Senin, 29 Juni 2009

Debat - Catatan Pinggir GM (Majalah TEMPO)

Debat
Senin, 22 Juni 2009

Saya malas berdebat. Tiap debat mengandung unsur berlaga, ujian, dan
telaah. Memang, dulu ketika Socrates menanyai seseorang, menggunakan teknik
eclenchus, menyoal dan meminta jawab dan siap dibantah serta membantah, ia
tak bermaksud mengalahkannya hingga takluk. Ia menggugah orang untuk
berpikir, menilik hidup, terutama hidupnya, dan menjadi lebih bijaksana
sedikit. Tapi tidak setiap orang seperti Socrates. Dan saya cepat lelah
dengan berujar lisan.

Pengalaman saya mengajari saya bahwa debat, seperti umumnya dialog, acap
kali berakhir dengan dua-log: saya dan lawan bicara saya akan seperti dua
pesawat televisi yang disetel berhadap-hadapan. Dia tak mencoba mengerti
saya dan saya tak mencoba mengerti dia. Bahasa punya problem. Kata yang
kita ucapkan atau kita tulis tidak jatuh persis di sebelah sana dalam makna
yang seperti ketika ia keluar dari kepala saya.

Pengalaman saya juga membuat saya bertanya: apa tujuan sebuah perdebatan?
Untuk menunjukkan bahwa saya tak kalah pintar ketimbang lawan itu? "Kalah
pintar" tidak selamanya mudah diputuskan, kalaupun ada juri yang menilai.
Atau untuk meyakinkan orang di sebelah sana itu, bahwa pendirian saya
benar, dan bisa dia terima? Saya tak yakin.

Kita tak bisa untuk selalu optimistis, bahwa sebuah diskusi yang "rasional"
akan menghasilkan sebuah konsensus. Bahkan Mikhail Bakhtin cenderung
menganggap bahwa debat yang terbuka dan kritis tidak dengan sendirinya akan
membuka pintu ke sebuah ruang di mana orang bisa bertemu dan bersepakat.
Justru sebaliknya: yang akan terjadi adalah makin beragamnya pendapat dan
pendirian.

Bagi Bakhtin, orang yang berbeda punya pandangan dunia yang berbeda pula,
dan pada saat mereka sadar bahwa intuisi mereka tentang realitas
berbeda—dan teknik Socrates akan menimbulkan kesadaran itu—mereka akan
makin ketat dalam pilihan posisi mereka. Ada yang selamanya tak terungkap,
juga bagi diri sendiri, dalam kalimat.

Di manakah peran percakapan? Buat apa dialog dilakukan? Mungkin jawabnya
lebih sederhana dari yang diharapkan seorang Socrates: percakapan punya
momen persentuhan yang tak selamanya bisa dibahasakan—momen ketika tubuh
jadi bagian dari keramahan dan redanya rasa gentar.

Tapi orang senang menonton debat, apalagi debat para calon presiden. Saya
tidak tahu apakah setelah menonton itu, orang akan mengambil keputusan mana
yang lebih baik dia pilih. Saya duga lebih sering yang terjadi adalah
pilihan sudah dijatuhkan sebelum debat mulai—dan orang menonton sebagai
pendukung atau penggembira, seperti orang menonton pertandingan badminton
atau tinju. Maka saya lebih cenderung menganggap, debat diselenggarakan
lebih untuk jam-jam hiburan—dengan segala ketegangan yang dirasakan dalam
menonton itu. Kita tegang, maka kita senang. Juga debat calon presiden.
Pendek kata, debat itu tidak untuk meyakinkan. Debat itu untuk membuat kita
bertepuk.

Tidak mengherankan bila televisi mengambil peran besar dalam debat politik.
Sementara mereka yang berdebat mempersiapkan diri baik-baik dengan
mengumpulkan bahan serta mempertajam argumen dan juga berlatih menyusun
kata, tuan rumah dari acara itu sebenarnya punya tujuan yang tak ada
hubungannya dengan discourse. Sang tuan rumah hanya menginginkan sesuatu
untuk ditonton khalayak seperti orang Roma dulu menyelenggarakan
pertandingan gladiator.

Suka atau tidak suka, politik kini terjebak dalam sebuah arena apa yang
disebut Milan Kundera sebagai "imagologi". Politik telah jadi sebuah tempat
bertarung yang dibangun oleh media massa, di mana wajah, sosok, artikulasi,
dan janji diperlakukan sebagai komoditas yang ditawarkan ke konsumen yang
sebanyak-banyaknya. Makin banyak calon pembeli yang dibujuk, makin
ditemukan titik pertemuan yang paling dangkal. Dan ketika televisi—dengan
kebiasaannya untuk gemebyar, dengan ongkos mahal—jadi makin komersial,
pendangkalan itu makin tak terelakkan.

Tidak mengherankan bila setelah debat calon presiden, disusul debat para
komentator debat—yang umumnya seru, bisa lebih kasar, lebih tak sabar, dan
lebih tak berpikir. Kini para komentator hampir sudah seperti pesohor: yang
terpenting adalah bahwa mereka dikenal, atau bisa menarik perhatian.
Mengapa harus digubris adakah pendapat mereka punya dasar yang bisa
dipertanggungjawabkan? Dan karena air time mahal, jawaban cepat lebih
diperlukan ketimbang jawaban masuk akal. Socrates dan eclenchus-nya sudah
lama dikuburkan.

Saya malas berdebat. Meskipun seperti banyak orang, saya tak malas menonton
para calon presiden berdebat. Saya tahu apa yang mereka lakukan di sana itu
tak banyak manfaatnya bagi mereka sendiri. Tapi setidaknya saya mendapatkan
hiburan. Dan mungkin juga komodifikasi yang terjadi pada acara yang
seolah-olah serius itu punya manfaat lain, punya peran lain: proses itu
membuat para calon pemegang jabatan tertinggi Republik itu lebih menarik,
dan tidak lebih angker, apalagi menakutkan, ketimbang komoditas lain yang
ditebarkan televisi.

Tampaknya demokrasi bisa juga dibangun dari perdagangan.

Goenawan Mohamad

Tidak ada komentar: