(Kontemplasi Peradaban)
Membaca drama karya Shakespeare (1564 – 1616) yang berjudul Machbet, saya menjadi terkesima. Machbet merasa bahwa dalam hidup ini tidak ada yang bisa dinilai dan tidak ada yang bisa dikutuk atau dipuji dari perbuatannya. Machbet berpikir bahwa hidup itu tidak berarti apa-apa. Ia menjadi seorang nihilis.
Pada kesempatan lain, dalam kesempatan mengontemplasikan hidup ini, saya pun tercenung, "Saya terlahir di dunia, sekolah, bekerja untuk bertahan hidup, kadang sehat dan kadang sakit. Dalam hidup kadang suka dan kadang duka. Akhirnya mati!" Dalam hati saya berkata, "Untuk apa hidup di dunia ini?" dan saya bertanya lagi, "Entah mengapa saya menjadi melankolis dan pesimis."
Namun dalam sikap yang pesimis itu, saya selalu teringat akan sabda Sang Nabi, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (Al Hadis). Melalui hadis ini kita bisa menyaksikan bagaimana seorang ibu rela bekerja keras, ibarat kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, demi anaknya. Seorang bapak muda bangun pagi-pagi buta dan tidur larut malam karena bekerja untuk keluarga. Seorang mantan dosen ternama rela berkutat di perpustakaan mencari jawaban yang ditanyakan mantan mahasiswanya. Ia merasa dirinya masih berguna bagi sesamanya atau liyan.
Maka tidak mengherankan jika kisah-kisah romantis yang berbau kepahlawanan itu memberi motivasi kepada kita bahwa kehidupan itu memiliki arti. Setelah membaca novel yang berjudul Roro Mendut tulisan Y.B Mangunwijaya, kita bisa melihat seorang Pranacitra yang berani mati bersama Roro Mendut. Atau cerita rakyat Bali tentang Ni Layonsari yang "mengikuti" Jayaprana, kekasihnya dan akhir mereka fatal. Dalam hati kita bertanya, "Apa artinya hidup menurut pandangan mereka?" Kita sering terpekur oleh kisah-kisah tentang passion yang begitu nekat namun begitu indah. The meaning of life.
Perasaan berguna dan berarti bagi sesama menjadi "pemicu" manusia untuk hidup, bergerak dan ada (Kis. 17: 28). Saya kenal dengan seorang kakek yang kuliah di fakultas kedokteran pada usia 70 tahun.Dan kakek itu pun memunyai cerita. Di kampus, ia disapa oleh mahasiswa lainnya yang masih muda, "Pak Prof..., hendak mengajar mata kuliah apa?"
Ia pun menjawab, "Saya bukan profesor, saya juga mahasiswa seperti Anda. Saya ingin menjadi dokter pada usia 75 tahun. Kalau Tuhan memberi saya usia sampai 85 tahun, saya masih bisa menolong orang selama 10 tahun. Bila tiap hari ada 10 pasien, maka saya dapat memberikan kesehatan pada 36.500 orang. Jumlah yang tidak sedikit bukan?"
Apa yang dibuat oleh Profesor tadi menurut Psikolog kondang Alfred Adler (1870 – 1973) dipandang sebagai perasaan keberartian dalam hidup, "The meaning of life". Ia berkata, "Hidup kita bermakna karena kita mengisinya untuk kepentingan dan kehidupan orang di sekitar kita."
Orang Jawa memiliki kata-kata mutiara, "Sangkan paraning dumadi" – dari mana dulu kita berasal dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Ungkapan ini hendak mengajak kita untuk merenungkan arti hidup kita di dunia ini. Kita terlahir di dunia ini "sudah direncanakan oleh sang pencipta" dan bukan secara kebetulan. Tuhan telah membentuk kita sejak dari kandungan ibu (Yes 44: 2). Dan untuk mengisi hari-hari hidup tersebut, Ignasius Loyola (1491 – 1556) menulis dalam Spiritual Exercises-nya (Latihan Rohani) no. 23, "Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan melayani Tuhan dan demikian, ia memeroleh keselamatan jiwanya…"
Senin, 02 September 2013 Markus Marlon
P.S. Sudah dipublikasikan di Suara Pembaharuan, 31 Agustus 2013
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar