Rabu, 22 April 2009

Sepuluh keArifan Krisis.doc

MOMENTUM KETUHANANSEPULUH KEARIFAN KRISIS

Belakangan ini terasa benar adanya frustrasi di masyarakat. Setiap kali
kesulitan, kita seperti ingin cepat menyerah, seakan-akan sudah demikian
gawat dan genting.

Kata gawat, genting atau kemelut adalah terjemahan yang diberikan John M.
Echols dan Hassan Shadali dari kata bahasa Inggris, crisis. Maka, setiap
hari begitu mudah kita temui kata krisis. Mulai dari krisis demam berdarah
sampai flu burung; dari pangan sampai gula dan pupuk; dari transportasi dan
logistik sampai BBM, listrik, dan air bersih; dari pendidikan dan moral
sampai moneter dan keuangan global. Pemaknaan ini berbeda dengan cara bangsa
lain memaknai krisis. Di Amerika Serikat, krisis ditafsirkan sebagai titik
belok yang menuntut terjadinya perubahan untuk menjadi lebih baik atau lebih
buruk. Di China, krisis merupakan gabungan dari dua kata : bahaya dan
kesempatan. Benarkah krisis pembawa bencana, hantu pencabut nyawa yang
membuat kita menyerah ?

Indonesia butuh krisis
Saya menolak anggapan bahwa kita harus jauh dari krisis. Sepanjang sejarah,
kita menyaksikan bangsa-bangsa yang besar dibentuk oleh ancaman dan krisis.
Jepang, Korea Utara, negara-negara Eropa dan AS, serta Israel adalah
contohnya. Bangsa Indonesia sebaliknya, kita dikaruniai alam indah, tanah
subur, cahaya matahari berlimpah, dan sumber daya alam tak terkira.

Tanpa ada krisis, kita akan menjadi bangsa yang malas, hanya mengulang-ulang
apa yang sudah dilakukan, terperangkap tradisi, mudah puas diri, tak
berinisiatif, akhirnya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya. Jadi, krisis
keuangan global yang menghantui kita ini adalah baik bagi semua. Baik bagi
presiden dan gubernur bank sentral agar lebih berani serta cepat bertindak
dan mengambil keputusan. Baik bagi para menteri agar lebih berpikir dan
mementingkan bangsa dalam bekerja. Juga baik bagi birokrat agar lebih
mengutamakan rakyat. Baik bagi pemerintah daerah agar tidak menjadikan
perijinan usaha sebagai pendapatan asli daerah. Baik bagi pengusaha agar
lebih lincah bergulat dalam kesulitan serta lebih efisien dan inovatif,
serta baik bagi aktivis agar tidak melulu mengedepankan konflik. Namun,
krisis jelas tidak baik bagi media massa, politisi busuk, dan para pemimpin
oposisi yang terus menyuarakan konflik dan kebencian

Krisis dan Perubahan
Setidaknya ada sepuluh pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan
global saat ini, dimulai dengan hubungan antara krisis dan perubahan.

Pertama, krisis selalu terjadi jika makhluk hidup gagal beradaptasi atau
perilakunya melawan (resisten) terhadap perubahan. Krisis melanda AS saat
pemimpin dan penguasanya gagal merespons aneka tuntutan baru, sama seperti
yang kita alami tahun 1997-1998. Inertia yang demikian kuat tak memungkinkan
perubahan dari dalam, sampai Tuhan semesta alam mengirimkan "bantuan
perubahan" berupa krisis. Di Indonesia, sepanjang 2006-2008 banyak orang
menyangkal dan menahan perubahan. Jika sistem tak memungkinkan mereka
melakukan evolusi, mereka dapat menerima hukuman dalam bentuk krisis.

Kedua, kendati pasar domestik tetap kuat dan pengaruh pasar internasional
serta investasi asing di Indonesia hanya 10-20 persen, apakah bijak
mengatakan krisis ini tidak ada di sini? Masalahnya, pemerintah yang
berkuasa masih bekerja seperti biasa dan reformasi birokrasi tidak berjalan
sehingga eksekusi pembangunan masih amat lamban.

Ketiga, kendati sasaran nasihat-nasihat ekonomi makro ditunjukkan kepada
pemerintah, apakah bijak menyajikan fakta-fakta krisis terus menerus kepada
khalayak umum? Alih-alih menasehati pemerintah, yang takut justru dunia
usaha dan konsumen yang berpotensi menahan investasi dan konsumsi sehingga
mempercepat terjadinya resesi.

Keempat, krisis tidak hanya menghancurkan daya beli, tetapi juga memudarkan
harapan dan aneka keinginan sehingga melemahkan pelaku usaha yang dominan.
Selain sulit, keadaan ini sebenarnya menjanjikan kesempatan untuk merebut
posisi dalam persaingan karena banyak pemain asing yang limbung kehilangan
rasa percaya diri.

Kelima, ada pasar dan segmen yang hilang, tetapi juga ada pasar yang
tiba-tiba muncul. Perjalanan wisata ke AS dan Eropa turun, beralih ke dalam
negeri. Demikian pula dengan barang-barang lux, otomotif, dan makanan,
terjadi pergeseran sehingga ada pasar yang hilang dan ada yang tiba-tiba
muncul.

Keenam, saat jalan terasa enak, itu pertanda kita sedang menurun dan,
sebaliknya, saat terasa berat, itu pertanda kita sedang mendaki ke atas.

Ketujuh, krisis bukan saat yang tepat untuk mengetatkan aturan. Ia butuh
ruang gerak dan fleksibilitas. Krisis menuntut relaksasi constraint.

Kedelapan, krisis adalah saat tepat berinvestasi. Kala ekonomi membaik, itu
saat memanen.

Kesembilan, tugas pemimpin adalah memelihara optimisme. Namun, bukankah
orang yang optimis dan positif pada masa krisis sering dianggap orang yang
tidak kritis? Bagi sebagian besar elite, pemimpin yang kritis adalah mereka
yang negatif dan pesimistis.

Kesepuluh (terakhir), meski manusia melihat dengan mata, mereka lebih
percaya melalui pikiran, yaitu pikiran yang dibentuk oleh ulasan dan data
yang tak terlihat. Untuk kondisi Indonesia ada kenyataan, krisis yang
dilihat melalui kasatmata (baca: tidak ada krisis) amat berbeda dengan
krisis yang kita lihat melalui melalui data, kajian, dan ulasan para ahli
(baca: keadaan sudah genting).

Keduanya (mata dan pikiran) harus digunakan secara simultan guna meraih
kecerdasan dan keberanian bertindak. Namun, di era krisis global kali ini,
tampak keduanya berseberangan jalan sehingga krisis keuangan global
mengacaukan pikiran.
Saya tidak berpretensi apa-apa dengan menyatakan seolah krisis tidak ada
atau, sebaliknya, krisis sudah gawat. Apa pun bentuknya, berbagai ancaman
atau kegentingan, ada baiknya untuk memperbarui kesejahteraan, cara
berpikir, dan cara mengelola Republik Indonesia. Tak penting betapa besar
kerugian yang Anda alami, yang lebih penting adalah apa yang dapat kita
pelajari dari krisis itu sendiri.


Rhenald Kasali
Pengajar di Universitas Indonesia
Kompas, 4 April 2009

Tidak ada komentar: