SEJARAH GEREJA KAT0LIK DI PURWOREJO
SISIRAN HIDUP RAMA PROF.DR N. DRIYARKARA SJ
oleh RP.A. Sujoko MSC
Soehirman alias Djentu (dibaca jenţhu)
Orang desanya memanggilnya Hirman alias Djentu (jenţhu). Dari nama panggilan
hariannya nampak bahwa ia memang anak desa. Desa itu terletak sekitar 8 Km
sebelah timur kota kecil Purworejo, namanya Kedunggubah.
Kemarin sore, Senin 23 Juli 2012 saya diantar oleh romo Miranto ke stasi
Kedunggubah. Stasi itu hanya terdiri atas 24 KK, sekitar 50 umat saja. Jalan
masuk ke desa itu sekarang sudah beraspal cukup baik, namun sempit.
Rumah-rumah kecil dan sederhana, bahkan ada beberapa yang masih berdiding
anyaman bambu. Hal itu tidak mengherankan karena tanah di pegunungan itu
keras berbatu sehingga tanaman pangan sulit tumbuh. Yang ada hanyalah
tanaman keras, berupa kayu atau tanaman buah seperti langsat, manggis,
durian, mangga yang berbuah hanya pada musimnya. Tidak mengherankan bila
keadaan ekonomi desa itu adalah sangat sederhana.
Tetapi yang mengherankan adalah bahwa di situlah Prof. N. Driyarkara SJ
lahir tgl 13 Juni 1913 dan tumbuh sebagai anak desa sebelum ia masuk
Seminari di Yogya dan sekolah di Kolose Muntilan. Soehirman adalah nama
kecilnya dan orang di kampungnya mengenalnya sebagai Hirman. Tetapi ia juga
memiliki panggilan Djentu. Sudah lama saya tahu bahwa romo Driyarkara
berasal dari salah satu stasi Purworejo bernama Kedunggubah, namun baru sore
itu saya sempat melihat langsung desa itu.
Kami bertemu dengan Agus yang memanggil Romo Driyarkara: Simbah Cilik (opa
ade, opa pe ade). Ayahnya Agus, yaitu bapak Sumarjo, seorang Polisi namun
sudah meninggal, adalah keponakan dari romo Driyarkara. Orangtua romo
Driyarkara bernama bapak-ibu Atmasendjaja. Menurut orang desa, Wajah pak
Polisi Sumarjo itu sangat mirip dengan romo Driyarkara. Agus mengakui bahwa
adiknya yang bernama Ganjar Prasetyawati lebih tahu silsilah tentang
keluarganya, namun saat itu sedang pergi ke Semarang. Kalau diperlukan nanti
Ganjar bisa datang ke pastoran Purworejo untuk menjelaskan kepada romo Joko,
begitu katanya.
Rumah tempat Romo Driyarkara lahir dan dibesarkan sudah tidak ada lagi,
tertinggal menjadi tanah kosong yang ditumbuhi rumput dan pepohonan. Yang
masih ada adalah rumah dari Polisi Sumarjo itu yang terletak di sebelahnya,
namun agak ke bawah sesuai dengan kontur tanah yang berbukit-bukit. Di depan
rumah Polisi Sumarjo itu ada halaman cukup luas untuk bisa parkir mobil dan
dulu adalah sebuah pendopo. Ketika romo Driyarkara masih menjadi frater dan
pulang ke situ, pendopo itu masih ada, kata Agus.
Rumah keluarga romo Driyarkara yang kami kunjungi itupun sederhana, setengah
bawah tembok dan setengah atas dari anyaman bambu. Sungguh mengharukan
menyaksikan dari tempat yang sangat sederhana, di desa sunyi terpencil di
pegunungan, dengan akses jalan yang waktu itu pasti sangat sulit, bisa lahir
orang Pandai Prof Driyarkara yang namanya diabadikan menjadi Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara di Jakarta itu.
Driyarkara sekolah di SD Cangkrep yang berarti harus jalan kaki cukup jauh
dari desanya. Karena Cangkrep itu hanya 3 km dari kota Purworejo. Rupanya
setamat SD ia melanjutkan di Seminari Yogya tahun 1929-1935. Disebutkan pula
bahwa ia pernah sekolah di Kolose Xaverius Muntilan pada tahun-tahun
pendudukan Jepang tahun 42-43. Lagi-lagi Muntilan, pusat misi Katolik Jawa
Tengah, berperan pula bagi pendidikan seorang Driyarkara ini. Itulah
sebabnya mungkin sehingga ia menjadi orang besar karena bergabung dengan
Yesuit, bisa menjalani tahun Novisiat di negeri Belanda dan belajar filsafat
sampai gelar doktor di Gregoriana, Roma. Ia juga pernah menjadi dosen
terbang di Missouri, Amerika, Dosen di Beberapa Universitas yang sudah ada
di Indonesia pada waktu itu, menjadi Anggota MPRS dan menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung RI, zaman presiden Soekarno.
Romo Nicolaus Driyarkara ditahbiskan imam tgl 6 Januari 1947 di Semarang
oleh Mgr. Albertus Soegijapranata SJ. Dari stasi Kedunggubah ini sampai
sekarang romo Driyarkara adalah imam pertama dan masih satu-satunya, karena
belum ada lagi calon imam atau biarawan-biarawati dari kampung itu. Sehingga
fenomena Driyarkara ini sungguh unik. Beliau melejit bagaikan meteor mencuat
ke atas melewati celah-celah perbukitan yang mengelilingi rumahnya itu untuk
menjadi orang terkenal dan berperan penting bagi Gereja dan Negara
Indonesia.
Yang sebenarnya ingin kita ketahui juga adalah: dari mana ia mengenal agama
katolik? Umur berapa ia dibaptis? Nama orantuanya: Atmasenjaja sepertinya
tanpa nama baptis. Mengapa ia sekolah di Seminari dan masuk Jesuit. Romo
siapa yang waktu itu sudah pergi ke Kedunggubah dan menarik hati Djentu
untuk menjadi katolik dan romo? Dan kendatipun sudah ada romo Driyarkara,
namun stasi Kedunggubah itu sampai sekarang masih tetap stabil, maksudnya
tidak banyak berkembang. Sepertinya tidak ada pengaruh dari ketenaran salah
satu anak stasinya itu.
Di depan Gereja Stasi St. Nicolaus Kedunggubah yang kecil dan sederhana itu
kini berdiri patung setengah badan dari romo Driyarkara SJ untuk menandakan
bahwa beliau berasal dari situ. Namun melihat patung orang terkenal di bawah
pohon-pohon bambu yang sederhana itu juga merupakan pemandangan yang kontras
dan menyentuh hati. Seolah-olah patung itu tidak cocok berada di tempat itu.
Ia harus berdiri di depan STF Driyarkara Jakarta atau di depan Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta. Sepertinya romo Driyarkara juga termasuk salah
satu pendiri Unika Sanata Dharma, atau malah nama itu berasal dari beliau
mengingat bunyinya yang lebih berasal dari bahasa Sanskerta dari pada dari
Gereja Katolik.
Namun... patung itu tetap di situ dan memang harus di situ, karena hal itu
menunjuk pada kebenaran nyata bahwa romo Driyarkara memang berasal dari desa
itu. Namun, walaupun berasal dari desa terpencil dan sederhana itu, keluarga
romo Driyarkara masih ada garis keturunan raja Mataram. Karena Agus
menunjukkan kepada kami Silsilah Mataram yang dibuat tahun 1935 dengan
ketikan rapi dan bahasa Jawa dengan ejaan lama (Soerat Koetipan Silsilah
MATARAM). Lembaran kertas yang mulai kusam itu dilapisi plastik dan menjadi
dokumen keluarga. Namun surat itupun hanya kutipan dari aslinya yang mungkin
tersimpan di tempat lain yang terhormat. Mungkin darah ningrat Kerajaan
Mataram yang mengalir dalam diri romo Driyarkara itu yang membuatnya
memiliki talenta dan kepandaian luar biasa, meskipun terlahir di desa
terpencil.
Sujoko
Rabu, 15 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar