(Kontemplasi Peradaban)
Waktu di Pineleng – Sulawesi Utara (16 Agustus 2012), saya pernah mendengarkan anak-anak yang menyanyikan sebuah lagu menjelang upacara bendera tujuhbelasan. Anak-anak itu bernyanyi, "Enam belas Agustus tahun empat lima." Sambil diliputi ketertegunan saya pun berkata, "Hei-hei anak-anak, syair lagu itu salah."
Dengan lantang anak-anak pun meneruskan bernyanyi, "Besoknya hari kemerdekaan kita!"
Sambil geleng-gelang kepala, saya pun berkata, "Merdeka betul anak-anak itu. Bebas mengubah syair!"
Kata merdeka berasal dari bahasa sansekerta, Maharddhika itu memiliki arti: berdiri sendiri (bebas dari perbudakan dan penjajahan). Namun, kata merdeka juga bermakna: lepas atau terhindar dari tuduhan dan tuntutan.
Setiap orang tentu menginginkan merdeka dalam hidupnya yang tentunya bebas dari pelbagai tekanan dari luar. Dari keinginan tersebut, tidak heranlah kalau setiap negara berharap memproklamirkan diri sebagai negara yang merdeka (independence) yang bebas dari kolonialisme. Dan untuk menebus kemerdekaan tersebut, para pahlawan harus membayar dengan mahal, yakni dengan gugurnya di medan perang.
Revolusi Prancis (1789) meletus, karena rakyat ingin merdeka dari kungkungan "raja yang lalim." Keinginan untuk memperjuangkan kemerdekaan (liberté), persaudaraan (fraternité) dan persamaan hak (egalité) itulah yang mendorong rakyat membobol penjara Bastille sebagai symbol keangkuhan kerajaan.
Jika kita meneropong ke belakang, kisah-kisah peradaban dunia menegaskan bahwa manusia itu "sejak dahulu hingga detik ini terbelenggu." Edit Hamilton dalam bukunya yang berjudul Mitologi Yunani misalnya, mengisahkan tentang Dewa Atlas yang seumur hidupnya memanggul globe (dunia). Atau kisah Sisyphus yang dihukum oleh Zeus. Di Hades, Sisyphus dihukum untuk mendorong sebuah batu besar ke puncak bukit dan ketika batu itu dijatuhkan lagi ke bawah, ia harus kembali mendorongnya dan begitu seterusnya. Dalam jiwa mereka (Atlas dan Sisyphus) yang ada hanyalah suatu kemerdekaan, namun tidak pernah diraihnya.
Novel yang berjudul Scarlet's Letter menggambarkan seorang wanita yang kedapatan berzinah. Dan oleh masyarakat ia harus mengenakan sebuah baju dengan huruf "A" yang adalah adultery – perzinahan. Stigma itu begitu membelenggu seumur hidupnya, seolah-olah yang berbuat salah akan tetap berbuat salah. Atau Scarlett Ohara, seorang tokoh dalam novel yang berjudul Gone With The Wind tulisan Margareth Mitchell, yang setelah menjadi janda harus mengenakan pakaian hitam setiap hari entah sampai kapan. Sungguh belenggu yang memilukan hati.
Mengontemplasikan makna merdeka, saya menjadi ingat kisah-kisah tentang perbudakan maupun orang-orang Yahudi di kamp-kamp konsentrasi. Bagi mereka kemerdekaan itu menakutkan. Lalu kita bertanya, "Kenapa?"
Konon, orang-orang kulit hitam Amerika yang diberi kebebasan dari perbudakan sesudah berakhirnya Perang Saudara. Namun ternyata mereka sulit beradaptasi dengan kehidupan barunya, karena sudah terbiasa bergantung pada tuan-tuan mereka.
Orang-orang Yahudi yang lolos dari holocaust seusai Perang Dunia II agak berbeda situasinya. Meski secara fisik sudah merdeka, namun trauma yang disebabkan pengalaman di kamp konsentrasi tidak pernah hilang dalam ingatan. Ternyata , kemerdekaan itu tidak kalah menakutkan daripada hidup di kamp konsentrasi, sebab keluarga dan kehidupan mereka telah hancur akibat perang dan mereka tidak tahu harus ke mana.
Manusia, dalam hidupnya tidak pernah lepas dengan relasinya dengan orang lain. Bagi Paul Sartre (1905 – 1980), kehadiran orang lain itu sebagai belenggu. Kita hanya bisa berelasi dengan orang lain dengan menjadikan mereka objek, sembari dilanda kecemasan bahwa diri kita pun oleh orang lain juga direduksi menjadi objek (Bdk. Mingguan Hidup 18-8-2013). Orang pernah berkata, "Bagaimana perasaan seorang bawahan dihadapan atasan?" atau "Bagaimana seorang isteri harus minta ijin suaminya ikut arisan di luar kota?" Bagi mereka yang mendambakan kemerdekaan, orang lain itu bagaikan "pemegang aturan yang membelenggu."
"Mereka yang terbelenggu" memandang sesama atau liyan sebagai orang-orang yang bisa menyakiti secara fisik maupun psikis. Setiap kali berhadapan dengan liyan, kemerdekaan mereka terbatasi. Tetapi Eleonore Rosevelt (1884 – 1962), berpendapat bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan sendiri-sendiri. Ia berkata, "Mereka tidak bisa menyakitiku tanpa seizinku!"
Jumat, 16 Agustus 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar