Senin, 05 Januari 2009

Kereta, Genta Dan Cinta

Kereta, Genta Dan Cinta

oleh: Gede Prama


Kalau boleh ditukarkan, banyak orang yang mau menukarkan seluruh air matanya dengan gelak tawa. Bisa dimaklumi, karena gelak tawa itu menyenangkan, dan air mata itu menyedihkan. Kemewahan anak kecil seperti inilah yang sempat muncul dalam pikiran, ketika harus melepas Ibu tercinta yang dijemput oleh sang kematian di tanggal 7 Juli 2001.


Ada sejumlah hal yang telah dicita-citakan sejak dulu, namun tidak bisa dilakukan hanya karena kematian menjemput Ibu lebih dulu dari perkiraan kami sekeluarga. Haru, kejut, sedih bercampur jadi satu, ketika seorang kakak menelepon dan mengabarkan bahwa Ibu tercinta telah tiada. Masih jelas dalam ingatan, bagaimana Ibu melindungi anak bungsunya dalam banyak kesempatan sambil menangis. Belum hilang dari kenangan, bagaimana saya sebagai anak bungsu disusui Ibu sampai kelas satu sekolah dasar. Setiap kali pulang sekolah, saya cari kursi agar Ibu mau duduk. Kemudian, duduk mewahlah saya dalam pangkuan Ibu sambil meminum susu terenak, tersehat dan terbaik di dunia. Hanya kurang dari sebulan sebelum beliau pergi ke tempat yang amat jauh, saya masih sempat memapahnya mendaki rangkaian banyak tangga di sebuah tempat sembahyang. Ketika seorang sahabat dekat bertanya, kenapa mesti saya yang memapahnya, dengan spontan saya menjawab: 'sedang membuat kenangan indah bersama orang yang amat saya cintai'. Dan Ibu yang berada di sebelah saya, hanya bisa tersenyum kecil.


Masih ada segunung kenangan yang disisakan Ibu buat saya, yang tentu saja terlalu panjang untuk diceritakan di sini. Yang jelas, dari demikian banyak duka kematian yang pernah saya alami, kematian Ibu termasuk salah satu kehilangan berat dalam hidup. Ia tidak hanya memproduksi sekumpulan air mata, gunungan duka, rencana-rencana cinta yang tidak bisa dilaksanakan, tetapi juga hutang-hutang cinta yang belum tentu bisa dibayar. Sebagaimana manusia lainnya, tidak ada orang yang bisa membayar hutangnya secara lunas kepada orang tuanya - apalagi Ibu. Sudah menjadi kodrat hidup setiap orang, kalau kita harus berhutang pada orang tua. Namun, hutang itu menjadi lebih besar lagi, kalau kita hidup dalam kuantitas dan kualitas cinta orang tua yang di atas rata-rata. Dan latar belakang inilah yang membuat saya demikian kehilangan pada wafatnya Ibu.


Entah dari mana datangnya inspirasi, ketika keluarga meminta saya memberi sambutan sebelum liang lahat ditutup, tiba-tiba saja saya teringat serangkaian kata-kata - maafkan saya lupa dari mana kata-kata indah ini pernah saya baca - yang amat menyentuh hati.

 

"Kereta bukanlah kereta, sebelum ia dijalankan. Nyanyian bukanlah nyanyian, sebelum ia dinyanyikan. Genta bukanlah genta, sebelum ia dibunyikan. Dan, Cinta bukanlah cinta, sebelum ia dilaksanakan."


Dan yang membuat hutang saya pada Ibu demikian menumpuk dan menggunung, karena ia mewariskan sebuah kekayaan hidup yang paling berguna: cinta yang sudah dilaksanakan. Betapapun kuatnya emosi ini, air mata siapapun akan jatuh kalau ditinggalkan seorang Ibu yang melaksanakan cintanya secara amat mengagumkan. Ini semua seperti mau bertutur ringkas dan jelas ke saya, bukan kereta, bukan genta yang membuat orang itu dikenang lama. Melainkan perangkat-perangkat sikap yang penuh dengan warna cinta. Dan berbeda dengan kereta dan genta, sikap-sikap jenis terakhir tidak hanya membahagiakan orang-orang yang diberikan, ia juga membahagiakan siapa saja yang melakukannya dengan penuh keikhlasan. Kalau kehilangan Ibu agak memberatkan hati, kesadaran bahwa pemberi cinta justru lebih berbahagia dibandingkan yang diberikan, membuat saya agak sedikit lega. Rupanya, Ibu telah melewati masa-masa hidup yang amat berbahagia. Dan ini bukannya tanpa bukti. Sejumlah keluarga yang menungguinya di rumah sakit menjelang akhir hayatnya, selalu menggunakan kedatangan saya sebagai alasan supaya Ibu mau membuka mulutnya agar mau makan. Dan ternyata, berapa kalipun kakak saya menyebut kata 'Gede Prama datang', sebanyak itu juga Ibu membuka mulutnya sebagai tanda bersedia makan.

 

Ada memang penyesalan di dada dan di hati ini. Namun, Tuhan masih menyisakan perasaan untung pada saya. Sebab, seminggu sebelum Ibu wafat saya masih sempat memegang tangannya erat-erat sambil mengucapkan serangkaian doa. Dengan mulut yang terkunci rapat-rapat, matanya masih menatap saya dengan senyuman yang seperti dulu. Pagi hari berikutnya, ia sudah bisa bicara, dan sehari sesudahnya kemampuan berbicaranya sudah kembali ke keadaan normal. Dan karena insting bertutur tidak terlalu baik, jam 02:00 pagi ketika saya siap meninggalkan kota kecil di Bali Utara sana, saya sempatkan datang ke rumah sakit kembali. Setelah mencium keningnya. Ibu yang tadinya masih tidur membuka matanya pelan-pelan dan berucap dalam bahasa Bali yang lembut: rahayu (kurang lebih berarti semoga selamat dalam lindungan Tuhan). Inilah kata terakhir yang diucapkan Ibu ke saya. Dan semalam sebelum telepon mengejutkan itu datang, saya masih bermimpi bergandengan tangan bersama Ibu di sebuah tebing tinggi yang dikelilingi hamparan samudera. Mimpi terakhir ini seperti sedang bertutur ke saya, bahwa Ibu masih akan terus membimbing saya dengan modal dan kekayaan yang sama: cinta yang dilaksanakan. Selamat jalan Ibu, modal kekayaan terakhir ini juga sedang saya bagi ke banyak sekali orang yang membaca tulisan reflektif ini.


Bunda, saya mencintaimu sampai akhir hayatku...

Tidak ada komentar: