Selasa, 27 September 2011

RELASI

RELASI
(Sebuah Percikan Permenungan)

Di negeri antah berantah, hiduplah seorang permaisuri yang memiliki puri
yang indah dan dibangun di bukit tengah kota. Sang permaisuri begitu
mencintai puri itu, sehingga dibuat tidak memiliki jendela. Ia tidak rela
kalau perabot puri itu diketahui dan dilihat oleh orang lain. Di kamarnya
yang dikelilingi dengan cermin-cermin itu, sang permaisuri memanjakan
dirinya dengan bersolek. Karena kegemarannya bersolek itulah sang raja
marah. Dibongkarnya cermin-cermin itu dan dibuatlah lobang. Dengan adanya
lobang tersebut, ia menyadari bahwa di seberang puri tersebut banyak orang
menderita yang perlu untuk dikunjungi dan dibantu. Sejak saat itulah, sang
permaisuri menyuruh membuat jendela-jendela di purinya dan membuat jembatan
untuk menghubungkan antara puri kerajaan dan rakyatnya. Jembatan yang
terhampar, jendela dan pintu yang terbuka hendak melukiskan bahwa dirinya
mau berelasi dengan orang lain.

Gereja pun menyadari akan perlunya berelasi. Paus Yohanes XXIII (1881 –
1963) yang sebelumnya bernama Kardinal Roncalli, merasa bahwa Gereja harus
membuka pintu perubahan lebar-lebar. Ia menekankan kebutuhan gereja akan
"aggiornamento" artinya disesuaikan mengikuti zaman. Gereja harus mengejar
ketinggalannya dengan dunia modern. Walaupun dogma tidak berubah,
pengungkapannya dapat dan harus berubah. Orang Protestan harus dilihat
sebagai "saudara-saudara yang terpisah" bukan sebagai penyesat yang jahat.
Kini di setiap keuskupan bahkan paroki ada seksi HAK (Hubungan Antar
Keagamaan) yang hendak membangun relasi yang baik dengan agama-agama lain.
Setiap kali ada kerusuhan yang menyangkut SARA, para tokoh umat beragama
berkumpul dan membahas isu tersebut. Syukur kepada Allah bahwa suasana yang
sempat panas itu pun akhirnya menjadi kondusif. Dialog, kumunikasi,
musyawarah, kesepakatan dan perundingan adalah cara yang efektif untuk
meredam relasi yang memanas. Paus Yohanes Paulus II (1920 – 2005) adalah
seorang Paus yang suka melanglang buana untuk membangun relasi dengan
negara-negara lain dan agama serta aliran kepercayaan lain. Kata Pontifex
Maximus, menurut interpretasi saya mengandung arti: pont = jembatan dan
facere = membuat). Tugas salah satu Paus adalah membuat jembatan / membangun
relasi. Maka tidak mengherankan jika pada tahun 1987 dan sesudahnya Yohanes
Paulus II bertemu di Asisi dengan pimpinan banyak agama sedunia untuk
mendoakan damai bagi seluruh dunia. Belum lama ini, Paus Benediktus XVI
menemui tokoh-tokoh agama di biara, tempat Martin Luther dulu belajar di
Erfurt dan dihadiri 20 pemimpin dalam Kompas, 24 September 2011. Untuk
hidup berdamai dengan sesama perlulah berelasi dengan baik.

Orang yang ingin membangun relasi dengan orang lain memiliki niat – dalam
hatinya – untuk berdamai. Relasi dari tingkat pribadi sampai ke
negara-negara sudah menjadi kebutuhan. Di sinilah setiap negara memiliki
duta. Duta adalah utusan yang membawa kedamaian bagi negara yang dikunjungi.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin, dengan amat bagus memberikan
ilustrasi tentang Hanoman, duta Rama. Tanggung jawabnya begitu berat sebagai
duta karena harus menghadapi pelbagai tantangan. Baik dari pihak dalam
(para kera pengikut Rama) maupun dari pihak luar (para ksatria pembela
Rahwana). Meskipun berat tugas yang diembannya, Hanoman, putra Anjani ini
tetap melaksanakannya dengan sepenuh hati. Prof Kong Yuanzhi dalam Cheng
Ho Muslim Tionghoa, menceriterakan seorang duta perdamaian yang luar biasa.
Cheng Ho berhasil dalam membangun relasi dengan negara-negara tetangga dan
dari relasinya yang baik dengan negara-negara yang dikunjungi itu,
terjalinlah pertukaran: budaya dan hasil bumi. Tidak sedikit hambatan yang
yang dihadapi oleh Cheng Ho. Bahkan tantangan dari dalam (kerabat sendiri)
tidak kalah dahsyatnya. Ia berprinsip, "Orang sering melempar batu di jalan
kita. Tergantung kita mau membuat batu itu jadi tembok atau jembatan."
Kritikan-kritikan dari orang lain dibangunnya sebuah "jembatan" sehingga
bisa dipakai untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang tadinya
mengkritiknya. Itulah yang sering kita sebut sebagai kritik yang membangun.
Sekolah Komik Pipilaka dalam Laksamana Cheng Ho menulis bahwa relasi
dengan negara-negara lain itu tidak bertahan lama, sebab ketika Cheng Ho
mangkat, buku-buku yang ditulis selama pelayaran dibakar musnah oleh
orang-orang yang kontra dengannya.

Membangun relasi memang tidak mudah. Ibarat rumah yang sudah dibangun
dengan baik, dapat dengan mudah dirobohkan. Pepatah China berbunyi, "Satu
musuh kebanyakan dan seribu teman masih kurang" mengajak kita untuk
bermenung bahwa yang namanya membangun relasi itu memang tidak mudah.
Terkadang kita merasa bahwa relasi yang kita miliki itu sudah solid. Maka
dengan modal itu, orang bisa membuat kesepakatan yang gegabah. Ada dua ibu
yang merasa sudah akrab satu dengan yang lain. Karena keakrabannya itu,
mereka berdua sepakat untuk bekerja sama membangun usaha. Pada awalnya,
mereka saling percaya, tetapi dalam perjalanan waktu, usaha itu semakin
besar dan dari sana mulai ada saling curiga. Pecunia not olet yang artinya
siapa pun suka pada uang. Tidak lama kemudian, relasi yang dibangun dengan
niat yang baik, akhirnya layu sebelum berkembang.

Relasi yang sudah dibangun dengan baik pun kadang bisa juga dirobohkan
oleh kekuatan roh jahat. Di dunia ini tidak semua orang akan sependapat
dengan gagasan yang kita lontarkan. Niat ini muncul sebab dalam dirinya ada
rasa iri, dengki dan kecewa. Elizabeth M. Ince dalam Thomas More dari
London, melihat adanya relasi yang indah antara Raja Henry VIII (1491 -
1547) dan Thomas More (1478 - 1535). Sang raja bahkan sering beranjang sana
di rumahnya. Namun kekecewaan sang raja itu muncul setelah mengetahui bahwa
Thomas More tidak mendukung pernikahannya dengan Anne Boyle. Thomas More
setia dengan Paus. Akhir dari relasi itu adalah pemenggalan lehernya. Dalam
Kitab suci, Saul awalnya begitu menyayangi Daud, bahkan sudah dianggap
seperti anaknya sendiri. Tetapi ketika Saul mendengar sendiri, rakyat
memuji Daud, maka relasi mereka berdua menjadi terganggu dan ada niat
terselubung bahkan terang-terangan mermaksud membunuh Daud (1 Sam 21: 1 –
26: 25). Tetapi dalam diri Daud tidak ada dendam dan benci kepada Saul.
Daud semakin dikuatkan karena memiliki relasi yang baik dengan putra Saul,
yakni Yonatan (Sam 18: 1 – 20: 42)

Ada juga relasi yang dari luar nampaknya kuat, tetapi fundamennya rapuh.
Ini berlaku dalam relasi antara atasan dan bawahan. Seorang pemimpin adalah
orang yang "kesepian". Ketika waktu senggang tiba, ia menginginkan
sanjungan, pujian dan pengakuan dari bawahannya. Inilah kesempatan yang
ditunggu-tunggu oleh para penjilat. Secara berlebihan mereka memuji
pemimpinnya. Apa yang dikatakan oleh pemimpin itu selalu benar. Muncullah
badut-badut baru yang membuat gelak tawa. Tertawa kemunafikan. Kisah ini
bisa diperdalam ketika membaca dongeng "Pakaian Baru Kaisar" tulisan Hans
Christian Andersen (1805 – 1875), penulis dongeng Swedia. Relasi karena
jilat-menjilat tidak akan berlangsung lama. Ketika pemimpin mendapat SK
pemberhentian, mereka pun akan mundur teratur dan pada gilirannya akan
menjilat pemimpin yang baru. Relasi yang rapuh.

Inti dari relasi adalah komunikasi. Perseteruan, perkelahian, bahkan perang
itu terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik. Sang duta
dipermalukan, seperti yang terjadi dalam kisah, "Kubilai Khan" dan "Arya
Penangsang". Perundingan gagal total, sepertinya yang terjadi dalam kisah
Mahabaratha dengan lakon, "Kresna Duta". Di pihak lain, komunikasi yang
baik akan menumbuhkan sikap perdamaian. Setiap pagi, sebelum mengawali
tugasnya, Yesus senantiasa berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Ia pergi ke
tempat sunyi dan berdoa (Mrk 1: 35). Semalam-malaman Ia berdoa kepada Allah
(Luk 6: 12). Yesus senantiasa berelasi dengan diri-Nya sendiri,
lingkungan-Nya , sesama-Nya dan Bapa-Nya.

Skolastikat MSC, 26 September 2011
Biara Hati Kudus – Pineleng
Jl. Manado – Tomohon KM. 10
MANADO – Sulawesi Utara – 95361

Markus Marlon MSC

Tidak ada komentar: