Kamis, 05 September 2013

ARTI  HIDUP
(Kontemplasi Peradaban)
 
          Membaca drama karya Shakespeare (1564 – 1616) yang berjudul  Machbet, saya menjadi terkesima. Machbet merasa bahwa dalam hidup ini tidak ada yang bisa dinilai dan tidak ada yang bisa dikutuk atau dipuji dari perbuatannya. Machbet  berpikir bahwa hidup itu tidak berarti apa-apa. Ia menjadi seorang nihilis.
          Pada kesempatan lain, dalam kesempatan mengontemplasikan  hidup ini, saya pun tercenung, "Saya terlahir di dunia, sekolah, bekerja untuk bertahan hidup, kadang sehat dan kadang sakit. Dalam hidup kadang suka dan kadang duka.  Akhirnya mati!"  Dalam hati saya berkata, "Untuk apa hidup di dunia ini?" dan saya bertanya lagi, "Entah mengapa saya menjadi melankolis dan pesimis."
          Namun dalam sikap yang pesimis itu, saya selalu teringat akan sabda Sang Nabi, "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (Al Hadis).  Melalui hadis ini kita bisa menyaksikan bagaimana seorang ibu rela bekerja keras,  ibarat kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki, demi anaknya. Seorang bapak muda bangun pagi-pagi buta dan tidur larut malam karena bekerja untuk keluarga. Seorang mantan dosen ternama rela berkutat di perpustakaan mencari jawaban yang ditanyakan mantan mahasiswanya.  Ia  merasa dirinya  masih berguna bagi sesamanya atau  liyan.
          Maka tidak mengherankan jika kisah-kisah romantis yang berbau kepahlawanan itu memberi motivasi kepada kita bahwa kehidupan itu memiliki arti.  Setelah  membaca  novel  yang berjudul  Roro Mendut  tulisan Y.B Mangunwijaya, kita bisa melihat seorang  Pranacitra yang berani mati bersama Roro Mendut.  Atau cerita rakyat Bali tentang Ni Layonsari yang "mengikuti"  Jayaprana, kekasihnya dan akhir mereka fatal.  Dalam hati kita bertanya, "Apa artinya hidup menurut pandangan mereka?"  Kita sering terpekur oleh kisah-kisah tentang  passion  yang begitu nekat namun  begitu indah.  The meaning of life.
          Perasaan  berguna dan berarti bagi sesama menjadi "pemicu" manusia untuk  hidup, bergerak dan ada (Kis. 17: 28).  Saya kenal dengan seorang kakek yang kuliah di fakultas kedokteran pada usia 70 tahun.Dan  kakek itu pun memunyai cerita.  Di kampus,  ia disapa oleh mahasiswa lainnya yang masih muda, "Pak Prof..., hendak  mengajar  mata kuliah apa?" 
Ia pun menjawab, "Saya bukan profesor, saya juga mahasiswa seperti Anda. Saya ingin menjadi dokter pada usia 75 tahun. Kalau Tuhan memberi saya usia sampai 85 tahun, saya masih bisa menolong orang selama 10 tahun. Bila tiap hari ada 10 pasien, maka saya dapat memberikan kesehatan pada 36.500 orang. Jumlah yang tidak sedikit bukan?"
Apa yang dibuat oleh Profesor tadi menurut  Psikolog kondang  Alfred Adler  (1870 – 1973)  dipandang sebagai perasaan keberartian dalam hidup, "The meaning of life".  Ia berkata, "Hidup kita bermakna karena kita mengisinya untuk kepentingan dan kehidupan orang di sekitar kita."
          Orang Jawa memiliki kata-kata mutiara, "Sangkan paraning dumadi" – dari mana dulu kita berasal dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya. Ungkapan ini hendak mengajak kita untuk merenungkan arti hidup kita di dunia ini. Kita terlahir di dunia ini  "sudah direncanakan oleh sang pencipta" dan bukan secara kebetulan.  Tuhan telah membentuk kita sejak dari kandungan ibu (Yes 44: 2).  Dan untuk mengisi hari-hari hidup tersebut, Ignasius Loyola (1491 – 1556)  menulis dalam  Spiritual Exercises-nya  (Latihan Rohani) no. 23, "Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati dan melayani Tuhan dan demikian, ia memeroleh keselamatan jiwanya…"

Senin, 02 September 2013   Markus Marlon
P.S. Sudah dipublikasikan di Suara Pembaharuan, 31 Agustus 2013
 
                            
 
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: