Rabu, 15 Agustus 2012

BAHAN KULIAH SEJARAH GEREJA INDONESIA

SEJARAH GEREJA INDOSESIA
oleh RP. A. Sujoko MSC




Sariman


Sariman adalah seorang pemuda dari desa Jamblangan, di pegunungan Menoreh
yang lahir tahun 1874. Setelah menikah ia memakai nama tua Soerawirja.
Hidupnya penuh dengan kemiskinan dan penderitaan sejak kecil, maka ia
terbiasa matiraga dan bersemèdi. Bahkan setelah beberapa lama menikah ia
menderita sakit kaki sehingga tidak bisa berjalan. Ia harus bergerak dengan
ngesot, yaitu berjalan dengan pantat dan ditopang oleh kedua tangannya,
karena kakinya lumpuh. Untuk mencari kesembuhan, ia sudah melakukan laku
tapa di Sendang Semagung di dekat desanya. Namun ia tidak sembuh. Kemudian
secara aneh ia seperti mendapatkan wangsit, atau ilham atau bisikan dalam
hati untuk berjalan ke arah timur utara. Dengan keyakinan teguh atas
dorongan kuat yang misterius itu akhirnya ia sampai di Muntilan, yang
berjarak sekitar 20 km dari desanya. Sesampai di pinggir jalan sebelah
Gereja Katolik, kebetulan saat itu romo van Lith SJ sedang menyeberang jalan
untuk sekedar berjalan-jalan mencari angin. Melihat Sariman yang berjalan
ngesot itu, spontan romo van Lith membopongnya ke pastoran dan minta kepada
Br. Th. Kersten SJ untuk merawatnya (Buku Barnabas Sarikrama hl. 21).


Siapa menyangka bahwa ternyata Sariman itu, yang kemudian dibaptis katolik
dengan nama Barnabas dan namanya diubah oleh romo van Lith dari Soerawirja
menjadi Sarikrama, adalah tokoh atau katekis yang ada di belakang layar
sampai terjadi pembaptisan 171 orang di Sendang Sono tgl 14 Desember 1904.
Sendang Sono itu tidak lain adalah Sendang Semagung yang sudah lama dikenal
oleh penduduk setempat sebagai tempat keramat di mana tinggal dewi
Lantamsari dan anaknya Den Baguse Samijo. "Barnabas Sarikrama, tatkala belum
dibaptis, pernah juga bertapa di situ. Niatnya pada waktu itu ialah untuk
mencari kesembuhan bagi sakit kakinya. Beruntunglah sakit kakinya tidak
sembuh, permohonannya tidak terkabulkan. Dan justeru karena itu ia bertemu
dengan Romo van Lith dan Br. Kersten, dan tersembuhkan. Bagaimana jadinya
kalau ia tersembuhkan berkat bertapa di Sendang Semagung? Barangkali sejarah
Sendang Semagung akan tetap kelam, keramat dan menjadi tempat orang-orang
bertapa mencari ajimat (kekebalan). Tidak seperti sekarang ini, telah
menjadi Sendang Sono, tempat peziarahan rohani untuk mencari rahmat Tuhan."
(Buku St. S Tartono, Barnabas Sarikrama, Pustana Nusantara 2006, hlm 38).


Seandainya Sariman sembuh di Sendang Semagung. Seandainya ia tidak bertemu
romo van Lith dan Br. Th. Kersten. Seandainya tidak ada baptisan 171 orang
di Sendang Sono yang ternyata adalah orang-orang dari daerah Kalibawang yang
mengenal agama katolik dan ingin dibaptis justeru karena melihat "mujizat"
kesembuah Sariman itu. "Cerita yang dituturkan Sarikrama (tentang
kesembuhannya dan tentang perkenalannya dengan agama katolik) menimbulkan
decak kagum di hati penduduk desa Kajoran dan sekitarnya dan menimbulkan
pertanyaan: Seperti apa wajah dan tampilan Kyai Londo itu? (Mereka belum
pernah mendengar kata Pastor, Pater atau Romo), maka mereka hanya menyebut
Kyai Londo. Kyai adalah tokoh agama Islam di kampung-kampung. Diam-diam
pertanyaan itu muncul di benak orang-orang desa itu untuk kemudian
menimbulkan hasrat kuat untuk mengikuti jejak Sarikrama. (Buku Barnabas
Sarikrama hlm 26).


Dalam refleksi tentang Napak Tilas Muntilan saya menulis, seandainya tidak
ada romo van Lith, mungkin keadaan Gereja Katolik di Muntilan dan di antara
orang Jawa dan di Keuskupan Agung Semarang tidak akan seperti sekarang ini.
Demikian pula dengan jumlah panggilan menjadi imam dan biarawan-biarawati
yang banyak dari daerah itu. Sekarang saya harus menambahkan: Seandainya
tidak ada Sariman, Seandainya Sariman tidak pernah sakit kakinya dan tidak
pernah pergi ke Muntilan dan tidak bertemu romo van Lith di pinggir jalan
sebelah Gereja itu? Seandainya romo van Lith tidak keluar pastoran dan
melintas di jalan itu ketika Sariman lewat di situ?


(Di Museum Misi Muntilan terdapat juga hal yang mungkin relevan untuk
permulaan lagi Gereja Katolik di Keuskupan Manado. Ada foto tentang Ambarawa
dan disebutkan beberapa Tentara KNIL orang Manado menjadi katolik di
Ambarawa. Mungkin Daniel Mandagie yang setelah pensiun dari KNIL dan pulang
ke Langowan dan akan membaptis anaknya dan menulis surat ke Batavia untuk
dikirimkan seorang imam, kemudian datang Pastor Johanes de Vries SJ mendarat
di Kema tahun 1868, adalah salah seorang dari tentara KNIL di Ambarawa itu).
(Uskup Manado Mgr. Jos Suwatan pernah menjelaskan tentang permulaan
Keuskupan Manado sbb: "Tahun 1993 itu ternyata adalah peringatan 125 tahun
umat katolik di Keuskupan Manado, karena 125 sebelumnya, yaitu tahun 1868
Pastor Johanes de Vries SJ mendarat di Kema. Ia datang di Manado atas izin
dari Resident, orang Belanda protestan, untuk hanya berkunjung, tidak boleh
tinggal. Dan ia datang atas undangan seorang tentara KNIL Daniel Mandagie
yang sudah menjadi katolik di daerah Semarang sana. Kemudian ia pulang ke
Manado dan akan membaptis anaknya, tetapi tidak ada pastor di Manado. Maka
ia kirim surat ke Batavia untuk dikirim pastor ke Manado supaya membaptis
anaknya. Surat Daniel Mandagie itu ditemukan oleh Pastor Jacobus Wagey Pr di
desa Tincep, stasi dari Paroki Sonder, ketika Pastor J. Wagey pastor paroki
di sana.)


Kembali ke kisah Sariman dan Sendangsono:
Betapa hal-hal besar di kemudian hari, bisa diawali oleh
"kebetulan-kebetulan" yang sangat sederhana dan tanpaknya remeh sekali.
Namun dalam iman akan penyelenggaraan Tuhan, tidak ada hal yang kebetulan.
Semua itu telah terjadi untuk membuat kita menyadari bahwa keberadaan Gereja
Katolik di Jawa Tengah, khususnya di Keuskupan Agung Semarang, terlebih
khusus di Muntilan dan Sendang Sono telah diawali dengan sangat sederhana
melalui peran unik dari Bapak Barnabas Sariman Sarikrama itu.
Mgr. Ignatius Suharyo, yang waktu itu ( tahun 2006) masih Uskup Agung
Semarang sendiri mengatakan: "Selama Tahun Syukur atas Karunia Iman yang
dirayakan oleh Keuskupan Agung Semarang sepanjang tahun 2004 (mungkin
perayaan 100 tahun Keuskupan Agung Semarang yang dihitung dari 14 Desember
1904, yaitu baptisan masal di Sendangsono itu), nama Bapak Barnabas
Sarikrama sering banyak disebut. Tetapi rupanya yang mendengar nama itu
tidak semuanya mengenal sejarah hidup beliau. Tulisan Bapak St. S Tartono
(buku Barnabas Sarikrama) ini memberikan keteranga yang amat memadai
mengenai pribadi yang merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah
Gereja Keuskupan Agung Semarang (hlm ix).


Sujoko

Tidak ada komentar: