TAMBUN(Kontemplasi Peradaban)
“Exeat aula, qui vult esse pius” – Yang ingin menjadi orang baik, hendaknya meninggalkan istana.
Belum lama ini, kita sering mendengarkan kata-kata seperti, “Rekening gendut”. Tak dapat disangkal bahwa dunia politik mudah sekali memunculkan kata-kata baru. Memang dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), gendut juga memiliki makna “menguntungkan” misalnya, “Jangan bertingkah yang menggedutkan diri pribadi dalam dunia politik”.
Belum lama ini pula, kita mendengar istilah baru yaitu “koalisi tambun”. Koalisi berasal dari bahasa Latin, coalescere. Co = bersama-sama dan alere = tumbuh subur. Dalam bahasa politik diartikan sebagai: gabungan beberapa partai untuk tujuan khusus. Dikatakan tambun, sebab partai-partai yang dulunya bergabung dalam KMP (Koalisi Merah Putih) kini merapatkan barisan sebagai pendukung pemerintahan Jokowi-JK. Itulah sebabnya, KIH (Koalisi Indonesia Hebat) menjadi tambun.
Dengan hijrahnya beberapa partai ke pemerintahan Jokowi-JK, maka program-pogram yang dicanangkan akan berjalan dengan mulus. Pemerintah tidak begitu cemas lagi. Kritikan yang bertubi-tubi bahkan vulgar dari oposisinya kini hanya akan menjadi kenangan belaka. Yang terdengar dalam parlement hanyalah monotone. Setiap kali palu diketok, mereka akan berteriak, “Setuju!”
Para pengamat politik mengkuatirkan pemerintahan seperti itu. Dengan berkurangnya tantangan, kritikan, kontrol dan evaluasi dari pihak oposisi maka pemerintah akan “terlena” atau hidup dalam“comfort zone”. Kenyamanan itu akan membuat orang “tertidur”. Ini mirip dengan kisah monyet yang tertidur dan terlena karena diterpa oleh angin sepoi-sepoi basah (Bdk. “Kisah Monyet di Tahun Monyet 2016”).
Oleh Buddha Gautama (563 – 480 seb.M), orang yang sedang mengalami keterlenaan itu perlu “disadarkan” kembali.
Pemerintahan yang kuat dan solid perlu adanya tantangan. Bung Karno (1901 – 1970) pernah mengkirik sebuah negara dalam kisah pewayangan yang namanya negeri Uttarakuru. Negeri itu tenang damai dan tidak ada pergolakan apa pun. Atau dalam bukunya yang berjudul, “Mengganyang Malaysia”, Bung Karno pernah berkata, “Saya lebih senang dilahirkan di bawah terik matahari yang panas dan bukan di bawah sinar bulan purnama.” Ingatlah kita akan kata mutiara ini, “Gelombang yang mengamuk akan membuat pelaut trampil?”
Demikian pula yang pernah dialami oleh Pandawa (Bdk. “Kisah Mahabharatha” tulisan C. Rajagopalachari). Ketika para Pandawa hidup dalam tekanan dan berperang melawan kebatilan, mereka menjadi kuat dan kompak. Siang malam mereka berupaya bagaimana menyusun strategi perang yang jitu. Mereka bekerja keras dan selalu waspada dan tidak pernah istirahat sedetikpun.
Namun, setelah mengalami kejayaan, Pandawa hidup tenang dan damai serta hidup dalam zona nyaman. Dan pada akhir kisah, mereka mati satu per satu – bukan karena perang – melainkan karena kelelahan naik Gunung Semeru. Hidup dalam situasi “nyaman” membuat orang terlena dan mati.
Dalam bekerja perlu adanya peyeimbang, sebagaimana didengung-dengungkan yaitu balance and check. Penyeimbang juga berfungsi sebagai kontrol, agar pemerintah dalam melakukan pekerjaannya tidak mengalami disorientasi. Tak heranlah kalau Prabawa Subianto ketika berpidato pada HUT Partai Gerindra yang ke-9, ia berpesan bahwa demokrasi itu butuh keseimbangan. Dia berkata, “Gerindra akan tetap mendukung kebijakan pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Namun jika tidak, Gerindra akan mengkritiknya.” Saya pun berani berkata, “Terima kasih Pak Prabowo, Salut!”
Rabu, 10 Februari 2016
Markus Marlon