Di sebuah tempat nan jauh dari kota di Jawa Barat, tampak seorang pemuda
bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan
kegamangan. Ia seperti mencari sesuatu di surau itu.
"Assalamu'alaikum, Kabayan " ucapnya ke Kabayan yang terlihat sibuk menyapu
ruangan surau. Spontan, si Kabayan itu menghentikan sibuknya. Ia menoleh ke
si pemuda dan senyumnya pun mengembang.
"Wa'alaikum salam. Mangga. Mari masuk!" ucapnya sambil meletakkan sapu di
sudut ruangan. Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila.
"Ada apa, Jang ?" ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup.
"Kabayan, aku diterima kerja di kota!" ungkap sang pemuda kemudian.
"Syukurlah," timpal si Kabayan bahagia. "Kabayan, kalau tidak keberatan,
berikan aku petuah agar bisa berhasil!", ucap sang pemuda sambil menunduk.
Ia pun menanti ucapan si Kabayan di hadapannya.
"Jang, Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan," untaian kalimat
singkat meluncur tenang dari mulut si Kabayan. Sang pemuda belum bereaksi.
Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata Kabayan. Tapi, tak berhasil.
"Maksud, Kabayan ?" ucapnya kemudian.
"Jang, Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari
tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak
jumlahnya; air kian bersemangat untuk bergerak kebawah. Ia selalu mencari
celah untuk bisa mengaliri dunia di bawahnya", jelas si Kabayan dengan
tenang.
"Lalu dengan awan, Kabayan?" tanya si pemuda penasaran.
"Jangan sekali-kali seperti awan, Jang. Perhatikanlah! Awan berasal dari
tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin
ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi",
terang si Kabayan begitu bijak.
"Tapi Jang," tambahnya kemudian, "dengan ketinggiannya, awan cuma jadi bahan
permainan angin."
Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.
dicomot dari milis urang-sunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar