(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini (01 Agustus 2013), saya jalan-jalan di Senayan Plaza. Sementara mengadakan window shoping, saya membaca sebuah tulisan indah di kaca, "Don't put off the work until tomorrow " – Jangan menunda pekerjaan sampai besok.
Tetapi tiba-tiba ada seorang karyawan cleaning service yang berkata, "Tapi ada lho menunda yang baik." Karena penasaran dengan pernyataan itu, maka saya bertanya dan jawabannya adalah: "Menunda untuk marah!!"
Kata, "menunda", "tunda" dan "ditunda" atau "tertunda" adalah kata-kata yang –kalau bisa – dihindari. Seorang GM (General Manager) paling anti melihat karyawannya menunda pekerjaan. Seorang pecandu bola, tentu alergi melihat siaran tunda pertandingan bola kaki Liga Eropa dan para calon penumpang tidak suka mendengar kata delay dalam pengumuman-pengumuman di bandara.
Pengalaman tersebut di atas hendak melukiskan bahwa seolah-olah menunda itu merupakan sesuatu yang tidak baik. Padahal kalau kita jujur, kata-kata pembersih lantai (cleaning service) itu memunyai dasar yang kuat. Ternyata Seneca, nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca (4 seb. M – 65), penyair Romawi Kuno, pernah menulis, "Obat paling mujarab bagi kemarahan adalah menundanya." Nabi Muhammad SAW (570/571 – 632) senantiasa mengajak para sahabatnya untuk sabar dan tidak mudah marah. Siddarta Budda Gautama (563 – 483 seb.M) mengendalikan pikiran-pikirannya yang tidak teratur dengan melakukan meditasi. Di Taman Getsemani, dalam peristiwa penangkapan, Yesus menyuruh Petrus untuk menyarungkan pedangnya (Yoh 18 – 19: "Kisah sengsara Yesus Kristus"). Dengan sabar dan berdiam diri serta menunda, maka emosi-emosi yang tidak teratur itu bisa normal kembali.
Orang yang sedang marah, dikuasai oleh emosi. Nafas berdetak bertambah cepat dan kalau berbicara suaranya bisa tinggi. Jika ia berkata-kata, akan meledak-ledak serta tidak terkontrol. Kalau seseorang dalam situasi yang demikian, baiklah ia bernafas dalam-dalam, minum air dingin dan duduk tenang barang sejenak. Baiklah ia menunda untuk berbicara. Inilah tindakan yang bijaksana.
Ada seorang karyawan yang yang dimarahi boss-nya. Membalas marah apalagi memaki-maki boss-nya face to face, jelaslah tidak mungkin. Maka, way out-nya adalah karyawan itu menulis semua uneg-uneg-nya dan dituangkan dalam surat dan dimasukkan dalam amplop serta siap sedia dikirim. Ia merasa lega dan ini merupakan salah satu bentuk catarsis. Tetapi karena waktu sudah menjelang malam, maka surat itu pun tertunda pengirimannya dan dimasukkan ke dalam laci meja kerja.
Esok paginya, karyawan itu membuka amplop itu dan membaca surat tulisannya sendiri. Betapa malu dirinya terhadap apa yang ditulis: maki-makian kampungan dan seolah-olah bukan tulisan seseorang yang pernah mengecap bangku sekolah. Setelah membaca surat itu, disobek-sobeknyalah surat itu dan berkata dalam hati, "Syukurlah surat ini tertunda untuk dikirim. Kalau tidak, tentu akan terjadi kejadian yang tidak diinginkan. Dunia kiamat!"
Ada lagi, sepasang suami-istri muda yang sudah bertahun-tahun menunggu buah hatinya namun belum juga kunjung tiba. Mereka berdua menghadap Bapak Pendeta dan minta pendapat, apakah Allah tidak mendengarkan doa-doanya. Jawaban Bapak Pendeta itu sungguh memukau. Katanya, "Saat-saat ini, kalian berdua belum siap untuk menerima 'tamu' dari Allah. Nanti, setelah semuanya siap, pasti doa itu pun akan dikabulkan."
Tiga tahun kemudian, ibu muda itu pun mengandung. Kemudian sepasang suami-istri itu pun datang kembali ke Bapak Pendeta untuk mengucap terima kasih. Dengan penuh kewibawaan rohani, ia berkata, "Allah sengaja menunda mengabulkan doa-doamu. Setelah rumah tangga kalian save, kalian sudah saling melayani dan menghargai sebagai suami-istri, baru Allah memberikan yang terbaik."
Kemudian, suami-istri muda itu pun berkata, "Kalau begitu menunda itu baik ya pak!!"
Senin, 26 Agustus 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar