Senin, 05 Agustus 2013

ZONA  NYAMAN
(Kontemplasi  Peradaban)
 
Ada seorang karyawan yang tidak segera mau pindah ke  tempat tugas yang baru setelah mendapatkan SK penempatan.   Ia sudah merasa nyaman bekerja di tempat yang selama ini  hidup dan berkarya.

Orang ini berkata, "Saya sudah  amat menyatu  dengan lingkunganku: tempat kerja, rekan dan situasinya.  Jika saya ditempatkan di tempat yang baru, berarti saya harus mulai dari nol lagi  dong!" Tambahnya lagi, "Capek dech!"

Tempat kerja yang nyaman memang menjadi dambaan setiap insan. Ibarat tahta yang empuk dan "basah"  sehingga orang akan betah tinggal di sana. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Petrus ketika  di atas  gunung, "Adalah baik bagi kami berada  di sini" (Luk 9: 33). Di atas gunung itu, Petrus, Yohanes dan Yakobus merasa nyaman. Tempat yang sunyi, angin yang  semilir, apalagi "didampingi" oleh nabi-nabi yang hebat seperti:  Musa, Elia, dan Yesus sendiri. Tetapi dalam suasana yang nyaman tersebut, Yesus mengajak para murid untuk "turun gunung" ke Yerusalem.  Di Yerusalem sana menjadi pusat kegiatan manusia: pasar yang hiruk pikuk, para ahli Kitab yang menjadi pemegang aturan-aturan adat dan hukum dan masih banyak lagi.  Di tempat inilah banyak  "kursi panas" bagaikan kursi pengadilan, tempat duduknya pesakitan.

Kisah  "wiracerita"   tentang pribadi-pribadi yang berani meninggalkan  comfort zone  (zona nyaman) patut kita teladani. Sang Buddha (563 – 483 seb. M) dalam film yang berjudul  The Life of Buddha  mengisahkan tentang seorang pangeran yang berani meninggalkan istana yang penuh ingar-bingar menuju ke tempat yang sunyi mencari kesejatian diri. 

Kisah lain lagi, yakni  seorang pangeran  – bisa kita lihat ceritanya dalam film yang berjudul   The Prince and pauper  –   yang sangat terhormat rela  "menukar" kedudukannya dengan teman sebayanya, untuk sementara waktu  dan tinggal di daerah berbau busuk dan  pesing  di London.

Di zaman ini,  ada  kisah kelompok peduli anak-anak jalanan di bilangan Jakarta yang sangat  care  dengan mereka yang tersingkir  (Kick Andy  dalam  acara di Metro TV, 26 Juli 2013).  Mereka rela berpanas-panasan bahkan  kehujanan untuk mengajari belajar – mungkin –  di kolong-kolong jembatan atau di rumah-rumah yang kumuh.   

Apa yang dilakukan oleh mereka yang berjiwa besar yang berani  "meninggalkan zona nyaman" itu  sebenarnya bisa dibaca dalam Kitab Suci.

Sayap rajawali tidak tiba-tiba menjadi kuat. Ada ceritanya. Sejak kecil burung ini memang terlatih untuk terbang tinggi. Sang induk selalu menempatkan sarangnya di tempat tinggi (Yer 49: 16). Lalu jika sudah tiba saatnya, ia akan membongkar sarang itu, sehingga anak-anaknya  "terjun bebas" di udara. Dipaksa untuk belajar terbang di tengah empasan angin kencang. Sementara sang induk melayang-layang di atas sembari menjaga.

"Membongkar sarang"  adalah keputusan yang pelik dan rawan.  Dengan terbongkarnya sarang,  berarti  anak rajawali itu "dipaksa" untuk terbang. Tentu saja ia belum tahu harus  terbang dan bertengger di pohon atau tebing mana nantinya (Bdk. Abraham yang harus meninggalkan  comfort zone menuju tanah terjanji).

Kadangkala, kita entah suka atau tidak suka harus berani  "membongkar sarang." Kadangkala pula, kita menjadi ragu-ragu, kuatir dan cemas menghadapi zona yang belum kita kenal dan mungkin tidak bersahabat. Tetapi dalam situasi yang penuh keraguan itu, ingatlah kata-kata  John Maxwell (Lahir tahun 1947 –   ),  "If we grow, we will always go out of our comfort zone" – Kalau kita bertumbuh, kita akan selalu keluar dari zona nyaman kita.

Senin, 29 Juli 2013   Markus Marlon

Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: