(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini, saya kedatangan tamu yakni seorang ibu yang merasa hidupnya berbeban berat. Dia mengatakan bahwa dirinya setiap hari itu deg-degan.
Katanya, "Bagaimana tidak deg-degan, kalau setiap hari tetangga sebelah belanja selalu di mall. Dan secara periodic, keluarga tersebut belanja peralatan rumah tangga yang mahal-mahal. Tentu saja ini membuat konsentrasi saya buyar dan hidup tidak tenang."
Melihat "kelebihan" orang lain, tanpa mensyukuri kemurahan Tuhan yang sudah dialami dalam diri sendiri, tentu akan membuatnya "sakit." Ini yang kita sebut juga sebagai iri hati. Orang yang iri hati itu ibarat berkumur dengan dengan racun. Ia tidak langsung mati keracunan, melainkan pelan-pelan racun itu ada yang masuk dalam tubuhnya dan menjadi penyakit. Nicky Gumbel (Lahir tahun 1955 di London), seorang pendeta Anglikan pernah menulis, "Don't focus on the things you don't have. Focus on the things you do have and the reasons to be grateful" – Jangan berfokus akan hal-hal yang tidak Anda miliki. Fokus akan hal-hal yang Anda miliki dan alasan-alasan untuk bersyukur.
Sebagai makhluk sosial, – seperti apa yang ditulis oleh John Donne (1572 – 1631), No man is an island – kita setiap hari bersinggungan dengan orang lain atau liyan. Beberapa ratus tahun yang lalu, ungkapan tersebut sudah ditulis oleh Pengkhotbah, "Dan aku melihat bahwa segala jerih payah dan segala kecakapan dalam pekerjaan adalah iri hati seorang terhadap yang lain. Inipun kesia-siaan dan usaha menjaring angin" (Pkh 4: 4). Iri hati terhadap milik orang lain menjadi penyebab seseorang tidak bisa fokus kepada miliknya, padahal apa pun yang kita miliki adalah pemberian Tuhan.
Orang-orang yang berjiwa besar mampu berdamai bahkan mengajak kerja sama dengan orang-orang yang "berseberangan." Mungkin orang yang berseberangan dengan kita itu bahkan pernah menjadi sasaran iri hati. Raden Adjeng Kartini (1879 – 1904), misalnya pernah terbersit dalam hatinya merasa iri terhadap orang-orang Eropa yang bebas berpendapat. Kartini berusaha bersahabat dengan mereka dengan mulai berkorespondensi. Ia mulai membaca buku, koran dan majalah-majalah Eropa yang membuatnya tertarik dengan kemajuan berpikir perempuan Eropa. Daripada iri hati, Kartini berupaya sekuat tenaga mengerahkan energinya untuk berprestasi.
Orang-orang yang berjiwa besar – sekali lagi – tidak ada waktu untuk memikirkan kejelekan atau iri hati terhadap orang lain, sebaliknya mereka berupaya berbuat sesuatu bagi sesama. Florence Nightingale (1820 – 1910) – pelopor bidang keperawatan – yang juga dijuluki sebagai the lady with the lamp merupakan sebutan untuk wanita yang tanpa kenal takut mengumpulkan para korban perang krimea di Rusia. Seandainya dirinya "sibuk" mengurusi rasa iri hati terhadap orang lain dan berusaha untuk melebihi orang lain, tentu namanya tidak seindah sekarang.
Adalah sia-sia belaka, jika kita ingin mengubah orang lain. Leo Tolstoy (1828 – 1910) mengatakan bahwa semua orang berpikiran untuk mengubah dunia. Tetapi tidak seorang pun berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.
Kunci dari itu semua adalah mengucap syukur atas apa yang sudah dimiliki. Orang yang sudah mengenal diri sendiri (kelebihan dan kekurangan) akan lebih mudah untuk menjalankan misinya. "Nosce te ipsum" – kenalilah dirimu sendiri – sebuah semboyan yang merupakan terjemahan Latin dari kalimat Yunani "gnothi seauton" ini mengajak umat manusia untuk melihat kekuatan dalam diri.
Jumat, 02 Agustus 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar