Rabu, 15 April 2015

Asbun

ASAL BUNYI
(Kontemplasi Peradaban)
      
"Silentio et tenebris animus alitur" – dalam keheningan dan kegelapan, jiwa itu menjadi kuat (Plinius, 53 – 113)
 
       Ketika masih study di Seminari Menengah, saya pernah ikut kursus organ jarak jauh yang disponsori oleh PML – Kota Baru Jogjakarta. Tiap kali saya memainkan tuts-tust,  sang pembina selalu berkata, "Jangan asbun ya" Lantas saya berkata, "Apa sih arti  asbun?"  Jawabnya, "Asal bunyi!"

          Memang, konotasi "asal" itu tidak baik.  Kata "asal-asalan",  "ABS" (Asal Bapak Senang), atau "asal selesai" hendak menunjukkan kepada kita akan ketidakmutuan yang dikerjakan. "Asal-asalan" berarti sembarangan dan "asal selesai"  berarti tidak mengindahkan kualitas. "Asal bunyi" bermakna yang penting bisa bunyi meskipun jelek suaranya. Padahal organ adalah sebuah alat musik yang mengutamakan suara atau bunyi yang selaras atau harmoni.  

          Asal bunyi yang dalam bahasa Jawa disebut dengan "clêkopan" atau seperti suara katak, "pating clêbung". Orang yang clêkopan itu dalam berkata-kata tidak teratur dan hanya asal berkata saja serta tidak menghiraukan apa yang dirasakan orang lain. Clêkopan kadang membuat sakit hati orang lain. Suara katak, digambarkan oleh Johanes Chrysostomos (347 – 407)  bagaikan seorang sofis zaman Yunani Kuno yang "berkuak-kuak dalam sebuah rawa." Mereka adalah orang yang paling menyedihkan karena meskipun bodoh, mereka pikir dirinya bijak dan mereka memamerkan reputasi dan jumlah mereka seperti burung-burung merak yang memamerkan keindahan ekornya (Bdk. Buku tulisan William Barclay dengan judul Memahami Kitab Suci dalam 1 dan 2 Korintus,  hlm. 42). Inilah yang oleh Quintilianus, ahli retorika Romawi (35 – 95 M) diistilahkan sebagai "Inanis verborum torrens" – arus deras kata-kata hampa.

          Sorang bijak tentu tidak akan sembarangan membuang kata-kata tanpa makna. "Silent is golden" – diam itu emas, kalau diterapkan pada saat yang tepat. Bahkan penulis drama Yunani kuno, Sophocles (496 – 406 seb.M) berkata bahwa "diam itu membuat seorang wanita tampak anggun". Seorang ilmuwan Roma:  Plinius (53 – 113) juga mengatakan bahwa "silentio et tenebris animus alitur" – dalam keheningan dan kegelapan, jiwa itu menjadi kuat.

          Dunia zaman sekarang ini,  dipenuhi dengan suara dan bunyi yang tidak teratur. Komentar-komentar dari para politisi di Televisi maupun pertarungan dua kubu partai yang makin memanas. Kami, para rakyat pun semakin bingung dengan suara riuh-rendah dari para "pelaku sejarah perpolitikan nasional."  Maka, perlu bagi kita mengadakan "pertobatan nasional" dengan  retreat dan menata hidup.  In quietness and silence a devout soul will be flourished – Dalam ketenangan dan keheningan jiwa yang dahaga dapat dipuaskan. Suatu ajakan untuk tenang dan hening sejenak dari hiruk-pikuk dunia yang banyak mengeluarkan suara, yang kadang asbun – asal bunyi.  

Rabu, 15 April 2015  Markus Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tidak ada komentar: