tidak sabar  menunggu, disembelihlah angsa tersebut. Pemilik angsa itu berpikir bahwa di dalam tubuh angsa itu terdapat banyak telur. Tetapi yang ditemui adalah ketiadakaan telur emas-telur emas tersebut. Orang ini telah membunuh modal utama, karena tidak sabar menunggu "bunga" yang didapat setiap bulannya.

          Kesabaran Tuhan  dapat kita lihat pada perumpamaan lalang di antara gandum. Pada waktu itu, kebun gandum dipenuhi dengan lalang. Tuan tanah berkata, "Biarkanlah keduanya tumbuh bersama-sama sampai waktu menuai" (Mat. 13: 30).  Tuhan begitu sabar terhadap umat-Nya. Dan akhirnya, kita bisa  belajar bersabar dari Rasullulah.  Alkisah, ketika Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, Ali berjalan bersama-sama, ada seorang pria yang kemudian menghina Ali dengan kata-kata kasar. Ali yang bernama asli Haydar bin Abu Thalib itu tidak tahan kemudian membalas perlakuannya.  Namun sang Nabi meninggalkan dia.

          Kemudian, ketika Ali berjumpa sang Nabi, ia menggerutu, "Mengapa Rasullulah pergi dan meninggalkan saya sendirian menghadapi penghinaan tadi?" Nabi Muhammad pun menjawab, "Sahabatku, ketika orang berwatak kasar itu menghina engkau dan engkau diam, ada sepuluh malaikat melindungi engkau dan berpihak padamu. Tetapi ketika engkau mulai berbalik dan menghina, malaikat-malaikat itu meninggalkan engkau dan begitu juga Saya memutuskan untuk meninggalkan engkau" (10 September 2012).

Markus Marlon
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Jumat, 07 September 2012

Ngalami Kasaenan Delem Gusti

NGALAMI KASAENAN DALEM GUSTI"
(Wohing Karohanen Taroanggro: Desa Reco-Kertek-Wonosobo)
 
           Akeh wong sing isih duwe panemu menawa uripe manungsa iku wus tinakdir dening Gusti. Begja utawa cilakaning manungsa iku pokoke gumantung babar-pisan saka sing Mahakuasa. Mula sandyan wong iku wis mbudidaya sakatoge, nanging yen durung dadi kersane Sing Mahakuwasa mau,  iya tetep ora bisa malih uripe. Panemu iku sing banjur marakake wong dadi nglokro lan pupus semangate, awit kaya-kaya manungsa iku ora bisa nemtokake nasibe dhewe lan kaya-kaya sing diarani kena takdir iku yen uripe manungsa saiki sangsara.

          Gagasan kaya mangkono mau ora bener. Awit Gusti Allah malah ngersakake supaya wong-wong iku padha slamet lan padha nampa karahayon.

          Ana ing urip padinan, mbok menawa kita ngadhepi rubeta kang akeh. Kita sesambat marang Gusti, "Duh Gusti, gesang kula punika awrat sanget!!" mBok  menawa kanthi mangokono, urip kita malah sangsaya kuat. Awit kerep wae Gusti Allah iku paring pitulungan marang kahanan kaya sing kita adhepi ing dina-dina iki.

          Ayo padha nyenyuwun marang Gusti, supaya kita mantep lan madhep ngayahi pakaryan ing donya kene (07 September 2012).
  
Markus Marlon MSC
 "Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng   KM. 9
 PINELENG  –  MANADO
 95361
         
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Selasa, 04 September 2012

3x Setengah Menit

Para ahli sering berpesan:'Setiap orang harus memperhatikan 3 x Setengah-menit'.
Kenapa demikian? '3 x Setengah-menit' adalah sesuatu yang cuma2,tetapi akan banyak mengurangi angka kematian secara tiba2 !. Sering kali terjadi seseorang siangnya masih sehat walafiat, tetapi malamnya meninggal. Tidak jarang kita mendengar cerita orang ; kemarin saya masih ngobrol dengan dia, kenapa tiba2 dia meninggal?
Penyebabnya adalah ketika bangun malam untuk ke kamar mandi sering dilakukan secara terlalu cepat.
Begitu berdiri, otak kekurangan darah.
Mengapa perlu '3 x Setengah-menit'?
Karena pola ECG (Electro Cardiogram) seseorang normal pada siang hari, tetapi bangun tengah malam untuk melaksanakan hajat tiba2 gambar ECG itu dapat berubah?
Karena dengan tiba2 bangun, otak akan menjadi anaemic dan mengalami gagal jantung karena kekurangan darah.
Dianjurkan oleh para ahli untuk menjalankah '3 x Setengah-menit', yakni :

1. Bila terbangun jangan langsung turun dari tempat tidur, tetapi berbaringlah selama setengah menit...

2. Duduk ditempat tidur selama setengah menit... 

3. Turunkan kaki, duduk ditepi ranjang selama setengah menit...

Selewat 3 x Setengah-menit yang dilakukan tanpa harus membayar sesen pun, otak tidak akan anaemic dan jantung tidak akan mengalami kegagalan.
Mengurangi kemungkinan jatuh dan meninggal ketika bangun tengah malam seperti yang sering kita dengar...

Pernah setelah membaca tulisan ini, seorang usia lanjut menangis menyesali kenapa tidak mengetahui hal ini jauh2 hari.
Dua tahun lalu dia bangun tengah malam untuk buang air kecil, di kamar mandi tiba2 terasa dunia berputar dan jatuh. Akibatnya dia sekarang mengalami kelumpuhan dan tidak bisa meninggalkan tempat tidur, punggungnya mengalami luka2 dikubitus...
Kalau saja mengetahui hal ini, maka dia tidak harus menderita selama ini...  
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 03 September 2012

EGOIS
(Sebuah Percikan Permenungan)

          Ketika rombongan kami  menelurusi sungai di Kalimantan  Tengah dengan kapal Borneo River Cruise, ( Pertengahan Juni 2012), ada salah seorang penumpang yang tidak suka melihat pemandangan alam di sekitar sungai tersebut. Sambil melihat ke bawah,  lama ia mematut  diri tanpa mengindahkan teman-teman di sampingnya. Ternyata ia sibuk dengan dirinya sendiri bercermin di permukaan air.

          Menyaksikan tingkah laku gadis pesolek itu, saya teringat akan dongeng "anjing yang serakah" tulisan Aesop (620 – 560 seb.M), pendongeng fabel asal Yunani dan kisah  Narsisius, dari mitologi Yunani yakni  seorang yang tergila-gila dengan bayangannya sendiri yang terpantul pada permukaan sungai. Dari sana muncul ungkapan dari  anak-anak ABG (Anak Baru Gede), "narsis banget sich kamu!" Mereka itu egoist.  Egoist dalam  Kamus Inggris – Indonesia (John Echols dan Hassan Shadily) diartikan sebagai orang yang hanya mengejar kepentingan diri sendiri.  Dalam film yang berjudul "My Ellen"  –  sebuah film yang diadaptasi dari Buku,  "Little House " Seri Laura – hendak mengisahkan seorang ibu yang kehilangan anaknya yang tenggelam di danau dan tewas.  Ibu dari anak itu tidak bisa menerima bahwa anaknya sudah tiada, maka ia "mengurung" Laura di kamar bawah tanah. Laura didandani dan dibuat seolah-olah Ellen. Ibu dari Ellen itu hanya mengejar kepentingan dan demi memuaskan dirinya sendiri hingga mengorbankan kebebasan Laura.

 Kisah Mahabharata yang ditulis oleh Nyoman S. Pendit melukiskan  bahwa  ketika Pandawa hendak berperang melawan Kurawa, doa mereka adalah semoga diri mereka selamat. Dan benar, yang selamat adalah hanyalah putra Pandu (Pandawa), sedangkan anak-anak mereka tidak ada yang selamat.  Kelima putra Pandu itu memang ingin jaya, namun tidak ingat untuk "menjayakan" anak-anak mereka. Untunglah ada Parikesit (cucu Arjuna) yang menduduki tahta Kerajaan Hastina, sehingga dinasti Pandawa bisa berkelanjutan. Banyak dalam dunia politik, orang mementingkan golongannya atau partainya sendiri. Mereka menjadi kelompok yang sangat fanatik. Bahkan ada ungkapan yang diciptakan oleh Carl Schurz (1829 – 1906) yang berbunyi, "our country, right or wrong. When right tobe kept right, when wrong to be put right"  yang berati: salah dan benar adalah negaraku (maka harus aku bela mati-matian). Ungkapan ini secara tidak langsung  juga diterapkan pada partai atau kelompok.  Partainya di dalam tubuhnya mengalami carut-marut. Namun oleh semua anggota dibela mati-matian, sehingga kepentingan yang lebih luas, negara diabaikan. Itulah sikap egoist dalam sebuah kelompok.

          Setiap orang ingin diperlukan sebagai orang penting. Maka tidak heranlah jika ada istilah VVIP (Very Very Important Person).  Orang amat bangga jika dirinya dianggap penting dan merasa bahwa dirinya banyak memberikan kontribusi bagi orang lain. Albino Luciani yang adalah Paus Yohanes I ( 1912 – 1978) menulis buku yang berjudul Kepada Yang Terhormat, surat-surat kepada tokoh-tokoh masyur.  Ia mengutip puisi gubahan Trilussa (1871 – 1950) penyair Roma yang sebenarnya namanya Carlo Alberto Salustri:

          Siput si pesolek kecil
          Merayap di atas obelisk.
          Melihat lendirnya sendiri,
          Akh, katanya, "Saya mengerti. Dalam sejarah telah kutinggalkan bekas!"
 
          Inilah tanda bahwa kebanyakan orang ingin dirinya dikenang dalam sejarah. Ia berharap meninggalkan track-record yang dikenang sepanjang zaman.  Para kaisar Romawi, menginginkan dirinya diangkat atau mengangkat dirinya sebagai Dewa. Hal itu dibuat supaya, namanya dikenal oleh anak cucunya bahkan seluruh dunia. Suetonius, nama lengkapnya Gaius Suetonius Tranquillus  (telahir ± 70 M) dalam Dua Belas Kaisar  mencatat tentang kejayaan dan kekejaman dua belas kaisar Romawi. Ada beberapa kaisar yang dinamakan atau menamakan dirinya sebagai divus  yang berarti orang yang diperdewa. Mereka itu adalah   Divus Julius (100 – 44 seb. M), Divus Augustus (63 seb. M – 14 M), Divus Claudius (10 seb. M – 54 M), Divus Vespasian (9 – 79 M)  dan Divus Titus (39 – 81 M).  Karena sebagai dewa, maka diri mereka berhak menerima sembah sujud,  kata-katanya sebagai hukum dan boleh bertindak sewenang-wenang. Kekuasaannya untuk kepentingan diri sendiri dan keturunannya.

          Orang-orang yang  mementingkan  dirinya sendiri ada di mana-mana. Entah itu di rumah sendiri atau  di kantor  atau dalam masyarakat, sering kita jumpai. Baiklah kita merenungkan hadis Nabi yang berbunyi, "sebaik-baiknya manusia  adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain" (Imam Bukhari)  atau sabda Yesus, "Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk. 10: 45). Hidup kita di dunia ini bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk kebahagiaan dan kesejahteraan orang lain (03 September 2012).

Markus Marlon MSC
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361

Web : http://pds-artikel.blogspot.com

Sabtu, 01 September 2012

Kekuatan Rohani Kang Ngedap-edapi

 
"KEKUATAN ROHANI KANG NGEDAP-EDAPI"
 
Ana wong saka stasi, nalika isih urip ana ing desa aktif banget ana ing kegiatan gerejani. Nanging bareng wis pindhah menyang kutha lan sawise oleh gawean, malah banjur ora njedhul ana gereja maneh (istilahe Romo Kanjeng:  "ilang  –  ngilang lan gawe sumelang" milis Serayu-net, 27 Juli 2012).  Mulane kancane banjur mikir-mikir, "Lho apa sebabe kok sawise kecukupan malah dari ora gelem aktif mangeh ana ing gereja?" Mangka sejatine uga duwe wektu.

Kancane banjur marani lan takon, apa sing njalari ora tau menyang gereja maneh. Wong mau mangsuli, menawa lagi nesu lan orang duwe semangat. Nalika didhedhes dening kancane, wong mau lagi blaka menawa sejatine lagi ana prakara sing njalari lesu lan ora semangat mau, yaitu marga lagi kecenthok, banjur kagol (Rm. Budyapranata Pr, Kumandhanging Sabda Dalem).

Kekuatan rohani utawa kekuatan batin iku senadyan ora katon, nanging nduweni kekuatan sing ngedap-edapi. Upamane yen ana wong lagi emosi lan banjur ngamuk, wong mau bisa ngrusak apa-apa.

Karohanen iku kudu kita olah, supaya ana ing kahanan apa wae tetap bisa urip ing jalur kang bener. Buku kang judule, Emotional-Spiritual Quotien tulisane Ary Ginanjar  Agustian (ing sasi  Ramadhan iki  ngisi acara "Ensiklopedi Islam – Leaders with Character") njlentrehake menawa ing urip kita kudu cerdas sacara spiritual.  Ana ing buku mau ditulis, menawa urip iku ana tujuane yaitu: "Sangkan Paraning Dumadi" (asal-usul titah kabeh iki dititahake saka Gusti Allah lan bali marang Gusti Allah). 

Kanthi sembahyang, semedi, nenepi, tetirah,  wiweka, ziarah lan ngalap berkah Dalem, urip karohanen kita bakal ngremboko. Akeh sarana  ana ing Keuskupan Purwokerto yaitu:  Gua Maria Kaliori, Hening Griyo lan saiki ana Taman Rohani Anggrung gondhok. Sumonggo!!!(27 Juli 2012)

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng   KM. 9
 PINELENG  –  MANADO
 95361
 
Web : http://pds-artikel.blogspot.com

MA'AF

MA'AF
(Sebuah Percikan Permenungan)

Di kampung halamanku, Gunung Kidul (Yogyakarta), ada ritual yang tidak
pernah tergantikan dari generasi ke generasi yakni mudik. Setiap tahun,
menjelang Idul Fitri, ratusan bus dari Jakarta ber-mudik. Kepulangan mereka
tidak tanpa perjuangan. Mereka harus membeli tiket (bus, KA dan pesawat)
dengan harga yang melambung tinggi dan sesampainya di air-port, stasiun dan
stamplat para pemudik harus berdesak-desakan mencari tempat duduk. Banyak
dari mereka menggunakan kendaraan bermotor untuk mudik. Tetapi semuanya itu
dipandang sebagai ibadah yang akhirnya bisa berjumpa dengan kerabat di
kampung halaman.

Meminta dan memberi maaf itu bukan perkara yang gampang. Mohandas
Karamchand Gandhi atau yang dikenal sebagai Mahatma Gandhi (1869 – 1948)
berkata, "Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf
tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh."
Ritual tahunan untuk kembali ke kampung halaman merupakan niat yang tulus
untuk menuju sebagai manusia yang fitrah.
Minta maaf saja tidak cukup, tetapi harus dilakukan dalam tindakan nyata.
Kata maaf (dari bahasa Arab, ma' fuw) itu memiliki arti: dibebaskan dari
dosa. Rabindranath Tagore (1861-1941), penulis dari Calcutta dalam buku
yang berjudul, "Kisah-Kisah Tagore" membeberkan seorang pembantu, yang
bernama Raicharan yang menghilang anak kesayangan majikannya, ketika
mengasuhnya di sekitar sungai Padma. Ia sangat menyesal dan kembali ke
rumah. Di rumahnya sendiri ia tinggal bersama istrinya dan lahirlah seorang
bayi untuknya. Dengan kesungguhan hati, Raicharan menjadikan anaknya
sendiri dididik, dibentuk seperti anak majikannya. Setelah menjelang remaja,
anak itu pun diberikan kepada majikannya. Dalam dirinya ada usaha untuk
"mengembalikan" yang sudah retak dan kembali menjadi silaturahim. Inilah
cerpen yang berjudul, "Kembalinya seorang anak".

Dalam memberi maaf pun kita harus tulus dan akhirnya tidak ada dendam lagi.
Saya jadi ingat wasiat Rosulullaoh Muhammad S.A.W. kepada Sayyidina Ali
bin Abi Thalib Karramallahu Wajhah. Dalam suatu peperangan Ali bin Abi
Thalib Karomallahu Wajhah berhasil menjatuhkan musuhnya. Dengan sigap beliau
langsung menindih dengan tubuhnya siap dengan pedang terhunus untuk
memenggal. Dalam kondisi terjepit musuh Allah tersebut meludahi wajah Ali
Karomallahu Wajhah. Seketika itu juga pedang yang sudah siap dihunus
diturunkan untuk membatalkan niatnya menghabisi musuh Allah tersebut.
Ketika ditanya, " Mengapa engkau tidak melanjutkan niatmu untuk memenggal
kepalaku?" Ali bin Abi Thalib menjawab,"Ketika aku menjatuhkanmu aku ingin
membunuhmu karena Allah akan tetapi ketika engkau meludahiku maka niatku
membunuhku karena amarahku kepadamu"

Orang-orang Jawa memiliki banyak tradisi tentang saling memaafkan (Di pulau
Jawa itu pula muncullah Walisongo yang berarti sembilan orang wali).
Ketika lebaran, mereka berjumpa saling berkata, "njaluk pangapura" artinya
meminta maaf atau pengampunan. Setelah ditelusuri ternyata kata itu berasal
dari "ghafura" (bahasa Arab) yang berarti tempat pengampunan. Kemudian kita
kenal juga tradisi makan ketupat. Konon, menurut orang tua tua ketupat
berasal dari kata pat atau lepat (bahasa Jawa) yang berarti kesalahan.
Orang yang makan ketupat akan kembali diingatkan bahwa mereka sudah terlepas
dan terbebas dari kesalahan. Kita diharapkan akan saling mema'afkan dan
saling melebur dosa dengan simbol tradisi kupatan. Untuk itu, pada bulan
Ramadhan yang penuh berkah ini, kami sampaikan, "Minaladin walfaizin,
semoga Anda termasuk golongan orang yang kembali kepada fitrah dan
memperoleh kemenangan" (13 Agustus 2012).

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361

Minggu, 26 Agustus 2012

LURUS
(Sebuah Percikan Permenungan)
 
          Tahun 70-an, orang-orang yang ingin ke Wonosari (Gunungkidul), harus melewati jalan-jalan berkelok-kelok dan berbahaya. Karena banyaknya tikungan, maka orang-orang muda yang sedang kasmaran menamai jalan yang berliku-liku itu  sebagai "tikungan mesra".  Ada juga jalan yang bernama Irung Petruk  (bhs. Jawa artinya: hidungnya Petruk – tokoh pewayangan.  Karena jalan itu berbentuk hidung yang mancung sekali atau seperti hidungnya Pinokio kalau sedang berbohong).

          Kini jalan-jalan yang berkelok-kelok itu tinggal kenangan, karena sudah diluruskan. Anggaran biaya untuk meluruskan jalan itu tidak sedikit. Bukit-bukit kecil yang harus diratakan, sungai-sungai yang harus dibuat jembatan dan rumah penduduk yang harus dikorbankan. Tetapi setelah tikungan dan kelokan itu diluruskan, kasus  kecelakaan pun menurun drastis.  Menjadikan jalan lurus itu memerlukan biaya yang tinggi. Demikian pula, menjadikan seseorang bermental lurus hati dibutuhkan ketekunan dan keteladanan dari para pendidik.

          Kita memiliki dwitunggal: Soekarno yang kharismatik dan visioner dengan Mohammad Hatta yang cerdas, jujur dan sederhana. Para founding fathers adalah pribadi-pribadi yang lurus hatinya. Mereka tidak pernah mementingkan dirinya sendiri. Pada tahun 1967, Bung Karno  (1901 – 1970), pernah sakit gigi dan pengobatan itu tidak dipungut bayaran oleh drg. Oei Hong Kian karena Bung Karno memang tak punya penghasilan lagi (Kompas, 25 Juli 2012: Soekarno Sudah Pahlawan Nasional), ketika sakit tidak memiliki uang untuk berobat. Bung Hatta (1902 – 1980)  – yang memberikan mas kawin buku tulisannya sendiri kepada istrinya Rahmi Hatta dengan judul  Alam Pikiran Yunani –   memiliki hati yang lurus yang dikenang oleh masyarakat. Pada tahun 1950, bung Hatta  memiliki keinginan untuk bersepatu merek bally. Ia menyimpan gambar iklan sepatu bally itu dalam selipan bukunya dan hingga akhir hidupnya, kerinduan untuk bersepatu mahal itu tidak kesampaian.  Dalam sejarah Islam kita kenal Harun Al-Rasyid (786 – 809). Ia adalah figur khalifah saleh ahli ibadat, senang ber-shadaqah, sangat mencintai ilmu sekaligus mencintai para ulama, senang dikritik serta sangat merindukan  nasihat.  Ciri khas orang yang lurus hati adalah mereka dapat dipercaya dan amanah, al-amin.

          Tahun 1900, Lyman Frank Baum menulis novel  dengan judul The Wonderful Wizard of Oz. Novel ini mengisahkan Dorothy yang baik, tulus, jujur dan lurus hati.  Penyihir jahat dari Barat bertindak semena-mena terhadap umat manusia. Ia tidak takut kepada siapa-siapa, kecuali kepada orang yang lurus hati. Pada akhir cerita, penyihir jahat itu mati disiram seember air oleh Dorothy.  Orang-orang yang memiliki hati yang lurus ditakuti oleh mereka yang bermental egois (koruptor, dan penyalahguna kekuasaan). 

          Harapan masyarakat dewasa ini adalah munculnya seorang pemimpin yang berintegritas. Dari sana muncul kata   integral yang  berarti  bulat.  Orang yang memiliki tekad yang bulat (kebulatan tekad) atau niatnya sudah bulat, hendak menunjukkan kesungguhan dan keutuhan serta tidak setengah-setengah.  Ketiga tokoh dalam  The Wonderful Wizard of Oz  tersebut  yakni: hantu sawah (scarecrow), manusia kaleng (tin man)  dan singa (lion)  dan Toto, si anjing yang  sangat setia mendampingi  Dhorothy  melawan kebatilan. Mereka bertiga merindukan hati yang tulus, otak yang cemerlang dan keberanian dan last but not least Toto, anjingnya:  kesetiaan.  

          Zaman modern yang serba instant ini,  masyarakat sudah jenuh dengan para pemimpin yang serba protokoler yang kaku dan birokrasi yang rumit. Para pelayan masyarakat  sudah waktunya untuk menjadi fasilitator bagi mereka yang membutuhkan. Ungkapan  yang berbunyi, "kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?"  sudah harus diperbaharui menjadi, "kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit."  Di sinilah dibutuhkan orang-orang yang memiliki  hati yang lurus, yang  kebal  dengan iming-iming dunia yang menggiurkan (27 Agustus 2012).

Markus Marlon MSC
Biara Hati Kudus
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361

Web : http://pds-artikel.blogspot.com

"KULA SAMPUN KAPOK SAESTU"
(Wohing Karohanen Taroanggro: Desa Reco-Kertek-Wonosobo)

Ana salah sawijining brayat sing lagi nandhang susah. Bapak ing kulawarga kono wis suwé ginanjar lara. Saomah wis padha mbudidaya golèk obat lan nambakaké sing lara mau, nanging ora kasil. Banjur saomah padha sembahyang bebarengan. nDilalah ana suster ing desa kono sing ahli ramuan obat tradisional. Bapak mau diaturi ngunjuk godhogan godhong imbau. Lan pancen banjur ana kacèké lan let sawetara dina mari larane. Kaya ngapa bungahe brayat mau. Bapak mau banjur mblakakake kaanane, menawa anggone lara mau sejatine kakèhan anggone mikiraké kaanan ekonomining brayat, sing rusak marga salahe dhewe, yaiku kanggo main lan adu jago. Lan wiwit nalika iku bapak mau banjur sadhar lang ngowahi uripé. Bapak mau banjur sowan rama lan matur, "Rama, samenika celengan kula wonten griya sampun kahtah. Awit arta ingkang adat-sabenipun kula telasaken kangge main lan adu jago samenika kula celengaken kangge kulawarga. Kula sampun kapok saestu!" (Al. Budyapranata, Kumandhanging Sabda Dalem).

Kita pracaya menawa Gusti maringi dalan kanggo urip kita iku sansaya dina sansaya apik. Wong-wong kang uripe suci mau sejatine ana pamartobat. Ignatius Loyola (1491 – 1556) nandhang lara amarga kena peluru rikala ana ing Benteng Pamplona. Kanggo ngisi wektu kang kosong, piyambaké, maos buku Gesanging Kristus lan Para Suci. Kanthi mangkono, Ignatius dadi "wong anyar" lan dadi pendherek Kristus kang mumpuni banget. Umar bin Khattab (581 – 644) kang dadi pandherek Rasullulah kang mantep, rikala Al-Qur'an diwacakaké.

Berkah Dalem! (24 Agustus 2012).

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361


Web : http://pds-artikel.blogspot.com

Kamis, 23 Agustus 2012

"KULA SAMPUN KAPOK SAESTU"
(Wohing Karohanen Taroanggro: Desa Reco-Kertek-Wonosobo)
 
          Ana  salah sawijining brayat sing lagi nandhang susah. Bapak ing kulawarga kono wis suwé ginanjar lara. Saomah wis padha mbudidaya golèk obat lan nambakaké  sing lara mau, nanging ora kasil. Banjur saomah padha sembahyang  bebarengan. nDilalah ana suster ing desa kono sing ahli ramuan obat tradisional. Bapak mau diaturi ngunjuk godhogan godhong imbau. Lan pancen banjur ana kacèké lan  let sawetara dina mari larane. Kaya ngapa bungahe brayat mau. Bapak mau banjur mblakakake kaanane, menawa anggone lara mau sejatine kakèhan anggone mikiraké kaanan ekonomining brayat, sing rusak marga salahe dhewe, yaiku kanggo main lan adu jago. Lan wiwit nalika iku bapak mau banjur sadhar lang ngowahi uripé. Bapak mau banjur sowan rama lan matur, "Rama, samenika celengan kula wonten griya  sampun kahtah. Awit arta ingkang adat-sabenipun kula telasaken kangge main lan adu jago samenika kula celengaken kangge kulawarga. Kula sampun kapok saestu!"  (Al. Budyapranata, Kumandhanging Sabda Dalem).
 
          Kita pracaya menawa Gusti maringi dalan kanggo urip kita iku sansaya dina sansaya apik. Wong-wong kang uripe suci mau sejatine ana pamartobat. Ignatius Loyola (1491 – 1556) nandhang  lara amarga kena peluru rikala ana ing Benteng Pamplona. Kanggo ngisi wektu kang kosong, piyambaké, maos buku Gesanging Kristus lan Para Suci. Kanthi mangkono, Ignatius dadi  "wong anyar"  lan dadi pendherek Kristus kang mumpuni banget.  Umar bin Khattab (581 – 644)  kang dadi pandherek Rasullulah kang mantep,  rikala Al-Qur'an diwacakaké.
Berkah Dalem! (24 Agustus 2012).
                     
 
Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng   KM. 9
 PINELENG  –  MANADO
 95361
         
Web : http://pds-artikel.blogspot.com

Senin, 20 Agustus 2012

JERNIH

(sebuah Percikan Permenungan)

          Dalam sebuah ujian mata kuliah  "Self-Management",  seorang dosen memberikan sebuah pertanyaan untuk para mahasiswanya, "Waktu dalam 30 menit pertama, tulislah yang kalian ketahui tentang hal-hal positif dalam hidup dan 30 menit kedua, gunakanlah waktumu untuk melukiskan hal-hal negatif dalam hidupmu."

          Semua mahasiswa asyik menulis  apa yang diketahui. Namun, ada seorang mahasiswa yang terlalu asyik dengan hal-hal positif dalam hidup sehingga belum sempat menuliskan pertanyaan berikut.  Sebelum menyerahkan kertas ujiannya, dia cepat-cepat menulis kata-kata berikut, "Maaf pak dosen, saya tidak mempunyai waktu untuk menuliskan hal-hal negatif dalam hidupku."

          Orang-orang yang memiliki visi itu pandangannya jernih. Richard Carlson dalam  Don't  Sweat The Small Stuff and It's All Small Stuff,  menulis  bahwa banyak hal-hal kecil dan tidak penting menghalangi kegiatan kita. Kalau kita hanya terpancang pada hal-hal yang negatif dalam hidup kita, maka apa yang kita hadapi semuanya muram dan gelap.

          Jika bukan karena Christopher Columbus (1451–1506),  yang berani mengarungi lautan luas, maka benua Amerika ditemukan. Jika bukan karena Thomas Alva Edison (1847 – 1931), maka dunia ini masih dalam kegelapan.  Jika bukan karena keberanian Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904)  yang menentang adat pingitan, mungkin wanita Indonesia masih terkungkung tradisi lama. Orang  yang kontributif tidak ada waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Dag Hjalmar Agne Carl Hammarskjöld (1905 – 1961), Sekretaris Jendral PBB dari 10 April 1953 sampai  18 September 1961, pernah berkata, "Kebaikan merupakan hal demikian sederhana, yaitu selalu hiduplah demi orang lain, jangan pernah mencari keuntungan diri sendiri."

          Para pribadi yang memiliki visi,  mengorbankan waktu, tenaga, pikiran dan talenta untuk kesejahteraan umat manusia  (bonum commune). Bahkan mereka tidak ragu-ragu mengorbankan hidupnya bagi negara (pro patria). Mereka adalah para pahlawan, kusuma bangsa.  Menurut  John Kennedy (1917 – 1963) mereka adalah orang-orang yang berkata,  "Jangan tanyakan apa yang negara ini berikan kepadamu tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negaramu."  

          Orang yang memiliki positif  thinking, tentulah memiliki hati yang jernih. Mereka tidak akan membiarkan "informasi sampah" itu  masuk dalam  pikirannya. Arvan Pradiansyah dalam  Life is Beautiful: Sebuah Jendela untuk Melihat Dunia,  menjelaskan bahwa apa yang kita hadapi dalam hidup ini tergantung bagaimana cara kita memandangnya (paradigm: kerangka berpikir).  Seringkali kita memandang tingkah laku orang seperti yang kita lihat. Ketika menyaksikan orang bertingkah laku di luar rumah dan kita melihatnya melalui jendela, reaksi kita adalah orang itu bersikap tidak baik.  Tetapi setelah kita berrefleksi, ternyata kaca jendela rumah kita tidak jernih dan buram, sehingga  melihat orang lain pun demikian buram. Tugas kita adalah membersihkan kaca jendela tersebut supaya menjadi bersih, sehingga cara pandang kita pun menjadi jernih.

                Kejernihan hati, terlihat dalam diri orang yang jujur. Kidh Hidayat dalam 30 Dongeng sebelum Tidur untuk Anak Muslim,  mengisahkan seorang gadis pemerah susu. Karena kejujurannya, ia diambil menantu oleh Khalifah Umar bin Katthab (581 –  644) dan pada gilirannya, sang menantu itu  melahirkan Umar bin Abdul Azis (682 – 720), khalifah kelima yang sangat terkenal dan bijaksana.  Kejernihan hati, tidak sekali jadi (instant), melainkan melakukan sebuah proses yang panjang.  Orang-orang menjadi besar karena mereka setia kepada perkara-perkara kecil (Bdk.  Luk. 16: 10). Para penemu, negarawan, pahlawan dan orang bijak  adalah mereka yang tekun mengasah budi dan hati supaya selalu menjadi jernih serta menyingkirkan pikiran-pikiran yang negatif  yang  tidak penting (20 Agustus 2012).  

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361
Terima kasih & Salam

Jumat, 17 Agustus 2012

HADIAH TERINDAH dan GURU TERBAIK BAGI KEHIDUPAN


"Sebelum tidur, saya sering mengatakan kepada Alden, anak saya, bahwa dia adalah hadiah terindah yang pernah Tuhan berikan dan sekaligus guru kehidupan terbaik bagi saya…"

Semua orangtua pasti setuju bahwa perjalanan yang kita lalui bersama anak tidak selalu indah dan menyenangkan. Anak-anak tidak selamanya bersikap manis dan lucu. Ada kalanya mereka tampil sebagai pengganggu yang sangat menjengkelkan dan tidak jarang kemarahan kita pun terpancing oleh perilaku mereka. Saya akui bahwa terkadang saya pun melakukan kekeliruan yang seharusnya tidak saya lakukan dan mengeluarkan kata-kata yang pada akhirnya saya sesali.

Saat ini anak saya berusia 3,5 tahun. Masih kecil memang, namun sejak kehadirannya di dunia ini Alden memproses hidup saya dan menjadikan saya manusia yang lebih baik. Anak saya adalah guru terbaik yang mengajarkan kesabaran dan pengendalian diri. Ketika melihat dia dengan sengaja memecahkan telur dan mengotori lantai saat saya masih lelah sepulang kerja, saya sedang diajar untuk sabar dan mengendalikan amarah.

Tidak ada kekuatiran dan penyerahan total yang lebih besar pada Tuhan ketika saya harus berangkat untuk sebuah operasi besar dan meninggalkannya di Jakarta selama dua minggu pada tahun 2009. Sering saya menangis ketika menatap wajah lugunya yang sedang tidur lelap dan bertanya pada Tuhan, "Mengapa saya harus mengalami ini? Kau baru saja mengaruniakan seorang anak dalam kehidupan kami dan saat ini ia masih sangat kecil." Hadirnya sakit penyakit yang menakutkan di saat baru merasakan bahagianya atas kehadiran seorang anak, mengajarkan saya makna kehidupan, penerimaan dan penyerahan total kepada Tuhan.

Ingatkah kita akan lagu ini? "Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa, hanya memberi tak harap kembali…" Apakah ada kasih yang hanya memberi tak harap kembali? Begitulah saya sering bertanya-tanya dan ternyata sungguh ada. Saya mulai memahami makna kasih tak bersyarat ketika saya sudah memiliki anak. Kasih yang hanya memberi dan tak harap kembali, kasih yang saya berikan pada anak saya.
Sekarang saya pun dapat mengerti dengan pasti apa yang dimaksud sebagai "kasih Allah yang tiada batasnya kepada kita." Allah mengasihi kita seperti seorang bapa yang sayang pada anak-anaknya dan menerima mereka apa adanya. Yesus menggambarkannya dalam kisah perumpamaan tentang anak yang hilang, Lukas 15: 20-24: "Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa kepada sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa kemari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelilah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali."

Pengorbanan Allah yang sehabis-habisnya dalam Sakramen Ekaristi adalah peristiwa lain yang sungguh sulit dicerna oleh akal logika. Allah telah memberikan diri-Nya dalam bentuk kemesraan yang paling dalam, yang tidak bisa dipikirkan dengan cara lain, yaitu secara fisik, emosional dan spiritual dalam komuni. Sekali lagi, Tuhan membantu dan memakai anak saya sebagai perantara untuk memahaminya. Tidak ada guru kebijaksanaan yang seefektif anak dalam mengajarkan makna pengorbanan, yaitu semua yang saya lakukan dan berikan bahkan mengesampingkan ego dan kesenangan diri sendiri.
Markus 10:15 ini hendak mengingatkan bahwa kita bisa dan perlu belajar dari anak-anak. "Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya." Saya sangat bersyukur Tuhan menghadirkan Alden dalam kehidupan saya. Dia bukanlah beban, melainkan pribadi yang membantu saya menjadi seseorang yang lebih baik. Saat saya mengajarkan dan membentuk karakter baik dalam dirinya, tanpa saya sadari sebenarnya saya pun sedang membentuk diri saya sendiri dengan berusaha menjalankan apa yang saya katakan dan ajarkan padanya.

"Terima kasih Tuhan atas hadiah terindah dan guru kehidupan terbaik bagi hidup saya…"

Inspirasi: My twinkle little star Alden
******

Oleh:
Hanlie Muliani, M. Psi
Warga Lingkungan St. Benediktus

Terima kasih & Salam

"URIP IKU AJI BANGET"
(Wohing Karohanen Taroanggro: Desa Reco-Kertek-Wonosobo)
 
Coba ayo padha digagas, "Saupama manungsa kuwi ora bisa mati lan diparengake urip terus, kira-kira banjur kepriye?" Dak kira jagad iki bakal ana lelakon sing nggegirisi banget, awit bakal ana banjir manungsa. Salagine, saiki wae ing pulo Jawa wis kekebaken penduduk nganti uyel-uyelan, nganti carane prau ngono wis meh kerem, mendah yen isih kudu ditambahi maneh (Al. Budyapranata, Kumandhanging Sabda Dalem).
 
Yen urip kita ora winates, mesti wae malah ora ana ajine. Tegese,  urip banjur dadi inflasi utawa meh ora ana ajine. Kaya dene banyu iku larang regane yang mung sethithik, nanging banyu iku yen turah-turah lan mbludag-mbludag malah ora ana regane.
 
Nabi Muhammad  SAW, ana ing hadis  nate ngendika, "Sakbecik-beciking manungsa yaiku wong kang migunani kanggo  pepadha" (Imam Bukhari).  Urip kita iku nduweni tujuan yaitu migunani kanggo pepadha.  Ana crita saka negara Jerman. Rikala Perang Dunia II  njebluk, akeh wong-wong kang dikunjara ana ing kamp konsentrasi. Ing kono ana tawanan kang dipeksa kerja mikul  watu saka gapura menyang lapangan. Tawanan mau mongkog atine amarga uripe migunani kanggo wong akeh. Nanging sawise watu-watu wus kakumpulake, banjur komandang celathu, "Saiki pindahno maneh watu-watu iku ing ngisoring gapura!"  Mesthi wae, tawanan mau nduweni pangrasa yen dheweke dadi wong kang ora migunani.  Mula terus nglalu utawa njarag mati.
 
Ana ing alam donya kene, kita iku dadi khalifatulah,tegese manungsa sing ngulawentah donya iki supaya manungsa urip kanthi tentrem lan ayem (bonum commune).  Kita migunakake  bakat, talenta lan tenaga kita kanggo pepadha. Kita diajak dadi wong kang loma (murah ati) lan enthengan.
         
Dadi sing perlu dudu umur dawa, nanging kepriye anggon kita migunakake urip iku  sakapik-apike (17 Agustus 2012).
 
Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng   KM. 9
 PINELENG  –  MANADO
 95361
Terima kasih & Salam

Rabu, 15 Agustus 2012

SISIRAN HIDUP RAMA PROF N DRIYARKARA SJ

SEJARAH GEREJA KAT0LIK DI PURWOREJO
SISIRAN HIDUP RAMA PROF.DR N. DRIYARKARA SJ
oleh RP.A. Sujoko MSC

Soehirman alias Djentu (dibaca jenţhu)

Orang desanya memanggilnya Hirman alias Djentu (jenţhu). Dari nama panggilan
hariannya nampak bahwa ia memang anak desa. Desa itu terletak sekitar 8 Km
sebelah timur kota kecil Purworejo, namanya Kedunggubah.

Kemarin sore, Senin 23 Juli 2012 saya diantar oleh romo Miranto ke stasi
Kedunggubah. Stasi itu hanya terdiri atas 24 KK, sekitar 50 umat saja. Jalan
masuk ke desa itu sekarang sudah beraspal cukup baik, namun sempit.
Rumah-rumah kecil dan sederhana, bahkan ada beberapa yang masih berdiding
anyaman bambu. Hal itu tidak mengherankan karena tanah di pegunungan itu
keras berbatu sehingga tanaman pangan sulit tumbuh. Yang ada hanyalah
tanaman keras, berupa kayu atau tanaman buah seperti langsat, manggis,
durian, mangga yang berbuah hanya pada musimnya. Tidak mengherankan bila
keadaan ekonomi desa itu adalah sangat sederhana.

Tetapi yang mengherankan adalah bahwa di situlah Prof. N. Driyarkara SJ
lahir tgl 13 Juni 1913 dan tumbuh sebagai anak desa sebelum ia masuk
Seminari di Yogya dan sekolah di Kolose Muntilan. Soehirman adalah nama
kecilnya dan orang di kampungnya mengenalnya sebagai Hirman. Tetapi ia juga
memiliki panggilan Djentu. Sudah lama saya tahu bahwa romo Driyarkara
berasal dari salah satu stasi Purworejo bernama Kedunggubah, namun baru sore
itu saya sempat melihat langsung desa itu.

Kami bertemu dengan Agus yang memanggil Romo Driyarkara: Simbah Cilik (opa
ade, opa pe ade). Ayahnya Agus, yaitu bapak Sumarjo, seorang Polisi namun
sudah meninggal, adalah keponakan dari romo Driyarkara. Orangtua romo
Driyarkara bernama bapak-ibu Atmasendjaja. Menurut orang desa, Wajah pak
Polisi Sumarjo itu sangat mirip dengan romo Driyarkara. Agus mengakui bahwa
adiknya yang bernama Ganjar Prasetyawati lebih tahu silsilah tentang
keluarganya, namun saat itu sedang pergi ke Semarang. Kalau diperlukan nanti
Ganjar bisa datang ke pastoran Purworejo untuk menjelaskan kepada romo Joko,
begitu katanya.

Rumah tempat Romo Driyarkara lahir dan dibesarkan sudah tidak ada lagi,
tertinggal menjadi tanah kosong yang ditumbuhi rumput dan pepohonan. Yang
masih ada adalah rumah dari Polisi Sumarjo itu yang terletak di sebelahnya,
namun agak ke bawah sesuai dengan kontur tanah yang berbukit-bukit. Di depan
rumah Polisi Sumarjo itu ada halaman cukup luas untuk bisa parkir mobil dan
dulu adalah sebuah pendopo. Ketika romo Driyarkara masih menjadi frater dan
pulang ke situ, pendopo itu masih ada, kata Agus.

Rumah keluarga romo Driyarkara yang kami kunjungi itupun sederhana, setengah
bawah tembok dan setengah atas dari anyaman bambu. Sungguh mengharukan
menyaksikan dari tempat yang sangat sederhana, di desa sunyi terpencil di
pegunungan, dengan akses jalan yang waktu itu pasti sangat sulit, bisa lahir
orang Pandai Prof Driyarkara yang namanya diabadikan menjadi Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara di Jakarta itu.

Driyarkara sekolah di SD Cangkrep yang berarti harus jalan kaki cukup jauh
dari desanya. Karena Cangkrep itu hanya 3 km dari kota Purworejo. Rupanya
setamat SD ia melanjutkan di Seminari Yogya tahun 1929-1935. Disebutkan pula
bahwa ia pernah sekolah di Kolose Xaverius Muntilan pada tahun-tahun
pendudukan Jepang tahun 42-43. Lagi-lagi Muntilan, pusat misi Katolik Jawa
Tengah, berperan pula bagi pendidikan seorang Driyarkara ini. Itulah
sebabnya mungkin sehingga ia menjadi orang besar karena bergabung dengan
Yesuit, bisa menjalani tahun Novisiat di negeri Belanda dan belajar filsafat
sampai gelar doktor di Gregoriana, Roma. Ia juga pernah menjadi dosen
terbang di Missouri, Amerika, Dosen di Beberapa Universitas yang sudah ada
di Indonesia pada waktu itu, menjadi Anggota MPRS dan menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung RI, zaman presiden Soekarno.

Romo Nicolaus Driyarkara ditahbiskan imam tgl 6 Januari 1947 di Semarang
oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Dari stasi Kedunggubah ini sampai
sekarang romo Driyarkara adalah imam pertama dan masih satu-satunya, karena
belum ada lagi calon imam atau biarawan-biarawati dari kampung itu. Sehingga
fenomena Driyarkara ini sungguh unik. Beliau melejit bagaikan meteor mencuat
ke atas melewati celah-celah perbukitan yang mengelilingi rumahnya itu untuk
menjadi orang terkenal dan berperan penting bagi Gereja dan Negara
Indonesia.

Yang sebenarnya ingin kita ketahui juga adalah: dari mana ia mengenal agama
katolik? Umur berapa ia dibaptis? Nama orantuanya: Atmasenjaja sepertinya
tanpa nama baptis. Mengapa ia sekolah di Seminari dan masuk Jesuit. Romo
siapa yang waktu itu sudah pergi ke Kedunggubah dan menarik hati Djentu
untuk menjadi katolik dan romo? Dan kendatipun sudah ada romo Driyarkara,
namun stasi Kedunggubah itu sampai sekarang masih tetap stabil, maksudnya
tidak banyak berkembang. Sepertinya tidak ada pengaruh dari ketenaran salah
satu anak stasinya itu.
Di depan Gereja Stasi St. Nicolaus Kedunggubah yang kecil dan sederhana itu
kini berdiri patung setengah badan dari romo Driyarkara SJ untuk menandakan
bahwa beliau berasal dari situ. Namun melihat patung orang terkenal di bawah
pohon-pohon bambu yang sederhana itu juga merupakan pemandangan yang kontras
dan menyentuh hati. Seolah-olah patung itu tidak cocok berada di tempat itu.
Ia harus berdiri di depan STF Driyarkara Jakarta atau di depan Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Sepertinya romo Driyarkara juga termasuk salah
satu pendiri Unika Sanata Dharma, atau malah nama itu berasal dari beliau
mengingat bunyinya yang lebih berasal dari bahasa Sanskerta dari pada dari
Gereja Katolik.

Namun... patung itu tetap di situ dan memang harus di situ, karena hal itu
menunjuk pada kebenaran nyata bahwa romo Driyarkara memang berasal dari desa
itu. Namun, walaupun berasal dari desa terpencil dan sederhana itu, keluarga
romo Driyarkara masih ada garis keturunan raja Mataram. Karena Agus
menunjukkan kepada kami Silsilah Mataram yang dibuat tahun 1935 dengan
ketikan rapi dan bahasa Jawa dengan ejaan lama (Soerat Koetipan Silsilah
MATARAM). Lembaran kertas yang mulai kusam itu dilapisi plastik dan menjadi
dokumen keluarga. Namun surat itupun hanya kutipan dari aslinya yang mungkin
tersimpan di tempat lain yang terhormat. Mungkin darah ningrat Kerajaan
Mataram yang mengalir dalam diri romo Driyarkara itu yang membuatnya
memiliki talenta dan kepandaian luar biasa, meskipun terlahir di desa
terpencil.

Sujoko

MENIMBA INSPIRASI DARI RAMA CAROLUS OMI

MENIMBA INSPIRASI DARI RAMA CAROLUS OMI

Sang Peraih Anugerah Maarif Award 2012

SABTU, 26 Mei 2012, Romo Charles Patrick Edward Burrows OMI, yang biasa
disapa Romo Carolus ini, menerima penghargaan Maarif Award dari Maarif
Institute for Culture and Humanity, menyusul Romo Vincentius Jumakir
Kirjito, Pr., yang juga menerima anugerah yang sama pada 2010. Kedua Romo
ini dinilai telah berjasa dan berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan
dan memperjuangkan kemanusiaan melalui kerja inisiatif kepemimpinan di
tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal. Juga diakui
kontribusinya terhadap proses pembentukan karakter bangsa, yang konsisten
menanamkan serta melemba-gakan nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan
keadilan sosial di tengah masyarakat, serta memperkuat harapan dan optimisme
akan masa depan keindonesiaan dan kemanusiaan. Romo Carolus, yang lahir di
Serville Palace, Dublin, Irlandia, 8 April 1943 dikenal sebagai sosok yang
sangat merakyat, dan menjadi inspirasi bagi banyak orang; bukan saja bagi
umat Katolik, tapi juga umat dari agama lain. Karya-karya apa yang
sesungguhnya telah dilakukannya, sehingga mendapat penghargaan bergengsi
ini?
Salah satu karya spektakulernya adalah penghijauan di Pulau Nusakambangan.
Ketertarikannya untuk melakukan reboisasi di kawasan lapas ini, bermula dari
rencana pemerintah untuk menanam pohon albesia. Tapi menurutnya proyek itu
hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya uang, sementara petani miskin
tidak kebagian. Maka melalui Yayasan Sosial Bina Sejahtera yang
didirikannya, ia membantu petani untuk ikut serta dengan memberikan bantuan
dana untuk penanaman bibit albisia kepada 50 keluarga miskin.

Dengan cara ini, Romo Carolus berusaha meyakinkan pemerintah bahwa mereka
bukanlah petani liar yang menjadi ancaman. Mereka harus diberdayakan agar
Nusakambangan menjadi hijau.

Romo Carolus sangat prihatin dan kecewa ketika mengetahui adanya rencana
pemerintah untuk menutup total Nusakambangan. Lagi-lagi, ia pun melobi pihak
Kakanwil Kementerian Hukum dan HAM, agar program penghijauan di pulau seluas
22.000 hektar, panjang 14 km dan lebar 6 km itu, tetap memberdayakan
masyarakat setempat.

Dia berpendapat bahwa hutan akan aman kalau melibatkan masyarakat untuk
memeliharanya. "Mereka harus mendapat-kan keuntungan dari reboisasi ini",
ungkap Romo Carolus menyakinkan pemerintah. Alhasil, upayanya menuai berkah.
Dari pertemuan itu Romo Carolus dipercaya menghijaukan kembali lahan
Nusakam-bangan yang sudah gundul melalui kerja sama Yayasan Sosial Bina
Sejahtera dengan Kakanwil Kementerian Hukum dan HAM, yang tertuang dalam MOU
Proyek Reboisasi Kawasan Solok Jero, Nusakambangan, 7 April 2010.

Proyek ini bertujuan untuk mengembalikan hutan Nusakambangan pada ekosistem
asli, sehingga ikut berkontribusi dalam gerakan pencegahan pemanasan global.
Dalam proyek ini, Romo Carolus memprioritaskan penanaman tanaman asli
Nusakambangan dengan strategi pengorganisasian dan pemberdayaan warga
pendatang untuk berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program dengan
keuntungan ganda. Sebanyak 150 petani penggarap dilibatkan, dan
masing-masing bertanggung jawab untuk menanam pohon-pohon asli Pulau
Nusakambangan di lahan seluas satu hektar. Sebagai upah untuk jasa penanaman
di lahan satu hektar tersebut, mereka dibayar sebesar satu juta rupiah.
Selain itu, selama masa penanaman dan pemeliharaan, mereka juga memperoleh
bibit palawija untuk tumpang sari. Setelah lahan sudah hijau, para petani
diberi lahan lain yang masih gundul. Demikian seterusnya.

Sebagai seorang misionaris Oblate Maria Immaculata (OMI), yang ditugaskan di
Paroki Santo Stephanus Cilacap, Jawa Tengah, sejak 1973, Romo Carolus
merintis berbagai karya pastoral baik secara formal maupun informal. Lama
sebelum proyek penghijauan ini, Romo Carolus melalui YSBS, yang didirikan
pada 12 Maret 1976, merintis banyak karya di bidang sosial-kemanusiaan untuk
mengangkat martabat orang miskin. Di antaranya, mengelola lembaga pendidikan
formal dan non formal, mendirikan Lembaga Kerja Praktek (LKP), membuka
kursus program profesi satu tahun, dan menyalurkan beasiswa prestasi dan
siswa keluarga miskin. Selain itu, YSBS juga melakukan program Pembangunan
Masyarakat, melalui kerja sama kemitraan dengan pemerintah dan masyarakat,
seperti pembangunan desa, sarana jalan, jembatan, irigasi, penghijauan,
pemberdayaan nelayan, mendirikan usaha mikro kredit dan lain sebagainya.
YSBS juga mendirikan dan mengelola beberapa perusahaan, yakni: PT Bank
Masyarakat Mandiri Sejahtera, PT Bina Bahtera Karya Mandiri (PJTKI), dan
Balai Latihan Kerja. Selain itu, program-program aksi kemanusiaan lainnya
seperti progam Tanggap Darurat Bencana.

Banyak pihak menilai bahwa karya-karya sosial Romo Carolus telah
mengembangkan nilai pluralisme. Tidak sedikit umat yang mengenalnya merasa
bangga dan bersyukur atas keteladanannya yang mencerminkan semangat Yesus,
yang melayani orang-orang miskin dengan penuh ketulusan dan persahabatan.
Romo Carolus terkesan sebagai pribadi yang rendah hati. Ketika menerima
Award tersebut, Romo Carolus berkomentar bahwa penghargaan ini lebih layak
diberikan kepada mereka yang tiap hari bekerja keras dan bangga membangun
desanya.

Apa yang dilakukan oleh Romo Carolus itu pastilah bukan melulu pragmatis
atau berdasar pada prinsip result-oriented semata. Apa yang dikerjakannya
telah menyentuh masalah pelik di negeri kita, bahkan kebutuhan umat manusia
universal. Sosok Romo Carolus, dapat menjadi inspirasi bagi kita sebagai
anggota Gereja untuk menghadirkan keselamatan Allah secara konkret di tengah
dunia ini.

Sumber: Hidup, 3 Juni :Untuk Kalangan Sendiri Hal-5 Nawala ● Tahun II, No. 4
● Edisi Juli 2012

In memoriam Kang Moeslim

In Memoriam Kang Moeslim
Inspirasi dari Sosok Intelektual Organik
Oleh Benny Susetyo

Kepergian Moeslim Abdurrahman (Kang Moeslim) menimbulkan duka mendalam.
Figur cendekiawan muslim seperti Kang Moeslim, menurut saya, sangat
diperlukan Indonesia di tengah gencarnya pola pemikiran keagamaan yang
sempit dan tertutup.

Kira-kira 15 tahun lalu saya diperkenalkan dengan Kang Moeslim oleh Gus Dur.
Saya ingat betul Gus Dur dengan kelakar segarnya mengatakan bahwa Kang
Moeslim ini adalah orang Muhammadiyah yang pikiran dan jiwanya NU. Sesudah
itu, kami terlibat banyak kegiatan dan saling berbagi pemikiran.

Tidak dimungkiri lagi bahwa sosok Kang Moeslim adalah figur pemikir yang
progresif dan terbuka. Pemikiran-pemikirannya sering melampaui dari orang
kebanyakan, baik tentang masyarakat maupun perkembangan agama. Intisari yang
kerap saya tangkap dari sosok Kang Moeslim ialah perhatiannya pada
masalah-masalah sepele yang baginya merupakan contoh dari masalah utama
negeri ini, juga kemampuannya membaca masalah-masalah ringan itu secara
substantif.

Selain itu, keberpihakannya kepada kaum terpinggir juga dapat dibaca dalam
berbagai pemikirannya. Tak jarang ia juga berbicara soal politik kebijakan
yang kerap tidak menghargai eksistensi kaum terpinggir. Baginya, kebijakan
seharusnya memberikan ruang bagi wong cilik untuk memperbaiki taraf
kehidupannya.

Kang Moeslim dengan gaya pemikiran seperti itu adalah sosok langka. Ia
merupakan sosok intelektual organik yang konsisten mendidik kaum muda agar
memiliki kesadaran politik dalam setiap gerakan sosial yang dibangun.
Gerakan sosial yang tidak saja bersifat instrumental, namun sungguh-sungguh
memiliki kompetensi untuk membela nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

Ia sering mempertanyakan mengapa di negeri se-kaya Indonesia ini, begitu
banyak orang miskin, begitu banyak orang kelaparan bergelimpangan.
Pengangguran merajalela, dan penguasa justru lebih banyak mempermainkan
angka-angka. Dua fakta ini tidak bersambung secara logis akibat nilai
keadilan sudah disepelekan dan diabaikan dalam perikehidupan kebangsaan ini.

Ia juga tak jarang mengeluhkan pemimpin yang abai terhadap penderitaan
rakyat. Mengapa begitu sulit kita mencari sosok pemimpin, juga mengapa kita
kerap salah dalam mencari pemimpin. Pemimpin yang kita miliki kerap
berperilaku sebagai penguasa yang menindas hak-hak kaum terpinggir.
Indonesia kekurangan sosok negarawan yang sungguh-sungguh memperjuangkan
Indonesia dengan hati nurani. Berkali-kali ganti pemimpin, berkali-kali juga
kita hanya memiliki pemimpin yang berjiwa kerdil.

Bagi aktivis sosial dan intelektual pro-demokrasi, kepergian Kang Moeslim
merupakan kehilangan besar sosok yang sangat mengagumkan. Sosok intelektual
Muhammadiyah yang dekat dengan NU, dan telah mencerahkan kita dengan
berbagai pemikiran tentang demokrasi yang radikal, yaitu demokrasi yang
membela kaum tertindas dan terpinggirkan.

Dalam pemikirannya tentang teologi Islam transformatif, Kang Moeslim melihat
agama memiliki daya dorong yang luar biasa untuk perubahan sosial. Karenanya
kita akan selalu mengenang sosoknya sebagai salah satu dari sedikit pemikir
Muslim yang memperjuangkan agar Islam agar bisa diwujudkan dalam pelbagai
nilai-nilai kebajikan publik.

Kang Moeslim gelisah dan cemas melihat negeri yang sering dipermainkan oleh
anak bangsanya sendiri. Keadilan dan kemanusiaan pelan-pelan dipinggirkan
diganti dengan nafsu dan angkara murka keserakahan. Kita hidup di negeri
merdeka yang hakikatnya terjajah. Penguasa, pejabat dan politisinya umumnya
berjuang bukan untuk kebaikan negeri ini, justru sebaliknya.

Inspirasi 'pembebasan' dalam teologi pembebasan menurutnya penting untuk
ditempatkan dalam perjuangan gerakan sosial di Indonesia. Manusia Indonesia,
pertama kali, harus dimerdekakan dari belenggu yang menghalangi kreativitas
dan ide. Teologi pembebasan merupakan usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran
dan nilai keagamaan pada masalah kongkrit di sekitar kita. Sebuah teologi
yang menekankan kepedulian kepada aksi sosial dan meletakkan ajaran-ajaran
agama dalam bingkai sosial.
Kecemasan, keresahan dan aksi sosial sosok intelektual organik seperti Kang
Moeslim inilah yang hari demi hari kian langka di Indonesia. Kita melihat
proses pemiskinan yang terus berlangsung lama dan mendarahdaging dan bahkan
diturunkan dari generasi ke generasi. Proses kesadaran atas ketertindasan
membutuhkan sebuah proses permenungan dalam dimensi yang membebaskan.
Sistem pendidikan, misalnya, harus memberikan pencerahan akal budi agar
subyek sadar bahwa proses menjadi miskin bukan karena nasib. Pemiskinan
terjadi karena struktur dosa sosial yang lestari dalam sistem ekonomi,
politik, budaya yang menghisap kaum hina dina untuk memerdekakan dirinya.
Kaum miskin harus sadar untuk membebaskan nasibnya dengan mengembangkan
kesadaran baru dalam keterlibatan dalam politik. Berpolitik adalah ikut
serta dalam proses membebaskan dari keterasingan sistem yang merusak
martabat manusia.
Tak heran bila Kang Moeslim banyak dikenal dari pemikirannya, misalnya dalam
buku karangannya berjudul "Islam Transformatif". Buku tersebut banyak
dibicarakan dan menjadi rujukan pemikiran Islam kontemporer, sebuah buku
penuh inspirasi bahwa agama merupakan tuntunan rohani yang memiliki dimensi
sosial kuat. Karena itu teologi agama harus memiliki daya insiprasi untuk
perubahan sosial masyarakat.

Kang Moeslim sudah lama dikenal sebagai pribadi yang kritis. Bahkan meskipun
dia harus diserang dari berbagai sisi, pemikirannya masih tetap menggugah
banyak pihak. Pemikirannya menggugah dunia pemikiran Islam. Kang Moeslim
menekankan agar umat Islam tidak beragama secara sempit, melainkan
menjadikan agama sebagai inspirasi untuk perubahan sosial lebih baik.

Penulis adalah Pemerhati Sosial
Koran Tempo, 21 Juli 2012

BAHAN KULIAH SEJARAH GEREJA INDONESIA

SEJARAH GEREJA INDOSESIA
oleh RP. A. Sujoko MSC




Sariman


Sariman adalah seorang pemuda dari desa Jamblangan, di pegunungan Menoreh
yang lahir tahun 1874. Setelah menikah ia memakai nama tua Soerawirja.
Hidupnya penuh dengan kemiskinan dan penderitaan sejak kecil, maka ia
terbiasa matiraga dan bersemèdi. Bahkan setelah beberapa lama menikah ia
menderita sakit kaki sehingga tidak bisa berjalan. Ia harus bergerak dengan
ngesot, yaitu berjalan dengan pantat dan ditopang oleh kedua tangannya,
karena kakinya lumpuh. Untuk mencari kesembuhan, ia sudah melakukan laku
tapa di Sendang Semagung di dekat desanya. Namun ia tidak sembuh. Kemudian
secara aneh ia seperti mendapatkan wangsit, atau ilham atau bisikan dalam
hati untuk berjalan ke arah timur utara. Dengan keyakinan teguh atas
dorongan kuat yang misterius itu akhirnya ia sampai di Muntilan, yang
berjarak sekitar 20 km dari desanya. Sesampai di pinggir jalan sebelah
Gereja Katolik, kebetulan saat itu romo van Lith SJ sedang menyeberang jalan
untuk sekedar berjalan-jalan mencari angin. Melihat Sariman yang berjalan
ngesot itu, spontan romo van Lith membopongnya ke pastoran dan minta kepada
Br. Th. Kersten SJ untuk merawatnya (Buku Barnabas Sarikrama hl. 21).


Siapa menyangka bahwa ternyata Sariman itu, yang kemudian dibaptis katolik
dengan nama Barnabas dan namanya diubah oleh romo van Lith dari Soerawirja
menjadi Sarikrama, adalah tokoh atau katekis yang ada di belakang layar
sampai terjadi pembaptisan 171 orang di Sendang Sono tgl 14 Desember 1904.
Sendang Sono itu tidak lain adalah Sendang Semagung yang sudah lama dikenal
oleh penduduk setempat sebagai tempat keramat di mana tinggal dewi
Lantamsari dan anaknya Den Baguse Samijo. "Barnabas Sarikrama, tatkala belum
dibaptis, pernah juga bertapa di situ. Niatnya pada waktu itu ialah untuk
mencari kesembuhan bagi sakit kakinya. Beruntunglah sakit kakinya tidak
sembuh, permohonannya tidak terkabulkan. Dan justeru karena itu ia bertemu
dengan Romo van Lith dan Br. Kersten, dan tersembuhkan. Bagaimana jadinya
kalau ia tersembuhkan berkat bertapa di Sendang Semagung? Barangkali sejarah
Sendang Semagung akan tetap kelam, keramat dan menjadi tempat orang-orang
bertapa mencari ajimat (kekebalan). Tidak seperti sekarang ini, telah
menjadi Sendang Sono, tempat peziarahan rohani untuk mencari rahmat Tuhan."
(Buku St. S Tartono, Barnabas Sarikrama, Pustana Nusantara 2006, hlm 38).


Seandainya Sariman sembuh di Sendang Semagung. Seandainya ia tidak bertemu
romo van Lith dan Br. Th. Kersten. Seandainya tidak ada baptisan 171 orang
di Sendang Sono yang ternyata adalah orang-orang dari daerah Kalibawang yang
mengenal agama katolik dan ingin dibaptis justeru karena melihat "mujizat"
kesembuah Sariman itu. "Cerita yang dituturkan Sarikrama (tentang
kesembuhannya dan tentang perkenalannya dengan agama katolik) menimbulkan
decak kagum di hati penduduk desa Kajoran dan sekitarnya dan menimbulkan
pertanyaan: Seperti apa wajah dan tampilan Kyai Londo itu? (Mereka belum
pernah mendengar kata Pastor, Pater atau Romo), maka mereka hanya menyebut
Kyai Londo. Kyai adalah tokoh agama Islam di kampung-kampung. Diam-diam
pertanyaan itu muncul di benak orang-orang desa itu untuk kemudian
menimbulkan hasrat kuat untuk mengikuti jejak Sarikrama. (Buku Barnabas
Sarikrama hlm 26).


Dalam refleksi tentang Napak Tilas Muntilan saya menulis, seandainya tidak
ada romo van Lith, mungkin keadaan Gereja Katolik di Muntilan dan di antara
orang Jawa dan di Keuskupan Agung Semarang tidak akan seperti sekarang ini.
Demikian pula dengan jumlah panggilan menjadi imam dan biarawan-biarawati
yang banyak dari daerah itu. Sekarang saya harus menambahkan: Seandainya
tidak ada Sariman, Seandainya Sariman tidak pernah sakit kakinya dan tidak
pernah pergi ke Muntilan dan tidak bertemu romo van Lith di pinggir jalan
sebelah Gereja itu? Seandainya romo van Lith tidak keluar pastoran dan
melintas di jalan itu ketika Sariman lewat di situ?


(Di Museum Misi Muntilan terdapat juga hal yang mungkin relevan untuk
permulaan lagi Gereja Katolik di Keuskupan Manado. Ada foto tentang Ambarawa
dan disebutkan beberapa Tentara KNIL orang Manado menjadi katolik di
Ambarawa. Mungkin Daniel Mandagie yang setelah pensiun dari KNIL dan pulang
ke Langowan dan akan membaptis anaknya dan menulis surat ke Batavia untuk
dikirimkan seorang imam, kemudian datang Pastor Johanes de Vries SJ mendarat
di Kema tahun 1868, adalah salah seorang dari tentara KNIL di Ambarawa itu).
(Uskup Manado Mgr. Jos Suwatan pernah menjelaskan tentang permulaan
Keuskupan Manado sbb: "Tahun 1993 itu ternyata adalah peringatan 125 tahun
umat katolik di Keuskupan Manado, karena 125 sebelumnya, yaitu tahun 1868
Pastor Johanes de Vries SJ mendarat di Kema. Ia datang di Manado atas izin
dari Resident, orang Belanda protestan, untuk hanya berkunjung, tidak boleh
tinggal. Dan ia datang atas undangan seorang tentara KNIL Daniel Mandagie
yang sudah menjadi katolik di daerah Semarang sana. Kemudian ia pulang ke
Manado dan akan membaptis anaknya, tetapi tidak ada pastor di Manado. Maka
ia kirim surat ke Batavia untuk dikirim pastor ke Manado supaya membaptis
anaknya. Surat Daniel Mandagie itu ditemukan oleh Pastor Jacobus Wagey Pr di
desa Tincep, stasi dari Paroki Sonder, ketika Pastor J. Wagey pastor paroki
di sana.)


Kembali ke kisah Sariman dan Sendangsono:
Betapa hal-hal besar di kemudian hari, bisa diawali oleh
"kebetulan-kebetulan" yang sangat sederhana dan tanpaknya remeh sekali.
Namun dalam iman akan penyelenggaraan Tuhan, tidak ada hal yang kebetulan.
Semua itu telah terjadi untuk membuat kita menyadari bahwa keberadaan Gereja
Katolik di Jawa Tengah, khususnya di Keuskupan Agung Semarang, terlebih
khusus di Muntilan dan Sendang Sono telah diawali dengan sangat sederhana
melalui peran unik dari Bapak Barnabas Sariman Sarikrama itu.
Mgr. Ignatius Suharyo, yang waktu itu ( tahun 2006) masih Uskup Agung
Semarang sendiri mengatakan: "Selama Tahun Syukur atas Karunia Iman yang
dirayakan oleh Keuskupan Agung Semarang sepanjang tahun 2004 (mungkin
perayaan 100 tahun Keuskupan Agung Semarang yang dihitung dari 14 Desember
1904, yaitu baptisan masal di Sendangsono itu), nama Bapak Barnabas
Sarikrama sering banyak disebut. Tetapi rupanya yang mendengar nama itu
tidak semuanya mengenal sejarah hidup beliau. Tulisan Bapak St. S Tartono
(buku Barnabas Sarikrama) ini memberikan keteranga yang amat memadai
mengenai pribadi yang merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah
Gereja Keuskupan Agung Semarang (hlm ix).


Sujoko

YA TUHAN, MENGAPA ORANG-ORANG MEMBENCIKU?

YA TUHAN, MENGAPA ORANG-ORANG MEMBENCIKU?
(Perjumpaan-Perjumpaan dalam Perjalanan yang Meneguhkan)

Pertengahan Juni 2012, saya mengadakan perjalanan ke sebuah kota kecil di
Sampit (Kalimantan Tengah). Perjalanan yang cukup melelahkan. Pesawat yang
kami tumpangi adalah KalStar Aviation. Selama dalam perjalanan, saya
berdampingan dengan seorang pengusaha kaya yang akan membuka usahanya di
Kasongan (2 s/d 3 jam perjalanan dari Sampit ke arah Palangkaraya).

Sang pengusaha ini pun mulai bercerita, "Saya ini adalah seorang yang kaya
raya. Minggu lalu, saya sudah ketemu notaris dan mengatakan bahwa seluruh
hartaku akan saya berikan Panti Asuhan jika saya mati nanti. Tetapi mengapa
mereka tidak mengetahui maksud baikku? Mengapa orang-orang membenciku?"

Mendengar keluhan bapak muda itu, saya pun nyeletuk, "Ada seekor ayam dan
babi yang berdebat. Babi mengeluh karena selama ini orang-orang tidak
menyayangi dirinya. Tetapi ayam begitu disayangi pemiliknya. Mendengar
keluhan babi itu, ayam pun berkata bahwa dirinya memberikan telurnya ketika
masih hidup, sedangkan babi memberikan dagingnya setelah dirinya mati. Ayam
itu hendak mengajarkan kepada kita bahwa selagi masih hidup berdermalah,
berkorbanlah dan berikanlah bakat-bakatmu bagi sesama".

Dialog singkat yang tidak berbobot ini malah menjadi permenunganku selama
dalam perjalanan di Kalimantan Tengah. Bersikap murah hati memang tidak
mudah. Voltaire (1694 – 1778) yang terlahir dengan nama: François Marie
Arouet dalam Candide menulis, "Dalam diri setiap manusia ada sifat egois,
pelit dan tamak". Orang lupa bahwa kematian itu akan dialami oleh setiap
manusia dan yang dibutuhkan oleh manusia untuk tempat jasadnya hanya dua
meter saja, seperti apa yang ditulis oleh Leo Tolstoy (1828 – 1910), penulis
Rusia.

Banyak kisah tentang orang yang serakah yang akhirnya menerima malapetaka.
Buku yang berjudul, "The Legend of Situ Bagendit" mengisahkan seorang janda
yang kaya raya. Kerjanya adalah memberikan pinjaman dengan bunga yang
mencekik leher. Namun di akhir cerita Nyai Bagendit itu terseret banjir
bersamaan dengan harta karunnya. Ada lagi sebuah cerita tentang orang yang
bernama Qorun. Kisahnya kurang lebih sama dengan Nyai di atas. Dan dari sana
muncullah istilah harta karun.

Kita kayak-nya lupa dengan kehidupan satwa yang memberikan hidupnya bagi
yang lain. Kisah Ikan Salmon yang kesohor ini dapat memberi inspirasi kepada
kita. Petualangan ikan salmon untuk menurunkan generasi berikutnya tidak
tanpa perjuangan. Setelah melewati beberapa tahap, kedua ikan salmon itu
akan tinggal beberapa hari di sekitar sarang tersebut hingga akhirnya mati
kehabisan energi. Sebagian bangkau ikan salmon akan dimakan oleh binatang
yang hidup di dasar sungai dan sebagian lagi akan membusuk dengan bantuan
bekteri hingga menjadi pupuk alami. Pupuk alam tersebut akan dimakan oleh
plankton dan serangga kecil di dasar sugai. Pada akhirnya, plankton dan
serangga kecil ini akan menjadi makanan pokok bagi ikan salmon yang baru
menetas.

Kita menjadi ingat dengan kisah dua perairan di Israel. Yang satu bernama
Danau Galilea yang juga disebut: Danau Genesaret, Danau Kineret maupun Laut
atau Danau Tiberias. Setelah danau itu menerima air, entah dari hujan
maupun sungai, ia akan mengalirkan airnya itu kepada tempat lain. Untuk
itulah, di danau itu airnya bersih dan ikan-ikan – seperti ikan petrus –
berkembang biak amat bagus dan pepohonan di sekitar Danau itu begitu subur.
Sebaliknya tidak jauh dari sana ada Laut Mati. Laut ini hanya menerima dan
menerima dan tidak pernah mengalirkan airnya kepada yang lain. Di sana tidak
ada kehidupan, bahkan binatang-binatang pun tidak hidup di sana. Maka
dinamakan Laut Mati. Demikian pula, orang yang selama hidupnya tidak pernah
memberi, sebenarnya "jiwanya sudah mati".

Memang benar apa yang dikatakan Sam Ratulangi (1890 – 1949), pahlawan
Nasional dari Minahasa ini, "Si Tou Timou Tomou Tou" yang artinya: manusia
hidup untuk memanusiakan orang lain (30 Juli 2012).

Markus Marlon MSC
Skolastikat MSC,
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361

Sabtu, 11 Agustus 2012

PENCARIAN

PENCARIAN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Film-film yang berjudul: The Finding of the Holy Cross dan The Holy Grail
adalah sebuah pencarian yang didukung dengan ilmu pengetahuan, sejarah,
cerita rakyat dan keyakinan tersebut saling berbaur dan terkait menjadi
satu . Dalam dunia politik, untuk memilih seorang pemimpin, dibutuhkan
suatu track-record (jejak langkah). Jika selama mengampu tugas
kemasyarakatan tersebut, dirinya dinilai baik dan minimal tidak ada kasus
yang berarti, ia layak menjadi pemimpin mereka. Penelusuran kariernya sangat
menentukan bagaimana orang tersebut dipromosikan.

Pencarian-pencarian tersebut di atas merupakan usaha yang dilakukan dengan
gerakan-gerakan dahsyat, mencengangkan dan menghebohkan, bahkan dibutuhkan
adanya team sukses. Lain halnya dengan pencarian diri. Orang yang mencari
dirinya sendiri, tidak melewati jalan yang ingar-bingar, melainkan berjalan
di lorong sepi, tidak populer dan penuh misteri.

Nosce te ipsum yang berarti kenalilah dirimu sendiri adalah terjemahan
bahasa Latin dari kalimat Yunani gnothi seauton yang tertulis di pintu
gerbang masuk Kuil Apolo di Delphi, Yunani. Ungkapan ini dipopulerkan oleh
Sokrates (470 – 399 seb.M). Lewat ungkapan ini, ia menekankan bahwa titik
tolak untuk mencari kebijaksanaan adalah pengenalan diri. Pencarian diri itu
merupakan tugas seseorang seumur hidup. Tidak heranlah jika tema-tema
penggalian diri tentang who am I? sangat marak di kalangan kaum remaja dan
pemuda.

Dalam kesendiriannya, kadang manusia mempertanyakan kehidupannya, "Mengapa
aku dilahirkan, untuk apa aku hidup dan setelah mati aku akan ke mana?"
Pertanyaan-pertanyaan ini, kadang membuat seseorang ingin menyendiri dan
tidak ingin diganggu oleh orang lain. Laura Inggals (1867 – 1957) dalam film
yang berjudul, "The God is my Shepherd" menyodorkan sebuah kisah peziarahan
hidupnya. Pengalaman kematian adiknya, Charles Inggals (1875 – 1876) yang
masih bayi itu memunculkan pertanyaan besar dalam dirinya. Laura – yang
pada waktu itu masih anak-anak – bertanya kepada Tuhan dan ingin menyendiri
di gunung. Dalam pencariannya itu, ia seolah-olah "didampingi" oleh
seorang bapak tua yang bijaksana.

Kisah Laura Inggals ini, hampir senada dengan wiracarita dalam pewayangan
yang berjudul, "Dewa Ruci" Tokoh Dewa Ruci tidak terdapat dalam Kitab
Mahabaratha, karena lakon carangan ini merupakan sebuah alegori sufi Jawa
yang begitu kesohor. Tema pencarian air hayat (lambang ilmu hakekat dan
makrifat) diilhami oleh sebuah hikayat Melayu Persia "Hikayat Iskandar
Zulkarnaen". Ada pun inti ajaran tentang pencarian diri dan unio mystica
yang diketengahkan adalah perluasan ajaran tasawuf Imam Al-Ghazali (405 –
505 H atau 1058 – 1111 M). Lakon ini sarat dengan filsafat dan konsep religi
khas Jawa. Dewa Ruci dianggap sebagai simbol dari pribadi Bima yang
sesungguhnya yakni sejatining pribadi. Bima melambangkan manusia yang
mencari pribadinya dan mencari kebenaran sejati. Pengalaman Laura Inggals
maupun Bima tersebut, sebenarnya juga ada dalam diri Simba, seekor anak
singa yang sedang dalam pencarian dirinya. Film animasi yang berjudul Simba
ini hendak memberikan pelajaran kepada kita pentingnya pencarian diri
sebagai bekal untuk hidup sebagai pemimpin. Juga film yang berjudul Finding
Nemo. Seekor ikan hias bernama Marlin, memiliki anak bernama Nemo. Sang ayah
itu penakut, sedangkan Nemo ini pemberani dan ingin tahu banyak hal. Karena
keingintahuannya itu, ia mengadakan pencarian sampai dirinya terdampar di
aquarium milik dokter giri di kota Sidney Harbor. Pencarian Nemo itu pun
semakin membuat diri sang ayah menjadi berani untuk menemukan sang anak.

Pada setiap akhir cerita wayang, senantiasa dimainkan wayang golek. Golek
memiliki dua arti. Arti pertama adalah boneka dan yang kedua adalah
mencari. Dalang yang empunya cerita mulai memainkan tarian-tarian wayang
golek. Makna dari adegan ini adalah bahwa kisah-kisah pewayangan yang baru
saja kita tonton semalam suntuk itu memiliki makna dan kitalah yang
mencarinya (bhs Jawa: nggoleki). Permainan wayang bagaikan bayang-bayang
sandiwara kehidupan manusia. "Bukankah dunia ini adalah panggung sandiwara?"
kata penyanyi Ahmad Albar (lahir di Surabaya 16 Juli 1946). Kita menjadi
sadar bahwa dalam pencarian itu, ternyata selama ini sifatku rakus seperti
Dursasana, gila kuasa selayaknya Duryudana dan suka membuat provokasi a la
Sakuni. Namun setelah bermenung sejenak, ternyata diriku ini bijaksana
bagaikan Bhisma, sejujur Yudistira dan memiliki strategi perang gaya
Khrisna.

Di akhir permenungan ini, ada sebuah kisah menarik tentang pencarian. Ada
seorang petani Persia bernama Al Hafed. Dengan angan-angan yang membara, ia
menjual segala miliknya, lalu berkelana hampir sepanjang hayat memburu harta
karun yang ia harap akan membuatnya berkelimpahan harta. Tetapi ternyata di
negeri orang, Al Hafed tidak menemukan apa-apa. Kemudian, ia mudik ke
kampung halamannya sendiri, tidak jauh dari sungai Indus. Ia merunduk untuk
meneguk air sungai yang mengaliri sawah-ladangnya. Tiba-tiba matanya
terbelalak dan kaget. Persis di depan matanya berkilau-kilauan butir-butir
permata. Al Hafed menjelajahi bumi, kini ia menemukan harta di belakang
rumahnya sendiri. Kita pun sering berbuat demikian. Kita mencari banyak hal
di luar, kecuali dalam hati kita sendiri (23 Juli 2012).

Markus Marlon msc
Skolastkat MSC
"Biara Hati Kudus"
Jl. Raya Pineleng KM. 9
PINELENG – MANADO
95361