Minggu, 08 September 2013

TEKUN
(Kontemplasi Peradaban)
 
Ada seorang ibu yang malu sekaligus bangga dengan putranya yang mendapatkan nilai  pas-pasan  pada  raport-nya.  Ibu itu bangga sebab  dalam belajar, putranya itu tidak kenal waktu. Bahkan untuk mendapatkan angka 6+, dibutuhkan kerja  super-extra. Al hasil, ia lulus ujian, yang menurut wali kelasnya karena ketekunannya yang luar biasa.
Menjadi orang yang tekun itu tidak mudah. Orang yang tekun itu berarti harus  "melawan gravitasi"  hidupnya. Manusia – dalam hidupnya  –  ditarik untuk hidup santai,  easy going dan  semau gue, yang oleh Sri Susuhunan Pakubuwono IV  (Surakarta, 2 September  1768 – 2 Oktober 1820) dalam bukunya yang berjudul  Serat Wulang Reh  dilihatnya  sebagai  "aja pijer mangan nendra"   –  jangan hanya makan dan tidur saja. Sebaliknya, Pakubuwono mengajak agar manusia dalam menjalani hidupnya di atas  "panggung sandiwara" itu harus tekun.  Ia menulis, "Padha gulangen ing kalbu, ing sasmita amrih lantip" – asahlah hatimu dengan tekun agar bisa memahami hidup.
Orang yang berjiwa besar tidak mudah putus asa, jika menghadapi tantangan. Lihat saja, misalnya  Agatha Christie (Torquay,  England, 15 September 1890  – 12 Januari 1976)  yang adalah penulis cerita misteri terkenal di dunia. Banyak orang yang tidak tahu bahwa lima buku pertama yang ia tulis gagal total. Tidak laku atau  tidak dilirik oleh penerbit mana pun. Menghadapi kegagalan tersebut, Christie tidak putus asa. Ia bertekad untuk menulis lagi sambil belajar dari kegagalannya. Ketekunannya mendorongdirinya menjadi penulis produktif. Ia berhasil menulis 66 cerita misteri, ditambah 6 novel dan banyak cerita pendek. Ketekunan memang luar biasa. Albert Einstein (Germany, 14 Maret 1879 – 18 Agustus 1955) bahkan  pernah berkata bahwa untuk sukses, seseorang membutuhkan 1% bakat dan 99 % adalah ketekunan.
Mengontemplasikan makna hidup yang kadang sukses dan gagal tersebut, ketekunan seolah-olah menjadi syarat mutlak –  sine qua non.  Ketekunan bagaikan mengerjakan sesuatu terus-menerus tanpa lelah atau sedikit demi sedikit akhirnya menjadi bukit atau dalam Pepatah Latin biasa ditulis,   "Gutta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo"  – tetesan air itu melubangi batu, bukan karena kekuatannya, tetapi karena tetesannya yang terus-menerus. Siddharta (Nepal  ± 563 – 483 seb.M ) pun belajar ketekunan dari suara sungai yang mengalir terus-menerus. Ia menyimak dan mendengarkan. Dibantu oleh suara sungai yang gemericik, Sang Buddha bermeditasi tentang kehidupannya. Dan terdorong oleh hasratnya untuk menyempurnakan  hidup rohaninya, ia pun meninggalkan tempat ayahnya dan pergi ke hutan.  
Ketekunan bukanlah cuma kegiatan teoritis. Dalam  tembang orang-orang Jawa tertulis,  "Ngelmu itu, kalakone kanthi laku" – mencari ilmu itu harus dengan praktek.  Kita harus terjun, kadang hanyut, kadang berenang dalam pengalaman.  Kita harus berada dalam perbuatan dan merasakan dalam  laku  (praktek).
Hidup kita kadang diliputi dengan beban yang berat, entah itu beban dari diri sendiri (pemalu, pemalas, sakit-penyakit) tetapi juga yang datang dari luar (fitnah, misalnya). Untuk menghadapinya dibutuhkan ketekunan. Dalam bahasa Yunani, ketekunan memiliki arti  hypomonè (meno: "menetap" dan  hypo: di atas).  Orang yang tekun tetap menetap di atas meskipun menghadapi beban yang berat.

Senin, 9 September 2013 Markus Marlon

(Sudah dipublikasikan di Harian Umum)

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: