In Memoriam Kang Moeslim
Inspirasi dari Sosok Intelektual Organik
Oleh Benny Susetyo
Kepergian Moeslim Abdurrahman (Kang Moeslim) menimbulkan duka mendalam.
Figur cendekiawan muslim seperti Kang Moeslim, menurut saya, sangat
diperlukan Indonesia di tengah gencarnya pola pemikiran keagamaan yang
sempit dan tertutup.
Kira-kira 15 tahun lalu saya diperkenalkan dengan Kang Moeslim oleh Gus Dur.
Saya ingat betul Gus Dur dengan kelakar segarnya mengatakan bahwa Kang
Moeslim ini adalah orang Muhammadiyah yang pikiran dan jiwanya NU. Sesudah
itu, kami terlibat banyak kegiatan dan saling berbagi pemikiran.
Tidak dimungkiri lagi bahwa sosok Kang Moeslim adalah figur pemikir yang
progresif dan terbuka. Pemikiran-pemikirannya sering melampaui dari orang
kebanyakan, baik tentang masyarakat maupun perkembangan agama. Intisari yang
kerap saya tangkap dari sosok Kang Moeslim ialah perhatiannya pada
masalah-masalah sepele yang baginya merupakan contoh dari masalah utama
negeri ini, juga kemampuannya membaca masalah-masalah ringan itu secara
substantif.
Selain itu, keberpihakannya kepada kaum terpinggir juga dapat dibaca dalam
berbagai pemikirannya. Tak jarang ia juga berbicara soal politik kebijakan
yang kerap tidak menghargai eksistensi kaum terpinggir. Baginya, kebijakan
seharusnya memberikan ruang bagi wong cilik untuk memperbaiki taraf
kehidupannya.
Kang Moeslim dengan gaya pemikiran seperti itu adalah sosok langka. Ia
merupakan sosok intelektual organik yang konsisten mendidik kaum muda agar
memiliki kesadaran politik dalam setiap gerakan sosial yang dibangun.
Gerakan sosial yang tidak saja bersifat instrumental, namun sungguh-sungguh
memiliki kompetensi untuk membela nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Ia sering mempertanyakan mengapa di negeri se-kaya Indonesia ini, begitu
banyak orang miskin, begitu banyak orang kelaparan bergelimpangan.
Pengangguran merajalela, dan penguasa justru lebih banyak mempermainkan
angka-angka. Dua fakta ini tidak bersambung secara logis akibat nilai
keadilan sudah disepelekan dan diabaikan dalam perikehidupan kebangsaan ini.
Ia juga tak jarang mengeluhkan pemimpin yang abai terhadap penderitaan
rakyat. Mengapa begitu sulit kita mencari sosok pemimpin, juga mengapa kita
kerap salah dalam mencari pemimpin. Pemimpin yang kita miliki kerap
berperilaku sebagai penguasa yang menindas hak-hak kaum terpinggir.
Indonesia kekurangan sosok negarawan yang sungguh-sungguh memperjuangkan
Indonesia dengan hati nurani. Berkali-kali ganti pemimpin, berkali-kali juga
kita hanya memiliki pemimpin yang berjiwa kerdil.
Bagi aktivis sosial dan intelektual pro-demokrasi, kepergian Kang Moeslim
merupakan kehilangan besar sosok yang sangat mengagumkan. Sosok intelektual
Muhammadiyah yang dekat dengan NU, dan telah mencerahkan kita dengan
berbagai pemikiran tentang demokrasi yang radikal, yaitu demokrasi yang
membela kaum tertindas dan terpinggirkan.
Dalam pemikirannya tentang teologi Islam transformatif, Kang Moeslim melihat
agama memiliki daya dorong yang luar biasa untuk perubahan sosial. Karenanya
kita akan selalu mengenang sosoknya sebagai salah satu dari sedikit pemikir
Muslim yang memperjuangkan agar Islam agar bisa diwujudkan dalam pelbagai
nilai-nilai kebajikan publik.
Kang Moeslim gelisah dan cemas melihat negeri yang sering dipermainkan oleh
anak bangsanya sendiri. Keadilan dan kemanusiaan pelan-pelan dipinggirkan
diganti dengan nafsu dan angkara murka keserakahan. Kita hidup di negeri
merdeka yang hakikatnya terjajah. Penguasa, pejabat dan politisinya umumnya
berjuang bukan untuk kebaikan negeri ini, justru sebaliknya.
Inspirasi 'pembebasan' dalam teologi pembebasan menurutnya penting untuk
ditempatkan dalam perjuangan gerakan sosial di Indonesia. Manusia Indonesia,
pertama kali, harus dimerdekakan dari belenggu yang menghalangi kreativitas
dan ide. Teologi pembebasan merupakan usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran
dan nilai keagamaan pada masalah kongkrit di sekitar kita. Sebuah teologi
yang menekankan kepedulian kepada aksi sosial dan meletakkan ajaran-ajaran
agama dalam bingkai sosial.
Kecemasan, keresahan dan aksi sosial sosok intelektual organik seperti Kang
Moeslim inilah yang hari demi hari kian langka di Indonesia. Kita melihat
proses pemiskinan yang terus berlangsung lama dan mendarahdaging dan bahkan
diturunkan dari generasi ke generasi. Proses kesadaran atas ketertindasan
membutuhkan sebuah proses permenungan dalam dimensi yang membebaskan.
Sistem pendidikan, misalnya, harus memberikan pencerahan akal budi agar
subyek sadar bahwa proses menjadi miskin bukan karena nasib. Pemiskinan
terjadi karena struktur dosa sosial yang lestari dalam sistem ekonomi,
politik, budaya yang menghisap kaum hina dina untuk memerdekakan dirinya.
Kaum miskin harus sadar untuk membebaskan nasibnya dengan mengembangkan
kesadaran baru dalam keterlibatan dalam politik. Berpolitik adalah ikut
serta dalam proses membebaskan dari keterasingan sistem yang merusak
martabat manusia.
Tak heran bila Kang Moeslim banyak dikenal dari pemikirannya, misalnya dalam
buku karangannya berjudul "Islam Transformatif". Buku tersebut banyak
dibicarakan dan menjadi rujukan pemikiran Islam kontemporer, sebuah buku
penuh inspirasi bahwa agama merupakan tuntunan rohani yang memiliki dimensi
sosial kuat. Karena itu teologi agama harus memiliki daya insiprasi untuk
perubahan sosial masyarakat.
Kang Moeslim sudah lama dikenal sebagai pribadi yang kritis. Bahkan meskipun
dia harus diserang dari berbagai sisi, pemikirannya masih tetap menggugah
banyak pihak. Pemikirannya menggugah dunia pemikiran Islam. Kang Moeslim
menekankan agar umat Islam tidak beragama secara sempit, melainkan
menjadikan agama sebagai inspirasi untuk perubahan sosial lebih baik.
Penulis adalah Pemerhati Sosial
Koran Tempo, 21 Juli 2012
Rabu, 15 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar