Kebaikan Menghasilkan Keajaiban-Keajaiban
-- Gede Prama
Lelah dan letih, mungkin itu kata yang tepat untuk mewakili keadaan tubuh
dan jiwa saya menjelang 2 Maret 2001. Sebuah tanggal yang membuat umur saya
menjadi tiga puluh delapan tahun. Banyak orang memang meyakini, kehidupan
mulai di umur empat puluh tahun. Dan entah apa yang terjadi kelak, kalau
saya sudah sampai pada titik start kehidupan terakhir. Mudah2an lelah dan
letih ini hanya kondisi sesaat saja. namun, yang jelas kendati sang badan
dan jiwa sudah mengeluh letih, tetap saja stok rasa syukur tidak berkurang.
Malah, semakin hari semakin bertambah, bertambah dan bertambah.
Izinkan saya berbagi refleksi dari salah satu pojokan rasa syukur yang
dikaruniai Tuhan. Masih segar sekali dalam ingatan, ketika pertama kali
menginjakkan kaki di ibu kota Jakarta ini dengan membawa ijazah sarjana
ditahun 1985, di terminal bus Pulo Gadung, saya bertanya ke diri sendiri;
akankah saya bisa tumbuh di Jakarta ini? Antara optimis dan ragu, saya
bergerak menuju kerumah keluarga di Pasar Minggu sana. Ketika pikiran
optimis datang, hati saya berkata : beruntunglah mereka yang bisa
mendapatkan saya jadi pekerja. Tatkala pikiran pesimis berkunjung, bayang2
manusia kalah yang kembali pulang ke kampung menghantui saya.
Kalau saja ada orang yang bertanya ketika itu, apa modal jualan saya di
Jakarta agar diri saya laku jadi pekerja, terus terang, hanya
kebingunganlah jawabannya. Maka tertulislah dalam sejarah kehidupan saya,
seorang anak manusia yang menganggur di Jakarta ini hampir dua tahun. Kalau
jalan2 sepanjang Jakarta setiap hari, hanya untuk mengobati rasa malu pada
tetangga karena kelihatan menganggur, sudah menjadi menu sehari2 ketika
itu. Belum lagi ditambah dengan bayangan malu pada orang2 di kampung, sudah
bergelar sarjana, telah berkeluarga namun jadi pengangguran.
Ketika menghadapi godaan2 karier yang hebat di awal2 karier, hanya rasa
malu terakhirlah yang membuat saya bertahan. Entah godaan hampir
diberhentikan ketika baru mulai kerja, godaan baru pulang dari Inggris dan
Prancis kemudian menganggur lagi. Yang jelas, kalau ada bayangan cengeng
yang meminta saya harus pulang kampung jadi manusia kalah, cepat2 dihapus
dari kepala. Rumusnya sederhana, saya anggap sudah tidak punya apapun di
kampung sana.
Belasan tahun setelah kisah ini berlalu, sisi2 menyedihkan sudah sangat
berkurang. Diganti dengan pojokan2 rasa syukur yang hadir disana-sini. Ada
saja bahan yang bisa membuat saya bertutur reflektif kepada Anda di hari
ulang tahun ini. Hadiah ulang tahun yang patut di syukuri di tahun 2001
ini, karena ada pemilik perusahaan yang mempercayakan perusahaannya kepada
saya untuk dipimpin.
Dalam lorong2 renungan saya menoleh kembali kebelakang, ternyata Tuhan
menghadiahi saya sejumlah lompatan karier. Satu hal, yang tidak ditemui
oleh kebanyakan sahabat dan kerabat dekat. Dalam bahasa seorang rekan, dua
tahun berturut2 naik pangkat ditempat yang tinggi. Jadi konsultan dua
tahun, jadi komisaris dua tahun, jadi direktur SDM dua tahun dan ditahun
2001 ini jadi CEO. Dan yang membuat sahabat dan kerabat tambah iri, posisi
ini saya lakoni tetap dengan tidak meninggalkan habitat saya yang lama
(jadi penulis, pembicara dan konsultan).
Ada orang yang mengira saya hebat. Dan kalau boleh jujur, bila kinerja,
kepintaran dan pendidikan ukurannya dan diserahkan ke saya sendiri untuk
memilih CEO-nya, saya akan memilih orang lain. Tentu ada yang bertanya,
lantas apa modal saya bisa sampai disini? Sebenarnya tidaklah hebat2
sangat, karena modal saya dimiliki semua orang. Modal tadi bernama
kebaikan. Kebaikan dan hanya kebaikan, itu dan hanya itu.
Ketika orang berebut kekuasaan saling sikut, saya biarkan saja sambil tetap
bekerja. Tatkala ada yang mencoba menjegal saya kiri kanan, kadang memang
ada dorongan ego untuk melawan, tetapi kerap saya rem dengan keyakinan :
kebaikanlah penyelamat kita yang paling utama. Ada yang mencoba naik dengan
segala cara, dan bahkan menginjak kepala. Saya ingatkan diri saya : tidak
ada pengorbanan yang terbuang percuma. Ada yang menjelek2kan saya di depan
umum, dan memang sangat menyakitkan. Akan tetapi, ini berhasil saya
tenangkan dengan cara serupa.
Berhadapan dengan orang2 atas dengan value yang berbeda memang menghadirkan
tantangan tersendiri. Kadang, identitas saya yang asli bisa dikotori dengan
nilai2 baru. Inipun senantiasa saya rem, rem dan rem. Pernah terjadi, diri
saya dibuat demikian tertekan oleh orang atas, dan memancing saya untuk
mundur. Inipun berhasil direm dengan rumus basi yang sama. Demikian juga
ketika berhadapan dengan pekerja bawah yang di zaman2 ini teramat berani.
Kebaikan dan kejujuran mengalahkan segalanya. Tidak hebat2 sangat bukan?
Anda serta siapapun bisa melakukannya. Modalnya hanya satu, niat kuat untuk
memulai dan kemudian bertahan dengan seluruh tenaga. Lelah, capek dan
bahkan kadang sakit memang. Tapi, mana ada kebaikan yang bisa hadir tanpa
bayaran ?
Dalam perjalanan hidup seperti ini, kalau boleh saya menyimpulkan untuk
sementara, apa kearifan kehidupan yang mau dibagi di hari ulang tahun ini
sebenarnya sederhana. Ternyata, kebaikan dan kejujuran menghasilkan banyak
sekali keajaiban2 hidup.
Lelah dan letih, mungkin itu kata yang tepat untuk mewakili keadaan tubuh
dan jiwa saya menjelang 2 Maret 2001. Sebuah tanggal yang membuat umur saya
menjadi tiga puluh delapan tahun. Banyak orang memang meyakini, kehidupan
mulai di umur empat puluh tahun. Dan entah apa yang terjadi kelak, kalau
saya sudah sampai pada titik start kehidupan terakhir. Mudah2an lelah dan
letih ini hanya kondisi sesaat saja. namun, yang jelas kendati sang badan
dan jiwa sudah mengeluh letih, tetap saja stok rasa syukur tidak berkurang.
Malah, semakin hari semakin bertambah, bertambah dan bertambah.
Izinkan saya berbagi refleksi dari salah satu pojokan rasa syukur yang
dikaruniai Tuhan. Masih segar sekali dalam ingatan, ketika pertama kali
menginjakkan kaki di ibu kota Jakarta ini dengan membawa ijazah sarjana
ditahun 1985, di terminal bus Pulo Gadung, saya bertanya ke diri sendiri;
akankah saya bisa tumbuh di Jakarta ini? Antara optimis dan ragu, saya
bergerak menuju kerumah keluarga di Pasar Minggu sana. Ketika pikiran
optimis datang, hati saya berkata : beruntunglah mereka yang bisa
mendapatkan saya jadi pekerja. Tatkala pikiran pesimis berkunjung, bayang2
manusia kalah yang kembali pulang ke kampung menghantui saya.
Kalau saja ada orang yang bertanya ketika itu, apa modal jualan saya di
Jakarta agar diri saya laku jadi pekerja, terus terang, hanya
kebingunganlah jawabannya. Maka tertulislah dalam sejarah kehidupan saya,
seorang anak manusia yang menganggur di Jakarta ini hampir dua tahun. Kalau
jalan2 sepanjang Jakarta setiap hari, hanya untuk mengobati rasa malu pada
tetangga karena kelihatan menganggur, sudah menjadi menu sehari2 ketika
itu. Belum lagi ditambah dengan bayangan malu pada orang2 di kampung, sudah
bergelar sarjana, telah berkeluarga namun jadi pengangguran.
Ketika menghadapi godaan2 karier yang hebat di awal2 karier, hanya rasa
malu terakhirlah yang membuat saya bertahan. Entah godaan hampir
diberhentikan ketika baru mulai kerja, godaan baru pulang dari Inggris dan
Prancis kemudian menganggur lagi. Yang jelas, kalau ada bayangan cengeng
yang meminta saya harus pulang kampung jadi manusia kalah, cepat2 dihapus
dari kepala. Rumusnya sederhana, saya anggap sudah tidak punya apapun di
kampung sana.
Belasan tahun setelah kisah ini berlalu, sisi2 menyedihkan sudah sangat
berkurang. Diganti dengan pojokan2 rasa syukur yang hadir disana-sini. Ada
saja bahan yang bisa membuat saya bertutur reflektif kepada Anda di hari
ulang tahun ini. Hadiah ulang tahun yang patut di syukuri di tahun 2001
ini, karena ada pemilik perusahaan yang mempercayakan perusahaannya kepada
saya untuk dipimpin.
Dalam lorong2 renungan saya menoleh kembali kebelakang, ternyata Tuhan
menghadiahi saya sejumlah lompatan karier. Satu hal, yang tidak ditemui
oleh kebanyakan sahabat dan kerabat dekat. Dalam bahasa seorang rekan, dua
tahun berturut2 naik pangkat ditempat yang tinggi. Jadi konsultan dua
tahun, jadi komisaris dua tahun, jadi direktur SDM dua tahun dan ditahun
2001 ini jadi CEO. Dan yang membuat sahabat dan kerabat tambah iri, posisi
ini saya lakoni tetap dengan tidak meninggalkan habitat saya yang lama
(jadi penulis, pembicara dan konsultan).
Ada orang yang mengira saya hebat. Dan kalau boleh jujur, bila kinerja,
kepintaran dan pendidikan ukurannya dan diserahkan ke saya sendiri untuk
memilih CEO-nya, saya akan memilih orang lain. Tentu ada yang bertanya,
lantas apa modal saya bisa sampai disini? Sebenarnya tidaklah hebat2
sangat, karena modal saya dimiliki semua orang. Modal tadi bernama
kebaikan. Kebaikan dan hanya kebaikan, itu dan hanya itu.
Ketika orang berebut kekuasaan saling sikut, saya biarkan saja sambil tetap
bekerja. Tatkala ada yang mencoba menjegal saya kiri kanan, kadang memang
ada dorongan ego untuk melawan, tetapi kerap saya rem dengan keyakinan :
kebaikanlah penyelamat kita yang paling utama. Ada yang mencoba naik dengan
segala cara, dan bahkan menginjak kepala. Saya ingatkan diri saya : tidak
ada pengorbanan yang terbuang percuma. Ada yang menjelek2kan saya di depan
umum, dan memang sangat menyakitkan. Akan tetapi, ini berhasil saya
tenangkan dengan cara serupa.
Berhadapan dengan orang2 atas dengan value yang berbeda memang menghadirkan
tantangan tersendiri. Kadang, identitas saya yang asli bisa dikotori dengan
nilai2 baru. Inipun senantiasa saya rem, rem dan rem. Pernah terjadi, diri
saya dibuat demikian tertekan oleh orang atas, dan memancing saya untuk
mundur. Inipun berhasil direm dengan rumus basi yang sama. Demikian juga
ketika berhadapan dengan pekerja bawah yang di zaman2 ini teramat berani.
Kebaikan dan kejujuran mengalahkan segalanya. Tidak hebat2 sangat bukan?
Anda serta siapapun bisa melakukannya. Modalnya hanya satu, niat kuat untuk
memulai dan kemudian bertahan dengan seluruh tenaga. Lelah, capek dan
bahkan kadang sakit memang. Tapi, mana ada kebaikan yang bisa hadir tanpa
bayaran ?
Dalam perjalanan hidup seperti ini, kalau boleh saya menyimpulkan untuk
sementara, apa kearifan kehidupan yang mau dibagi di hari ulang tahun ini
sebenarnya sederhana. Ternyata, kebaikan dan kejujuran menghasilkan banyak
sekali keajaiban2 hidup.
1 komentar:
saya begitu terinspirasi dengan tulisan bapak,akan saya coba terapka n dalam hidup saya.
Posting Komentar