(Kontemplasi Peradaban)
Ada seorang karyawan yang tidak segera mau pindah ke tempat tugas yang baru setelah mendapatkan SK penempatan. Ia sudah merasa nyaman bekerja di tempat yang selama ini hidup dan berkarya.
Orang ini berkata, "Saya sudah amat menyatu dengan lingkunganku: tempat kerja, rekan dan situasinya. Jika saya ditempatkan di tempat yang baru, berarti saya harus mulai dari nol lagi dong!" Tambahnya lagi, "Capek dech!"
Tempat kerja yang nyaman memang menjadi dambaan setiap insan. Ibarat tahta yang empuk dan "basah" sehingga orang akan betah tinggal di sana. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Petrus ketika di atas gunung, "Adalah baik bagi kami berada di sini" (Luk 9: 33). Di atas gunung itu, Petrus, Yohanes dan Yakobus merasa nyaman. Tempat yang sunyi, angin yang semilir, apalagi "didampingi" oleh nabi-nabi yang hebat seperti: Musa, Elia, dan Yesus sendiri. Tetapi dalam suasana yang nyaman tersebut, Yesus mengajak para murid untuk "turun gunung" ke Yerusalem. Di Yerusalem sana menjadi pusat kegiatan manusia: pasar yang hiruk pikuk, para ahli Kitab yang menjadi pemegang aturan-aturan adat dan hukum dan masih banyak lagi. Di tempat inilah banyak "kursi panas" bagaikan kursi pengadilan, tempat duduknya pesakitan.
Kisah "wiracerita" tentang pribadi-pribadi yang berani meninggalkan comfort zone (zona nyaman) patut kita teladani. Sang Buddha (563 – 483 seb. M) dalam film yang berjudul The Life of Buddha mengisahkan tentang seorang pangeran yang berani meninggalkan istana yang penuh ingar-bingar menuju ke tempat yang sunyi mencari kesejatian diri.
Kisah lain lagi, yakni seorang pangeran – bisa kita lihat ceritanya dalam film yang berjudul The Prince and pauper – yang sangat terhormat rela "menukar" kedudukannya dengan teman sebayanya, untuk sementara waktu dan tinggal di daerah berbau busuk dan pesing di London.
Di zaman ini, ada kisah kelompok peduli anak-anak jalanan di bilangan Jakarta yang sangat care dengan mereka yang tersingkir (Kick Andy dalam acara di Metro TV, 26 Juli 2013). Mereka rela berpanas-panasan bahkan kehujanan untuk mengajari belajar – mungkin – di kolong-kolong jembatan atau di rumah-rumah yang kumuh.
Apa yang dilakukan oleh mereka yang berjiwa besar yang berani "meninggalkan zona nyaman" itu sebenarnya bisa dibaca dalam Kitab Suci.
Sayap rajawali tidak tiba-tiba menjadi kuat. Ada ceritanya. Sejak kecil burung ini memang terlatih untuk terbang tinggi. Sang induk selalu menempatkan sarangnya di tempat tinggi (Yer 49: 16). Lalu jika sudah tiba saatnya, ia akan membongkar sarang itu, sehingga anak-anaknya "terjun bebas" di udara. Dipaksa untuk belajar terbang di tengah empasan angin kencang. Sementara sang induk melayang-layang di atas sembari menjaga.
"Membongkar sarang" adalah keputusan yang pelik dan rawan. Dengan terbongkarnya sarang, berarti anak rajawali itu "dipaksa" untuk terbang. Tentu saja ia belum tahu harus terbang dan bertengger di pohon atau tebing mana nantinya (Bdk. Abraham yang harus meninggalkan comfort zone menuju tanah terjanji).
Kadangkala, kita entah suka atau tidak suka harus berani "membongkar sarang." Kadangkala pula, kita menjadi ragu-ragu, kuatir dan cemas menghadapi zona yang belum kita kenal dan mungkin tidak bersahabat. Tetapi dalam situasi yang penuh keraguan itu, ingatlah kata-kata John Maxwell (Lahir tahun 1947 – ), "If we grow, we will always go out of our comfort zone" – Kalau kita bertumbuh, kita akan selalu keluar dari zona nyaman kita.
Senin, 29 Juli 2013 Markus Marlon
Sent by PDS
http://pds-artikel.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar