Selasa, 15 September 2009

CARA TUHAN (ANDY F NOYA)

CARA TUHAN
(Andy F. Noya)

Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya bekerja ekstra
keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu ? Sampai jam tiga
dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak saya berobat.
Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker payudara
yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya. Untuk
itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya
untuk proses operasi tersebut.

Soal persetujuan, relatif mudah. Sejak awal saya sudah menyiapkan mental
saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan
tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya
pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi
terburuk itu.

Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah soal biaya.
Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai
redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab
jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus
menghidupi keluarga dengan tiga anak.

Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. Dia harus berjuang
membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang
terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi
kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga mendukungnya secara
moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai pengganti ayah
dari anak-anak kakak saya.

Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita kanker stadium
empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba menyembunyikan
penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan ketakutannya dengan
mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya selama ini. Kalau
memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. Seandainya kakak saya
lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda awal
kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain. Tapi, nasi sudah menjadi
bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia memeriksakan diri ke dokter,
kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi tidak tertolong lagi. Saya
menyesali tindakan kakak saya yang "menyembunyikan" penyakitnya itu dari
saya, tetapi belakangan -- setelah kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi
keputusannya. Saya bisa memahami mengapa kakak saya menghindar dari
pemeriksaan dokter. Selain dia sendiri tidak siap menghadapi kenyataan,
kakak saya juga tidak ingin menyusahkan saya yang selama ini sudah banyak
membantunya.
Namun ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap
menghadapinya. Salah satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang
dalam jumlah yang disebutkan dokter untuk biaya operasi. Otak saya
benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya tidak juga menemukan jalan
keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?

Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat
dokter menganjurkan operasi. "Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada
jaminan saya akan terus hidup," ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu, saya
tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia
tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.

Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan jalan keluar,
saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar
begitu jelas doa yang saya panjatkan. "Tuhan, sebagai manusia, akal
pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi
hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka
jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini." Setelah
itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.

Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju
kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi.
Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya ?
Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin
Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup
kuat sehingga masih saja gundah.

Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon
terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public
relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi
pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan
terpaksa menelepon saya karena "keadaan darurat". Pembicara yang seharusnya
tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya.

Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu.
Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu sukses. Sahabat
saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para
peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara
lagi untuk acara-acara mereka yang lain. Sebelum meninggalkan tempat
workshop, teman saya memberi saya amplop berisi honor sebagai pembicara.
Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini. Saya betul-betul hanya
berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat saya memohon agar saya
mau menerimanya.

Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak
menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya
sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai
dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam
hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya
melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu.
Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan
tidak lebih satu sen pun. Sama persis!

Mata saya berkaca-kaca. Tuhan, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar.
Dengan cara-Mu Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang
tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib. Esoknya cek tersebut saya
serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah operasi, saya ceritakan kejadian
tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa menangis dan memuji kebesaran
Tuhan. Tidak cukup sampai di situ. Tuhan rupanya masih ingin menunjukkan
kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan saya, Surya Paloh, pemilik
harian Media Indonesia tempat saya bekerja, suatu malam datang menengok
kakak saya di rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita
soal kakak saya.

Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya.
Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga memutuskan
semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia
tanggung. Tuhan Maha Besar.

Tidak ada komentar: