Selasa, 14 Oktober 2008

Budaya serba cepat, menumpulkan anak

Budaya serba cepat menumpulkan anak !

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Sebut saja Kika namanya, berusia 5 tahun berparas molek. Selesai kursus ia berlari keluar dengan gembira, tangan mungilnya mengambil sepatu miliknya. "Ini sepatu baru loh", kata Kika senang sambil memamerkan dengan gembira kepada pengajar yang mengantarnya sampai pintu keluar. Nyatanya Kika masih terlihat bingung mana sepatu sebelah kiri mana yang sebelah kanan, ekspresi wajahnya sungguh antusias dan ia tidak berkeberatan mencocokan kakinya dengan sepatunya. Hanya untuk menemukan kaki yang tepat dengan sepatu yang tepat, Kika sampai terduduk di lantai, tetapi wajah gembiranya masih jelas terlihat.

Tiga menit berlalu, Kika berhasil memasukkan kakinya ke dalam sepatu kiri; tidak berapa lama kemudian dia makin tertawa senang tidak hanya memamerkan sepatu barunya, tapi kini ia memamerkan kepandaiannya memakai sepatu sendiri. Pengajar pun berkata, "Wah! Kika pandai yah, pakai sepatu kirinya bisa loh…" Kika terlihat semakin antusias memakai sepatu sebelah kanannya, tapi memang sepatu sebelah kirinya belum selesai ditalinya dengan benar. Namun pengajar masih belum mau campur tangan, hasil pemikiran dan pengerjaan anak harus dihargai sampai ketika anak 'memutuskan' sendiri bahwa apa yang dikerjakannya telah selesai. Namun belum lagi sepatu kanannya berhasil masuk, tiba-tiba tangan cekatan pengasuhnya segera memasangkan sepatu kanan Kika. Tangan mungil Kika diminggirkan, diganti dengan kegesitan tangan seorang pengasuh. Kika tidak terlihat sedih atau marah, dia sudah merasa hal itu sebagai hal yang biasa bahwa apa yang dikerjakannya memang sebagian besar sering diambil alih oleh pengasuh ataupun oleh mamanya. Hanya saja, walaupun tidak terlihat sedih atau marah, antusiasme yang  awalnya terlihat jelas di muka gadis mungil itu, kini berubah menjadi datar seolah hanya menunggu hasil saja. "Maaf bu, saya harus buru-buru, ditunggu mamanya Kika di rumah, mau diajak pergi", sela sang pengasuh sambil membenarkan sepatu kiri Kika yang tadi belum selesai ditali.

"Oh gitu... Kalau di rumah, apa diajarkan pakai baju sendiri?", tanya pengajar.

"Iya diajari, cuma Kika ini orangnya lelet, kalau apa-apa selalu pelan, jadi memang harus selalu dibantu pakai baju, kalau tidak, dia bisa terlambat ke sekolah… Sudah yah, permisi pulang", kata sang pengasuh sambil menarik tangan Kika pulang. Langkah Kika yang mungil terlihat agak terseret-seret mengikuti langkah pengasuhnya.

Selang dua minggu setelah itu, mama Kika datang bertemu dengan pengajar mengeluhkan betapa Kika ini seorang yang pelan dan kurang motivasi. "Kalau orang lagi cepet-cepet, eh! Dia malah nyantai. Kadang-kadang saya sampe geregetan loh. Gimana sih caranya supaya ngajarin dia bisa lebih cepet lagi, lebih bertanggung jawab lagi?", terdengar nada sang mama mulai meninggi. Mama Kika tidak sendirian, kami menemukan sejumlah orangtua lain yang mengeluhkan kekurang mandirian anaknya. Nyatanya setiap kali kami menanyakan apakah anak pernah dilatih untuk pakai pakaian sendiri, rata-rata orangtua menjawab ya, tetapi ketika ditanya seberapa sering, jarang yang mengatakan cukup sering, biasanya dijawab, "Yah, sesempatnya ajalah. Kita kan memang selalu dikejar-kejar waktu. Kalau pagi, pas mau sekolah, kan nggak mungkin karena takut terlambat sekolah, maka dipakaikan." Jawab orangtua.

"Kalau mau bepergian santai sama keluarga, apakah juga dibiasakan berpakaian sendiri?" Tanya kami lagi.

"Kalau mau pergi, papanya kan sudah nunggu di mobil, biasanya langsung aja digendong ke mobil dan dipakaikan di mobil." Jawabnya lagi.

Di jaman tehnologi yang setiap hari berlomba menyuguhkan kecepatan, justru anak-anaklah yang sering tidak diberikan ruang untuk belajar mandiri sesuai dengan kemampuannya. Bila si kecil memakai sepatu sendiri selama 15 menit, seolah ia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal, seisi rumah kesal, bila ia berpakaian selama setengah jam karena kancing-kancing kemejanya belum mampu ia pertemukan, dianggap anak kurang bertanggung jawab terhadap waktu. Menambah buruknya situasi, dimana anak jarang dilatih, juga selalu dibantu pengasuh, toh! Akhirnya diomeli juga oleh orangtuanya karena dianggap tidak antusias.

Pada beberapa kasus, kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh orangtua justru membuat anak terlihat menjadi hiperaktif, anak sering mondar-mandir tidak jelas mau mengerjakan apa, emosinya naik-turun tidak menentu, untuk beberapa anak malah harus sampai ke psikolog. Padahal, dengan diberikan beberapa latihan dan dorongan pada anak; yang tentunya dapat dilatih di rumah, seperti latihan memakai baju, latihan memakai sepatu, latihan cuci piring, dsb, perilaku anak dapat berubah menjadi positif. Di waktu senggang, bila anda mengajari anak anda berpakaian sendiri, bersabarlah. Siapkan waktu yang benar-benar luang, jangan terkejut kalau mereka membutuhkan waktu satu jam dan bukan satu hari saja, mungkin seminggu, tetaplah bersabarlah… Bila anda mau memberikan waktu sekarang lebih lama, anda akan menghemat banyak waktu di masa yang akan datang yaitu dimana anak dapat bergerak cepat dan lancar secara mandiri. Tetapi bila sekarang anda masih terus meributkan kelambatan anak tanpa mau memberi waktu mereka latihan yang cukup; maka anda akan semakin menjadi kesal dalam jangka waktu yang semakin panjang ke depannya. Bisa cepat tua loh!

Belajar, bekerja dan menuai hasil adalah tiga tahap kehidupan.

= Jack Balousek

 

Tidak ada komentar: