Menyatu Dengan Genta Semesta
Oleh: Gede Prama
Ketika Pembangunan Jaya berulang tahun bulan Agustus 2001 lalu, dan meminta
saya bertutur di depan puluhan wakil direktur, direktur, presiden direktur
sampai dengan pendiri perusahaan terkemuka ini, ada banyak sekali mata yang
tampak serius mendengarkan pengalaman-pengalaman meditatif saya. Pengusaha
terkemuka Ir. Ciputra bahkan meminta waktu presentasi saya diperpanjang,
hanya untuk menjawab pertanyaan beliau : kenapa Pak Ci meditasi tidak
menemukan tempat indah yang saya ceritakan, sementara saya yang jauh lebih
muda bisa menemukannya ?
Pertanyaannya tentu saja sederhana, namun jawabannya membuat kepala bekerja
keras. Tentu saja Pak Ciputra memiliki banyak sekali kelebihan dibandingkan
dengan saya. Dari umur, kualitas wisdom, track record kepemimpinan, dan
tentu saja prestasi materi. Namun, dalam hal meditasi, sudah lama saya
menelusuri jalan setapak yang panjang dan penuh rintangan. Izinkan saya
bertutur tentang jalan terakhir dengan penuh keikhlasan.
Awalnya, meditasi dalam kehidupan saya hanyalah sekumpulan pengetahuan. Ia
memasuki wilayah-wilayah kehidupan sama saja dengan pengetahuan lainnya. Di
tataran inilah saya mengenal nama-nama seperti J. Krishnamurti, Anthony de
Mello, Eknath Easwaran, sampai dengan Alexander Simpkins dan Annellen M.
Simpkins. Meditasi, dalam tataran ini, serupa dengan wacana lainnya yang
masuk melalui lorong-lorong pengetahuan.
Merasa ada yang kurang, secara kebetulan dalam frekuensi yang teramat
sering, saya membaca karya banyak orang yang mengutip buku-buku serial yang
tergabung dalam Chicken Soup For The Soul. Merasa diri dibombardir oleh
kutipan-kutipan dari buku terakhir, akhirnya saya coba untuk membelinya. Dan
ternyata, ada ketagihan untuk membeli hampir semua serial buku yang amat
menggugah sekaligus tidak menggurui ini. Cerita dan kisah yang tersedia
dalam buku ini memang banyak sekali. Akan tetapi, intinya cuma satu : cinta
dan hanya cinta. Dan entah kebetulan, atau ada yang mensutradarai, kemudian
saya berkenalan dengan karya-karya seniman besar Kahlil Gibran. Rangkuman
antara cerita cinta ala Chicken Soup, yang bertemu dengan sentuhan kalbu ala
Kahlil Gibran, membuat sayap-sayap cinta seperti tumbuh dalam tubuh dan jiwa
ini. Dan tentu saja, rugi kalau punya sayap tidak digunakan untuk terbang.
Bermodalkan sayap terakhir inilah, saya mencoba memberikan warna cinta yang
lekat ke dalam perjalanan hidup ini.
Entah cinta pada keluarga, cinta pada almarhum kedua orang tua, cinta sama
tempat kerja sampai dengan cinta pada Tuhan. Mabuk cinta jenis terakhir ini,
kemudian mempertemukan saya pada sebuah karya Masterpiece tentang Tuhan yang
ditulis oleh Karen Armstrong. Buku tebal yang berjudul A History of God ini
berisi kisah pencaharian manusia tentang Tuhan dalam rentang waktu empat
ribu tahun secara cross religion. Sehingga dibentuklah saya dengan wawasan
tentang Tuhan yang jauh dari wawasan sempit apa lagi fanatik.
Ramuan antara meditasi sebagai pengetahuan, cinta sebagai vitaminnya jiwa,
serta pengetahuan tentang sejarah Tuhan membuat saya tidak puas hanya
berhenti di tataran meditasi sebagai pengetahuan saja. Maka pergilah saya ke
dalam samudera kalbu yang dalam dan luas. Soal teknik memang hanya kendaraan
saja. Kalau saya cocok dengan perahu, Anda cocok dengan pesawat misalnya,
saya kira tidaklah perlu diperdebatkan terlalu banyak. Dan ada satu hal
substansial yang bisa membawa banyak orang 'terbang' tinggi-tinggi melalui
meditasi. Ia bernama keikhlasan. Untuk alasan tersebutlah, maka baik dalam
doa maupun kerja, dalam keluarga maupun tempat kerja saya didik diri secara
amat keras untuk menjalani kehidupan secara amat dan teramat ikhlas.
Lebih-lebih setelah dilengkapi ilmu 'melihat' (baca : melihat tanpa
menghakimi), maka jadilah hidup saya seperti kegiatan menyelam dalam kedalam
lautan-lautan kalbu yang indah. Dalam tahapan ketika tulisan ini dibuat,
meditasi berarti jauh lebih dalam dari sekadar duduk diam di sebuah tempat
sunyi. Meditasi, sekurang-kurangnya dalam keterbatasan saya sebagai
pengelana kehidupan, adalah kehidupan itu sendiri. Dari bangun tidur sampai
bangun tidur lagi di hari berikutnya adalah meditasi.
Dulu, ketika pertama kali membaca karya seniman besar India yang bernama
Kabir, yang menulis bahwa banyak manusia hidup seperti ikan yang mati
kehausan, untuk kemudian mengajak orang masuk ke dalam samudera batin
sebagai tempat di mana kebahagiaan tersedia gratis dalam jumlah yang tidak
terbatas, saya sempat ragu dan tidak percaya. Sekarang, saya menjadi pejalan
kaki kehidupan yang meniti jalan setapak yang pernah dilalui Kabir.
Ada banyak orang yang bertanya, bagaimanakah rasanya berjalan di tempat
seperti itu ?. Inilah sulitnya menerangkan rasanya durian ke orang-orang
yang belum pernah makan durian. Kata-kata manapun tidak akan mewakili
seluruh rasa durian. Kalau durian saja tidak bisa diterangkan kata-kata, apa
lagi pengalaman meditatif. Yang jelas, seperti mendengarkan suara genta nan
indah. Ia tidak saja menyentuh telinga, bahkan hati, kalbu dan sang hiduppun
ikut tersentuh. Dan bukan tidak mungkin, kalau ada manusia yang tidak hanya
bisa mendengar genta terakhir. Melainkan juga menyatu dengan genta semesta.
Kabir, Gibran, Krishnamurti dan manusia-manusia sejenis saya kira sudah
sampai di sana, dan doakan agar saya bisa mengikutinya.