(Kontemplasi Peradaban)
Belum lama ini (pertengahan bulan Juli 2013), saya agak sedikit terkejut ketika mendengar seorang ibu guru yang marah kepada anak didiknya yang mendapat nilai raport jeblok. Katanya, "Nak, kamu ini orang bodoh, sudahlah jangan macam-macam. Meskipun kamu berjuang sekuat tenaga, akan tetap seperti ini, menjadi anak bodoh. Kata-kata itu berbunyi merdu di telingaku. Ibu guru itu sudah memberi cap atau stempel bahwa murid itu bodoh dan selamanya akan bodoh (Bdk. Syair yang ditulis oleh Ebiet G. Ade, "Apa yang dianggap salah tetap salah.") Ibu guru itu lupa bahwa dalam proses, setiap manusia memiliki potensi from nothing to something.
Setiap orang di dalam dirinya ada potensi yang sudah mewujud maupun yang masih tersembunyi. Yang tersembunyi itu kadang kala disebut "sebagai hal-hal potensial" misalnya sebuah gunung yang berpotensi untuk meletus. Oleh karena itu, disebut sebagai bahaya latent. Sebuah ancaman tersembunyi dan kuat yang suatu saat bisa meledak sewaktu-waktu dan tidak terduga (Bdk. Bahaya latent PKI atau ancaman teroris).
Makna ke-potensial-an ini, seperti buaya di pinggiran pantai Kimaan – Merauke – Papua yang berdiam diri bagaikan kayu tergeletak di tepian laut. Jika seseorang tidak sengaja atau sengaja menyentuh buaya tersebut, maka sang buaya akan bangun dan menerkamnya. Dan jika kita menilik ke dunia pewayangan, kita mengenal tokoh yang bernama Kumbakarna. Dia adalah adik Prabu Rahwana. Selama di istana kerajaan, kerjanya hanya tidur. Dia tidur selama 6 bulan. Satu tahun hanya bangun 2 hari. Makan sebanyak 2 gunung, kemudian tidur kembali selama 6 bulan begitu seterusnya. Namun meskipun tidur, ia berpotensi untuk menjadi panglima perang yang dapat diandalkan. Dalam kisah "Kumbakarna Gugur,"
Kumbakarna telah membuktikan kebenaran itu. Tatkala Rahwana memerintahkan untuk berperang dan menumpas tapis pasukan Rama yang diwakili oleh Hanoman sebagai duta, seolah-olah ia maju berperang sambil menyuarakan kata-kata, "Wrong and right is my country." Kumbakarna berperang demi Kerajaan Alengka dan bukan membela Rahwana yang culas.
Potensi Kumbakarna bagaikan gunung es yang tersembunyi yang belum diaktualisasikan. Dalam penelitian dikatakan bahwa otak manusia hanya digunakan 3 % saja dan sisanya yang 97 % belum digunakan. Membaca penelitian tersebut, kita menjadi heran kepada diri sendiri, kadang kita memang kurang menggunakan potensi dalam diri kita sendiri – mungkin – karena ada rasa malas, tidak percaya diri dan ragu-ragu.
Mengontemplasikan tentang makna potensi, saya teringat akan seorang tokoh bernama Napoleon Bonarparte (1769 – 1821). Napoleon tiap kali hendak berangkat perang, ia memberi semangat kepada para serdadunya dengan cara yang unik. Mereka harus menyimpan sebatang tongkat marsekal dalam ranselnya. Itu semacam tanda bahwa dengan berjuang keras, suatu hari mereka bisa menjadi perwira tinggi di pucuk itu (Bdk. Goenawan Muhamad dalam Catatan Pinggir 2 dengan judul Zoot).
Setiap orang memiliki potensi yang kadang tidak terduga. Dalam reuni teman angkatan misalnya, kadang kita menjumpai seseorang yang waktu sekolah di tingkat menengah, sepertinya tidak ada apa-apanya (nothing). Tetapi dalam berjalannya waktu, ternyata teman yang "tidak kita anggep itu" kini telah menjadi direktur, bahkan pemilik saham beberapa perusahaan.
Jumat, 26 Juli 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar