Selasa, 05 Juli 2011

Untuk yang sudah punya anak.

Mitos Pendidikan Anak : Menjadi Mandiri Itu Identik "Tidak Butuh Orang Lain"

 


Selamat tahun baru 2010! Saya ingin menawarkan sebuah tulisan tentang pendidikan anak, yang terbuka untuk dikritik. Tulisan ini berakar pada pengalaman saya dalam keluarga, saat masih hidup bersama dengan orangtuaku (+) Aloysius Mujiman & Mg M Sulastimah, serta kedua adikku, Iie, & (+) Sugeng. Kenangan cara mendidik orang tuaku rasanya sangat mengesan bagiku. Pendidikan yang mengesan itu karena ternyata beberapa praktek yang saya jalani itu mengubah cara berpikir "keyakinan lama" tentang kemandirian anak. Keyakinan lama itu bisa jadi sebuah mitos yang masih diyakini "kebenarannya", antar lain ada pemahaman sbb,:  " anak yang dewasa adalah anak yang mandiri. Anak mandiri itu mampu mengurusi dirinya sendiri tanpa bantuan orang tuanya"


Pemahaman "kemandirian" itu menggerakkan banyak bapak ibu mendidik anaknya dengan tujuan "mandiri": bisa mengurus dirinya sendiri, tanpa merepotkan ayah ibunya. Itulah yang terjadi, banyak orang tua suka membentak-bentak anaknya karena mereka minta tolong diambilkan minum, minta ditemani belajar, minta ditemani beli sepatu, dsb. Dengan alasan kemandirian itulah, banyak orang tua juga akhirnya membuat acara tersendiri, saat anak anak belajar atau tidur siang, mereka pergi atau menghibur dirinya sendiri dengan nonton TV atau pergi jalan jalan tanpa mengajak anaknya.
Kalau ditanya, "Pak, Bu, kenapa anak anak tidak diajak pergi ?" Jawabnya dengan entheng, "Lha, anak anak kan harus belajar sendiri dan belajar mandiri, masak belajar saja ditemani. Kami orang tua kan juga mesti punya waktu untuk menghibur diri sendiri. Memangnya kita ini jadi Bapak Ibu harus terus menjaga anak ? Nanti kalau sudah nikah, kami juga akan ditinggalkan! Kuno, Mas, kalau orang tua diminta untuk menemani anak belajar, menemani beli sepatu! Kalau bisa kerjakan sendiri, kenapa mesti ditolong ? Bukankah pendidikan model "pertemanan" itu membuat anak jadi manja dan tergantung pada orang tua ?"


Di balik jawaban orang tua tadi, ada sebuah pemahaman tentang "kemandirian" yang sangat "pragmatis": bisa sendiri.
"Kemandirian" dalam bahasa Latinnya itu "otonom", dari kata auto & nomos= auto: sendiri, dan nomos: urusan rumah tangga. Namun otonomi itu diakui adanya justru hanya dalam "RELASI". Semakin banyak orang memiliki relasi, akan semakin jelas "otonominya": jelas bagaimana dia mengurus dirinya sendiri. Karena itu, "kemandirian" itu hanya tumbuh dan berkembang makin matang dalam "BERELASI". Relasi yang mengembangkan "otonomi" adalah relasi yang membebaskan orang untuk "mengambil keputusannya sendiri". Itulah inti dari "memberdayakan orang untuk mandiri: jadi dirinya sendiri". Persoalannya adalah "bagaimanakah kita akan mampu memberdayakan orang lain jadi "mandiri" kalau tidak mau membangun relasi ?


Relasi orang tua dan anak yang memungkinkan tumbuhnya otonomi anak adalah "relasi yang menawarkan pilihan". Sejak mereka sudah mulai bisa mandi sendiri, makan sendiri, mereka bisa diberi pilihan, "Dik, mau mandi sendrii, atau dimandikan? Mau disuapin atau makan sendiri? Besok mau cari baju baru: dibelikan saja, atau pilih sendiri tapi ditemani? Adik ditemani belajar, atau mau belajar sendiri?" Dengan berbagai pilihan itu, anak anak akan belajar untuk memutuskan, sekaligus mereka belajar untuk terbuka menanggung resikonya. Itulah latihan yang sangat sederhana, namun butuh ketekunan.


Masih ada banyak kesempatan untuk "menciptakan ruang" agar anak anak belajar ambil keputusan sendiri. Semakin dilatiih untuk membuat keputusan, di situlah anak akan belajar "menjadi dirinya sendiri", bukan menjadi "wayang" atau "copy" dari ayah -ibunya. Kebiasaan "menawarkan" pilihan, akan membuat anak merasa tidak terancam, melainkan merasa nyaman karena dipercaya untuk memutuskan sendiri. Anak itu akan belajar, kalaupun gagalpun orang tua akan ikut menanggung resikonya.


Cara berpikir macam ini, bukankah sebenarnya menjadikan "paham kasih" menjadi konkret : kasih orang tua kepada anak, bukan soal memberi barang atau fasilitas mewah, melainkan KASIH itu berarti "menjadi sahabat" yang membuat anak "TIDAK KETAKUTAN", melainkan MERASA NYAMAN untuk tampil sebagai pribadi. "Dalam ketakutan tidak ada kasih!" Dalam situasi yang tidak takut, anak pun bisa bertanya, "Pak, Bu, boleh nggak saya minta ditemani kalau saya belajar? Boleh nggak saya minta tolong untuk ditemani beli sepatu?" Itulah anak yang mulai mandiri, berani beresiko, juga kalau ayah atau ibunya tidak sanggup memenuhi permintaannya. Namun anak itu tidak lagi "memerintah" melainkan "meminta tolong".Itulah anak mandiri, yang tetap butuh bantuan orang lain, namun ia mengasihi orang tuanya, karena ia mampu menciptakan "ruang" bagi orang tuanya juga untuk membuat pilihan tanpa terpaksa. Dengan kebiasaan begitu, terbukalah harapan banyak anak makin tumbuh manusiawi.


Semoga di tahun baru 2010 ini kita belajar menciptakan "RUANG HIDUP" yang membuat siapapun tidak takut berhadapan dengan kita, melainkan mereka TERTANTANG untuk membuat pilihannya sendiri.


Warm regards

bslametlasmunadipr

 

Tidak ada komentar: