Usia balita sudah harus bisa membaca?
Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM
Principal of Yemayo Advance Education Center
Saat mendengar bahwa usia anak-anak TK harus sudah bisa membaca dan menulis, spontan saja saya berpikir bahwa ini benar-benar edan! Tentu saja bukan hanya saya yang berkomentar demikian, ada banyak orangtua yang juga mengeluhkan hal ini. Sambil masih terus mengeluh, mereka terpaksa memberikan les tambahan membaca dan menulis, bahkan sebagian kaum ibu sudah tidak sanggup membayangkan anaknya diharuskan duduk diam menulis dan membaca. Akhirnya banyak juga yang lepas tangan akan hal ini dan benar-benar melepaskan tanggung jawab ini kepada sekolah ataupun guru les tambahan. Sering para ibu cukup terkejut mendapatkan anak-anaknya yang mengucapkan kata-kata saja masih kacau ternyata sudah dapat mengeja kata-kata dan bahkan sudah dapat menulis. Walaupun demikian, masih banyak orangtua yang bertanya kepada saya, apakah baik mengharuskan anak usia balita membaca?
Walau pada awalnya ide ini terdengar memaksa, tapi saya memutuskan untuk menelusuri sumber dari mana asalnya berkembang ide bahwa anak balita sebaiknya diajarkan membaca. Jika hampir seluruh sekolah mengadopsi hal ini, maka akan sangat naif untuk mengatakan bahwa para bapak dan ibu guru itu sungguh tidak berperasaan karena memaksa anak-anak balita untuk dapat membaca.
Glen Doman, seorang pakar psikologi yang handal yang selalu melakukan riset secara sistimatis mengupas tuntas tentang hal ini. Doman pulalah yang diyakini sebagai pencetus ide mengharuskan anak balita membaca. Bermula dengan rasa skeptis yang besar, saya membuka buku Glen Doman pada halaman-halaman pertama dengan hati yang kesal dan sedikit banyaknya ingin menghakimi beliau sebagai bapak yang mungkin hanyalah seseorang yang menginginkan komersialisasi.
Namun setelah membaca bahasan-bahasan Doman sampai pada halaman terakhir, justru saya sangat bersemangat untuk menerapkan hal ini atau paling tidak menganjurkannya pada para ibu muda yang saya kenal.
Nah! Tentu anda bertanya, apa yang menyebabkan akhirnya saya dapat menyetujui buah pikiran Doman? Jawabannya adalah pada "cara". Bila kita membayangkan bahwa anak-anak harus melewati cara belajar membaca seperti yang kita lewati ketika kita masih duduk di bangku kelas 1 SD, dimana semua kata mulai dengan dieja,maka cara belajar seperti ini memang akan menjadi suatu hal yang menyulitkan. Tetapi Doman tidak menawarkan cara demikian, bahkan bayi berusia 3 bulan sekalipun bisa diajarkan membaca. (Saya yakin anda pasti heran). Tapi mari kita simak caranya, si ibu disarankan ke sebuah ruangan yang tidak terlalu banyak pernak-pernik, seperti ruang kosong saja, kemudian ibu mulai mengangkat satu kata, misalnya, apel, selama beberapa detik. Kata apel ditulis dengan tulisan yang besar di atas sebuah karton. Sambil mengangkat karton bertulisan apel itu, ibu harus juga menyebutkan 'apel'. Proses ini pun tidak boleh lama-lama karena rentang konsentrasi anak masih pendek. Semakin bertambah usia anak, barulah perlahan-lahan jumlah waktu ditambahkan. Hal paling menarik bagi saya dari cara ini adalah bahwa yang sangat penting bagi sang ibu atau sang ayah yang mau mengajarkan anak batita ataupun balitanya membaca untuk merasa senang dan menganggap bahwa sesi belajar membaca sebagai sesi bermain. Inilah esensi Kecerdasan Emosi!Bila kita mampu untuk merubah emosi suatu suasana belajar, maka belajar itu tidak akan menjadi suatu hal yang sulit ataupun menakutkan, tetapi justru sebaliknya. Di dalam buku Doman pun disebutkan bahkan banyak ibu mengaku bahwa sang anak selalu menanti ibunya untuk bermain 'membaca' bersamanya. Bila di usia yang begitu belia anak sudah dapat membaca dengan penuh sukacita tanpa merasa terpaksa, saya pikir anda pun kini tidak berkeberatan akan ide mengajarkan membaca kepada anak usia dini. Perihal teknis detil mengajar anak membaca dengan gembira dapat anda baca di buku Doman.
Namun hal yang kurang menggembirakan adalah kenyataan bahwa anak-anak usia dini ini justru masih banyak yang diajarkan dengan menggunakan cara lama, yaitu dengan cara mengeja. Akibatnya sekarang bermunculanlah kasus-kasus ke permukaan dimana banyak anak menjadi malas belajar. Pertama, karena metode yang dipakai kurang tepat (tidak seperti yang dianjurkan oleh sang pakar), kedua, karena usia anak memang belum memungkinkan untuk disuruh duduk diam dan menyimak. Akibatnya guru kewalahan, anak pun mungkin akan semakin membenci kata 'belajar' karena identik dengan suasana yang tidak nyaman.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah baik mengharuskan anak usia balita membaca? Jawabannya adalah sangat baik, kalau diberikan dengan metode yang tepat. Ajaibnya lagi, bila metode yang digunakan sudah tepat, jangan heran kalau anak bukan hanya pandai membaca ataupun menulis, bahkan ia sudah dapat menjelajahi matematika ataupun science dengan keinginannya sendiri. Hal ini dikarenakan anak melihat sisi 'asyiknya' belajar. Kata belajar baginya identik dengan dunia eksplorasi yang menantang bukan identik dengan suatu paksaan yang mengikatnya yang membuat ia merasa bosan ataupun malas setiap kali mendengar kata 'belajar'.
Begitu anda berhenti belajar, anda berhenti memimpin
= Rick Warren
Tidak ada komentar:
Posting Komentar