(Kontemplasi Peradaban)
Ada seorang nona yang melamar pekerjaan pada sebuah perusahaan. Setelah psikotes dan interview berakhir, dia dimohon untuk menunggu. Penguji berkata, "Saudari harap menunggu panggilan kami. Tetapi jika ternyata, saudara dipanggil dan tidak memenuhi panggilan kami, maka kursi saudara akan diisi oleh orang lain."
Apa yang dialami pelamar kerja itu tentunya menimbulkan gejolak jiwa yang penuh dilemma. Jika ia hanya menunggu di rumah saja, maka akan muncul kebosanan, namun jika keluar kota, ia kuatir "kursi"-nya akan diduduki palamar lainnya.
Menunggu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Lihat saja bagaimana gelisahnya di sebuah bandara yang mendengar bahwa pesawat yang akan ditumpangi mengalami gangguan teknis dan harus delay. Semua calon penumpang langsung bermuram durja.
Menunggu juga dialami oleh Penelope istri Ulysses. Paulo Coelho dalam The Zahir menulis, "Kau tahu apa yang dilakukan Penelope sejak Ulysses pergi? Menenun! Dia menenun jubah untuk ayah mertuanya, Laertes, sebagai cara untuk menolak orang-orang yang ingin melamarnya. Hanya setelah dia selesai menenun jubah itulah, dia baru akan menikah. Selama menunggu Ulysses kembali, dia menguraikan tenunnya setiap malam dan memulainya lagi esok harinya" (hlm. 420). Penelope tidak bermuram durja dalam menunggu, karena setiap hari berdatangan para pelamar yang menunggu keputusanya. Pada waktu itu orang mengagungkan sikap hospitalitas jika menerima tamu, meskipun tamu-tamunya menjengkelkan.
"Man plans but the Lord determines! atau "Homo proponit, sed Deus disponit" – Manusia berencana, Tuhan menentukan. Demikian pula apa yang dialami oleh Ignatius Loyola (1491 – 1556). August Darleth dalam Pahlawan dari Loyola menceriterakan pergumulan yang dialami Ignatius. Pada waktu itu, Ignatius akan ziarah ke Tanah Suci dan perlu izin dari Bapa Suci, yakni Paus Adrianus VI (1459 – 1523). Tetapi kepergiannya ke Vatikan terhalang oleh suatu wabah – penyakit yang dahsyat. "Ia tidak mengeluh karena penundaan ini. Dalam hatinya ia yakin bahwa Tuhanlah yang menghendaki ia tinggal di Manresa" (hlm. 36). Selama di Manresa, ia merenung, berkontemplasi dan terbitlah buku Latihan Rohani yang luar biasa. Ia mengisi "waktu menunggu" dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Energinya tidak untuk mengeluh, menggerutu maupun menyesali diri namun digunakan untuk berkarya.
Florence Littaruer (1928 – sekarang) dalam Personality Plus, menulis bahwa orang yang memiliki visi itu serius dengan tujuan, mengabdi ketertiban dan keteraturan serta sangat menghargai kecerdasan (hlm. 44). Membaca buku Pahlawan dari Loyola, spontan kita bisa membayangkan bagaimana Ignatius tidak pernah akan menyia-nyiakan waktu yang ada. Ia menunggu secara proaktif.
Tanpa kita sadari, hidup kita adalah sebuah saat menunggu. Bagi para mahasiswa, saat yang ditunggu-tunggu adalah waktu menunggu diwisuda. Para tawanan menunggu dibebaskan, para magang kerja, mereka menunggu diangkat sebagai pegawai atau dipromosikan. Pada akhirnya, mau tidak mau manusia menunggu saat kematian.
Horatius ( 65 – 8 seb. M) nama lengkapnya: Quintus Horatius Flaccus, menulis, "Mors ultima linea rerum est" – kematian adalah garis batas terakhir dari segalanya. Rentang waktu untuk menunggu itulah yang harus digunakan sebaik mungkin. Seneca (4 – 65) nama lengkapnya: Lucius Annaeus Seneca , mengatakan bahwa seluruh refleksinya sebagai suatu permenungan mengenai kematian (meditatio mortis). "Media vita in morte sumus" – di tengah kehidupan ini, kita sedang berada dalam kematian. Orang Jawa melihatnya sebagai mati sajroning urip – mati selagi manusia masih hidup. Orang menjadi lebih hati-hati dalam nglakoni hidup ini. Ia akan menghargai waktunya untuk membuat hidupnya berkualitas dalam relasinya dengan Tuhan, sesama, lingkungan dan dirinya sendiri.
Rabu, 31 Juli 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar