Dalam kesempatan tirakatan semalam, Mas Panurata, sebagai ketua RT 01
RW 03 Kelurahan Rantai, melontarkan pertanyaan kepada beberapa orang
yang berkumpul di teras rumahnya. Pertanyaannya begini, " Saudara
Saudara, "Maukah engkau jadi orang merdeka? Sekali lagi, "Maukah Anda
semua jadi orang merdeka?" Pak Trimbil mulai angkat tangan, "Maaf Mas
Panu, pertanyaan Anda ini rasanya aneh dan ganjil!! Kenapa bertanya
begitu, padahal kita sudah merayakan ulang tahun kemerdekaan ke -64
untuk negara kita tercinta Republik Indonesia! Apa yang masih kurang,
kok masih bertanya seperti itu lagi. Apakah Mas Panu kurang pekerjaan
sebagai ketua RT, jadi mempertanyakan lagi kemauan kami ini untuk jadi
merdeka? Sudah merdeka ya sudah, kok masih dipersoalkan lagi!, Trembel
pun tak kalah menyahut, "Benar Mas Trimbil, ini Mas Panu jangan jangan
"kerasukan filsuf", jadi aneh-aneh!! Pertanyaan filosofis itu suka
"mengganggu kemapanan!!" Padahal kita ini sudah mapan, kok malah
diganggu!" Dari dalam rumah Panurata, Jerawati pun tidak mau kalah
melontarkan komentar, " Wah suamiku ternyata pinter bertanya kritis,
nakal, tapi "njelehi banget!!" Panurata langsung komentar, "Bu...ini
dunia laki-laki, Ibu tidak boleh ikut campur ya...please....!!"
Mendengar jawaban Panurata, suaminya, Jerawati pun tidak mau kalah,
"Begitulah Bapak bapak, suami saya pinter bertanya, tapi, isteri
berkomentar saja sudah reaktif banget, malah membuat wanita terjajah
tidak merdeka kan? Di rumah saja nggak ada kemerdekaan berpendapat, kok
mau memerdekan bangsa!!!"
Di sela sela saling beradu argumentasi, Pak Trembel, seperti biasanya
langsung bertanya, "Boleh kan saya minum, kopi buatan Diajeng
Jerawati?" Panurata tersenyum simpul, "Boleh boleh,...tumben memanggil
isteriku dengan nama lengkap!! Trembel pun langsung menyahut, "Jelas
dong, ini tanda pria yang menghargai wanita! Dibuatkan lalu terima
kasih dan memanggil dengan hormat!! Tidak lalu reaktif dan marah, kalau
dikomentari isteri! Trimbil pun ikut berkomentar, "Lho, dari praktek
tadi ternyata kita bisa menjawab sebenarnya, "Coba tanya pada Diajeng
Jerawati, mengapa Anda kok malah merasa terjajah dan tidak merdeka?"
Jerawati sambil melipatkan tangannya menyahut, "Tadi itu suami saya kok
tidak merasa nyaman ketika saya ikut komentar, dan tidak boleh terlibat
dalam pembicaraan ini..! Nah, kenapa wanita dianggap "tidak pantas"
ikut serta dalam pembicaraan para bapak!? Apakah saya jadi orang
merdeka untuk berpendapat, kalau sudah "dilarang'? Panurata tersipu
sipu malu, pertanyaan yang dilontarkan malah kena pada dirinya sendiri,
"Jeng, maaf ya...aku tadi sebenarnya tidak bermaksud
merendahkanmu...tapi ternyata kata kataku membuat teman temanku pun
merasa diriku belum membuat orang lain merdeka berpendapat, meskipun
aku sudah merasa jadi orang merdeka. " Trimbil dan Trembel pun
mengangguk angguk,Trimbil lalu berkomentar "Benar Mas Panurata, salut
dan bangga pada Anda! Anda mau mengakui salah, meski sebenarnya Anda
bisa membela diri! Kita ini menganggp diri merdeka justru kalau bisa
menang menangan sendiri dalam rapat, dalam pertemuan dst. Padahal orang
merdeka itu sebenarnya sanggup memberikan kesempatan kepada orang lain,
untuk merdeka dalam berpendapat juga..Itulah orang yang memiliki
kemerdekaan sejati!" Panurata pun mengangguk, "Benar Mas, ternyata,
kemerdekaanku hanya untuk kepentingan diriku sendiri, belum untuk
kepentingan orang lain, bahkan isteriku sendiri. Terima kasih teman
teman atas kritikan dan saran yang disampaikan di malam tirakatan ini."
Jam Dinding sudah menunjukkan pukul 01.30. Trimbil dan Trembel
berpamitan pulang karena esok mau ikut upacara bendera di alun alun
kota Mahardika! Mereka pun pamitan, "Mas Panu dan Diajeng, kami pamit,
sudah pagi, besok mau upacara 17an. Sugeng sare!" Panurata dan Jerawati
mengantar mereka sampai pintu gerbang. Panurata pun lalu memeluk
isterinya, "Maaf ya Jeng, tadi aku bersalah!" Jerawati pun memaafkan
suami tercintanya, "Iya Mas, sama sama! Tapi tetap merdeka, kan?"
Panurata pun tersenyum...
Merdeka! Merdeka ! Merdeka!
Blasius Slamet Lasmuandi, Pr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar