(Sebuah Percikan Permenungan)
Saya mempunyai seorang teman yang hidupnya sangat tertekan. Dari pagi
hingga malam, dia tidak pernah luput dari "kekuasaan" orang tuanya. Ketika
orang tuanya pergi, ia mulai "menunjukkan" kekuasaannya dengan "menguasai"
pembantunya di rumah. Pembantu merasa tertekan sebab dibentak, dipukul,
dicaci-maki, dihina dan dijelek-jelekkan. Suatu ketika si pembantu itu tidak
tahan lagi, namun ia tidak berani menghadapi anak majikannya itu secara
frontal. Dengan penuh amarah dan rasa dendam, ia memukuli kucing milik sang
majikan, hingga kucing itu lari terbirit-birit hampir mati. Dalam bahasa
psikologi, tindakan si pembantu itu disebut sebagai kompensasi. Kompensasi,
menurut Alfred Adler (1870 – 1937) seorang psikiater Austria adalah suatu
proses reaksi psikologis dari perasaan inferior (rendah diri) seseorang.
Orang yang terkena sindrom inferior cenderung bertindak agresif terhadap
orang lain. Rasa inferioritasnya ditutupi dengan sebuah rasa percaya diri
yang berlebihan. Dalam fenomena psikologis ini terlihat dalam hamparan
realitas hidup keseharian kita, termasuk dalam perilaku para penguasa.
Dalam Olympus kisah-kisah Dewa Yunani, misalnya Dewa Kronos begitu tega
menelan anak-anaknya sendiri, karena ia takut kalau kekuasaannya kelak
direbut oleh anak-anaknya. Dalam Kitab Suci, Absalom yang terburu-buru
merebut kekuasaan ayahnya: Daud dan berperang melawan Moab. Tetapi sangat
disayangkan bahwa Absalom tewas bukan karena perang face to face dengan
Yoab, melainkan karena kepalanya terantuk pada dahan pohon (2 Sam 18: 9 –
33).
Dalam buku yang berjudul, 48 Hukum Kekuasaan tulisa Robert Greene ada
kutipan tentang makna kekuasaan, "Untuk dikagumi oleh rakyat, buatlah mereka
takut kepadamu. Ciptakanlah terror supaya rakyat minta perlindungan
kepadamu." Kata-kata tadi merupakan ajaran Niccolo Machiavelli ( 1469 –
1527 ), penulis buku Il Principe. Kalau Adolf Hitler (1889 – 1945) membaca
Il Principe di atas ranjang setiap setiap hari, maka Lenin (1870 – 1924) dan
Yosef Stalin (1879 – 1953) mempelajarinya secara khusus di sebuah
Universitas di Rusia. Bahkan Benito Mussolini (1883 – 1945) secara
terang-terangan mengaku diri sebagai pengikut setia Machiaveli oleh karena
itu, ia sering mengutip kalimat-kalimat magisnya dalam pidato-pidatonya.
Buku Imperium, yang cover-nya adalah wajah Cicero ( 106 – 43 BC) bercerita
tentang perebutan kekuasan yang dimulai dengan perdebatan para senator. Dari
sana ada kisah yang menarik. Dalam perdebatan tercetus perdebatan tentang
pembusukan (corruption) dengan mengambil contoh seekor ikan. Ikan itu jika
membusuk, yang akan busuk adalah kepalanya terlebih dahulu. Demikian pula,
para penguasa adalah orang-orang yang memegang kekuasaan tertinggi. Negara
hancur, corrupt, bankrupt dan collapse pertama-tama karena "kelakuan"
penguasanya. Memang, penguasa adalah pemegang kebijakan yang membuat negara,
organisasi, perkumpulan dan lembaga bisa maju atau hancur. Pepatah Latin,
"Imperia et potestates pudorem ac auctoritatem non iam habentes" artinya
para petinggi dan penguasa tidak lagi mempunyai rasa malu dan kewibawaan
mengajak kita untuk berrefleksi, sejauh ini bagaimana sikap penguasa yang
kita kenal.
Perilaku penguasa itu aneh dan unik. Ketika pertama kali ia ingin menggapai
kekuasaan, dirinya akan tampil sebagai penampung aspirasi rakyat. Ia
berbicara tentang kepeduliannya terhadap wong cilik. Ia membuka diri untuk
menerima input yang berupa ide-ide dari constituent-nya. Tetapi ternyata
"bulan madu" antara calon penguasa dan pemberi suara itu pun tidak
berlangsung lama, karena secepat kilat sang penguasa mulai memutar haluan
"kapal kekuasaannya". Kritik pun mulai ditampik dan dirinya dibentengi oleh
puluhan bodyguard yang berotot kekar tetapi stupid. Bahkan tidak jarang
para penguasa – karena dikritik – berusaha untuk membungkam dan memberangus
media massa.
Untuk melawan pemegang kekuasaan, Seno Gumira Ajidarma dalam Ketika
Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara, menulis bahwa menutupi kebenaran
adalah perbuatan yang paling bodoh yang bisa dilakukan oleh manusia di muka
bumi ini. "Lawanlah itu!" Voltaire (1694 – 1778) misalnya ikut andil dalam
merekayasa terjadinya Revolusi Prancis (1789) dan dia pun ikut meringkuk di
penjara Bastile yang terkenal itu. Sebuah tulisan atau kumpulan tulisan
berseri mampu mengoyak kaki kekuasaan hingga terpelanting sembab. Buku
adalah musuh bebuyutan dari orang-orang berkepribadian kurang jujur.
Pramoedya Ananta Toer, penulis novel tetralogi yang tersohor itu pernah
berkata, "Janganlah pernah membungkam sebuah tulisan." Pada zaman abad-abad
gelap di Eropa, penguasa (Gereja) berusaha untuk melarang terbitnya
buku-buku, bahkan buku-buku tersebut dibakar. Daftar tulisan-tulisan
tersebut dinamakan Tridentine Index. Tetapi kita harus sadar bahwa ide dan
gagasan yang tertulis dalam buku itu bagaikan "anak" revolusi, demontrasi
dan protes. Pepatah Latin yang berbunyi, "verba volent, scripta manent"
artinya kata-kata itu akan terbang, sedangkan yang tertulis itu akan
menetap. Gagasan-gagasan dalam bentuk tulisan itu "tinggal tetap" dan hanya
menunggu "bom waktu" saja.
Memang, tidak semua orang tergila-gila dengan kekuasaan. Banyak orang
"sehat" di dunia ini, sekalipun masyarakat sudah "sakit". Mengutip tulisan
Priyono Sumbogo dalam Forum Keadilan (26 Juni 2011) terbersit suatu
harapan bahwa kita pernah memiliki teladan publik bangsa. Tulisnya, "Dulu
kita memiliki tokoh-tokoh sipil seperti Buya Hamka, Nurcholis Madjid dan
Romo Mangunwijaya. Mereka tidak memiliki kekuasaan politik, tidak memiliki
massa yang terorganisasi, juga tidak punya cukup untuk membeli gengsi.
Mereka hanya memiliki kata-kata yang secara umum mulia, walaupun mereka
tetap tidak luput dari kesalahan. Kata-kata mereka didengar oleh banyak
orang, meskipun barangkali tidak dijalankan. Dalam bersyiar, Buya Hamka
tidak meledak-ledak, tidak menyakiti siapa pun, juga tidak tunduk pada
kekuatan politik apa pun. Nurcholis dipanuti oleh semua penganut agama,
karena selalu mengingatkan bahwa "Tuhan bagi siapa saja". Nurcholis juga
disukai semua golongan, karena semua partai, semua suku dan semua kelompok
dapat menjadi berkah bagi semua negara. Romo Mangun menjauhi hingar bingar.
Ia menyepi di tepian Kali Code, Yogyakarta untuk mendidik anak-anak yang
tidak diperhatikan oleh negara. Tetapi para wartawan seringkali datang
menemuinya, kemudian menyebarkan pikiran-pikiran Romo Mangun yang jernih dan
menyejukkan."
Sidharta Budda Gautama (563 – 483 BC) adalah pangeran yang semula menikmati
harta kekayaan sang ayah. Setelah ia melihat sendiri bahwa nasib manusia itu
ditandai oleh kelahiran, kesengsaraan, penyakit dan mati, ia segera
melepaskan dirinya dari jejaring kekuasaan itu dan hidup sebagai petapa
miskin. Yesus adalah putra Allah yang turun ke dunia dan mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia (Flp. 2:8). Ajaran Yesus
tentang kekuasaan amat paradoksal dan tidak masuk akal bagi kekuasaan zaman
sekarang. Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi
pelayanmu (Mat. 23: 11). Sebutan Minister yang kalau di Indonesia adalah
mentri itu sebenarnya berarti pelayan (to minister, artinya melayani,
meladeni).
Kekuasaan itu nikmat, sehingga dikejar oleh semua orang, entah yang
berpangkat tinggi, maupun yang rajin berdoa. Karena nikmatnya itu, maka
perlu dibatasi. Mother Theresa dari Calcuta (1910 – 1997), pernah berkata,
"Berhentilah makan sebelum kenyang." Kekuasaan juga demikian, jika orang
terlalu lama menjabatnya, rakyat pun akan mengalami kejenuhan dan kurang
penyegaran (pemikiran dan ide baru). Seorang penguasa yang berhenti sebelum
masa jabatannya berakhir dan pada puncak jayanya, dirinya akan tetap
dicintai dan dikenang oleh rakyatnya. Dalam permenungan ini, saya jadi ingat
ketika saya menjadi pastor di paroki kecil. Tetapi seringkali saya merasa
bahwa "berkuasa" sendirian itu nikmat, sebab tidak ada orang yang
mengontrol. Apa yang saya katakan dianggap benar oleh umatku. Bahkan, ketika
harus pindah dari tempat tugas, rasa-rasanya berat. Sekali lagi, kekuasaan
itu nikmat. Tidak lama kemudian saya dinasihati oleh sahabatku, "Untuk
memegang kekuasaan, obatilah terlebih dahulu luka psikologis itu dengan
pencerahan budi dan pendewasaan diri. Kalau sudah begitu, maka kekuasaan itu
bukan lagi soal nikmat, melainkan itu sungguh suatu hikmat."
Kantor "Percikan Hati", 30 Juni 2011
Biara Hati Kudus,
Skolastikat MSC - Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
Pineleng II, Jaga VI
Minahasa – MANADO – Sulawesi Utara – 95361
Markus Marlon MSC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar