Kamis, 23 Oktober 2008

Katakan! Aku sayang padamu…

Katakan! Aku sayang padamu…

Yacinta Senduk SE, SH, MBA, LLM

Principal of Yemayo – Advance Education Center

Satu subjek yang masih agak asing yang ada di kelas kami sehubungan dengan melatih komunikasi murid adalah meminta mereka mengatakan, “Ma, aku sayang mama”, “Pa, aku sayang papa”. Meminta murid untuk mengatakan hal ini membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Untuk anak usia belasan tahun, banyak dari mereka tertunduk merasa tidak nyaman. “Ih! Bulu kuduk sampe berdiri”, ujar seorang murid. “Emangnya penting ngomong kayak ginian, nggak usahlah! Nggak usah diomong juga udah tau, ya pasti aku sayanglah sama orangtuaku”, celetuk murid yang lain. Luar biasa menantang subjek komunikasi ini, rata-rata ketika mulai diminta mengatakan hal ini mereka memberikan dalih yang bermacam-macam, dari tidak penting, tidak bisa buat pintar, geli, jijik… Semuanya seolah menolak.

Nyatanya, 4000 anak remaja di Amerika bunuh diri per tahunnya; kebanyakan kasusnya adalah depresi, mereka melihat sisi gelap hidupnya namun sulit untuk mereka ungkapkan. Lucu ya, bahwa mengatakan, “Aku sayang padamu”, menjadi suatu subjek yang dipelajari? Nyatanya, kemampuan ini adalah sesuatu yang memang perlu dipelajari, perlu diluweskan menjadi suatu kebiasaan. Setiap anak mendapat giliran mengucapkannya, pada putaran pertama; tampak benar mereka tidak senang, lalu pengajar menyuruh semua murid mengulangi lagi pada putaran kedua; masih terlihat kaku, tetapi nada protes itu mulai memudar, putaran ketiga dan selanjutnya mereka mulai dapat diminta untuk menyebutkan, “Ma, aku sayang mama” secara lebih pelan, karena pada awalnya, hal tersebut selalu diucapkan dengan buru-buru, seperti orang sedang dikejar-kejar sesuatu. Ketika sudah selesai putaran kelima, pengajar bertanya, bagaimana rasanya sekarang kalian mengucapkan kalimat itu? Hmmm, kali ini terlihat kelas lebih tenang, tidak terlihat lagi rasa bergidik jijik seperti ketika diminta pertama kali.

Nyatanya, mengungkapkan perasaan memang memerlukan latihan. Lihatlah kebanyakan orang-orang yang berhasil, baik secara finansial maupun di dalam keluarga, mereka dapat mengungkapkan perasaan mereka dengan nyaman walaupun mungkin pernyataan mereka sebenarnya bukan suatu hal yang positif untuk lawan bicaranya. Namun keterbukaan dan kebesaran jiwa adalah hal yang penting di dalam kita berinteraksi dengan sesama kita agar kita dapat dimengerti oleh orang lain. Bila kita tidak cukup pandai mengungkapkan perasaan, maka kita akan sering berjalan dengan asumsi-asumsi yang seringnya tidak benar.

Selain mengungkapkan rasa sayang, kami juga meminta murid untuk mengatakan, “Saya merasa marah, karena kamu mengambil barang milikku.” Dalam hal ini, anda, pembaca dapat juga mempraktekkannya, sebagai contoh, apa yang akan anda katakan ketika teman anda merusak kacamata anda? Banyak orang akan langsung berkata: “Sialan kamu!”, “Lancang kamu!”, “Brengsek kamu!”. Semua kata-kata tidak terstruktur itu justru semakin merusak komunikasi anda dengan orang yang merusak barang anda, buruknya lagi, membuat emosi anda semakin kacau. Tentu saja anda berhak marah. Namun jika anda gunakan kata, “saya merasa marah karena…” Maka jika anda teruskan, kata-kata ini akan terdengar lebih dewasa secara emosi. Bandingkan, “Brengsek kamu ngerusakin kacamataku!” dengan “Saya merasa marah karena kamu merusak kacamataku!” Hanya dengan mendahulukan kata “Saya merasa..”, maka anda mengakui perasaan anda dan emosi anda menjadi lebih terstruktur.

Kemampuan mengungkapkan perasaan memberikan pengertian pada lawan bicara anda. Seorang suami yang mengatakan, “Aku sayang padamu” secara tulus kepada pasangannya akan lebih mendapatkan suasana rumah tangga yang jauh lebih segar demikian juga sebaliknya. Mengapa demikian? Banyak orang berpikir hal itu tidak perlu, toh dengan perbuatan juga sudah terlihat bahwa ia mencintai pasangannya. Namun sama seperti kasus seorang pencuri, tentunya polisi akan merasa lebih yakin bila sang pencuri mengaku sendiri bahwa ia telah mencuri daripada polisi bersusah payah membuktikan asumsinya bahwa si pencuri telah mencuri. Bagaimanapun ungkapannya adalah: Pikiran orang siapa yang tahu!

Membiasakan diri mengungkapkan perasaan akan sangat membantu diri anda untuk bertindak melakukan sesuatu untuk diri anda sendiri agar merasa lebih baik dan juga dapat lebih dimengerti orang lain. Sebagai contoh, karena merasa lelah setelah mengalami kemacetan di jalan, sampai di rumah anda membentak-bentak anak anda yang sedang menggambar, padahal penyebab utamanya adalah karena anda sedang kelelahan sehabis macet. Seharusnya kalau anda dapat mengatakan, “Saya merasa lelah karena tadi jalanan macet” maka selanjutnya karena tahu merasa lelah, anda dapat segera beristirahat di dalam kamar sehingga tidak harus membentak anak anda yang sebenarnya bukan penyebab kelelahan anda.

Saat pertama kali kita belajar menulis, tentu terasa sulit, namun setelah dibiasakan, menulis menjadi hal yang mudah; mengungkapkan perasaan pun demikian, bila anda telah terbiasa, anda akan lebih dimengerti orang dibandingkan bila anda hanya terbiasa menjawab, “Ah! nggak apa-apa kok, saya baik-baik saja”. Padahal mungkin anda sedang depresi berat. Lihatlah, ketika anda terbiasa mengungkapkan perasaan dengan benar, banyak hal berubah menjadi baik dalam hidup anda.

Tidak semua yang dihadapi itu bisa diubah.

Tetapi tidak ada yang dapat diubah hingga dihadapi.

= James Baldwin

Tidak ada komentar: