Kamis, 16 April 2015

Omong Kosong

OMONG KOSONG
(Kontemplasi Peradaban)
      
 "Diem eximere dicendo"  – melewatkan
 hari-hari dengan omong kosong.
 
     Mungkin kita pernah menyesal dan berkata dalam hati, "Duh, hari ini aku banyak omong kosong dengan teman-teman, ngobrol  tanpa ujung pangkalnya. Aku merasa bahwa hari ini  belum buat apa-apa!" Dan "keluhan positif" ini sudah pernah dicetuskan oleh Suetonius (70 – 130 M), "Diem perdidi" – Aku telah kehilangan hari-hariku tanpa makna.
Omong kosong yang sering disebut juga nonsense ternyata sudah biasa dibuat oleh banyak orang. Orang Manado, untuk omong kosong ini dinyatakan dengan istilah baflas. Dan ini ada sejarahnya. Flasgordonism. Istilah ini tercipta tahun 1930-an ketika film fiksi Flash Gordon diputar di bioskop kota Manado. Segera masyarakat umum menganggap film itu – yang mengisahkan tentang manusia ke ruang angkasa dengan roket – adalah omong kosong besar yang berlebihan. Oleh alasan itu, maka lahirlah istilah flasgordonism sebagai padan "omong kosong". Sampai sekarang terlestari kata "baflas" artinya "ber-flash" untuk menyebut seseorang yang bicara besar tapi seluruhnya omong kosong.
Dalam setiap kesempatan, memang dalam diri kita ada "kesempatan" untuk omong kosong. Setelah omong kosong itu berakhir, maka kita hanya bisa berkata – sekali lagi – seperti yang dikatakan Suetonius, "Diem perdidi" –  Aku telah kehilangan hari-hariku tanpa makna. Padahal dalam diri setiap insan manusia ingin bahwa hidupnya itu berarti dan tidak mau hari-harinya sia-sia.
          Manusia adalah pencari makna dalam setiap kehidupannya. Man's Search for Meaning,  sebuah buku yang ditulis oleh Viktor Frankl (1905 – 1997) memberikan masukan kepada kita untuk mencari makna hidup,  meskipun dalam situasi yang paling berat (kamp konsentrasi). Lantas, ungkapan Jawa, "Sangkan paraning dumadi" –  Hidup dari mana dan menuju ke mana, amat dekat maknanya dengan buku yang ditulis oleh Rick Warren (lahir: 28 Januari 1954) dalam bukunya yang berjudul, "The Purpose Driven Life".   Ringkasan dari buku-buku tersebut adalah bahwa setiap hari jangan biarkan berlalu tanpa makna.
          Kita menjadi ingat akan kata-kata dari penulis lelucon Roma, Publius Syrus (85 – 43 seb.M), "Discipulus est prioris posterior dies" – hari berikutnya adalah murid dari hari sebelumnya. Dan kita pun boleh berkata, "Dies diem docet" – hari yang satu mengajar hari yang lain. Dan akhirnya kita boleh berkata "Carpe diem" – tangkaplah hari ini. Marilah kita gunakan sebaik-baiknya hari ini dan  jangan untuk omong kosong.

Jumat, 17 April 2015  Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: