Senin, 19 Agustus 2013

KEMERDEKAAN  BERSEKOLAH

Membaca dan merenungkan tulisan Dr. Ferry Doringin (19 Agustus 2013) yang berjudul, "Kemerdekaan Bersekolah"  memrovokasi saya untuk memberikan sebuah tanggapan. Judul tersebut di atas oleh Mgr. J. Sunarko SJ diubah – atau lebih tepatnya – disempurnakan dengan judul, "Sekolah Kita Menindas Atau Memerdekakan Anak?"
         
Pertama-tama, Ferry memunculkan tokoh pendidikan sekaligus Mentri Pendidikan pertama yaitu Ki Hajar Dewantara (Yogyakarta, 2 Mei 1889 – 28 April 1959) yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk merdeka, bebas dari penjajahan.
         
Pendidikan – menurut saya –  lebih luas dari pada pengajaran. Untuk itu pada saat itu, Ki Hajar Dewantara me-wanti-wanti  supaya Mentri Pendidikan itu diganti dengan Menteri Pengajaran. Alasannya, sekolah hanya dilaksanakan dari pagi sampai siang dan selanjutnya anak-anak pulang ke rumah "diajar" yang lebih tepatnya dididik dalam keluarga sendiri.
         
Pendidikan,  diterjemahkan dari  Educare  (yang sekarang menjadi Majalah Pendidikan KWI).  Arti educare itu sendiri adalah  ex – ducere  (ex = keluar dan ducere = membawa).  Jadi  educare berarti membawa keluar dari dirinya sendiri. Memerdekan dari keterkungkungan diri atau merdeka dari belenggu. Dari situlah, pendidikan seharusnya dibuat secara utuh, integrity  atauholistic.  Dan di situlah yang ideal adalah pendidikan berpola asrama seperti di  Seminari-seminari atau pondok pesantren-pondok pesantren. Namun ada juga orang tua yang lebih suka dengan pendidikan  a la  homeschooling. 
         
Mengenai yang satu ini – homeschooling – saya menjadi ingat seorang anak bernama Thomas Alva Edison (Ohio, 11 Februari 1847 – New Jersey 18 Oktober 1931) yang memiliki kisah menarik dalam dunia pendidikan.  Ketika Thomas kecil sekolah di Sekolah Dasar, oleh gurunya ia dipandang sebagai anak yang bodoh, maka dikembalikan kepada orang tuanya.  Dan dengan penuh ketekunan, ibunya  "mengajar" dan "mendidik"  Thomas itu. Ternyata dia memiliki daya kreativitas yang luar biasa – bahkan yang tidak dimiliki oleh kawan-kawan sebayanya. Coba bayangkan, seandainya pada waktu itu para guru  "mengajar" Thmas dan disamakan dengan teman-temannya, tentu ia akan menjadi anak yang terkungkung atau terbelenggu,  bahkan menurut bahasa Mgr. J. Sunarko  sebagai "ketertindasan pendidikan."
         
Sekolah itu dari kata  schola yang artinya waku senggang. Maka benar apa yang dikatakan Paulo Freire (Brazil, 19 September 1921 – 2 Mei 1997) bahwa pendidikan bisa membelenggu para siswa. Guru menjadi subyek dan sumber pengetahuan dan murid sebagai penerima pengetahuan. Ferry menulis, "Inilah penindasan dalam dunia pendidikan.  Pendidikan yang benar: guru dan murid sama-sama menjadi subyek, berkomunikasi timbal-balik dan melahirkan pengetahuan," Barangkali inilah yang disebut  CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) atau menurut Mangunwidjaja (Ambarawa 6 Mei 1929 – Jakarta, 10 Februari 1999) dalam sekolah di Mangunan – Jogjakarta, " para siswa diajari untuk bertanya."  Anak-anak yang bertanya berarti mereka tahu konteks dan belajar berpikir sendiri (Bdk. "Sapere aude"  yang berarti: Beranilah untuk – mencari tahu – berpikir sendiri. Semboyan ini ditulis oleh Horatius, Sastrawn Romawi Kuno yang lahir di Venosa, 65 – 8 seb.M).
         
Para siswa yang bersekolah atau mencari ilmu itu sudah selayaknya dididik atau dibina untuk menjadi manusia yang mandiri dan bebas. Ada seorang siswa yang sejak kecil ingin menjadi montir.  Oleh orangtuanya, si anak  dipaksa harus sekolah untuk  menjadi dokter. Benar, anak itu sekolah dan hingga mendapatkan gelar dokter. Tetapi selama sekolah, angan-angan anak itu adalah menjadi montir. Maka, ketika lulus,  ia pun berkata  kepada orangtuanya, "Ma-Pa. Ambillah kertas tanda lulus sebagai  dokter yang  mama-papa  inginkan. Si Anak yang dewasa itu pun berkata,  "Tahukan  ma-pa, bahwa selama  study  batin saya tertekan dan saya terbelenggu. Sekarang saya akan belajar sendiri dan akan menjadi montir.  Di sanalah saya menemukan kemerdekaan dan kebahagiaan."

Pepatah Latin, non scholae sed vitae discimus, ini kalau diterjemahkan secara bebas berarti:  belajar di sekolah itu bukan untuk mengejar ijazah, tetapi agar orang dapat hidup dengan baik dan benar. Pepatah di atas diucapkan Seneca ( 4 seb. M – 65 ) dalam suratnya kepada  Lucius (Epistolae 106, 11).  Ia lahir di Spanyol dan menjelang dewasa, ia  mutasi ke Roma. Ia disegani karena memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang dunia politik, kritis dalam menilai situasi yang terjadi dan mampu merumuskan gagasan-gagasannya secara sistimatis. (Bdk. Pius Pandor dalam Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan).

Paul Engrand pada tahun 1970 sebenarnya telah mengemukakan konsep pendidikan sepanjang hayat,  lifelong education.  Namun, sebenarnya sekitar 1.500 tahun  yang lalu, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW (570 – 632)  pernah menyampaikan  piwulang bahwa belajar memang seharusnya sejak dalam buaian sampai ke liang lahat,  from cradle  to the grave. Kata bijak dari Cina juga menyatakan, "Jika engkau ingin berinvestasi sepanjang hayat tanamlah manusia (didiklah manusia)".  Sang Nabi dalam  hadits-nya juga bersabda, "Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri China."
 
Senin, 19 Agustus 2013  Markus  Marlon
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: