Senin, 25 Juli 2011

TEKUN

TEKUN
(Sebuah Percikan Permenungan)

Ketekunan, sungguh menakjubkan. Dalam novel yang berjudul, Count of Monte
Christo, Alexandre Dumas (1802-1870), penulis Prancis, yang juga sering
dipanggil Dumas pere, memberikan ilustrasi yang begitu bagus tentang makna
ketekunan. Edmond Dantes, tokoh utama dari novel itu diperlakukan secara
tidak adil itu akhirnya masuk penjara yang mengerikan. Nama penjara itu
Chateau d'lf. Selama hampir 15 tahun, Edmond Dantes hidup dalam
keterasingan yang mendalam. Dalam penjara tersebut, hilanglah segala
harapan untuk bertemu lagi dengan Mersedes, tunangannya. Ketika dia sedang
merenungkan tulisan di dinding penjara, "Tuhan akan memberikan Keadilan",
tiba-tiba muncullah seorang napi lain yang sudah menggali dinding penjara
selama bertahun-tahun. Napi itu seorang pastor. Pertemuan dua anak manusia
itu sungguh luar biasa. Edmond Dantes yang dulunya seorang yang buta huruf
dengan penuh ketekunan ia akhirnya menguasai beberapa ilmu. Ia juga
berlatih untuk bermain pedang yang nantinya akan dipakai perang tanding
melawan Ferdinand Montego, yang memasukkan dirinya ke dalam penjara, karena
dia menginginkan Mersedes. Dan benar, ketekunannya dalam belajar di penjara
itu memberikan mukjizat yang luar biasa.

Cuplikan sepenggal kisah di atas meneguhkan kita bahwa kesuksesan seseorang
bisa diraih pun oleh orang yang tidak memiliki gelar akademik. Bahkan
beberapa kisah sukses banyak yang diduduki oleh mereka yang tidak mengenal
sekolah. Ada pemilik perusahaan adalah orang yang tidak memiliki gelar
akademik, tetapi memperkerjakan orang-orang yang memiliki gelar akademik.
Perusahaan menjadi besar tidak tanpa perjuangan, tetapi dilaluinya dengan
jatuh-bangun. Sang pemilik perusahaan itu berkisah, "Perusahaan ini menjadi
menggurita berazaskan pada kejujuran, kepercayaan dan ketekunan". Ketekunan
menata perusahaan, ketekunan memahami para karyawan, ketekunan mengadakan
ekspedisi, ketekunan berelasi dengan Bank adalah modal yang harus dilalui
untuk membesarkan sebuah perusahaan.

Kebanyakan dari kita dalam berkarya memimpikan kalau bisa langsung
menduduki tempat pucuk tertinggi. Kursi direktur, meja ka-bag, dan ruang
inspektur merupakan tempat yang empuk. Tetapi, apakah kita menyadari bahwa
untuk menuju ke sana, seseorang harus merangkak dari bawah?? Orang yang
merangkak dari bawah mengandalkan ketekunan yang luar biasa. Seorang
pemimpin yang baik memang harus berjuang dari bawah. Lewat perjuangan dan
ketekunannya, ia bisa merasakan dan solider dengan bawahannya. Alexander
Agung (356–323 s.M.) misalnya adalah seorang raja Macedonia dan menjadi
jendral terbesar pada zamannya, amat mengenal para prajuritnya. Di kala
istirahatnya, ia berkeliling dari tenda ke tenda untuk menyapa dengan
menyebut nama dan tanggung jawab mereka masing-masing. Alexander Agung
menyelami tugas para prajuritnya. Memang, untuk menjadi jendral tertinggi,
Alexander Agung harus mulai berjuang dengan tekun dari bawah. Namun yang
terjadi saat ini, mental menerabas sudah masuk dalam bagian hidup kita.
Mental menerabas mengandalkan koneksi, pelicin, katebelece, memo, sehingga
seseorang menduduki tempat yang empuk tanpa melalui perjuangan dan
ketekunan. Inilah yang menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme di negara
kita.

Dalam dunia pewayangan ada tokoh yang bernama Ekalaya. Ekalaya dikenal
sebagai raja tampan, sakti yang beristri cantik dan setia bernama
Anggraini. Suami Anggraeini ini tidak pernah mengalami pendidikan strategi
perang dari guru agung, Dorna. Hal itu dikarenakan dia bukan dari keturunan
dinasti Bharata. Meskipun demikian, ia tidak pernah pantang menyerah. Maka
yang ia buat adalah memasang patung sang guru di studio-nya (ruang kerja).
Dan dari situ, ia belajar memanah "di bawah asuhan" Dorna. Berkat
ketekunannya, maka keahlian memanah Raja Ekalaya setara dengan Arjuna. Ia
tidak minta dikasihani, ia mulai memotivasi diri untuk ahli dalam bidang
memanah. Ketekunan tidak jatuh dari langit, melainkan harus diraih dan
harus diusahakan.


Jogjakarta, 10 April 2011
Markus Marlon msc

Tidak ada komentar: