Kamis, 30 April 2009

Takkan Kumaafkan Diriku Ini

Takkan Kumaafkan Diriku Ini.

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu
mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk
belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu,
ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang
bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk
Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar.
Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya
tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

"Nggak usah... lain kali saja...!"jawab ayah. Jawaban itu yang selalu
diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah
dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar
balik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan
sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau
dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti
biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah... tak boleh
ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi... akhir minggu ini saya akan antar
ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah
pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah...",
katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali
pulang naik bus sendirian.

"Nggak usah saja yah..." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu
masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat
ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah
ini benar-benar nggak mau mengerti yah... saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!"
balas saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya.
Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah
? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia...!" Saya terus membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi
permintaan ayah. "Jangan lupa, bang.. belikan tiket buat ayah," katanya
singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk
keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus
berangkat pk. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak
kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa
banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas
dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata
pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.
Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit
dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang
keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat
melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja
dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang
sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta
dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat
pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat istri
yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya
saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya
lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya, istri
bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba,"
jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Ayah
sudah tiada..." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu
setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu meminta saya agar
segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon
masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang ?"
Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah
sudah tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu
saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang,
kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri
mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Allah yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya
sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan
perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti
akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua
yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya
buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya
bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak
dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir
saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri
ini. Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu
masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak
berarti lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka.
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

Sumber : Milis tetangga

Tanda Salib Atau Cinta

Tanda Salib Atau Cinta

Seorang uskup memeriksa kelayakan kelompok calon untuk dibaptis.

"Dengan tanda apa orang bisa mengenal anda sebagai Katolik?" tanyanya.

Tidak ada jawab. Jelas tidak ada yang menantikan pertanyaan seperti itu.
Uskup mengulangi pertanyaannya. Lalu ia mengatakannya sekali lagi, kali ini
dengan membuat Tanda Salib, untuk menunjukkan kepada yang lain jawaban
yang benar.

Tiba-tiba salah satu calon menangkapnya. "Cinta", katanya.

Uskup agak kecewa. Hampir saja ia berkata : "Salah", tetapi tepat waktu ia
masih menguasai dirinya.

Anthony De Mello SJ

Selasa, 28 April 2009

Guruku Ikan Salmon!

GURUKU IKAN SALMON!

Untuk melaju ke hilir, mengalir, hanyut, bahkan terjun menuju tempat-tempat
rendah merupakan salah-satu sifat fisis dari sat cair. Demikian juga untuk
berhembus dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat-tempat yang
tekanannya rendah, merupakan sifat dari udara. Bagaimana dengan kita, dengan
manusia, apakah kita juga punya sifat-sifat bawaan ?

Merenungkan hal ini, kekaguman saya pada naluri ikan salmon -yang mesti ke
hulu menentang derasnya arus sungai, melompati jeram-jeram berbatu tajam dan
licin, menantang bahaya yang bisa berarti kehilangan nyawa- hanya untuk
bertelur, untuk melahirkan keturunan, melahirkan penerus spesiesnya,
sedemikian mengharukan hati saya.

Pada saat yang sama, saya juga merasa cemburu terhadap semangat kejuangan
mereka, yang notabene hanyalah ikan, binatang, yang kita katakan makhluk
hidup yang lebih rendah tingkat kesadaran dan akal-budinya dibanding kita.

Mungkin kini kian terasa perlu bagi kita untuk mempertanyakan kembali,
apakah kita punya semangat yang menyala-nyala, tekad yang kuat membaja,
kegigihan yang pantang-mundur dan tak kenal lelah maupun takut, ketulusan
bahkan untuk mengorbankan jiwa-raga sekalipun, demi melahirkan generasi
penerus umat manusia yang lebih baik, lebih berkualitas, lebih
manusiawi, seperti para salmon itu ?

Saya rasa, bila kita benar-benar mencintai umat manusia, mencintai
kemanusiaan itu sendiri, kitapun semestinya tidak kalah beraninya didalam
mengorbankan keakuan kita, seperti salmon-salmon itu. Oleh karenanya,
rasanya tidaklah sulit dimengerti kalau kita mendengar seseorang mengatakan:
"Guru spiritualku ikan salmon.". Bagi yang telah éling, akan bisa melihat
kalau apapun bisa membabarkan kebenaran (Dharma), mengutarakan kesujatian
(Satyam) di hadapannya.

Denpasar, Hari Saraswati, 5 April 2003.
Ngestoe Rahardjo
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Si aku bisa sedemikian liciknya. Berhati-hatilah! Ia bisa saja mengenakan
kedok orang suci yang rendah-hati dan mulia, hanya untuk meninggikan
dirinya.

~anonymous 120706-19.

Guruku Ikan Salmon!

GURUKU IKAN SALMON!

Untuk melaju ke hilir, mengalir, hanyut, bahkan terjun menuju tempat-tempat
rendah merupakan salah-satu sifat fisis dari sat cair. Demikian juga untuk
berhembus dari tempat yang bertekanan tinggi ke tempat-tempat yang
tekanannya rendah, merupakan sifat dari udara. Bagaimana dengan kita, dengan
manusia, apakah kita juga punya sifat-sifat bawaan ?

Merenungkan hal ini, kekaguman saya pada naluri ikan salmon -yang mesti ke
hulu menentang derasnya arus sungai, melompati jeram-jeram berbatu tajam dan
licin, menantang bahaya yang bisa berarti kehilangan nyawa- hanya untuk
bertelur, untuk melahirkan keturunan, melahirkan penerus spesiesnya,
sedemikian mengharukan hati saya.

Pada saat yang sama, saya juga merasa cemburu terhadap semangat kejuangan
mereka, yang notabene hanyalah ikan, binatang, yang kita katakan makhluk
hidup yang lebih rendah tingkat kesadaran dan akal-budinya dibanding kita.

Mungkin kini kian terasa perlu bagi kita untuk mempertanyakan kembali,
apakah kita punya semangat yang menyala-nyala, tekad yang kuat membaja,
kegigihan yang pantang-mundur dan tak kenal lelah maupun takut, ketulusan
bahkan untuk mengorbankan jiwa-raga sekalipun, demi melahirkan generasi
penerus umat manusia yang lebih baik, lebih berkualitas, lebih
manusiawi, seperti para salmon itu ?

Saya rasa, bila kita benar-benar mencintai umat manusia, mencintai
kemanusiaan itu sendiri, kitapun semestinya tidak kalah beraninya didalam
mengorbankan keakuan kita, seperti salmon-salmon itu. Oleh karenanya,
rasanya tidaklah sulit dimengerti kalau kita mendengar seseorang mengatakan:
"Guru spiritualku ikan salmon.". Bagi yang telah éling, akan bisa melihat
kalau apapun bisa membabarkan kebenaran (Dharma), mengutarakan kesujatian
(Satyam) di hadapannya.

Denpasar, Hari Saraswati, 5 April 2003.
Ngestoe Rahardjo
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Si aku bisa sedemikian liciknya. Berhati-hatilah! Ia bisa saja mengenakan
kedok orang suci yang rendah-hati dan mulia, hanya untuk meninggikan
dirinya.

~anonymous 120706-19.

Mencintai dengan tulus menghadirkan Kebahagiaan

Mencintai dengan Tulus,  Menghadirkan Kebahagiaan.
 
Cinta untuk dimiliki.       
Ketika seseorang berbicara tentang cinta, maka apa yang  sebetulnya sedang bercokol dalam hatinya adalah untuk dicintai. Kalaupun ia mencoba mencintai  seseorang, maka itu hanyalah agar dicintai. Ia mencintai untuk dicintai, sebagai  balasannya. Dan bilamana ternyata yang dicintainya itu tidak membalasnya, maka ia  akan sangat mudah berubah, bahkan berbalik membenci. Ia merasa kecewa,  direndahkan, disepelekan, tidak dihargai, ditolak, ditampik, terhina atau  sejenisnya. Yang tadinya ia sangka sebagai prilaku mencintai, kini telah  berubah sama sekali. Kini ia berubah menjadi benci, bahkan dendam.
Apa yang sesungguhnya terjadi padanya? Apakah ia memang  benar-benar mencintai orang, yang konon tadinya ia cintai itu ? Ternyata tidak.  Bukan karena ia kini membenci atau mendendam, namun karena keinginannya untuk  memiliki, menguasai, mengangkangi bagi dirinya sendiri. Yang ada ketika itu sebetulnya  samasekali bukan cinta.

Saya kira Anda pernah mendengar kata-kata indah: "Cinta  bukanlah untuk memiliki, namun untuk dimiliki." Anda boleh menyetujuinya atau  tidak; akan tetapi, bilamana Anda benar-benar dapat menghadirkan sikap batin  demikian, itu memang mampu membahagiakan. Dengan membiarkan diri untuk dimiliki tanpa merasa perlu memiliki.
Mencintai ataupun membenci seseorang atau sekelompok  orang sepenuhnya ada dalam kewenangan Anda bukan? Anda tak dapat dipaksa untuk  mencintai siapapun, kecuali hanya berpura-pura saja. Demikian pula orang lain;  tak seorangpun dapat kita paksa untuk mencintai kita. Bila Anda benar-benar  mencintai seseorang atau sekelompok orang, Anda tak perlu peduli apakah ia atau  mereka mencintai Anda atau tidak. Anda hanya mencintainya. Itu saja. Sama  sekali tidak ada urusannya dengan masalah kepemilikan, masalah memiliki,  menguasai, mengangkangi.
Bila kita benar-benar  dapat mencintai tanpa disertai atau dimotivasi keinginan yang kuat untuk  memiliki, maka kita bisa merasakan kebahagiaan dari mencintai.Sebaliknya, kita hanya  mengundang kepedihan, kesengsaraan. Ketulusan dalam mencintai itulah yang  membahagiakan. Bukan balasan yang kita terima. Dalam ketulusan, tiada harapan,  hasrat atau keinginan untuk menerima sesuatu sebagai imbalan. Dalam ketulusan,  yang ada hanyalah sikap batin memberi dengan sukarela, dengan ikhlas. Itulah yang  membahagiakan. Dan, itu pertanda bahwa cinta yang Anda berikan murni adanya.
Sesungguhnya, kita tidak pernah layak untuk dicintai bila  belum siap untuk mencintai. Adalah keliru memandang dicintai sebagai hak, sementara  tak merasa wajib untuk mencintai. Kewajiban semestinya selalu mesti  didahulukan. Apakah kewajiban itu mensyaratkan kerja fisik, kerja verbal, kerja  perasaan ataupun kerja pikiran, ia tetap mesti didahulukan.
Cinta tidak menyengsarakan siapapun.        
Kepemilikan, ketergantungan, kemelekatan pada yang  dicintai, itulah yang menyengsarakan. Ada ungkapan bijak yang mengatakan : "Pada  yang Anda cintailah kesengsaraan Anda tersembunyi." Namun jangan salah. Bukan  cinta itu yang menyengsarakan. Tidaklah tepat bila ada yang menyangka dirinya 'sengsara  karena cinta'. Cinta tak pernah dan tak akan pernah menyengsarakan siapa-siapa.
Kepemilikan, ketergantungan dan kemelakatan kitalah yang  menyengsarakan. Disanalah kesengsaraan bersembunyi. Keinginan untuk memiliki yang  dicintai, tergantung pada balasan setimpal dari yang dicintai dan karenanya  melekat padanya, merupakan sumber-sumber kesengsaraan itu.
Sebaliknya, mungkin Anda cukup beruntung, memperoleh  tanggapan yang setimpal dari yang dicintai. Dicintai oleh seseorang yang Anda  cintai, bisa dibilang suatu keberuntungan. Akan tetapi, bila Anda memang  benar-benar mencintainya dengan tulus, Anda tetap merasa bahagia. Kebahagiaan yang diperoleh dari mencintai  dengan tulus tidak tergantung pada apakah Anda dicintai atau tidak. Kembali  harus kita akui bahwa, kebahagiaan hanya tergantung pada tindak mencintai saja,  pada ketulus-ikhlasan itu saja.
       
Kita bukan Robot Emosi.       
Pada dasarnya, tak seorangpun suka diikat, dibelenggu,  atas dalih cinta sekalipun. Manusia mewarisi kehendak bebas. Keterikatan, ketergantungan ataupun belenggu  merampas kebebasan; dan bersamaan dengan itu pula, kebahagiaan-pun beranjak pergi  darinya. Konyolnya, kita seringkali menggunakan cinta sebagai pengikat dan  pembelenggu siapa saja atau apa saja yang kita cintai. Kita ingin memiliki,  medominasi yang kita cintai. Disinilah titik persoalannya.
Anda bisa berbahagia dengan mencintai profesi yang Anda  tekuni selama ini, misalnya. Akan tetapi, bila kecintaan Anda pada profesi  mulai bergeser kepada pemburuan atau penimbunan uang, kepada penghasilan yang  Anda peroleh dari menjalani profesinya, atau kepada kemasyuran, penghormatan  dan pemuliaan, Anda mesti siap-siap untuk melepaskan kebahagiaan itu lagi. Karena  Anda telah mengarahkan diri Anda ke dalam perangkap perbudakan yang Anda  ciptakan sendiri. Perbudakan inilah yang menjauhkan kita dari kebahagiaan.  Jadi, tidaklah terlampau ceroboh bila kita mengatakan bahwa, kebahagiaan -dalam  kaitannya dengan cinta- tergantung pada seberapa konsisten kita mempertahankan  ketulusan pada 'hanya mencintai'. 
Mencintai memang bukan memiliki. Mencintai dan memiliki  adalah dua hal yang sama sekali berbeda; sayangnya, bagi sebagian besar orang  mereka sulit dipisahkan secara emosional. Ketika cinta kita bersambut, rasa kepemilikan  segera menyertainya. Ketika rasa memiliki timbul, maka 'hanya mencintai' sirna.  Ia berubah, dan kitalah yang telah merubahnya secara emosional. Degradasi ini seakan-akan  ada di luar kendali kita. Ia seolah-olah berjalan secara otomatis.
Menjadi 'lepas kendali' merupakan persoalan laten kita  yang lainnya; walaupun kita tahu kalau sesungguhnya tidak harus berjalan terkendali.  Kita tidak harus dikendalikan oleh perasaan atau emosi; kita tak harus  bertindak secara otomatis, hanya atas dorongan emosi, karena kita bukanlah 'mesin  emosi', kita bukan 'robot emosi'. Pada dasarnya, kita bukanlah emosi itu.
       
Jangan mau dihambat oleh persoalan laten!        
Apa yang juga teramati disini adalah persoalan laten -yakni  identifikasi-diri. Indentifikasi-diri  pada perasaan, pada emosi adalah fenomena umum bagi kita, disamping  identifikasi-diri pada raga ini. 
Kedua bentuk identifikasi-diri ini sebetulnya sudah cukup  baik bila dibandingkan dengan identifikasi-diri pada peran-peran, pada profesi,  atribut-atribut yang dikenakan orang pada diri kita. Identifikasi-diri pada  atribut-atribut yang dikenakan orang-orang bisa amat menyiksa, amat menyengsarakan.  Fenomena mental ini dapat Anda amati dengan jelas pada orang-orang yang sering  berkata: "Ah...apa nanti kata orang." Ini sungguh berbahaya, sungguh fatal  akibatnya. Anda bukanlah apa yang orang katakan  tentang Anda. Kebahagiaan maupun penderitaan Anda samasekali tidak tergantung  pada 'apa kata orang'. Jati-diri Anda tidak tertumpu di sana, pada mulut-mulut setiap  orang. Bila fenomena ini kebetulan benar-benar terjadi pada Anda, maka  segeralah sadari dan akhiri!
Kembali pada cinta dan kepemilikan. Mencintai tak-perlu  memiliki. Kepemilikan hanya akan menodai cinta Anda. Mencintai atau menyayangi dengan  tulus, menghadirkan kebahagiaan. Bila Anda siap menyikapinya demikian, Anda  segera akan menemukan kebahagiaan dari 'hanya mencintai'. Bila tidak, Anda  hanya akan menebar jala kesengsaraan.
Denpasar, 20 Maret 2001.
Ngestoe Rahardjo

Senin, 27 April 2009

Saya tidak tahu

Saya tidak tahu.
       
"Apakah Anda orang suci ?", tanya  seorang pemuda yang panasaran kepada Guru.
"Saya tidak tahu", jawab Guru.
"Bukankah orang suci harus tahu  siapa dirinya ?"
"Saya tidak tahu", jawab beliau  lagi.
"Kalau begitu Anda bukan orang  suci ?", tanya si pemuda lagi.
Dan lagi-lagi dijawab oleh Guru dengan : "Saya tidak tahu".
   
Kita umumnya punya persepsi  sendiri tentang Tuhan, tentang para dewa atau malaikat, tentang orang suci, atau tentang segala sesuatunya. Dalam  keterbatasan dari persepsi kita itu, kita 'merasa tahu' tentang banyak hal, bahkan semua hal. Dan berdasarkan persepsi kita itu pula kita kemudian menilai siapapun atau apapun. Padahal,  segala sesuatunya hanya seperti apa  adanya. Persepsi kita itu belum tentu benar adanya.
       
Bali, Kamis, 14 Desember 2006.
Ngestoe Rahardjo

Minggu, 26 April 2009

Ulat Kecil

Ulat Kecil

Dikisahkan, ada seekor ulat kecil sejak lahir menetap di daerah yang tidak
cukup air, sehingga sepanjang hidupnya, dia selalu
kekurangan makanan. Di dalam hati kecilnya ada keinginan untuk pindah dari
rumah lamanya demi mencari kehidupan dan lingkungan yang baru. Tapi dari
hari ke hari dia tidak juga memiliki keberanian untuk melaksanakan niatnya.
Hingga suatu hari, karena kondisi alam yang semakin tidak bersahabat, si
ulat terpaksa membulatkan tekat memberanikan diri keluar dari rumahnya,
mulai merayap ke depan tanpa berpaling lagi ke belakang.

Setelah berjalan agak jauh, dia mulai merasa bimbang, katanya dalam hati,
"Jika aku sekarang berbalik kembali ke rumah lama rasanya masih keburu,
mumpung aku belum berjalan terlalu jauh. Karena kalau aku berjalan lebih
jauh lagi, jangan-jangan jalan pulang pun takkan kutemukan lagi, mungkin aku
akhirnya aku tersesat dan... entah bagaimana nasibku nanti!"
Ketika si ulat sedang maju mundur penuh kebimbangan dan pertimbangan,
tiba-tiba ada sebuah suara menyapa di dekatnya,
"Halo ulat kecil! Apa kabar ? Aku adalah kepik. Senang sekali melihatmu
keluar dari rumah lamamu. Aku tahu, engkau tentu bosan kekurangan makan
karena musim dan cuara yang tidak baik terus menerus.Kepergianmu tentu untuk
mencari kehidupan yang lebih baik, kan".
Si ulat pun bertanya kepada si kepik yang sok tau, "Benar kepik. Aku
memutuskan pergi dari sarangku untuk kehidupan yang lebih baik. Apakah
engkau tau, apa yang ada di depan sana ?"
"Oh...Aku tahu, jalan ke depan yang akan kau lalui, walaupun tidak terlalu
jauh tetapi terjal dan berliku, dan lebih jauh di sana ada sebuah goa yang
gelap yang harus kau lalui, tetapi setelah kamu mampu melewati kegelapan,
aku beritahu, pintu goa sebelah sana terbentang sebuah tempat yang terang,
indah dan sangat subur. Kamu pasti menyukainya. Di sana kau pasti bisa hidup
dengan baik seperti yang kamu inginkan".

Si kepik dengan bersemangat memberi dorongan kepada ulat yang tampak ragu
dan ketakutan.
"Kepik, apakah tidak ada jalan pintas untuk sampai ke sana ?", tanya ulat.
"Tidak sobat. Jika kamu ingin hidup lebih baik dari hari ini, kamu harus
melewati semua tantangan itu. Nasehatku, tetaplah berjalan langkah demi
langkah, fokuskan pada tujuanmu dan tetaplah berjalan. Niscaya kamu akan
tiba di sana dengan selamat. Selamat jalan dan selamat berjuang sobat!",
sambil berteriak penuh semangat, si kepik pun meninggalkan ulat.

Pembaca yang budiman,

Memang benar.... kemenangan, kesuksesan adalah milik mereka yang secara
sadar, tau apa yang menjadi keinginannya sekaligus siap menghadapi rintangan
apapun yang menghadang serta mau memperjuangkannya habis-habisan melalui
cara-cara yang benar sampai mencapai tujuan akhir yaitu kesuksesan.

Pengertian sukses secara sederhana demikian, telah dipraktekkan oleh manusia
sukses berabad abad lampau sampai saat ini sesuai dengan bidangnya
masing-masing.

Maka ...untuk meraih kesuksesan yang maksimal, kita tidak memerlukan teori
teori kosong yang rumit. Cukup tau akan nilai yang akan di capai dan take
action! Ambil tindakan!

Sumber : Milis tetangga

Jumat, 24 April 2009

BAHASA KASIH

BAHASA KASIH

Apakah anda pernah mencintai seseorang di dalam hidup anda ?
Saya yakin, semua dari anda pernah mencintai seseorang, apakah itu orang tua anda, anak anda, saudara anda, kekasih anda, istri / suami anda, dan sebagainya. Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, apakah orang yang anda cintai tersebut TAHU kalau anda mencintai mereka ? Banyak orang tua kaya yang sibuk sering memberikan uang kepada anak-anaknya dan berharap anaknya tahu bahwa uang tersebut sebagai tanda cinta mereka. Padahal mungkin sang anak lebih berharap orang tuanya mempunyai waktu untuk berbincang-bincang dengannya. Jika hal ini terjadi pada anda, dimana orang yang anda cintai malah berpersepsi berbeda dari yang anda harapkan, berarti anda tidak tahu secara tepat apa bahasa kasih dari orang yang anda cintai tersebut.

Gary Chapman dalam salah satu bukunya pernah mengatakan bahwa untuk berkomunikasi dengan orang yang kita cintai, ada 5 bahasa kasih yang bisa kita gunakan sesuai dengan keinginan dari orang tersebut.

Kelima bahasa kasih tersebut adalah :

1. KATA-KATA
Kata-kata berupa pujian, motivasi, harapan dan penghargaan kepada orang yang dicintai merupakan suatu penghubung yang kuat yang bisa terus merekatkan hubungan anda. Lakukan pujian secara tulus berdasarkan apa yang ada di dalam hati anda, bukan hanya sekedar untuk membuat mereka senang. Sebisa mungkin bicarakan hal-hal yang positif saja dengan orang yang anda cintai. Hindari kata-kata yang malah bisa menyebabkan suatu perselisihan atau konflik.

2. SENTUHAN
Sentuhan fisik seperti merangkul, membelai, menepuk punggung dan lengan, ataupun sekedar bergandengan tangan, secara emosional dapat meningkatkan kualitas hubungan cinta anda. Seorang anak yang mendapat prestasi bagus di sekolah  misalnya, selain dipuji juga ditepuk punggungnya oleh orang tuanya, akan merasakan kesenangan yang berlipat ganda, karena dia merasakan kasih tersebut lewat hati (pujian) dan fisik (tepukan).

3. PEMBERIAN
Bahasa kasih ini adalah yang paling sering kita gunakan untuk menunjukkan kasih kita kepada orang lain. Namun kita seringkali membatasi pemberian ini hanya pada moment khusus saja, seperti ulang tahun, hari perkawinan, atau hari-2 besar keagamaan. Padahal, sebenarnya kita dapat melakukan pemberian ini kapan saja dan dimana saja.

4. WAKTU
Berapa banyak waktu yang anda gunakan untuk mendengarkan dan bersama-sama dengan orang yang anda cintai ? Waktu yang dimaksud disini bukan berarti hanya waktu liburan, tapi WAKTU YANG BERKUALITAS, yaitu waktu dimana orang yang anda cintai membutuhkan kehadiran anda secara fisik hadir di depannya. Bagi seorang anak kecil, mungkin waktu yang berkualitas bagi dia adalah waktu sore hari, dimana dia membutuhkan kehadiran anda, agar dia bisa menceritakan bagaimana serunya tadi dia bermain di sekolah. Bagi seorang suami, waktu yang berkualitas mungkin selepas makan malam, dimana dia berharap sang istri mau menemaninya berbincang-bincang tentang kondisi bisnisnya, tentang bagaimana membangun masa depan keluarga mereka. Apakah anda sebagai istri misalnya, BISA dan MAU menyediakan waktu tersebut, ataukah tayangan sinetron lebih menarik perhatian anda, dan membiarkan suami anda bersantai sendiri sambil membaca koran ? Dan bagi anda sang suami, apakah anda MASIH MEMPUNYAI WAKTU mengantar istri anda berbelanja, atau anda lebih suka mengutak-atik mobil anda dan membiarkan istri anda pergi sendiri ?

5. PELAYANAN
Bahasa kasih ini adalah yang paling menonjol diantara yang lain, karena anda mau melakukan suatu tindakan bagi orang lain sebagai tanda cinta anda. Banyak orang yang salah mengartikan kata pelayanan disini, menganggap kita harus melakukan sesuatu 100% bagi orang lain. Padahal kata pelayanan disini artinya kita mau membantu orang yang kita cintai melakukan suatu tindakan yang sebelumnya tidak kita lakukan. Mungkin para suami bisa dengan membantu istri untuk memasak dan menyiapkan makan di dapur. Atau para istri bisa membantu suaminya untuk mencuci mobil. Hal-2 kecil seperti ini bisa membantu anda untuk mempererat tali kasih anda berdua.

Bagaimana dengan anda hari ini, sudahkah anda menggunakan seluruh bahasa kasih tersebut untuk mengungkapkan perasaan anda kepada orang-2 yang anda cintai ? Lakukan yang terbaik dan dapatkan manfaatnya.
Sumber :
Milis sebelah.

Rabu, 22 April 2009

Sepuluh keArifan Krisis.doc

MOMENTUM KETUHANANSEPULUH KEARIFAN KRISIS

Belakangan ini terasa benar adanya frustrasi di masyarakat. Setiap kali
kesulitan, kita seperti ingin cepat menyerah, seakan-akan sudah demikian
gawat dan genting.

Kata gawat, genting atau kemelut adalah terjemahan yang diberikan John M.
Echols dan Hassan Shadali dari kata bahasa Inggris, crisis. Maka, setiap
hari begitu mudah kita temui kata krisis. Mulai dari krisis demam berdarah
sampai flu burung; dari pangan sampai gula dan pupuk; dari transportasi dan
logistik sampai BBM, listrik, dan air bersih; dari pendidikan dan moral
sampai moneter dan keuangan global. Pemaknaan ini berbeda dengan cara bangsa
lain memaknai krisis. Di Amerika Serikat, krisis ditafsirkan sebagai titik
belok yang menuntut terjadinya perubahan untuk menjadi lebih baik atau lebih
buruk. Di China, krisis merupakan gabungan dari dua kata : bahaya dan
kesempatan. Benarkah krisis pembawa bencana, hantu pencabut nyawa yang
membuat kita menyerah ?

Indonesia butuh krisis
Saya menolak anggapan bahwa kita harus jauh dari krisis. Sepanjang sejarah,
kita menyaksikan bangsa-bangsa yang besar dibentuk oleh ancaman dan krisis.
Jepang, Korea Utara, negara-negara Eropa dan AS, serta Israel adalah
contohnya. Bangsa Indonesia sebaliknya, kita dikaruniai alam indah, tanah
subur, cahaya matahari berlimpah, dan sumber daya alam tak terkira.

Tanpa ada krisis, kita akan menjadi bangsa yang malas, hanya mengulang-ulang
apa yang sudah dilakukan, terperangkap tradisi, mudah puas diri, tak
berinisiatif, akhirnya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya. Jadi, krisis
keuangan global yang menghantui kita ini adalah baik bagi semua. Baik bagi
presiden dan gubernur bank sentral agar lebih berani serta cepat bertindak
dan mengambil keputusan. Baik bagi para menteri agar lebih berpikir dan
mementingkan bangsa dalam bekerja. Juga baik bagi birokrat agar lebih
mengutamakan rakyat. Baik bagi pemerintah daerah agar tidak menjadikan
perijinan usaha sebagai pendapatan asli daerah. Baik bagi pengusaha agar
lebih lincah bergulat dalam kesulitan serta lebih efisien dan inovatif,
serta baik bagi aktivis agar tidak melulu mengedepankan konflik. Namun,
krisis jelas tidak baik bagi media massa, politisi busuk, dan para pemimpin
oposisi yang terus menyuarakan konflik dan kebencian

Krisis dan Perubahan
Setidaknya ada sepuluh pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan
global saat ini, dimulai dengan hubungan antara krisis dan perubahan.

Pertama, krisis selalu terjadi jika makhluk hidup gagal beradaptasi atau
perilakunya melawan (resisten) terhadap perubahan. Krisis melanda AS saat
pemimpin dan penguasanya gagal merespons aneka tuntutan baru, sama seperti
yang kita alami tahun 1997-1998. Inertia yang demikian kuat tak memungkinkan
perubahan dari dalam, sampai Tuhan semesta alam mengirimkan "bantuan
perubahan" berupa krisis. Di Indonesia, sepanjang 2006-2008 banyak orang
menyangkal dan menahan perubahan. Jika sistem tak memungkinkan mereka
melakukan evolusi, mereka dapat menerima hukuman dalam bentuk krisis.

Kedua, kendati pasar domestik tetap kuat dan pengaruh pasar internasional
serta investasi asing di Indonesia hanya 10-20 persen, apakah bijak
mengatakan krisis ini tidak ada di sini? Masalahnya, pemerintah yang
berkuasa masih bekerja seperti biasa dan reformasi birokrasi tidak berjalan
sehingga eksekusi pembangunan masih amat lamban.

Ketiga, kendati sasaran nasihat-nasihat ekonomi makro ditunjukkan kepada
pemerintah, apakah bijak menyajikan fakta-fakta krisis terus menerus kepada
khalayak umum? Alih-alih menasehati pemerintah, yang takut justru dunia
usaha dan konsumen yang berpotensi menahan investasi dan konsumsi sehingga
mempercepat terjadinya resesi.

Keempat, krisis tidak hanya menghancurkan daya beli, tetapi juga memudarkan
harapan dan aneka keinginan sehingga melemahkan pelaku usaha yang dominan.
Selain sulit, keadaan ini sebenarnya menjanjikan kesempatan untuk merebut
posisi dalam persaingan karena banyak pemain asing yang limbung kehilangan
rasa percaya diri.

Kelima, ada pasar dan segmen yang hilang, tetapi juga ada pasar yang
tiba-tiba muncul. Perjalanan wisata ke AS dan Eropa turun, beralih ke dalam
negeri. Demikian pula dengan barang-barang lux, otomotif, dan makanan,
terjadi pergeseran sehingga ada pasar yang hilang dan ada yang tiba-tiba
muncul.

Keenam, saat jalan terasa enak, itu pertanda kita sedang menurun dan,
sebaliknya, saat terasa berat, itu pertanda kita sedang mendaki ke atas.

Ketujuh, krisis bukan saat yang tepat untuk mengetatkan aturan. Ia butuh
ruang gerak dan fleksibilitas. Krisis menuntut relaksasi constraint.

Kedelapan, krisis adalah saat tepat berinvestasi. Kala ekonomi membaik, itu
saat memanen.

Kesembilan, tugas pemimpin adalah memelihara optimisme. Namun, bukankah
orang yang optimis dan positif pada masa krisis sering dianggap orang yang
tidak kritis? Bagi sebagian besar elite, pemimpin yang kritis adalah mereka
yang negatif dan pesimistis.

Kesepuluh (terakhir), meski manusia melihat dengan mata, mereka lebih
percaya melalui pikiran, yaitu pikiran yang dibentuk oleh ulasan dan data
yang tak terlihat. Untuk kondisi Indonesia ada kenyataan, krisis yang
dilihat melalui kasatmata (baca: tidak ada krisis) amat berbeda dengan
krisis yang kita lihat melalui melalui data, kajian, dan ulasan para ahli
(baca: keadaan sudah genting).

Keduanya (mata dan pikiran) harus digunakan secara simultan guna meraih
kecerdasan dan keberanian bertindak. Namun, di era krisis global kali ini,
tampak keduanya berseberangan jalan sehingga krisis keuangan global
mengacaukan pikiran.
Saya tidak berpretensi apa-apa dengan menyatakan seolah krisis tidak ada
atau, sebaliknya, krisis sudah gawat. Apa pun bentuknya, berbagai ancaman
atau kegentingan, ada baiknya untuk memperbarui kesejahteraan, cara
berpikir, dan cara mengelola Republik Indonesia. Tak penting betapa besar
kerugian yang Anda alami, yang lebih penting adalah apa yang dapat kita
pelajari dari krisis itu sendiri.


Rhenald Kasali
Pengajar di Universitas Indonesia
Kompas, 4 April 2009

Karet Gelang

Karet Gelang

Suatu kali saya membutuhkan karet gelang, Satu saja. Shampoo yang akan saya
bawa tutupnya sudah rusak. Harus dibungkus lagi dengan plastik lalu diikat
dengan karet gelang. Kalau tidak bisa berabe. Isinya bisa tumpah ruah
mengotori seisi tas. Tapi saya tidak menemukan satu pun karet gelang. Di
lemari tidak ada. Di gantungan-gantungan baju tidak ada. Di kolong-kolong
meja juga tidak ada.

Saya jadi kelabakan. Apa tidak usah bawa shampoo, nanti saja beli di jalan.
Tapi mana sempat, waktunya sudah mepet.
Sudah ditunggu yang jemput lagi. Akhirnya saya coba dengan tali kasur, tidak
bisa. Dipuntal-puntal pakai kantong plastik, juga tidak bisa. Waduh, karet
gelang yang biasanya saya buang-buang, sekarang malah bikin saya bingung.
Benda kecil yang sekilas tidak ada artinya, tiba-tiba menjadi begitu
penting.

Saya jadi teringat pada seorang teman waktu di Yogyakarta dulu. Dia tidak
menonjol, apalagi berpengaruh. Sungguh, Sangat biasa-bisa saja. Dia hanya
bisa mendengarkan saat orang-orang lain ramai berdiskusi. Dia hanya bisa
melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Itu pun kadang-kadang salah,
Kemampuan dia memang sangat terbatas.

Tetapi dia sangat senang membantu orang lain; entah menemani pergi,
membelikan sesuatu, atau mengeposkan surat. Pokoknya apa saja asal membantu
orang lain, ia akan kerjakan dengan senang hati. Itulah sebabnya kalau dia
tidak ada, kami semua, teman-temannya, suka kelabakan juga. Pernah suatu
kali acara yang sudah kami persiapkan gagal, karena dia tiba-tiba harus
pulang kampung untuk suatu urusan.

Di dunia ini memang tidak ada sesuatu yang begitu kecilnya, sehingga sama
sekali tidak berarti. Benda yang sesehari dibuang-buang pun, seperti karet
gelang, pada saatnya bisa menjadi begitu penting dan merepotkan.

Mau bukti lain?
Tanyakanlah pada setiap pendaki gunung, apa yang paling merepotkan mereka
saat mendaki tebing curam ?
Bukan teriknya matahari. Bukan beratnya perbekalan. Tetapi kerikil-kerikil
kecil yang masuk ke sepatu.

Karena itu, jangan pernah meremehkan apa pun. Lebih-lebih meremehkan diri
sendiri. Bangga dengan diri sendiri itu tidak salah. Yang salah kalau kita
menjadi sombong, lalu meremehkan orang lain


Sumber ; Unknown


__._,_.___


"Tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh
orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan
menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat,
berargumen, apalagi berdialog." (Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl)


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully
Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___


__________ NOD32 3990 (20090406) Information __________

This message was checked by NOD32 antivirus system.
http://www.eset.com

Kamis, 16 April 2009

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Nasi Sudah Menjadi Bubur

Saat keterlanjuran sudah berlalu, kita sering mengatakan "Nasi sudah menjadi
bubur". Betulkah ungkapan ini ? Atau sekedar mencari pembenaran untuk tidak
memperbaiki yang sudah ada ? Insya Allah setelah membaca cerita berikut,
kita akan memiliki pandangan berbeda terhadap suatu keterlanjuran.

Ada seorang mahasiswa kuliahnya tidak serius. Kadang masuk kuliah kadang
tidak, tugas terbengkalai, SKS yang harus dikejar masih banyak, dan jarang
sekali belajar. Begitu ditanya ternyata dia merasa terjebak masuk ke jurusan
yang dipilihnya karena dia hanya ikut-ikutan saja. Teman-temannya masuk
jurusan tersebut, dia pun ikut.

"Mengapa kamu tidak pindah saja ?", tanya temannya, Budi.
"Ah, biarlah, nasi sudah menjadi bubur", jawabnya, tidak peduli.
"Apakah kamu akan tetap seperti ini ?"
"Mau gimana lagi, saya bilang nasi sudah jadi bubur, tidak bisa diperbaiki
lagi", jawabnya berargumen.
"Kalau kamu pindah kejurusan yang kamu sukai, kan kamu akan lebih enjoy."
kata temannya.
"Saya ini sudah tua, masa harus kuliah dari awal lagi. Saya terlambat
menyadari kalau saya salah masuk jurusan", jelasnya sambil merebahkan diri
di kasur dan mengambil remote control TV-nya.
"Memang tidak ada yang bisa kamu lakukan lagi ?", selidik temannya.
"Tidak, saya sudah katakan berulang-ulang nasi sudah jadi bubur".

Temannya pun diam sejenak, dia bingung melihat temannya yang sudah tidak
semangat lagi. Kemudian dia teringat pada Thomas, temannya yang memiliki
nasib yang sama, salah memilih jurusan. Dia pun pulang ke rumahnya kemudian
menemui temannya tersebut.

"Jaka, perasaan kamu pernah cerita sama saya, kalau kamu salah memilih
jurusan ?" tanya Budi kepada Thomas
"Memang saya salah memilih jurusan, memangnya kenapa ?", jawab Thomas.
"Yang saya heran, kenapa kamu tetap semangat kuliah, sedangkan teman saya
malah malas dan tidak serius kuliahnya."
"Yah nggak tahu yah, saya juga dulu sempat seperti itu. Tapi sekarang sudah
tidak lagi", jelas Thomas.
"Apa sich resepnya ?"
"Pertama saya merelakan diri masuk jurusan ini. Mungkin ini yang terbaik
menurut Allah. Jadi saya terima saja."
"Terus ?", kata Budi bersemangat
"Yang kedua, saya mencari cara menggabungkan ilmu yang saya miliki di
jurusan ini dengan hobi saya. Ternyata saya menjadi enjoy saja. Memang, saya
terlanjur memilih jurusan ini, kata orang sih nasi sudah jadi bubur. Tetapi
bagi saya, nasi sudah menjadi bubur ayam spesial yang enak dan lebih mahal
harganya ketimbang nasi."
"Oh gitu…."
"Yah, kalau kita menyesali tidak ada manfaatnya. Kalau kita berusaha
mengubah bubur jadi nasi, itu tidak mungkin. Satu-satunya cara ialah membuat
bubur tersebut menjadi lebih nikmat, saya tambahkan ayam, ampela, telor dan
bumbu. Rasanya enak dan lebih mahal", jelas Thomas sambil tersenyum lebar.

Rabu, 15 April 2009

Air dan Awan

Air dan Awan

Di sebuah tempat nan jauh dari kota di Jawa Barat, tampak seorang pemuda
bergegas menuju surau kecil. Wajahnya menampakkan kegelisahan dan
kegamangan. Ia seperti mencari sesuatu di surau itu.

"Assalamu'alaikum, Kabayan " ucapnya ke Kabayan yang terlihat sibuk menyapu
ruangan surau. Spontan, si Kabayan itu menghentikan sibuknya. Ia menoleh ke
si pemuda dan senyumnya pun mengembang.

"Wa'alaikum salam. Mangga. Mari masuk!" ucapnya sambil meletakkan sapu di
sudut ruangan. Setelah itu, ia dan sang tamu pun duduk bersila.

"Ada apa, Jang ?" ucapnya dengan senyum yang tak juga menguncup.
"Kabayan, aku diterima kerja di kota!" ungkap sang pemuda kemudian.
"Syukurlah," timpal si Kabayan bahagia. "Kabayan, kalau tidak keberatan,
berikan aku petuah agar bisa berhasil!", ucap sang pemuda sambil menunduk.
Ia pun menanti ucapan si Kabayan di hadapannya.
"Jang, Jadilah seperti air. Dan jangan ikuti jejak awan," untaian kalimat
singkat meluncur tenang dari mulut si Kabayan. Sang pemuda belum bereaksi.
Ia seperti berpikir keras memaknai kata-kata Kabayan. Tapi, tak berhasil.
"Maksud, Kabayan ?" ucapnya kemudian.
"Jang, Air mengajarkan kita untuk senantiasa merendah. Walau berasal dari
tempat yang tinggi, ia selalu ingin ke bawah. Semakin besar, semakin banyak
jumlahnya; air kian bersemangat untuk bergerak kebawah. Ia selalu mencari
celah untuk bisa mengaliri dunia di bawahnya", jelas si Kabayan dengan
tenang.

"Lalu dengan awan, Kabayan?" tanya si pemuda penasaran.
"Jangan sekali-kali seperti awan, Jang. Perhatikanlah! Awan berasal dari
tempat yang rendah, tapi ingin cepat berada di tempat tinggi. Semakin
ringan, semakin ia tidak berbobot; awan semakin ingin cepat meninggi",
terang si Kabayan begitu bijak.
"Tapi Jang," tambahnya kemudian, "dengan ketinggiannya, awan cuma jadi bahan
permainan angin."
Dan si pemuda pun tampak mengangguk pelan.

dicomot dari milis urang-sunda

Selasa, 14 April 2009

Membuang Mutiara Indah

Membuang Mutiara Indah

Pada suatu hari seorang anak nelayan sedang berjalan menyusuri pantai.
Melihat ada sesuatu yang berkilauan di balik pasir, ia membungkuk dan
mengambilnya. Ternyata benda itu adalah sebuah mutiara indah yang sangat
besar.

Anak nelayan itu sangat gembira. Dia menyadari bahwa ketakutannya sudah
berakhir. Ia tidak perlu kerja keras lagi sepanjang hidupnya. Dia ingin
menjual mutiara itu. Ternyata, ketika ia ingin menjualnya, mutiara itu
ditawar dengar harga sangat murah, sehingga dia sadar bahwa ia akan ditipu.
Maka dia pun menolak untuk menjual mutiara saat itu.

Beberapa hari setelah itu, si anak diancam dan diserang beberapa kali. Para
pembeli mutiara sudah tahu akan adanya mutiara itu dan mereka pergi
mencarinya. Mereka harus mendapatkannya, tidak peduli bahwa untuk itu harus
membunuh si anak itu.

Pagi berikutnya, dengan disaksikan oleh para pemburu dan pedagang mutiara,
si anak berenang ke laut dan membuang mutiara itu sejauh mungkin. Setelah
itu si anak meninggalkan pantai dengan bangga. Dia bangga akan dirinya dan
berdamai dengan dunia sekitarnya. Dia sadar bahwa dia menjadi manusia dewasa
hari itu, karena ia telah membuang apa yang sangat berharga dan
menyelamatkan apa yang jauh lebih berharga.

Senin, 13 April 2009

Buaya

BUAYA

Adalah seorang raja yang berkuasa di sebuah wilayah di Eropa, seorang raja
yang terkenal pemberani dan disegani kawan maupun musuh-musuhnya. Sang raja
memiliki seorang putri yang telah beranjak dewasa dan sudah saatnya menikah,
namun yang diinginkannya adalah seorang menantu yang pemberani seperti
dirinya.

Raja mengumpulkan para penasehatnya dan disepakati mengadakan sayembara
untuk mendapatkan seorang pemuda yang gagah dan pemberani. Adalah sayembara
berenang menyeberangi sungai yang ada didepan benteng kerajaan yang
didalamnya diisi banyak buaya yang dalam sebulan dibiarkan kelaparan agar
menjadi sangat ganas.

Diumumkanlah sayembara ini ke seluruh rakyatnya dan saat hari yang
ditentukan tiba, mulailah berdatangan para pemuda dari segala penjuru negri,
kemudian sang raja keluar dan berdiri diatas kastilnya serta mengangkat
bendera tanda dimulainya sayembara itu. Namun hingga dua jam lamanya tak ada
seorang pun yang berani terjun ke sungai yang penuh dengan buaya itu. Raja
mulai gelisah dan kecewa karena merasa akan gagal mendapatkan seorang
pemberani dari kalangan rakyatnya.

Ketika matahari mulai meninggi, ada sekelompok pemuda datang dan ikut
merangsek di kerumunan massa ditepian sungai dan bertanya-tanya ada apa
gerangan. Setelah mendapat penjelasan dari orang-orang yang ada disana
merekapun hanya manggut-manggut seraya mengamati beberapa ekor buaya yang
ada di sungai itu dan saling tunjuk tanpa seorangpun berani mengikuti
sayembara itu.

Ketika sebagian orang mulai meninggalkan sungai itu, tiba-tiba dikejutkan
dengan suara seseorang terjun ke sungai, rupanya salah seorang pemuda yang
baru datang itu terjun ke sungai dan berenang menuju seberang dengan
kecepatan tinggi menghindari kejaran beberapa ekor buaya yang berusaha
mendekatinya. Akhirnya pemuda itu berhasil selamat hingga seberang dan
disambut dengan tepuk tangan meriah dan sang raja segera turun menyambut si
pemuda itu dengan gembira.
Setelah diperkenalkan dengan putrinya, sang raja sepakat menyelenggarakan
pesta pernikahan besar-besaran dan meriah selama tujuh hari tujuh malam.

Di tengah-tengah pesta pernikahan, datang pula para sahabat si pemuda
pemberani ini memberikan selamat, mereka sungguh bangga memiliki seorang
kawan yg kini adalah seorang menantu raja. Sambil memberikan ucapan selamat
mereka tak henti-hentinya memuji keberanian si pemuda ini. Namun tiba-tiba
saja si pemuda ini mengajak ke lima orang sahabatnya itu keluar dari ruang
pesta dan dengan wajah kecut bertanya dengan nada menghardik : "Hey kalian
semua, ayo katakan... siapa diantara kalian yang waktu itu mendorong saya
terjun ke sungai ?!, asal tahu ya.. hampir saja saya mati dimakan buaya!!"

Moral cerita :
"Andai saja seseorang mampu membangunkan raksasa yang ada didalam dirinya,
maka ia tak perlu menunda kesuksesan hanya karena menunggu orang lain yang
menggerakkannya"

__._,_.___


"Tindak kekerasan adalah bentuk lain dari kemalasan. Ia digunakan oleh
orang-orang yang tidak mau bergumul dengan karunia akalnya. Mereka enggan
menempa diri dengan belajar, menganalisis persoalan secara cermat,
berargumen, apalagi berdialog." (Prof. Dr. Khaled Abou El Fadl)


Your email settings: Individual Email|Traditional
Change settings via the Web (Yahoo! ID required)
Change settings via email: Switch delivery to Daily Digest | Switch to Fully
Featured
Visit Your Group | Yahoo! Groups Terms of Use | Unsubscribe

__,_._,___


__________ NOD32 3982 (20090402) Information __________

This message was checked by NOD32 antivirus system.
http://www.eset.com

Senin, 06 April 2009

Tukang Roti dan Petani

Tukang Roti dan Petani

Seorang tukang roti di sebuah desa kecil membeli satu kilogram mentega dari
seorang petani. Ia curiga bahwa mentega yang dibelinya tidak benar-benar
seberat satu kilogram. Beberapa kali ia menimbang mentega itu, dan benar,
berat mentega itu tidak penuh satu kilogram. Yakinlah ia, bahwa petani itu
telah melakukan kecurangan. Ia melaporkan pada hakim, dan petani itu
dimajukan ke sidang pengadilan.

Pada saat sidang, hakim berkata pada petani, "Tentu kau mempunyai
timbangan?"
"Tidak, tuan hakim," jawab petani.
"Lalu, bagaimana kau bisa menimbang mentega yang kau jual itu?" tanya hakim.
Petani itu menjawab, "Ah, itu mudah sekali dijelaskan, tuan hakim. Untuk
menimbang mentega seberat satu kilogram itu, sebagai penyeimbang, aku
gunakan saja roti seberat satu kilogram yang aku beli dari tukang roti itu".

Ternyata roti yang dijual tukang roti itupun beratnya kurang dari 1 kg . . .
. . . . . . .

Dan tukang roti itupun harus berhadapan dengan hakim.

Moral cerita :
"Cukup banyak contoh, kekesalan kita pada orang lain berasal dari sikap kita
sendiri pada orang lain".

Kamis, 02 April 2009

Membuat Duplikat dan Merumahkan Tuhan

Membuat Duplikat dan Merumahkan Tuhan 
   
Suatu ketika sekelompok orang melihat Tuhan sedang sibuk dengan pekerjaan-Nya. 
Salah seorang diantaranya bertanya kepada Tuhan, "Apa yang sedang Engkau lakukan?"
   
"Aku sedang membuat duplikat diriKu, seorang manusia," jawab Tuhan, yang kemudian balik bertanya, "Apa yang sedang kalian lakukan disini?"
   
Orang itu menjawab, "Oo, kami sedang membentuk Tuhan ke dalam rupa kami."
   
***
   
Itulah tragedi sepanjang masa. Kita begitu mudah menjadi 'tidak serupa Allah' dan mulai mendekonstruksi Tuhan ke dalam rupa manusia. Milyaran uang dipakai untuk mengkonstruksi bangunan-bangunan megah untuk merumahkan Tuhan, yang dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang tak beriman. Tempat-tempat ibadah kita telah menjadi pusat-pusat pelestarian perilaku yang mana kefanatikan dan idolatry (mengagungkan seseorang atau kitab tertentu sebagai satu-satunya sumber dan jalan kebenaran), kecanduan, dan nafsu (amarah, curiga, iri, benci, menghakimi, dll.)
   
Dan ironisnya hal-hal itu diterima atau dianggap wajar. Kita lupa bahwa Tuhan ada dimana-mana (omnipresent). Dia berada di dalam kita semua dan tempat yang paling disukai adalah hati yang baik hati, tulus dan welas asih.
   
Manusia berevolusi oleh alam sebagai spesies yang memiliki pikiran sendiri untuk memilih jalan-hidupnya, untuk menjadi serupa atau tidak serupa dengan Allah. Namun kita telah mengerdilkan hati Tuhan.
   
Kekuatan mental yang seyogyanya adalah anugerah terbukti menjadi kutukan terbesar yang menggerogoti Tuhan sendiri. Tuhan menginginkan kita untuk menjalani kehidupan yang lepas dari ikatan-ikatan. Namun kita justru telah melepaskan diri kita dari Tuhan. Melakukan kebaikan adalah menjadi seperti Tuhan. Tetapi kita telah menjadi tidak serupa Tuhan dengan begitu banyaknya pilihan-pilihan keliru yang telah kita perbuat.
   
Kita harus berhenti dan merenungkan: Sedang kemana kita berjalan?
Kita menjarah bumi bagi kebutuhan-kebutuhan kita yang tak pernah dapat terpuaskan dan menghancurkan jiwa kita demi ego, harga diri dan kebanggaan.
   
Untuk mencapai Tuhan, kita harus berperilaku seperti Tuhan. Kita harus selalu mencoba berbuat baik dan melakukannya terus-menerus tanpa membuang waktu sedikitpun.
   
~ Daniel V. Kaunang.
 disadur dari The Nazarene Way, http://satori-kensho.blogspot.com

*********************************************************    
Celotehan pikiran dan gelora emosi serta rasa sentimental
membuat kita tuli terhadap suara hati sendiri.

~anonymous 131106-01.
*********************************************************

Rabu, 01 April 2009

Sama artinya dengan berjinah

Sama artinya dengan berjinah.

Seorang da'i kondang menikah lagi. Istri mudanya cantik dan seksi lagi.
Kepada publik penggemarnya, ia mencari pembenaran, ini dan itu, bahkan
membawa-bawa hikayat seorang nabi umat manusia yang sangat dihormati oleh
berbagai bangsa di dunia, yang memang berpoligami.

Suatu ketika, seorang sahabatnya menemuinya langsung, mempertanyakan mengapa
ia melakukan semua ini. "Kamu tahu sendiri kan ?", katanya memulai, "Dalam
posisiku seperti ini, godaan sangat besar bagiku", akunya jujur.
"Ya ... aku mengerti. Inilah resikonya jadi orang termasyur seperti kamu.
Tapi kamu memang berbakat. Kata sementara orang, kamu memang punya 'karma
kelahiran' untuk itu. Sebagai seorang sahabat sepenekunan, saranku adalah,
jangan seperti Narada yang ditugasi oleh Narayana mencarikan air-minum ke
bumi"

Dai itu mengangguk. Sebagai sahabat seperguruan, walau secara formal
'berbeda agama', ia kelihatan mengerti apa yang dimaksud oleh sahabatnya
itu.

Rsi Narada adalah pemuja khusus Hyang Narayana, Tuhan Sendiri, yang bertugas
sebagai 'jubir'-Nya -baik bagi umat manusia maupun para dewa. Dia ditugaskan
Hyang Narayana turun ke bumi untuk mengambil air minum untuk pelepas dahaga.
Setibanya di bumi, ternyata ia lupa akan tugasnya mengapa ia turun ke dunia
ini. Karena merasa iba kepada seorang wanita muda yang kebetulan
cantik-jelita, ia malah mengawininya dan beranak-pinak. Ia lupa akan
tugasnya. Ia baru ingat untuk kembali kepada Narayana ketika semua yang
dicintainya di bumi dihanyutkan banjir bandang. Sekembalinya kepada
Narayana-pun ia tidak membawa apa yang disuruhkan oleh Narayana. Alih-alih
membawa air-minum untuk Junjungan-nya, ia malah pulang membawa linangan
air-mata. Demikianlah Dia menguji bhakta-Nya.

Seorang bhakta, seorang pemuja tulus Tuhan, sudah tidak lagi melihat apapun
sebagai untuknya, miliknya. Ia telah menyerahkan segalanya, hidup dan
matinya, kepada Junjungan-nya. Apapun yang ia lakukan di muka bumi ini,
tiada lain dari persembahan luhur kepada-Nya. Ia sadar kalau ia ada untuk
Dia. Bagi seorang bhakta sejati, melupakan tugas yang dititahkan-Nya karena
tergoda nafsu atau hasrat pribadi, berarti berjinah.

Bali, Hari Kuningan, Sabtu, 09 Desember 2006.
NGestOE RAHardjo
*****************************************************
Bila Anda merasa alam tidak ramah lagi kepada Anda,
apalagi merasa dimusuhi oleh alam,
pastikanlah kalau ada sesuatu yang benar-benar salah
pada diri Anda sendiri,
yang tidak sepenuhnya Anda sadari.

~anonymous 021206 -11.

MONO

Mono
Senin, 02 Maret 2009

Pada suatu hari di abad ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu
Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad
SAW "atas sekalian alam". Yang kedua meng­unggulkan Musa. Tak sabar,
orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi.

Orang Yahudi itu pun datang mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin
kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun
memanggil Si Muslim dan berkata:

"Janganlah kau unggulkan aku atas Musa. Sebab di hari kiamat semua umat
jatuh pingsan, dan aku pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang
pertama bangkit dan sadar, tiba-tiba aku lihat Musa sudah berdiri di
sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan
lalu bangkit sadar sebelumku, ataukah dia adalah orang yang dikecualikan
Allah".

Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla'il Musa. Dalam
buku Abd. Moqsith Ghazali yang terbit pekan lalu, Argumen Pluralisme
Agama, hadis itu dituturkan kembali sebagai salah satu contoh pandangan
Islam tentang agama yang bukan Islam, khususnya Yahudi dan Kristen.

Pada intinya, Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, datang dengan
pendirian yang kukuh: Islam adalah "sambungan-bukan musuh-dari agama
para nabi sebelumnya", yang sering disebut sebagai agama-agama Ibrahimi.

Tapi yang bagi saya menarik adalah kata-kata Muhammad SAW yang dikutip
di sana: "Janganlah kau unggulkan aku atas Musa", dan, "aku tidak tahu.".

Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama me­rasa di atas
Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan
membenarkan Si Muslim yang memukul Si Yahudi. Mereka bahkan mendukung
aniaya terhadap orang yang "menyimpang", walaupun orang lain itu,
misalnya umat Ahmadiyah, membaca syahadat Islam.

Dari mana datangnya kekerasan itu?

Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang bisa membuat orang jadi
lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama bisa menghalalkan
pembunuhan.

Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, seperti banyak hal lain,
terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu
diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran,
ketika manusia mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi.
Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.

Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri setelah jadi suci; ia
bisa jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang
sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering terjadi dalam sejarah Yahudi,
Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang pada Sabda yang
tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam aksara itu
menghendaki kesatuan tafsir.

Kesatuan: jangan-jangan mala itu datang dari angka "satu"-dan kita harus
bebas dari the logic of the One.

Kata ini dipakai Laurel C. Schneider dalam Beyond Monotheism. Pakar
theologi itu menuding: "Oneness, as a basic claim about God, simply does
not make sense." Dunia sesungguhnya melampaui ke-satu-an dan totalitas.

Schneider menganjurkan iman berangkat ke dalam "multiplisitas"-yang tak
sama artinya dengan "banyak". Kata itu, menurut dia, mencoba menamai
cara melihat yang luwes, mampu menerima yang tak terduga tak ber­hingga.

Tapi Schneider, teguh dalam tradisi Ibrahimi, mene­gaskan
"multiplisitas" itu tak melenyapkan yang Tunggal. Yang Satu tak hilang
dalam multiplisitas, hanya ambyar sebagaimana bintang jatuh tapi
sebenarnya bukan jatuh melainkan berubah dalam perjalanan benda-benda
planet­er.

Dengan kata lain, tetap ada ke-tunggal-an yang membayangi tafsir kita.
Bagaimana kalau terbit intoleransi monotheisme kembali?

Saya ingat satu bagian dalam novel Ayu Utami, Bilang­an Fu. Ada sebuah
catatan pendek dari tokoh Parang Jati yang bertanya: "Kenapa monotheisme
begitu tidak tahan pada perbedaan?" Dengan kata lain, "anti-liyan"?

Pertanyaan itu dijawab di catatan itu juga: sikap "anti-liyan" itu
berpangkal pada "bilang­an yang dijadikan me­tafora bagi inti falsafah
masing-masing". Monotheisme menekankan bilang­an "satu". Agama lain di
Asia bertolak dari ke­tia­daan, kekosongan, sunyi, shunyat, shunya,
se­­kaligus keutuhan. "Konsep ini ada pada bilang­an nol," kata Parang Jati.

Bagi Parang Jati, agama Yahudi, pemula tradisi monotheisme, tak mampu
menafsirkan Tuhan sebagai Ia yang terungkap dalam shunya, sebab
monotheisme "dirumuskan sebelum bilangan nol dirumuskan".

Ada kesan Parang Jati merindukan kembali angka nol, namun ia tak begitu
jelas menunjukkan, di mana dan bila kesalahan dimulai. Ia mengatakan,
setelah bilangan nol ditemukan, manusia pun kehilangan kualitas yang
"puitis", "metaforis" dan "spiritual" dalam menafsirkan firman Tuhan.
"Ketika nol belum ditemukan," tulis Parang Jati, "sesungguhnya bilangan
tidaklah hanya matematis."

Dengan kata lain, mala terjadi bukan karena angka satu, melainkan karena
ditemukannya nol. Tapi Parang Jati juga menunjukkan, persoalan timbul
bukan karena penemuan nol, melainkan ketika dan karena "shunya menjadi
bilangan nol".

Salahkah berpikir tentang Tuhan sebagai nol? Salahkah dengan memakai
"the logic of the One"?

Di sebuah pertemuan di Surabaya beberapa bulan yang lalu saya dapat
jawab yang mencerahkan. Tokoh Buddhis­me Indonesia, Badhe Dammasubho,
menunjukkan bahwa kata "esa" dalam asas "Ketuhanan yang Maha Esa" bukan
sama dengan "eka" yang berarti "satu". Esa berasal dari bahasa Pali,
bahasa yang dipakai kitab-kitab Buddhisme. Artinya sama dengan "nirbana".

Setahu saya, "nirbana" berarti "tiada". Bagi Tuhan, ada atau tak ada
bukanlah persoalannya. Ia melampaui "ada", tak harus "ada", dan kita,
mengikuti kata-kata Rasulullah, "aku tidak tahu".

Goenawan Mohamad

Tips MEMBACA DENGAN EFEKTIF

Tips MEMBACA DENGAN EFEKTIF
Oleh: Roy Sembel

Salah satu unsur penting dalam Manajemen Diri adalah membangun kebiasaan untuk terus menerus belajar atau menjadi manusia pembelajar yang senantiasa haus akan informasi dan pengetahuan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Henry Ford, pendiri General Motors yang mengatakan bahwa "Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young."

Tidak peduli berapapun usia kita, jika kita berhenti belajar berarti kita sudah tua, sedangkan jika senantiasa belajar kita akan tetap awet muda. Karena hal yang terbaik di dunia akan kita peroleh dengan memelihara pikiran kita agar tetap muda.
Salah satu cara paling efektif untuk belajar adalah dengan membaca. Namun sayangnya sebagian besar kita tidak pernah punya waktu untuk membaca. Alasan utama yang sering kita sampaikan adalah kesibukan pekerjaan. Kita terjebak dalam rutinitas dan tekanan pekerjaan sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengasah gergaji kita, seperti yang diceritakan oleh Stephen Covey dalam bukunya "The 7 Habits of Highly Effective People" sebagai berikut:
Andaikan saja anda bertemu seseorang yang sedang terburu-buru menebang sebatang pohon di hutan.
"Apa yang sedang anda kerjakan? Anda bertanya.
"Tidak dapatkah anda melihat?" demikian jawabnya dengan tidak sabar. "Saya sedang menggergaji pohon ini."
"Anda kelihatan letih!" anda berseru. "Berapa lama anda sudah mengerjakannya? "
"Lebih dari lima jam," jawabnya, " dan saya sudah lelah! Ini benar-benar kerja keras."
"Nah, mengapa anda tidak beristirahat saja beberapa menit dan mengasah gergaji itu?" anda bertanya. "Saya yakin anda akan dapat bekerja jauh lebih cepat."
"Saya tidak punya waktu untuk mengasah gergaji," orang itu berkata dengan tegas. "Saya terlalu sibuk menggergaji. "
Bahkan menurut Covey, kebiasaan mengasah gergaji merupakan kebiasaan yang paling penting karena melingkupi kebiasaan-kebiasaan lain pada paradigma tujuh kebiasaan manusia efektif. Kebiasaan ini memelihara dan meningkatkan aset terbesar yang kita miliki yaitu diri kita. Kebiasaan ini dapat memperbarui keempat dimensi alamiah kita: fisik, mental, spiritual, dan sosial/emosional.

Membaca merupakan salah cara kita untuk memperbaiki dan meningkatkan efektifitas diri kita. Meskipun kita memiliki "keterbatasan waktu", kita tetap perlu mengasah gergaji kita. Caranya adalah dengan menguasai cara membaca yang efektif sehingga waktu yang kita gunakan menjadi efisien.
Namun sebelumnya kita perlu mengenali berbagai tipe gaya belajar seseorang, yaitu:
a. Visual.
Belajar melalui melihat sesuatu. Kita suka melihat gambar atau diagram. Kita suka pertunjukan, peragaan atau menyaksikan video.
b. Auditori.
Belajar melalui mendengar sesuatu. Kita suka mendengarkan kaset audio, ceramah kuliah, diskusi, debat dan instruksi verbal.
c. Kinestetik.
Belajar melalui aktivitas fisik dan keterlibatan langsung. Kita suka "menangani", bergerak, menyentuh dan merasakan/mangalami sendiri.

Semua kita, dalam beberapa hal, memanfaatkan ketiga gaya tersebut. Tetapi kebanyakan orang menunjukkan kelebih-sukaan dan kecenderungan pada satu gaya belajar tertentu dibandingkan dua gaya lainnya. Pada anak-anak kecenderungannya adalah pada kinestetik dan auditori, namun pada saat mereka dewasa, kelebih-sukaan pada gaya belajar visual ternyata lebih mendominasi.

Memahami gaya belajar pribadi anda akan dapat meningkatkan kinerja dan prestasi anda. Anda akan mampu menyerap informasi lebih cepat dan mudah. Anda dapat mengidentifikasi dan mengapresiasi cara yang paling anda sukai untuk menerima informasi. Anda akan bisa berkomunikasi jauh lebih efektif dengan orang lain dan memperkuat pergaulan anda dengan mereka.

Tiga Faktor Penting Meningkatkan Kemampuan Belajar
Ada tiga faktor penting dalam penguasaan ketrampilan untuk belajar:
Pertama adalah pola pikir dan sikap (mindset and attitude) kita terhadap belajar. Kita harus memiliki hasrat (desire) dan kecintaan (passion) yang dalam terhadap nilai-nilai untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Belajar tidak hanya sekedar melalui pendidikan formal semata, tetapi dalam setiap aspek kehidupan kita harus senantiasa mengembangkan sikap belajar. Sikap mau membaca, mendengar, mau mengerti dan mau belajar dari orang lain merupakan sikap yang perlu senantiasa dikembangkan jika kita ingin memperbaiki diri ataupun gagasan kita.

Faktor kedua dalam meningkatkan ketrampilan untuk belajar adalah kemampuan kita untuk mendayagunakan kekuatan pikiran kita (terutama pikiran bawah sadar subconscious mind) untuk mempercepat proses belajar (accelerated learning). Pikiran bawah sadar merupakan kekuatan yang luar biasa jika kita dapat mengoptimalkan potensinya. Seringkali kita melupakan bahwa anugerah yang terindah dan terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita adalah kemampuan pikiran kita. Hal inilah yang membedakan kita dengan ciptaanNya yang lain. Hal yang paling mudah kita lakukan untuk mengembangkan ketrampilan untuk belajar adalah dengan banyak membaca. Meluangkan waktu sedikitnya satu jam sehari untuk membaca buku merupakan kebiasaan yang baik bagi kita untuk mulai mengembangkan diri kita. Banyak sekali metoda untuk meningkatkan kecepatan membaca (speed reading) maupun pemahaman (comprehension) terhadap isi dari suatu buku. Ketrampilan inilah yang amat kita perlukan untuk meningkatkan daya serap dan kecepatan kita dalam membaca sebuah buku. Selain membaca, meningkatkan kemampuan dapat diperoleh melalui seminar, pelatihan maupun mendengarkan kaset-kaset motivasi.

Faktor ketiga dalam meningkatkan kemampuan belajar kita adalah disiplin diri dan kegigihan (self discipline and persistence).
Tanpa kedua hal ini maka belajar hanyalah kegiatan yang sifatnya tergantung suasana hati (mood) dan kita tidak dapat mencapai keunggulan (excelence) hanya dengan belajar setengah hati. Sudah saatnya kita mengubah kebiasaan-kebiasaan kita.

Ada pepatah yang mengatakan "Your Habits will Determine Your Future. Miliki kebiasaan belajar, dan mulai langkah pertama anda. Proses mengubah kebiasaan sangat ditentukan oleh kedisiplinan diri dan kegigihan kita, sehingga setelah melakukannya dalam periode waktu tertentu, hal tersebut tidak lagi menjadi beban tetapi telah menjadi kebutuhan. Jika pada awalnya sulit melakukan tetapi setelah itu anda jadi terbiasa.

Ketrampilan Dasar untuk Membaca yang Efektif.
Sebelum kita mengembangkan kemampuan membaca dengan efektif, kita perlu menguasai terlebih dulu beberapa ketrampilan dasar, yaitu:
1. Konsentrasi
Kebanyakan kita menganggap bahwa konsentrasi adalah pekerjaan berat dan sangat sulit dilakukan. Kita memiliki suatu keyakinan bahwa hal tersebut susah untuk dilakukan. Padahal kalau kita menyenangi sesuatu, katakanlah menonton konser musik band favorit kita atau film di bioskop, maka kita akan dapat berkonsentrasi menikmati pertunjukan yang berlangsung lebih dari dua jam. Kita ternyata dapat berkonsentrasi cukup lama jika kita melakukan sesuatu yang kita senangi. Inilah pola pikir pertama yang harus kita kembangkan untuk belajar berkonsentrasi.
Hal yang kedua adalah bahwa mengembangkan daya konsentrasi sama halnya dengan mengembangkan dan menguatkan otot-otot tubuh kita. Kita perlu  latihan yang teratur dan terus menerus. Salah satu teknik untuk mengembangkan daya konsentrasi adalah teknik kontemplasi. Kontemplasi adalah suatu teknik menggunakan pikiran kita seperti sebuah lampu senter (searchlight) untuk mencari dan menemukan informasi baru. Untuk melatihnya, anda perlu lakukan setiap hari (sedikitnya 5 menit sampai maksimum 10 menit per latihan). Caranya dimulai dengan fokus terhadap apa yang ingin kita ketahui. Misal, kita ingin mengetahui cara meningkatkan kecerdasan finansial (membaca buku Robert Kiyosaki misalnya), kemudian pikirkan gagasan tersebut secara mendalam dan tanyakan pada diri anda pertanyaan-pertanya an seperti, "Apa artinya kecerdasan finansial? Apa implikasinya pada hidup saya? Apakah hal tersebut bisa saya lakukan? Dan seterusnya lakukan sampai sekitar 5-10 menit.
Jika anda sudah bisa bertahan konsentrasi 10 menit, tingkatkan kemampuan anda dengan berlatih langsung membaca sebuah buku 10-20 menit. Lakukan setiap hari sampai daya tahan konsentrasi anda meningkat sedikit demi sedikit.
 
2. Membuat Peta Pikiran (Mind Mapping)
Teknik ini merupakan cara untuk meringkas suatu tema atau pokok pikiran yang ada dalam buku.
Pertama, kita awali dengan menuliskan tema pokok di tengah-tengah halaman kertas kosong.
Kemudian seperti pohon dengan cabang dan ranting kita kembangkan tema pokok menjadi sub tema di sekelilingnya dengan dihubungkan memakai garis seperti jari-jari roda.
Berikut adalah langkah atau prinsip dalam membuat peta pikiran dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century karangan Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl:
a. Mulai dengan topik di tengah-tengah halaman.
b. Gunakan kata-kata kunci.
c. Buatlah cabang-cabangnya
d. Gunakan simbol, warna, kata, gambar dan citra (images) lainnya.
e. Gunakan seperti poster dengan dasar putih bersih.
f. Buat tulisan atau gambarnya warna warni
g. Gunakan alat tulis berwarna terang
Membuat peta pikiran adalah latihan yang perlu dilakukan terus menerus. Sama halnya seperti teknik kontemplasi, kita perlu berlatih mengunakan peta pikiran untuk mengetahui informasi atau menganalisa masalah. [Bisa juga melihat di Gua Kalong, bagian Peta Konsep dan Otak]

3. Relaksasi
Cara ini dikembangkan oleh Sandy MacGregor dalam bukunya Piece of Mind. Pada prinsipnya dikatakan bahwa otak atau pikiran kita lebih mudah menyerap dan mengingat informasi pada saat kondisi pikiran kita relaks yang ditunjukkan dengan frekuensi gelombang otak yang rendah. Mengenai teknik relaksasi pernah dibahas dalam edisi Mandiri sebelumnya. Bagi anda yang berminat mempelajari dapat membaca buku Sandy MacGregor tersebut atau buku SELF MANAGEMENT: 12 Langkah Manajemen Diri karangan Aribowo Prijosaksono dan Marlan Mardianto.

Teknik Membaca Cepat
Kita hidup dalam zaman di mana kita setiap hari dibanjiri buku baru tentang topik yang kita sukai atau yang berkaitan dengan bidang pekerjaan kita. Pembaca biasa takkan bisa membaca semua buku yang telah diterbitkan tentang topik yang berkaitan dengan bidang bisnis atau profesionalnya.

Sedangkan membaca itu sendiri bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan sekaligus menjengkelkan. Padahal kita semua tahu bahwa membaca sama halnya dengan kita menikmati pertunjukan konser atau film yang bagus. Membaca melibatkan partisipasi aktif kita. Seluruh emosi, hasrat dan minat kita juga harus terlibat dalam proses membaca, sehingga membaca menjadi pengalaman yang menyenangkan.
Dengan keterbatasan waktu yang kita miliki, bagaimana kita dapat mengembangkan kemampuan membaca secara efektif sehingga dengan tenggang waktu yang sama, kita bisa mengambil inti dari lebih banyak buku. Kecuali untuk buku fiksi atau sastra yang memang ingin kita nikmati jalinan cerita, emosi, dan rangkaian kata-katanya, membaca buku nonfiksi (textbook) adalah seperti membaca surat kabar. Yang kita perlukan adalah informasi dan gagasan pokok pengarang.
Hanya sedikit orang yang membaca koran dengan cara per bagian, halaman per halaman. Kita biasanya membaca beberapa halaman pertama dengan mendetail, lalu hanya sekilas membaca yang lain, mencari topik yang menarik. Sekarang kita akan belajar melakukan hal yang serupa dengan buku yang akan kita baca.
Sebelum mulai membaca ada sejumlah alat bantu yang dapat membantu kita untuk dapat memahami keseluruhan isi sebuah buku:
Sampul buku:
Biasanya pokok pikiran terpenting dari sebuah buku tercetak di sampulnya.
Informasi ini membantu penjualan buku dan memberikan perspektif penerbit tentang isi buku. Sampul buku memberikan gambaran kepada kita tentang apa yang akan kita dapatkan di bagian dalam.
Biografi penulis:
Informasi ini akan memberi tahu kita tentang latar belakang pendidikan, pengalaman dan kegiatan penulis saat ini yang membuat ia bisa menulis buku tersebut. Dengan memahami informasi tentang penulis akan membantu kita untuk lebih mudah mengikuti alur pemikirannya dalam buku tersebut.
Bagian awal:
Bagian ini terdiri atas kata pengantar, prakata, atau bab pendahuluan (prolog). Biasanya justru bagian-bagian ini yang perlu secara mendalam kita pelajari, karena intisari seluruh gagasan penulis tentang tema buku tersebut terangkum dalam bagian awal buku. Yang jelas bagian ini memaparkan tujuan penulisan pernyataan misinya. Pada titik ini kita bisa memutuskan untuk membaca lebih lanjut atau kita hanya akan menggunakannya untuk referensi.
Daftar Isi:
Sebenarnya bagian ini adalah kerangka buku. Penulis menggunakan masing-masing topik bab sebagai gantungan untuk menjelaskan keseluruhan pemikirannya tentang topik tertentu. Ada berapa bagian? Berapa bab? Bacalah Daftar Isi dengan teliti untuk melihat apakah topik-topiknya sesuai dengan apa yang kita cari.
Indeks:
Teliti indeks di bagian belakang buku. Lihat apakah ada kata-kata kunci yang menarik bagi anda.

Kita harus memeriksa semua hal tersebut sebelum membaca bukunya. Inilah yang disebut dengan proses scanning, yaitu kita melihat secara selintas keseluruhan isi dari buku yang akan kita baca. Begitu mulai membaca, kita bisa bebas melompati materi yang sudah kita ketahui atau materi yang tidak kita minati.
Pada bagian tertentu kita bisa mendalami karena ada topik atau informasi yang harus kita cermati dan kita cerna lebih dalam. Proses ini disebut dengan proses skimming.

Berikut adalah hal-hal yang perlu untuk membaca dengan efektif:
1.       Setelah melakukan proses scanning, kita dapat membuat peta pikiran (mind charting) buku tersebut.
Tidak usah terlalu detil, tetapi cukup informatif untuk menjelaskan isi buku dalam satu halaman kertas. Kalau perlu kita lakukan rekonstruksi terhadap daftar isi digabung dengan informasi lain dari biografi, kata pengantar, pendahuluan dan sinopsis di sampul buku tersebut.
 2.       Siapkan stabilo atau alat tulis untuk menandai informasi atau apa saja yang ingin kita ingat.
 3.       Pahami jalan pikiran penulis. Semakin cepat kita mengetahui topik, tujuan, pokok masalah materi yang kita baca, semakin baik pemahaman dan ingatan kita akan hal itu. 
4.       Hindari baca kata per kata dan kalimat per kalimat. Coba tangkap sekelompok kata dengan mata anda setiap kali menggerakkannya. Apalagi untuk buku berbahasa asing, kita tidak perlu menterjemahkannnya kata demi kata, karena akan menghambat proses penyerapan informasi dalam otak anda.
Bandingkan anda membaca dengan bersuara dan membaca dalam hati. Kecepatannya akan berbeda jauh.
Biasanya saya berkonsentrasi pada kalimat pertama dan kalimat terakhir dari sebuah paragraf, atau mata saya melihat seluruh badan paragraf dan menangkap pesan intinya.
5.       Buatlah ringkasan sambil membaca. Jika tak ada ringkasan bab, buatlah sendiri setiap selesai membaca satu bab.
6.       Bandingkan dengan tulisan lain bertopik sama yang pernah anda baca. Ingat teknik kontemplasi. Cobalah mengembangkan pertanyaan-pertanyaan dan kaitan satu sama lain seperti anda mencari sesuatu dengan senter.
7.       Untuk mempermudah kita menggunakan buku tersebut sebagai referensi, kita bisa mencatat isi buku tersebut dalam sebuah buku catatan atau kertas khusus yang dapat kita simpan dan kita lihat kembali setiap saat. 

Demikianlah prinsip-prinsip dan langkah-langkah yang perlu kita ketahui untuk meningkatkan efisiensi membaca. Namun sekali lagi, sama seperti ketrampilan yang lain, membaca memerlukan jam terbang. Kita perlu berlatih, berlatih dan berlatih sehingga kecepatan dan efisiensi membaca kita meningkat dari waktu ke waktu. Selamat membaca dan meningkatkan aset pribadi anda yang paling penting, diri anda sendiri.

Anyone who stops learning is old, whether at twenty or eighty. Anyone who keeps learning stays young. The greatest thing in life is to keep your mind young.
-- Henry Ford