Jumat, 16 Agustus 2013

MERDEKA
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Waktu di Pineleng – Sulawesi Utara (16 Agustus 2012), saya pernah mendengarkan anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu menjelang upacara bendera tujuhbelasan. Anak-anak itu  bernyanyi, "Enam belas  Agustus tahun empat lima."  Sambil diliputi ketertegunan saya pun berkata, "Hei-hei  anak-anak, syair lagu  itu salah."
Dengan lantang anak-anak pun meneruskan bernyanyi, "Besoknya hari kemerdekaan kita!"

Sambil geleng-gelang kepala, saya pun berkata, "Merdeka betul anak-anak itu. Bebas mengubah syair!"
Kata  merdeka   berasal dari bahasa sansekerta, Maharddhika  itu memiliki arti: berdiri sendiri (bebas dari perbudakan dan  penjajahan). Namun, kata merdeka juga bermakna: lepas atau terhindar dari tuduhan dan tuntutan.

Setiap orang tentu menginginkan merdeka dalam hidupnya  yang tentunya bebas dari pelbagai tekanan dari luar. Dari keinginan tersebut, tidak heranlah kalau setiap negara berharap memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka (independence) yang bebas dari kolonialisme.  Dan untuk menebus kemerdekaan tersebut, para pahlawan harus membayar  dengan mahal, yakni dengan gugurnya di medan perang.

Revolusi Prancis (1789) meletus, karena rakyat ingin merdeka dari kungkungan  "raja yang lalim." Keinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan  (liberté), persaudaraan (fraternité) dan persamaan hak  (egalité) itulah yang mendorong rakyat membobol penjara Bastille sebagai symbol keangkuhan kerajaan.

Jika kita meneropong ke belakang, kisah-kisah peradaban dunia menegaskan bahwa manusia itu "sejak dahulu hingga detik ini  terbelenggu."  Edit Hamilton dalam bukunya yang berjudul  Mitologi Yunani  misalnya,  mengisahkan tentang Dewa Atlas yang seumur hidupnya memanggul globe (dunia). Atau kisah Sisyphus yang dihukum oleh  Zeus. Di  Hades, Sisyphus dihukum untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit dan ketika batu itu dijatuhkan lagi ke bawah, ia harus kembali mendorongnya dan begitu seterusnya. Dalam jiwa mereka (Atlas dan Sisyphus) yang ada hanyalah suatu kemerdekaan, namun tidak pernah diraihnya.

Novel yang berjudul  Scarlet's Letter menggambarkan seorang wanita yang kedapatan berzinah. Dan oleh masyarakat ia harus mengenakan sebuah baju dengan huruf  "A" yang adalah  adultery – perzinahan. Stigma itu begitu membelenggu seumur hidupnya, seolah-olah yang berbuat salah akan tetap berbuat salah. Atau Scarlett Ohara,  seorang tokoh dalam  novel yang berjudul  Gone With The Wind  tulisan Margareth Mitchell, yang setelah menjadi janda harus mengenakan pakaian hitam setiap hari entah sampai kapan. Sungguh belenggu yang memilukan hati.

Mengontemplasikan makna merdeka, saya menjadi ingat kisah-kisah tentang perbudakan maupun orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi.  Bagi mereka kemerdekaan itu menakutkan.  Lalu kita bertanya, "Kenapa?"

Konon, orang-orang kulit hitam Amerika yang diberi kebebasan dari perbudakan sesudah berakhirnya Perang Saudara. Namun ternyata mereka  sulit beradaptasi dengan kehidupan barunya,  karena sudah terbiasa bergantung pada tuan-tuan mereka. 

Orang-orang Yahudi yang lolos dari  holocaust  seusai Perang Dunia II agak berbeda situasinya. Meski secara fisik sudah merdeka, namun trauma yang disebabkan pengalaman di kamp konsentrasi tidak pernah hilang dalam ingatan. Ternyata , kemerdekaan itu tidak kalah menakutkan daripada hidup di kamp konsentrasi, sebab keluarga dan kehidupan mereka  telah hancur akibat perang dan mereka tidak tahu harus ke mana.

Manusia, dalam hidupnya tidak pernah lepas dengan relasinya dengan orang lain. Bagi Paul Sartre (1905 – 1980), kehadiran orang lain itu sebagai  belenggu. Kita hanya bisa berelasi dengan orang lain dengan menjadikan mereka objek, sembari dilanda kecemasan bahwa diri kita pun oleh orang lain juga direduksi menjadi objek (Bdk.  Mingguan Hidup 18-8-2013).  Orang pernah berkata, "Bagaimana perasaan seorang bawahan dihadapan atasan?" atau "Bagaimana seorang isteri harus minta ijin suaminya ikut arisan di luar  kota?"  Bagi mereka yang mendambakan kemerdekaan, orang lain itu bagaikan "pemegang aturan  yang membelenggu."

"Mereka   yang terbelenggu"  memandang sesama atau  liyan  sebagai orang-orang yang bisa menyakiti secara fisik maupun psikis. Setiap kali berhadapan dengan  liyan, kemerdekaan mereka terbatasi.  Tetapi  Eleonore Rosevelt (1884 – 1962),  berpendapat bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan sendiri-sendiri. Ia berkata, "Mereka tidak bisa menyakitiku tanpa seizinku!"

Jumat, 16 Agustus 2013  Markus Marlon
 

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: