Senin, 29 Desember 2008
Kurir Pembawa Hadiah Tuhan
Kita semua selalu berusaha sedapat mungkin tidak mempunyai musuh. Karena musuh dapat membuat kita stres. Namun, dengan permainan kata-kata, Gede Prama mengidentikan musuh dengan kurir pembawa hadiah dari Tuhan. Mengapa demikian ? Baca selengkapnya artikel di bawah ini.
Kurir Pembawa Hadiah Tuhan
Oleh: Gede Prama
Bila diberi kesempatan untuk memilih, jarang sekali orang yang memilih untuk punya musuh. Entah itu orang biasa atau orang luar biasa, di desa atau di kota, orang berhasil maupun orang gagal, tua maupun muda, amat dan teramat jarang - kalau tidak mau dikatakan tidak ada - orang yang meniatkan diri untuk memiliki musuh. Hampir semuanya menghendaki kehidupan tanpa musuh. Sayapun dulunya juga demikian. Sebut saja Dalai Lama sebagai salah seorang pemenang hadiah nobel perdamaian yang amat terkenal dengan senyuman dan kesejukan hidupnya, ia memiliki musuh negeri Cina yang masih menduduki Tibet. Mahatma Gandhi yang dikenang sejarah dengan perjuangan di jalan antikekerasan, malah mengakhiri hidupnya dengan cara ditembak orang. John Lennon juga serupa, lagu Imagine yang ia nyanyikan dan menyentuh banyak kalbu manusia karena demikian bersahabat, tubuhnya juga diakhiri oleh peluru panas. Ibu Theresa yang menghabiskan sebagian besar hidupnya hanya untuk melayani orang-orang miskin di Calcutta, pernah disebut orang dengan sebutan seorang diktator ide. Demikian juga kehidupan Lady Diana yang berakhir tragis melalui sebuah kecelakaan karena dikejar-kejar orang.
Kalau orang-orang dengan kualitas dan kualifikasi demikian mengagumkan saja tetap ditakdirkan harus memiliki musuh selama hidup, apa lagi kita manusia-manusia biasa. Yang jelas, musuh adalah sebuah kenyataan yang harus diterima oleh siapa saja yang masih bernafas. Bahkan manusia matipun, banyak yang masih menyisakan musuh. Secara jujur harus diakui, kita semua tidak menyukai musuh. Secara lebih khusus, karena musuh menghadirkan godaan-godaan yang tidak kecil. Musuh memancing kita untuk tidak sabar. Musuh membuat kita tidak bisa tidur. Musuh memproduksi manusia menjadi stress. Bahkan tidak jarang terjadi, musuh membuka pintu-pintu kehidupan yang berbahaya seperti pembunuhan, penganiayaan dan pemerkosaan. Dan seberapa bahayapun kehadiran musuh, kita manusia tidak diberi pilihan lain kecuali harus menerimanya
sebagai sebuah kenyataan hidup. Boleh saja ada yang berpendapat lain, namun satu spirit dengan tokoh-tokoh pencinta kedamaian hidup seperti Dalai Lama, musuh sebenarnya juga menghadirkan fungsi-fungsi positif yang kontributif.
Dengan sedikit kejernihan saya ingin bertutur ke Anda, musuh sebenarnya pembawa-pembawa hadiah (kurir) yang diutus Tuhan. Ia diutus untuk membawakan banyak hadiah-hadiah kehidupan yang teramat berguna. Siapa saja yang membenci musuh secara amat berlebihan, apa lagi memutuskan untuk tidak bertemu musuh sama sekali, ia tidak akan pernah bisa menerima hadiah-hadiah amat berguna yang sengaja dikirim Tuhan khusus untuk kita. Sebutlah hadiah yang bernama kesabaran dan kearifan hidup. Keduanya secara amat meyakinkan dikirim Tuhan melalui tangan-tangan musuh. Dengan menemui musuh, awalnya banyak manusia memang harus mengurut-urut dada tanda mengeluh. Namun begitu dibiasakan, tidak saja kegiatan mengurut dada yang berkurang, tetapi kesabaran dan kearifanpun menjadi milik kita. Demikian juga dengan hadiah yang bernama keberanian. Siapa saja yang takut bertemu musuh, pada saat yang sama sedang memproduksi diri jadi seorang penakut dan pengecut. Alasan-alasan hidup tenang dan damai dengan cara tidak bertemu musuh bisa
saja diterima, namun jangan pernah lupa, musuh membawa kekuatan-kekuatan dari dalam (inner strength) yang hanya bisa dimiliki oleh siapa saja yang berani menghadapinya.
Hadiah Tuhan yang lain yang dibawa secara amat rajin oleh musuh adalah kedewasaan dan kematangan pribadi. Dulunya saya sering mengeluh kenapa dipertemukan dengan musuh-musuh yang demikian kejam dan arogan. Namun, kesediaan untuk senantiasa maju dan bertemu mereka, menghadiahkan sejumlah kedewasaan dan kematangan pribadi. Kualitas kematangan yang tidak pernah bisa diberikan oleh sekolah saya baik yang di Inggris maupun yang di Prancis. Dan hadiah terpenting yang kerap dibawa musuh adalah kualitas peace of mind. Awalnya, kehadiran musuh memang mengganggu kedamaian hidup. Namun begitu tubuh dan jiwa ini dibiasakan untuk selalu bertemu penuh ketenangan dengan musuh-musuh, ada serangkaian kualitas kedamaian yang perlahan datang.
Kemarahan dan kebencian yang selalu mengikuti siapa saja yang malas bertemu musuh, dengan sedikit ketenangan bisa mengusir kemarahan dan kebencian. Lebih dalam dari sekadar kemampuan mengusir kebencian dan kemarahan, frekuensi bertemu musuh yang cukup sering membuat kita sampai pada kualitas 'pemahaman' tentang kedamaian yang amat dan teramat mendalam. Rupanya, kedamaian yang lebih abadi bersembunyi dalam pemahaman yang kaya pembanding. Dan musuh, menghadirkan pembanding hidup yang amat mengagumkan. Saya amat dan teramat beruntung pernah bertemu musuh yang sangat kejam dan arogan. Ibarat film yang diputar-putar setiap hari, demikianlah memori saya menghadirkan pembanding kehidupan yang menjadi bahan pemahaman kedamaian yang lebih abadi. Tanpa pernah bertemu musuh yang kejam dan arogan, dan merasakan bagaimana tidak enaknya diperlakukan demikian, bisa jadi telah lama saya menjadi manusia angkuh dan sombong.
Bercermin dari sini, kalau dulu saya menakuti musuh, sekarang saya sedang mendidik diri untuk tanpa ragu bertemu musuh-musuh. Sebab, ia adalah kurir pembawa hadiah-hadiah mengagumkan yang dikirim Tuhan kepada kita. Punyakah Anda keberanian untuk itu ?
Senin, 22 Desember 2008
Sadarkah Kita
Sadarkah kita bahwa :
Kita dilahirkan dengan dua mata di depan, karena seharusnya kita melihat yang ada di depan, kita lahir dengan dua telinga,
satu kiri dan satu di kanan sehingga kita dapat mendengar dari kedua sisi. Menangkap pujian maupun kritikan, dan melihat mana yang benar.
Kita dilahirkan dengan otak tersembunyi di kepala, sehingga bagaimanapun miskinnya kita, kita tetap kaya. Tak seorang pun
yang dapat mencuri isi otak kita, yang lebih berharga dari segala permata yang ada.
Kita dilahirkan dengan dua mata, dua telinga, namun cukup dengan satu mulut. Karena mulut tadi adalah senjata yang tajam, yang dapat melukai, memfitnah, bahkan membunuh. Lebih baik sedikit bicara, tapi banyak mendengar dan melihat.
Kita dilahirkan dengan satu hati, yang mengingatkan kita untuk menghargai dan memberikan cinta kasih dari dalam lubuk
hati. Belajar untuk mencintai dan menikmati dicintai, tetapi jangan mengharapkan orang lain mencintai anda dengan cara dan
sebanyak yang sudah anda berikan. Berikanlah cinta tanpa mengharapkan balasan, maka anda akan menemukan bahwa hidup ini akan menjadi lebih indah.
Jumat, 19 Desember 2008
KIAT MEMBESARKAN ANAK
Sumber eKonsel Edisi September
Membesarkan anak bukanlah masalah sepele. Saya percaya bahwa para pembaca yang adalah orangtua (terutama ibu) akan membenarkan kalimat ini. Sebagaimana hubungan suami-istri akan mempengaruhi hubungan orangtua-anak, demikian pulalah hubungan orangtua-anak akan mempengaruhi hubungan suami-istri. Hubungan suami-istri yang sehat dan kuat cenderung menghasilkan anak-anak yang sehat dan kuat pula. Hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan, cenderung membuahkan anak-anak yang lemah dan sakit-sakitan pula. Namun kebalikannya juga betul. Hubungan orangtua-anak yang lemah dan sakit-sakitan cenderung menghasilkan (atau merupakan tanda) hubungan suami-istri yang lemah dan sakit-sakitan. Dr. James Dobson, seorang psikolog dari Amerika, sangat menyadari peranan penting dari cara membesarkan anak yang sehat dalam keharmonisan hubungan suami-istri. Dalam bukunya "The New 'Dare to Discipline'" yang kemudian diintisarikan dalam majalah "Focus on the Family" (March, 1994) ia menjabarkan lima kiat membesarkan anak.
Kiat Pertama:
Menumbuhkan respek pada orangtua merupakan faktor yang sangat penting dalam membesarkan anak
Ada tiga alasan yang membuat hal ini penting, antara lain :
1) Karena sesunggguhnya anak belajar memberi respek kepada orang lain sewaktu ia belajar memberi respek kepada orangtuanya. Keluarga adalah unit sosial terkecil dan sering kali cara kita berinteraksi dan bereaksi terhadap dunia luar merupakan cermin dari bagaimana kita berinteraksi terhadap keluarga kita. Seorang anak yang tidak menghormati orangtuanya cenderung mengalami kesukaran menghormati figur-figur lain di luar rumahnya. Saya memahami adanya kasus-kasus tertentu di mana orangtua bukan hanya menelantarkan melainkan juga menindas anak mereka. Dalam kasus-kasus khusus seperti itu saya
menyadari kesukaran yang timbul bagi anak untuk menghormati orangtuanya. Namun saya percaya bahwa yang dimaksud oleh Dr. Dobson adalah kasus pada umumnya, dimana anak yang tidak dididik untuk hormat kepada orangtua cenderung menjadi anak yang sukar hormat kepada orang lain.
2) Karena respek pada orangtua akan menolong orangtua menanamkan nilai-nilai rohani dalam diri anak tatkala anak mencapai usia remaja. Apabila kita baru mau menanamkan pentingnya respek sewaktu anak menginjak remaja, niscaya kita telah terlambat dan akan mengalami kesulitan mengajarkan nilai-nilai rohani dalam dirinya.
3) Karena respek pada orangtua acap kali dikaitkan dengan respek pada Tuhan sendiri. Anak kecil yang belum berkemampuan berpikir secara abstrak sering kali mengasosiasikan figur orangtua, terutama ayah, dengan
figur Tuhan. Jadi, anak yang kurang ajar terhadap orangtua sejak kecil akan cenderung tidak respek
terhadap Tuhan pula.
Kiat Kedua:
Kesempatan terbaik untuk berdialog dengan anak adalah pada waktu kita baru saja mendisiplinkannya.
Membesarkan anak tidak terlepas dari konfrontasi dan disiplin karena adakalanya anak dengan sengaja melawan otoritas orangtua. Pada saat-saat seperti inilah penting bagi orangtua akan bertumbuh. Biasanya dalam saat konfrontasi dan disiplin seperti ini, anak akan meluap-luap dengan emosi dan setelah itu mengakhiri perlawanannya dengan tangisan. Ini adalah momen yang penting bagi kita, orangtua, untuk memeluk anak, mengatakan kepadanya bahwa kita mengasihinya dan memberi tahu anak akan kesalahannya. Dengan cara ini, anak akan memahami bahwa kita tidak menolaknya atau menghukum dirinya, melainkan menghukum perbuatannya. Jadi orangtua tidak seharusnya takut mendisiplin anak selama tidak berlebihan karena momen-momen seperti ini biasanya dapat mempererat hubungan orangtua-anak.
Kiat Ketiga:
Kiat Keempat :
yang mereka ajukan adalah, apakah harganya mahal atau tidak. Masalah mulai timbul (bagi kami), karena adakalanya barang yang mereka inginkan harganya memang tidak terlalu tinggi. Sedangkan alasan utama kenapa kami tidak bersedia membelikan barang itu adalah karena kami ingin membatasi barang mainan mereka agar tidak melimpah-ruah dan hilang nilainya. Akhirnya saya terpaksa mengatakan bahwa kami tidak dapat membelikan mainan itu karena mereka sudah memiliki mainan sejenis
itu atau kami menjanjikan untuk membelikan mainan itu pada hari ulang tahun mereka.
Dr. Dobson menekankan bahwa anak yang dilimpahi dengan materi iscaya mengalami kesukaran menghargai milik kepunyaannya. Saya menambahkan, anak yang tidak pernah menghargai milik kepunyaannya cenderung berkembang menjadi seseorang yang tidak berterima kasih dan mementingkan diri sendiri. Anak ini cenderung menjadi seseorang yang egois dan mementingkan haknya belaka, tanpa memikirkan kewajibannya dan kepentingan orang lain. Ia tidak mungkin menghargai pengorbanan orang lain dan tidak mengenal nilai pengorbanan diri. Segala sesuatu menjadi terlalu mudah baginya dan ia
pun akhirnya cenderung memudahkan atau meremehkan segala sesuatu. Ingatlah, membatasi kepunyaan mereka tidaklah sama dengan menyengsarakan mereka. Membatasi keinginan anak penting untuk kita lakukan pada abad kemakmuran materi ini demi kebaikannya sendiri.
Kiat Kelima:
Menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Terakhir, Dr. Dobson menjelaskan kita membesarkan anak adalah menjaga keseimbangan antara kasih dan disiplin. Ia menuturkan sebuah cerita yang pernah terjadi pada abad ke-13 di mana Raja Frederick II mengadakan sebuah percobaan dengan 50 bayi. Tujuan eksperimen ini ialah untuk mengetahui bahasa apa yang akan digunakan oleh anak-anak ini apabila mereka dibesarkan tanpa pernah mendengar perkataan apapun. Raja tersebut meminta ibu pengasuh ini untuk membersihkan dan memberi mereka makan namun melarang para pengasuh ini untuk membelai ataupun berbicara kepada bayi-bayi ini. Percobaan ini ternyata gagal total karena akhirnya kelima puluh bayi
ini akhirnya meninggal dunia.
Seorang anak membutuhkan kasih sayang dan penerimaan orangtuanya sama seperti ia memerlukan makanan dan minuman. Tanpa kasih sayang dan penerimaan, ia akan bertumbuh besar menjadi seorang manusia yang haus dan lapar akan kasih serta penerimaan orang lain. Namun ia pun memerlukan disiplin yang akan menolongnya menguasai diri dan patuh kepada otoritas di atasnya. Disiplin membantunya hidup dalam kerangka atau struktur sehingga ia tidak berkembang menjadi liar tak terkendali bahkan oleh dirinya sendiri. Disiplin diperlukan sebagai sarana orangtua mengkomunikasikan pelajaran-pelajaran bermakna yang ia perlukan.
Dr. Dobson menyimpulkan, "Tatkala anak menantang dan memberontak, menangkanlah tantangan itu dengan meyakinkan. Ketika anak bertanya, 'Siapakah yang berkuasa (di rumah ini)?' -- beri tahu dia bahwa andalah, sebagai orangtua, yang berkuasa (di rumah ini). Saat ia bergumam, 'Siapakah yang mengasihi saya?' -- dekaplah ia dalam pelukan Anda dan penuhi
dia dengan kasih sayang. Perlakukan dia dengan respek dan penuh penghargaan dan tuntutlah perlakuan yang sama darinya."
Selasa, 16 Desember 2008
Sebuah contoh pengendalian diri
Beberapa bulan yg lalu di meja pemesanan kamar hotel, saya melihat suatu
kejadian yg bagus sekali, bagaimana seseorang menghadapi orang yg penuh
emosi.
Saat itu pukul 17:00 lebih sedikit, dan hotel sibuk mendaftar tamu-tamu
baru. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja
dengan nada memerintah.
Pegawai tsb berkata, "Ya, Tuan, kami sediakan satu kamar 'single' untuk Anda."
"Single," bentak orang itu, "Saya memesan double."
Pegawai tsb berkata dg sopan, "Coba saya periksa sebentar."
Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, "Maaf, Tuan.
Telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda
di kamar double, kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh."
Tamu yg berang itu berkata, "Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya
mau kamar double."
Kemudian ia mulai bersikap "anda-tau-siapa-saya," diikuti
dengan "Saya akan usahakan agar Anda dipecat. Anda lihat nanti. Saya
akan buat Anda dipecat."
Di bawah serangan gencar, pegawai muda tsb menyela, "Tuan, kami menyesal
sekali, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda."
Akhirnya, sang tamu yg benar-benar marah itu berkata, "Saya tidak akan mau
tinggal di kamar yg terbagus di hotel ini sekarang manajemennya benar-benar
buruk," dan ia pun keluar.
Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si pegawai pasti marah
setelah baru saja dimarahi habis-habisan. Sebaliknya, ia menyambut semua dengan
salam yg ramah sekali "Selamat malam, Tuan."
Ketika ia mengerjakan pekerjaan rutin yg biasa dalam mengatur kamar
untuk saya, saya berkata kepadanya, "Saya mengagumi cara Anda mengendalikan
diri tadi. Anda benar-benar sabar."
"Ya, Tuan," katanya, "Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda
lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan
kemarahannya. Orang yg malang tadi mungkin baru saja ribut dg istrinya, atau
bisnisnya mungkin sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan
ini adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya."
Pegawai tadi menambahkan, "Pada dasarnya ia mungkin orang yg sangat baik.
Kebanyakan orang begitu."
Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataannya, "Pada
dasarnya ia mungkin orang yg sangat baik. Kebanyakan orang begitu."
Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yg menyatakan perang pada Anda. Jangan
membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan
orang tsb melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.
(by David J.S.)
Senin, 15 Desember 2008
Mengubah dunia
"Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa : Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!
Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi : Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku : keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas dan berarti!
Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku, doaku satu-satunya sekarang adalah : Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri!
Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku!"
(disadur dari A. de Mello SJ, Burung-burung berkicau, CLC, 1994, hlm 187)
Jumat, 12 Desember 2008
Belajar dari ulat
Bagi penggemar tanaman atau yang memiliki hobi berkebun, seringkali
menemukan binatang yang menjengkelkan, dimana dedaunan muda yang tumbuh
segar, menjadi tak beraturan dan bolong-bolong bahkan habis dan tinggal
tangkainya saja. Ternyata setelah kita perhatikan ada hewan yang biasanya
berwarna hijau, sehijau dedaunan untuk kamuflase, binatang tersebut
adalah ulat.
Ulat adalah salah satu binatang yang sangat rakus dalam melahap hijaunya
dedaunan tanaman yang kita sayangi. Rasa marah yang sangat bila kita jumpai
tanaman kesayangan kita telah habis dedaunannya, bahkan hanya tinggal
ranting-ranting saja. Sedih dan marah rasanya karena usaha kita terasa
terampas begitu saja karena ulah sang ulat.
Dibalik kekesalan dan rasa marah, pernahkah kita mencoba untuk melihat atau
sedikit tertegun mengernyitkan dahi atas ulah sang ulat tersebut atau
sebaliknya kita membunuhnya untuk melampiaskan kekesalan hati, setega itukah
?
Hasil yang diakibatkan oleh ulah sang ulat memang sangat mengesankan bila
dibanding dengan wujud ulat yang lemah dan lunak tubuhnya. Melihat dari
akibat yang dihasilkan maka dapat kita katakan bahwa karakter ulat adalah
pekerja keras dalam menggunduli dedaunan tanaman kita, seakan-akan mereka
seperti dikejar deadline dan harus buru-buru untuk menyelesaikan. Hasilnya
sangat mengesalkan sekali buat kita, yaitu tanaman yang gundul dalam waktu
yang relatif singkat dan sekali lagi sungguh mengesankan.
Dalam menjalani misinya sang ulat tak membiarkan sedikit waktu terbuang.
Sang ulat baru berhenti ketika sampai pada saat yang ditentukan dimana ia
harus berhenti makan untuk menuju ke dalam kondisi puasa yang keras. Puasa
yang sangat ketat tanpa makan tanpa minum sama sekali, dalam lingkupan
kepompong yang sempit dan gelap.
Pada masa kepompong ini terjadi sebuah peristiwa yang sangat menakjubkan,
masa dimana terjadi transformasi dari seekor ulat yang menjijikkan menjadi
kupu-kupu yang elok dan indahnya dikagumi manusia. Sang kupu-kupu yang
terlahir seakan-akan menjadi makhluk baru yang mempunyai perwujudan dan
perilaku yang baru dan sama sekali berubah.
Haruskah kita membiarkan begitu saja sebuah peristiwa yang sangat indah dan
mengesankan ini, tentu tidak. Sebenarnya kita patut malu bila melihat tabiat
ulat yang pekerja keras. Ulat seakan tak mempunyai waktu yang terluang dan
terbuang sedikitpun. Waktu yang tersedia adalah waktu yang sangat berharga
bagi ulat untuk menggemukkan badan sebagai persiapan menuju sebuah keadaan
dimana diperlukan energi yang besar yaitu masa kepompong, seakan
dikejar-kejar oleh deadline sehingga sang ulat tak pernah beristirahat
sejenakpun untuk terus melahap dedaunan.
Berpacunya sang ulat dengan waktu, ternyata disebabkan sang ulat telah
mempunyai sebuah tujuan yang sangat jernih dan jelas yaitu mengumpulkan
semua potensi yang ada untuk menghadapi satu saat yang sangat kritis yaitu
masa kepompong, dimana pada masa kepompong tersebut dibutuhkan persiapan
yang prima. Datangnya masa kepompong adalah sebuah keniscayaan, maka sang
ulat mempersiapkan dengan kerja keras untuk menghadapinya.
Sebuah persiapan diri dengan kerja keras dilakukan juga pada hewan-hewan
yang mengalami musim dingin. Di mana untuk menghadapi masa sulit di musim
dingin, banyak hewan yang melakukan hibernasi selama musim dingin di
gua-gua atau liang-liang, agar terhindar dari ganasnya musim dingin. Agar
tubuh tetap hangat dan tersedianya energi maka sebelum menjelang musim
dingin, hewan-hewan tersebut akan menumpuk lemak sebanyak-banyaknya di
dalam tubuhnya, untuk dipakai sebagai bekal dalam tidur panjangnya.
Lalu coba kita berkaca dan mereview diri kita, adakah semangat yang luar
biasa selayaknya ulat yang telah menggunduli dedaunan, bukankah sebuah masa
depan dan tanggung jawab yang begitu beratnya harus kita pikul dan tunaikan.
Namun kita terbuai dan masih sering suka bermain-main, selayaknya tertipu
oleh permainan yang sangat melenakan.
Masa-masa dalam kehidupan kita sebagai individu atau kelompok, pasti tak
akan pernah luput dari masa yang menyenangkan dan kemudian digantikan
masa-masa yang sulit, itu adalah sebuah kepastian, sepasti bergantinya musim
hujan disongsong oleh musim kemarau yang memayahkan.
Di dalam masa-masa senang satu saat akan berganti menjadi masa yang sulit
dan bahkan menjadi sebuah musibah karena mengintai sebuah keterlenaan.
Sungguh benar hadist nabi untuk mengambil kesempatan lima sebelum lima: muda
sebelum tua, sehat sebelum sakit, kaya sebelum miskin, hidup sebelum mati
dan senggang sebelum sibuk. Dan bukankah kita telah diwanti-wanti
untuk senantiasa mempersiapkan diri dengan apa saja yang kita mampu, untuk
menggentarkan hati musuh-musuh kita.
Janganlah kita terlena bahkan kalah dengan hewan yang bernama ulat yang
mempunyai etos kerja unggul dan memiliki pola pandang yang jauh ke depan
yang meniti masa depan tersebut dengan kerja keras, karena masa depan dengan
kesulitan dan cobaan itu pasti akan datang dan menghampiri kita, maka
persiapan yang matang dan kerja keras yang mampu menolong kita dan
bukan kemalasan dan menunda-nunda pekerjaan.
Rabu, 10 Desember 2008
Pemberian terbaik
Setiap pagi, sang petani selalu pergi ke sawah. Tak lupa ia membawa bajak dan kerbau peliharaannya. Walaupun sudah tua, namun bajak dan kerbau itu selalu setia menemaninya bekerja. Sisi-sisi kayu dan garu bajak itu tampak mengelupas, begitupun kerbau yang sering tampak letih jika bekerja terlalu lama. "Inilah hartaku yang paling berharga", demikian gumam petani itu dalam hati, sembari melayangkan pandangannya ke arah bajak dan kerbaunya.
Tak seperti biasa, tiba-tiba ada serombongan pasukan yang datang menghampiri petani itu. Tampak pemimpin pasukan yang maju, lalu berkata, "Berikan bajak dan kerbaumu kepada kami. "Ini perintah Raja!". Suara itu terdengar begitu keras, mengagetkan petani itu yang tampak masih kebingungan.
Petani itu lalu menjawab : "Untuk apa, sang Raja menginginkan bajak dan kerbauku ? Ini adalah hartaku yang paling berharga, bagaimana aku bisa bekerja tanpa itu semua". Petani itu tampak menghiba, memohon agar diberikan kesempatan untuk tetap bekerja. "Tolonglah, kasihani anak dan istriku...berilah kesempatan sampai besok. Aku akan membicarakan dengan keluargaku..."
Namun, pemimpi pasukan berkata lagi, "Kami hanya menjalankan perintah dari Baginda. Terserah, apakah kau mau menjalankannya atau tidak. Namun, ingatlah, kekuasaannya sangat kuat. "Petani semacam kau tak akan mampu melawan perintahnya." Akhirnya, pasukan itu berbalik arah, dan kembali ke arah istana.
Di malam hari, petani pun menceritakan kejadian itu dengan keluarganya. Mereka tampak bingung dengan keadaan ini. Hati bertanya-tanya, "Apakah baginda sudah mulai kehilangan kebijaksanaannya? Kenapa baginda tampak tak melindungi rakyatnya dengan mengambil bajak dan kerbau kita? Gundah, dan resah melingkupi keluarga itu. Namun, akhirnya, mereka hanya bisa pasrah dan memilih untuk menyerahkan kedua benda itu kepada raja.
Keesokan pagi, sang petani tampak pasrah. Bersama dengan bajak dan kerbaunya, ia melangkah menuju arah istana. Petani itu ingin memberikan langsung hartanya yang paling berharga itu kepada Raja. Tibalah ia di halaman Istana, dan langsung di terima Raja. "Baginda, hamba hanya bisa pasrah. Walaupun hamba merasa sayang dengan harta itu, namun hamba ingin membaktikan diri kepada Baginda. Duli Paduka, terimalah pemberian ini...."
Baginda Raja tersenyum. Sambil menepuk kedua tangannya, ia tampak memanggil pengawal. "Pengawal, buka selubung itu!! Tiba-tiba, terkuaklah selubung di dekat taman. Ternyata, disana ada sebuah bajak yang baru dan kerbau yang gemuk. Kayu-kayu bajak itu tampak kokoh, dengan urat-urat kayu yang mengkilap. Begitupun kerbau, hewan itu begitu gemuk, dengan kedua kaki yang tegap.
Sang Petani tampak kebingungan. Baginda mulai berbicara : "Sesungguhnya, aku telah mengenal dirimu sejak lama. Dan aku tahu kau adalah petani yang rajin dan baik. Namun, aku ingin mengujimu dengan hal ini. Ternyata, kau memang benar-benar hamba yang baik. Engkau rela memberikan hartamu yang paling berharga untukku. Maka, terimalah hadiah dariku. Engkau layak menerimanya...."
Petani itu pun bersyukur dan ia pun kembali pulang dengan hadiah yang sangat besar, buah kebaikan dan baktinya pada sang Raja.
Rekan-rekan Alumni Pika, bisa jadi, tak banyak orang yang bisa berlaku seperti petani tadi. Hanya sedikit orang yang mau memberikan harta yang terbaik yang dimilikinya kepada yang lain. Namun, petani tersebut adalah satu dari orang-orang yang sedikit itu. Dan ia, memberikan sedikit pelajaran buat kita.
Sesungguhnya, Tuhan sering meminta kita memberikan yang terbaik yang kita punya untuk-Nya. Tuhan, sering memerintahkan kita untuk mau menyampaikan yang paling berharga, hanya ditujukan pada-Nya. Bukan, bukan karena Tuhan butuh semua itu, dan juga bukan karena Tuhan kekurangan. Namun karena sesungguhnya Tuhan Maha Kaya, dan Tuhan sedang menguji setiap hamba-Nya.
Tuhan sedang menguji, apakah hamba-Nya adalah bagian dari orang-orang yang beriman dan mau bersyukur. Tuhan sedang menguji, apakah ada dari hamba-hamba-Nya yang mau menafkahkan harta di jalan-Nya. Dan Tuhan, pasti akan memberikan balasan atas upaya itu dengan pemberian yang tak akan kita bayangkan. Imbalan dan pahala yang akan kita terima, sesungguhya akan mampu membuat kita paham, bahwa Tuhan memang Maha Pemberi Kemuliaan.
Mari kita berikan yang terbaik yang kita punya kepada-Nya. Marilah kita tujukan waktu, kerja dan usaha kita yang terbaik hanya kepada-Nya. Karena sesungguhnya memang, kita tak akan pernah menyadari balasan apa yang akan kita terima atas semua itu.
Tuhan selalu punya banyak cara-cara rahasia untuk memberikan kemuliaan bagi hamba-Nya. Dan Dia akan selalu memberikan pengganti yang lebih baik untuk semua yang ikhlas kita berikan pada-Nya.
Selasa, 09 Desember 2008
Aku Menangis Untuk Adikku
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi
hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka
menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda
dariku.
Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis
disekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci
ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut
didepan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya :
"Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya.
Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun
mengaku, jadi Beliau mengatakan:
"Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!".
Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku
mencengkeram tangannya dan berkata:
"Ayah, aku yang melakukannya! ".
Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu
marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan
nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi:
"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang
akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati!
Kamu pencuri tidak tahu malu!".
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh
dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan
malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung.
Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata :
"Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."
Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian
untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih
kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku
ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia
11.Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk
ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk
kesebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman,
menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya
memberengut: "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang
begitu baik..."
Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas. Sambil berkata :
"Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?".
Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata:
"Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak
buku."
Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya sambil berkata :
"Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya?. Bahkan jika
berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua
sampai selesai!".
Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam
uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang
membengkak, dan berkata :
"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak
akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke
universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku
meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang
yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan
secarik kertas di atas bantalku:
"Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan
mengirimu uang.".
Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan
airmata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun
& aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang
adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi,
aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang
belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan :
"Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana !".
Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan
melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen
danpasir. Aku menanyakannya :
"Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?"
Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka
pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan
menertawakanmu?"
Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu
dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku:
"Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu
adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. ..".
Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia
memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan:
"Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus
memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam
pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.
Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah
diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku
menari seperti gadis kecil di depan ibuku.
"Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!"
Tetapi katanya, sambil tersenyum :
"Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah
kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela
baru itu..".
Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus
jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan
mebalut lukanya.aku bertanya :
"Apakah itu sakit ?".
"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi,
batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak
menghentikanku bekerja dan..." Ditengah kalimat itu ia berhenti.
Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun
kewajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.
Ketika aku menikah, aku tinggal di kota . Banyak kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka
tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka
tidakakan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan :
"Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini."
Suamiku menjadi direktur di pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan
pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku
menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja
reparasi.
Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel,
ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku
pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu:
"Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus
melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang
begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"
Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya :
"Pikirkan kakak ipar...ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak
berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa
yang akan dikirimkan?"
Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yangsepatah-
sepatah :
"Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu,ia
berusia 26 dan aku 29.
Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari
dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya
kepadanya:
"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?".
Tanpa bahkan berpikir ia menjawab :
"Kakakku."
Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan
tidakdapat kuingat :
"Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap
hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan
pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku.
Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan
berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran
karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya.
Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga
kakakku dan baik kepadanya."
Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya
kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku akhirnya keluar
juga :
"Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku."
Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan
ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.
Best Regard,
Rachel
Rabu, 03 Desember 2008
Mendefinisikan Ulang Kesuksesan
Hal apa yang paling diinginkan semua manusia ? Jawaban hanya satu : sukses.
Kesuksesan telah menjadi kebutuhan setiap insan manusia di muka bumi ini.
Itulah sebabnya orang menempuh berbagai cara untuk memperoleh. Salah
satunya dengan jalan pendidikan formal. Sayangnya, sukses bukanlah hal yang
bisa dengan mudah bisa diraih setiap orang. Orang bijak selalu berkata,
tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan. There is no success without
sacrifice!
Meski sukses telah menjadi kebutuhan mutlak setiap manusia toh tidak
semua orang memiliki pandangan yang sama tentang arti kesuksesan. Ada yang
menganggapnya sebagai kekayaan. Kelompok ini umumnya mencurahkan hidupnya
untuk menumpuk harta. Mereka melihat uang sebagai simbol kesuksesan. Itulah
sebabnya mereka menjadi serakah dan amat mendewakan uang. Uang menjadi
oksigen yang mutlak diperlukan bagi kehidupan mereka. Sayangnya orang-orang
seperti ini hidupnya hampa. Mereka umumnya cepat curiga terhadap orang
lain. Amat sulit bagi mereka untuk berpikir positif terhadap orang lain.
Kalau ada yang mencoba dekat, mereka lantas berpikir : "Jangan-jangan orang
ini mau mengambil harta saya." Seorang Mahaguru Kebijaksanaan pernah
berkata orang yang menomorsatukan harta tidak akan menemukan arti hidup
yang sejati. "Sebab di mana hartanya berada, di situlah pula hatinya
berada," demikian nasihat Sang Mahaguru.
Saya tidak memungkiri bahwa kekayaan--khususnya uang--penting bagi
hidup. Siapa sih yang tidak butuh uang ? Sebuah lembaga keagamaan dan
lembaga sosial pun butuh uang untuk kegiatan operasionalnya. Mana bisa kita
mendirikan tempat ibadah tanpa uang yang merupakan sumbangan orang lain ?
Uang memang penting tapi uang bukan segalanya. Uang adalah sarana untuk
membuat hidup kita makin berarti. Baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Selain kekayaan, ada juga orang yang mengidentikkan kesuksesan dengan
ketenangan hidup. Kelompok ini tidak suka macam-macam. Sebagian bahkan
cenderung pasif dan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Sikap
seperti ini juga merupakan sebuah pilihan dan kita tidak bisa mengatakan
itu keliru.
Ada juga orang yang mengidentikkan kesuksesan dengan ketenaran. Mereka
rela menempuh jalan panjang yang menanjak demi popularitas. Terkadang
perjalanan panjang ini sangat melelahkan sehingga beberapa memilih jalan
pintas dengan mempraktekkan cara-cara kurang terpuji, seperti (maaf)
menjual diri. Sudah bukan rahasia lagi kalau tidak sedikit penyanyi atau
bintang film yang pernah tidur dengan produsernya. Tidak semua dari mereka
yang mengambil jalan ini. Saya sendiri kenal dengan banyak artis yang tetap
mempertahankan kehormatannya daripada ditukar dengan popularitas.
Paham bahwa kesuksesan identik dengan ketenaran biasanya hanya terbukti
kebenarannya pada tahap awal. Lambat-laun, seiring makin meningkat
popularitas, banyak hal-hal tertentu terjadi yang pada akhirnya membuat
seorang tokoh publik (public figure) terpaksa menolak paham ini. Misalnya
dengan hilangnya privacy yang bersangkutan karena setiap gerak-geriknya
senantiasa diawasi masyarakat lewat pers. Terkadang saya sendiri amat iba
melihat bagaimana kehidupan seorang artis diobok-obok secara berlebihan
oleh media massa. Pihak media selalu mengatakan bahwa apa yang disajikannya
adalah untuk memuaskan rasa ingin tahu pembaca atau penonton. Mungkin ada
benarnya juga. Yang pasti, jelaslah sudah bahwa kesuksesan tidak identik
dengan ketenaran.
Selanjutnya ada juga yang mendefiniskan kesuksesan dengan kesehatan yang
prima. Terhadap definisi ini terkadang saya mengajukan pertanyaan reflektif,
bukankah ada begitu banyak orang dengan kesehatan yang amat prima namun
hidupnya kosong ? Mereka sama sekali tidak berkarya dan berusaha menjadikan
hidupnya lebih berarti.
Jadi, apa sih definisi sukses yang tepat ? Saya tidak berpretensi menyebut
sebagai pakar kesuksesan karena saya pun masih terus belajar dan mencari
apa arti sebuah sukses sejati. Yang pasti, saya pernah membaca satu
definisi tentang sukses yang tampaknya cukup menarik untuk kita simak
bersama.
bidang kehidupan, yakni: kebahagiaan, kesehatan, keuangan (kemakmuran),
keamanan, kualitas persahabatan (mempunyai banyak sahabat), hubungan
keluarga yang baik, pengharapan akan masa depan, dan kedamaian pikiran.
Itulah sebabnya kita sering mendengar orang berkata bahwa orang kaya belum
tentu sukses, namun orang yang sukses pasti kaya secara material dan
spiritual.
Meski demikian, sukses bukanlah sebuah tujuan akhir; sukses adalah
sebuah perjalanan. Success is not a destination; success is a journey! Ya,
sukses adalah sebuah perjalanan! Jika kita telah berhasil meraih sebuah
impian, kita toh tetap harus meneruskan perjalanan. Akhir dari perjalanan
itu adalah ketika kita menutup mata dan kembali ke hadirat-Nya. Motivator
dan pakar kepemimpinan, Dr. John C. Maxwell selalu menegaskan agar dalam
perjalanan sukses itu kita harus senantiasa melakukan apa yang harus kita
lakukan.
Intinya, tempuhlah perjalanan sukses dengan benar dan hargailah prosesnya
bukan hasil akhir. Bagaimana menurut Anda ? ***
Selasa, 02 Desember 2008
Menempuh Perjalanan Sukses
Siapa manusia di dunia ini yang tidak menginginkan sukses ? Sejak jaman
dahulu kala sampai seterusnya sukses tetap menjadi sebuah impian, bahkan
kebutuhan mutlak setiap manusia. Sayangnya tidak semua orang memiliki
pemahaman yang memadai tentang apa itu sukses. Tak mengherankan jika
banyak yang kemudian merasa stres atau frustrasi. Mereka menganggap sukses
seakan-akan suatu hal yang terlalu muluk, bahkan untuk sekadar
dibayangkan.
Dalam tulisan saya sebelumnya (yang berjudul Mendefinisikan Ulang
Kesuksesan) saya telah menegaskan bahwa sukses adalah sebuah perjalanan,
bukan tujuan akhir. Success is a journey, not destination! Dalam kerangka
berpikir seperti inilah kita memahami bahwa mencapai tujuan akhir bukanlah
segalanya. Dengan demikian kita harus lebih berfokus pada proses
perjalanan sukses.
Saya amat berhutang budi kepada Dr. John C. Maxwell yang melalui
pengajaran maupun buku-bukunya telah menyadarkan saya mengenai hal ini.
Setelah lebih dari 25 tahun mempelajari dan bergaul dengan orang-orang
sukses, Maxwell sampai kepada satu kesimpulan mengenai apa itu sukses.
Dalam bukunya The Success Journey, Maxwell memberikan definisi sukses yang
terdiri dari 3 hal yaitu mengetahui tujuan hidup Anda (knowing your purpose
in life), bertumbuh menggapai potensi maksimal Anda (growing to reach your
maximum potential), dan menaburkan benih yang membawa keuntungan bagi orang
lain (sowing seeds that benefit others).
Maxwell menambahkan ada 2 hari besar dalam kehidupan setiap orang.
Pertama hari ketika kita dilahirkan dan kedua, hari ketika kita menemukan
alasan mengapa Tuhan menghadirkan ke dunia ini. Sahabat saya, Aribowo
Prijosaksono bahkan secara tegas mengatakan setiap manusia adalah
co-creator (pencipta) realitas kehidupan. Tuhan memberikan kepada setiap
manusia anugerah terbesar berupa wewenang untuk menggunakan kuasa-Nya
dalam kehidupan ini.
Berangkat dari keyakinan seperti di atas, saya sangat yakin kalau setiap
manusia dikirim ke dunia ini dengan maksud tertentu. Psikolog Viktor
Frankl pernah berkata, "Setiap orang memiliki pekerjaan atau misi spesifik
dalam hidupnya." Dalam bahasa sederhana orang sering menyebutnya sebagai
jalur atau jalan hidup.
Terus terang tidak mudah bagi seseorang untuk bisa menemukan misi spesifik
ini. Sahabat saya, seorang dokter spesialis ginjal yang sangat idealis,
dr. Rully Roesli suatu ketika pernah mengingatkan saya betapa penting untuk
menggali tujuan hidup ini. "Kamu harus bisa menemukannya Paulus kalau
benar-benar ingin sukses," katanya.
Syukur puji Tuhan, saya termasuk orang yang sangat beruntung karena bisa
mengetahuinya sebelum usia 30 tahun. Setelah melalui serangkaian dinamika
kehidupan--termasuk beberapa peristiwa tragis yang nyaris membuat saya
bunuh diri--saya akhirnya tahu kalau saya harus berkarya dalam bidang
motivasi dan pengembangan potensi diri. Itulah yang membuat saya begitu
bergairah ketika menulis atau berbicara di depan publik mengenai hal-hal
yang bisa memberikan nilai tambah bagi kehidupan orang lain. Meski hingga
saat ini saya masih berwirausaha dalam bidang selular, toh saya merasa itu
bukan hidup saya sehingga saya kurang bisa menikmatinya.
Hal berikutnya yang juga penting adalah kita harus senantiasa bertumbuh
untuk menggapai potensi maksimal kita. Saya sangat yakin setiap manusia
pasti diberikan karunia, bakat atau kelebihan-kelebihan tertentu.
Kadang-kadang potensi seperti ini tidak kita kembangkan. Padahal salah
satu ungkapan syukur kepada Sang Pencipta bisa kita ekspresikan dengan
mendayagunakan potensi kita secara maksimal.
Seorang teman pernah geleng-geleng kepala melihat kebiasaan membaca saya.
Hampir tidak ada hari yang saya lewatkan tanpa membaca. Bahkan di
waktu-waktu sempit, seperti menunggu kedatangan seseorang, selalu saya
gunakan untuk membaca. Setiap hari saya usahakan untuk selalu mendengarkan
berbagai kaset-kaset motivasi, menonton acara TV yang bermutu dan membuat
kliping berbagai artikel yang menarik. Saya sepenuhnya sadar bahwa saya
tidak akan pernah bisa memberikan sesuatu kepada orang lain (entah itu uang
atau ilmu) kalau saya sendiri tidak memilikinya. Itulah yang membuat saya
berkomitmen untuk bertumbuh dan memperbaiki diri setiap hari. Penulis Novel,
H.G. Wells berkata bahwa ukuran sukses adalah rasio antara seperti apa kita
sekarang ini dan seperti apa kita seharusnya.
Hal terakhir yang tak kalah pentingnya jika kita berbicara tentang sukses
adalah menaburkan benih yang membawa keuntungan bagi orang lain. Saya rasa
semua agama mengajarkan agar kita mencintai sesama sebagai wujud cinta
kepada Tuhan. Bukankah kita dikenang orang dari apa yang kita berikan ?
Bukan dari apa yang kita ambil ! Sukses yang hanya dinikmati seorang diri
bukanlah sukses sejati melainkan sebuah bentuk egoisme. Selamat menempuh
perjalanan sukses Anda! ***
Sabtu, 29 November 2008
Sakiro Suzuki
First school day in an American School. The female Teacher introduces a new student. Sakiro Suzuki (son of Sony CEO).
The class starts.
Teacher : "Let's see who masters the American Culture History. Who said : GIVE ME THE FREEDOM OR THE DEATH".
It was quiet in the class. Suzuki raises the hand : "Patrick Henry 1775 in Philadelphia"
"Very good Suzuki. And who said : "The State is the people. The people may not go down.
Suzuki stands : "Abraham Lincoln 1863 in Washington".
The teacher looks at the students and says : "Shame you. Suzuki is Japanese and knows the American History better than you".
A voice is coming out from background : "Kiss my ass, you damned Japanese".
"Who said that ?" the teacher screams.
Suzuki raises the hand and without waiting he says : "General McArthur 1942 at Panama Canal and Lee Iacocca 1982 in the BOD meeting of General Motor".
The class is super quiet From behind : "I must vomit"
The teacher screams : "Who was that ?"
Suzuki answers : "George Bush Senior to Japanese First Minister Tanaka during lunch in Tokyo 1991"
One of the students stands and screams angrily : "Blow me one".
The teacher upset : "Now stop. Who was that now ?"
Suzuki without blinking the eye : "Bill Clinton to Monica Levinsky 1997 in Washington in oval room of White House".
Another student's stands and screams : "Suzuki damned you"
Suzuki says : "Valentino Rossi in Ryo at Grand Prix Motorcycle racing In South Africa 2002".
The class falls in hysteria, the teacher becomes unconscious. The door opens and the principal comes in : "F**k, I have never seen such a mess"
Suzuki : "German Chancellor Schroeder after he was betrayed in the budget by Finance Minister Eichel".
Kamis, 27 November 2008
Panurata bermimpi : Air berubah menjadi minyak
Jerawati pun suatu saat jengkel, "Mas, sudah tahu, air tidak bisa bercampur dengan minyak, tetep saja tiap hari dicampur campur...sampai minyak habis. Apa nggak nyadar sih, minyak kan mahal!! Kita saja kurang minyak untuk masak...eh malah buat mainan!! Sadar Mas,...Sadar...!! Dengan penuh kesabaran, Panurata menatap Jerawati, "Jeng...apa kita tidak boleh bermimpi, suatu saat terjadi penemuan yang menggegerkan jagad, air berubah jadi minyak, karena bisa bercampur.! Lalu dari pencampuran itu kan akan kelihatan...manakah unsur yang bisa membuat air bisa jadi minyak! Nah..sekarang ini saya lagi berusaha mencari unsur yang bisa mempersatukan air dan minyak...kalau unsur itu ketemu..wah...kita jadi orang kaya sedunia Jeng!! Jerawati makin cemberut,sampai maju 3 cm bibirnya maju..."Yeee...nggak usah mimpi deh...lihat kenyataan mas, nggak bakal minyak bisa bercampur dengan air, apalagi kok mau mengubah air menjadi minyak!" Panurata lalu berpangku tangan, mulai mengiyakan pendapat isterinya tercinta, "Jeng, memang benar, sampai sekarang, air tidak bisa bercampur dengan minyak, tapi apa salahnya sih aku mencoba?" Jerawati pun lalu mulai kendor ketegangannya, "Okey Mas, aku ikut mendukung percobaanmu...ehmm tapi apa kamu tidak konsultasi dengan seseorang yang bisa menjadi gurumu?" Panurata tersenyum, rasanya isteri tercinta mulai mendukung usahanya, "Okey, nanti aku cari!"
Benar, Panurata mencari seorang guru. Karena itu ia mencari seorang pinisepuh di Desanya, "Gemah Ripah". Pinisepuh itu namanya Mbah Gedhek. Simbah Gedhek menasihati Panurata katanya, "Dik Panu, saya salut dengan usahamu untuk membuat mimpimu jadi kenyataan, istilah yang bagus itu, a dream will come true! Nah, cobalah berjalan dari sini ke arah selatan menuju pegunungan Harta Karun, lalu carilah sebuah gua yang menghadap pantai selatan. Kalau kamu sudah memotong bukit itu, pasti akan ketemu pantai, tidak jauh dari situ akan ada gua yang bagus. Nah di situlah guru itu tinggal! Kira kira 50 km jaraknya!" Dengan wajah ceria penuh harapan, Panurata menanggapi petunjuk guru itu. "Mbah, saya boleh bertanya apa saja kepada guru itu?" Dengan senyum penuh wibawa, Mbah Gedhek pun geleng geleng kepala. "Tidak anakku, kamu hanya boleh bertanya satu kali saja, "unsur apa yang membuat air menjadi minyak?" Panurata pun hanya bisa mengatakan, "Baiklah kalau begitu!" Panurata lalu pamit dan berjalan dengan wajah bergairah, rasanya mimpi itu seolah olah sudah tinggal selangkah lagi!
Sepulang dari rumah Mbah Gedhek, Panurata lalu cerita kepada Jerawati. "Jeng, aku sudah tanya Mbah Gedhek. Aku harus ketemu seorang guru di gua, di balik pegunungan Harta Karun, Wilayah Provinsi Artomoro, sekitar 50 km. Dan dari jalan besar ke gua itu 25 km, hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki." Jerawati terpana, "Haah....tapi ya kalau memang sudah jadi niat dan tekadmu yang "keukeuh", aku hanya bisa mendukungmu dengan doa!". Panurata begitu bahagia malam itu, rasanya mimpi itu sudah mulai terpampang di depan matanya, seperti membalik telapak tangan.
Akhirnya pada sabtu pagi, sekitar pk 4 Panurata memulai perjalanan. Dia naik bis kota, dan sesampai di perbatasan Provinsi Artomoro yang berjarak 25 km dari desanya, dia lalu turun dan berjalan menuju gua di balik pegunungan Harta Karun. Dia melewati jalan sempit, perbukitan, kadang jalan setapak yang tepi kanan dan kirinya berupa jurang. Sabtu sore, menjelang jam 15, Panurata sampai di gua itu. Lalu masuklah, dan dengan suara keras dia menyapa, "Punteeeen..... Punteeeen...!!" Lalu keluarlah seorang gadis yang kelihatan dewasa, bernampilan rok panjang warna putih dan rambut panjangnya sebahu terurai. Gadis itu kelihatan cantik! Panurata lalu menyapa, "Maaf, apakah saya bisa mencari seorang guru yang mengajari saya segala ilmu?" Gadis itu menjawab, "Mas, dapat informasi dari siapa, kok jauh jauh mencari seorang guru sampai di sini?" Panurata pun dengan agak malu-malu menjawab, "dari Mbah Gedhek, Non!" Gadis itu, melipat tangan di dadanya, lalu menanggapi, "Ehmmm...begitu..iya benar..saya kenal beliau! Terus apa yang mau kamu tanyakan pada saya? Dan ingat, kamu hanya boleh bertanya satu pertanyaan, tidak boleh lebih." Panurata lalu menyahut, "Baik, saya akan ajukan satu pertanyaan!" Panurata masih kelihatan grogi, melihat gadis cantik yang katanya "guru" segala ilmu itu. Lalu Panuratapun mengajukan pertanyaan,."Non, apakah Anda sudah menikah?"
Begitulah cerita pendek itu berakhir, dan sampai sekarang, air tidak pernah berubah menjadi minyak, karena Panurata tidak tanya "unsur apa yang bisa membuat air jadi minyak", tetapi malahan bertanya, "Non, apakah Anda sudah menikah?"
Cerita itu memberikan pesan, "Begitu kuat niat dan tekad untuk mengubah segalanya, tapi ketika berhadapan dengan kenyataan sesungguhnya, kita kerap kali berubah pikiran."
Empati
By: Andy F Noya
Suatu malam, sepulang kerja, saya mampir di sebuah restoran cepat saji dikawasan Bintaro. Suasana sepi. Di luar hujan. Semua pelayan sudah berkemas. Restoran hendak tutup. Tetapi mungkin melihat wajah saya yang memelas karena lapar, salah seorang dari mereka memberi aba-aba untuk tetap melayani. Padahal, jika mau, bisa saja mereka menolak.
Sembari makan saya mulai mengamati kegiatan para pelayan restoran. Ada yang menghitung uang, mengemas peralatan masak, mengepel lantai dan ada pula yang membersihkan dan merapikan meja-meja yang berantakan.
Saya membayangkan rutinitas kehidupan mereka seperti itu dari hari ke hari. Selama ini hal tersebut luput dari perhatian saya. Jujur saja, jika menemani anak-anak makan di restoran cepat saji seperti ini, saya tidak terlalu hirau akan keberadaan mereka. Seakan mereka antara ada dan tiada. Mereka ada jika saya membutuhkan bantuan dan mereka serasa tiada jika saya terlalu asyik menyantap makanan.
Namun malam itu saya bisa melihat sesuatu yang selama ini seakan tak terlihat. Saya melihat bagaimana pelayan restoran itu membersihkan sisa-sisa makanan di atas meja. Pemandangan yang sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi, mungkin karena malam itu mata hati saya yang melihat, pemandangan tersebut menjadi istimewa.
Melihat tumpukan sisa makan di atas salah satu meja yang sedang dibersihkan, saya bertanya-tanya dalam hati: siapa sebenarnya yang baru saja bersantap di meja itu? Kalau dilihat dari sisa-sisa makanan yang berserakan, tampaknya rombongan yang cukup besar. Tetapi yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rombongan itu meninggalkan sampah bekas makanan.
Sungguh pemandangan yang menjijikan. Tulang-tulang ayam berserakan di atas meja. Padahal ada kotak-kotak karton yang bisa dijadikan tempat sampah. Nasi di sana-sini. Belum lagi di bawah kolong meja juga kotor oleh tumpahan remah-remah.
Mungkin rombongan itu membawa anak-anak.
Meja tersebut bagaikan ladang pembantaian. Tulang belulang berserakan. Saya tidak habis pikir bagaimana mereka begitu tega meninggalkan sampah berserakan seperti itu. Tak terpikir oleh mereka betapa sisa-sisa makanan yang menjijikan itu harus dibersihkan oleh seseorang, walau dia seorang pelayan sekalipun.
Sejak malam itu saya mengambil keputusan untuk membuang sendiri sisa makanan jika bersantap di restoran semacam itu. Saya juga meminta anak-anak melakukan hal yang sama. Awalnya tidak mudah. Sebelum ini saya juga pernah melakukannya.
Tetapi perbuatan saya itu justru menjadi bahan tertawaan teman-teman. Saya dibilang sok kebarat-baratan. Sok menunjukkan pernah keluar negeri. Sebab di banyak negara, terutama di Eropa dan Amerika, sudah jamak pelanggan membuang sendiri sisa makanan ke tong sampah. Pelayan terbatas karena tenaga kerja mahal.
Sebenarnya tidak terlalu sulit membersihkan sisa-sisa makanan kita. Tinggal meringkas lalu membuangnya di tempat sampah. Cuma butuh beberapa menit. Sebuah perbuatan kecil. Tetapi jika semua orang melakukannya, artinya akan besar sekali bagi para pelayan restoran.
Saya pernah membaca sebuah buku tentang perbuatan kecil yang punya arti besar. Termasuk kisah seorang bapak yang mengajak anaknya untuk membersihkan sampah di sebuah tanah kosong di kompleks rumah mereka. Karena setiap hari warga kompleks melihat sang bapak dan anaknya membersihkan sampah di situ, lama-lama mereka malu hati untuk membuang sampah disitu.
Belakangan seluruh warga bahkan tergerak untuk mengikuti jejak sang bapak itu dan ujung-ujungnya lingkungan perumahan menjadi bersih dan sehat. Padahal tidak ada satu kata pun dari bapak tersebut. Tidak ada slogan, umbul-umbul, apalagi spanduk atau baliho. Dia hanya memberikan keteladanan. Keteladanan kecil yang berdampak besar.
Saya juga pernah membaca cerita tentang kekuatan senyum. Jika saja setiap orang memberi senyum kepada paling sedikit satu orang yang dijumpainya hari itu, maka dampaknya akan luar biasa. Orang yang mendapat senyum akan merasa bahagia. Dia lalu akan tersenyum pada orang lain yang dijumpainya. Begitu seterusnya, sehingga senyum tadi meluas kepada banyak orang. Padahal asal mulanya hanya dari satu orang yang tersenyum.
Terilhami oleh sebuah cerita di sebuah buku "Chiken Soup", saya kerap membayar karcis tol bagi mobil di belakang saya. Tidak perduli siapa di belakang. Sebab dari cerita di buku itu, orang di belakang saya pasti akan merasa mendapat kejutan. Kejutan yang menyenangkan. Jika hari itu dia bahagia, maka harinya yang indah akan membuat dia menyebarkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang yang dia temui hari itu. Saya berharap virus itu dapat menyebar ke banyak orang.
Bayangkan jika Anda memberi pujian yang tulus bagi minimal satu orang setiap hari. Pujian itu akan memberi efek berantai ketika orang yang Anda puji merasa bahagia dan menularkan virus kebahagiaan tersebut kepada orang-orang di sekitarnya.
Anak saya yang di SD selalu mengingatkan jika saya lupa mengucapkan kata "terima kasih" saat petugas jalan tol memberikan karcis dan uang kembalian. Menurut dia, kata "terima kasih" merupakan "magic words" yang akan membuat orang lain senang. Begitu juga kata "tolong" ketika kita meminta bantuan orang lain, misalnya pembantu rumah tangga kita.
Dulu saya sering marah jika ada angkutan umum, misalnya bus, mikrolet, bajaj, atau angkot seenaknya menyerobot mobil saya. Sampai suatu hari istri saya mengingatkan bahwa saya harus berempati pada mereka. Para supir kendaraan umum itu harus berjuang untuk mengejar setoran. "Sementara kamu kan tidak mengejar setoran?'' Nasihat itu diperoleh istri saya dari sebuah tulisan almarhum Romo Mangunwijaya.Sejak saat itu, jika ada kendaraan umum yang menyerobot seenak udelnya,
saya segera teringat nasihat istri tersebut.
Saya membayangkan, alangkah indahnya hidup kita jika kita dapat membuat orang lain bahagia. Alangkah menyenangkannya jika kita bisa berempati pada perasaan orang lain. Betapa bahagianya jika kita menyadari dengan membuang sisa makanan kita di restoran cepat saji, kita sudah meringankan pekerjaan pelayan restoran.
Begitu juga dengan tidak membuang karcis tol begitu saja setelah membayar, kita sudah meringankan beban petugas kebersihan. Dengan tidak membuang permen karet sembarangan, kita sudah menghindari orang dari perasaan kesal karena sepatu atau celananya lengket kena permen karet.
Kita sering mengaku bangsa yang berbudaya tinggi tetapi berapa banyak di antara kita yang ketika berada di tempat-tempat publik, ketika membuka pintu, menahannya sebentar dan menoleh kebelakang untuk berjaga-jaga apakah ada orang lain di belakang kita? Saya pribadi sering melihat orang yang membuka pintu lalu melepaskannya begitu saja tanpa perduli orang di
belakangnya terbentur oleh pintu tersebut.
Jika kita mau, banyak hal kecil bisa kita lakukan. Hal yang tidak memberatkan kita tetapi besar artinya bagi orang lain. Mulailah dari hal-hal kecil-kecil. Mulailah dari diri Anda lebih dulu. Mulailah sekarang juga.
Rabu, 26 November 2008
Kebebasan
by Wayne B. Lynn
Suatu hari di musim semi yang berangin, aku mengamati anak-anak muda sedang memanfaatkan angin untuk menerbangkan layang-layang mereka. Beraneka warna dan bentuk serta ukuran memenuhi langit, menukik dan menari-nari di angkasa.
Ketika angin keras berhembus, layang-layang itu tertahan oleh seutas benang. Bukannya hilang tertiup angin, layang-layang itu malah membubung tinggi. Layang-layang itu bergetar menarik-narik, tapi benang tetap mengekang mereka, mengarahkan mereka ke atas menentang angin. Ketika
layang-layang berjuang serta bergetar melawan benang itu, mereka seakan berkata : "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku ingin bebas merdeka!"
Layang-layang itu melayang, membubung serta meluncur dengan indahnya meskipun mereka terikat oleh benang dan mendapat terpaan angin kencang.
Akhirnya, salah satu benang layang-layang itu putus. Layang-layang itu bebas. "Hura.., akhirnya aku bisa bebas juga", tampaknya itu yang dikatakan oleh layang-layang itu.
Namun kebebasan dari hambatan tali tadi membawa nasibnya ditentukan oleh tiupan angin yang kurang ramah. Ia - layang-layang putus itu - terombang-ambing sampai akhirnya jatuh ke tanah, mendarat di semak-semak liar.
Kebebasan itu berakhir, dia tinggal tidak berdaya ditiup angin kesana-kemari di atas tanah tanpa ada yang menolong dan akhirnya hancur berantakan.
Kitapun kadang-kadang mirip sekali dengan layang-layang. Tuhan memberi kita hukum dan peraturan-peraturan untuk diikuti agar kita bisa tahu cara untuk menggapai ketinggian. Tuhan juga memberi kita badai cobaan untuk meningkatkan kemampuan. Hambatan dan ujian adalah tantangan yang diperlukan agar kita semakin tinggi melayang. Tapi beberapa di antara kita menyentak dan meronta-ronta, mencoba lepas dari kekangan dan peraturan-peraturan, sehingga
kita malahan tidak berhasil membubung mencapai ketinggian yang semestinya kita raih. Kita tetap tertinggal di tanah.
Marilah kita masing-masing naik ke ketinggian yang disediakan oleh Tuhan kita. Kita sadari bahwa peraturan dan kesulitan yang Tuhan berikan sesungguhnya adalah tantangan yang membantu kita untuk bisa tinggal landas, melayang tinggi dan berhasil jaya. (JM)
Shared by Joe Gatuslao -- Bacolod City, Philippines
Selasa, 25 November 2008
Bakat terpendam
Kadang-kadang kita semua ingin menyangkal bakat alami yang Tuhan berikan, sebab dengan adanya bakat dan ketrampilan akan datang pula tuntutan tanggung jawab.
Mungkin diperlukan seseorang lain untuk menunjukkan suatu bakat khusus yang kita miliki. Misalnya, ketika pada suatu pertemuan, aku berkata : "Saya cuma punya satu bakat". Dengan itu saya mau merangsang pendengar-pendengarku untuk memakai bakat yang dimiliki. Tiba-tiba ada seorang wanita muda menemui saya, kemudian berkata : "Yang anda katakan tadi tidak benar". "Wah", aku ngomong sendiri, "apa aku tadi berbohong ?" Wanita itu melanjutkan dan membuatku tenang : "Aku tahu karya tulismu dan hal-hal lain yang anda kerjakan, tapi yang terbaik pada dirimu yaitu betapa akrabnya anda sebagai teman saat duduk ngobrol di perapian".
Jadi jelaslah bahwa kita bisa memakai suatu bakat biarpun kita tak sadar bahwa kita memilikinya. Malam itu aku merasa begitu berbesar hati ketika mengetahui, bahwa "hanya dengan duduk di perapian sambil menjadi sahabat" sudah merupakan "bakat" yang dianugerahkan Tuhan.
Kita bisa menghabiskan waktu sejam bersama dengan kawan-kawan untuk saling membantu mengenali dan menemukan bakat-bakat khusus yang telah kita terima. Dengan cara-cara sederhana seperti itu kita bisa saling menerangkan dan mendorong. Bukan lagi saatnya beralasan seperti : "Ah, aku tak bisa..... mengerjakan ini atau itu". Sebaliknya, akan lebih mermanfaat jika dapat saling membantu mengenali bakat dan kemampuan kita.
Mungkin kita bisa saja mempunyai beberapa pilihan mengenai bakat atau kemampuan yang kita miliki. Barangkali kita juga ingin mencoba menukar bakat kita dengan dengan yang lainnya yang lebih menarik. Tapi Allah kita yang Maha Bijaksana sudah memberikan dan membagi sesuai kehendakNya. Dan suatu hari Dia akan meminta pertanggungjawaban, bagaimana kita masing-masing telah memanfaatkan anugerah-anugerah itu.
Kalau anda dan saya ingin dipakai oleh Tuhan, sudah selayaknya bila kita mulai tekun mencari kemampuan khusus kita dan langsung segera mempraktekkannya.
Ada pertanyaan bagus yang boleh kita tanyakan kepada diri sendiri: Kalau bukan saya yang mengerjakannya hari ini, lantas siapa yang akan melakukan ? (JM)
By Jeanette Lockerbie,
That Unrecognized Talent.
Senin, 24 November 2008
Menyediakan segalanya
Seorang pimpinan sebuah toko mendengar bawahannya berkata pada seorang
langganan : "Maaf Bu, kami sudah sejak beberapa minggu ini belum
mendapatkannya dan kelihatannya kita tidak bakalan mendapatkannya dalam
waktu dekat ini".
Dengan kuatir, pimpinan itu bergegas lari menyusul si pelanggan yang sedang
berjalan keluar pintu, katanya : "Maaf Bu, itu tadi tidak benar. Tentu saja,
tidak lama lagi sudah akan kami terima, karena kami sudah mengirimkan
pesanan beberapa minggu yang lalu".
Lalu si manejer itu menarik pembantunya itu kesamping dan ia menasehati :
"Jangan jangan sekali-kali kau katakan kita tidak punya sesuatu. Kalaupun
kita tak punya, katakan saja kita sudah memesan dan sedang dalam perjalanan
kemari, pokoknya sudah dikirim dari sana, mengerti ? Sekarang, apa sih yang
Ibu tadi butuhkan ?"
"Hujan !"
Kadang-kadang sebanyak apapun yang ingin bisa kita sediakan bagi orang-orang
yang membutuhkannya, kenyataannya kita tidak mampu. Ada hal-hal lain yang
hanya bisa disediakan Allah.
Mungkin anda berada dalam situasi begitu akhir-akhir ini. Mungkin ada
anggota keluarga anda yang sedang menderita suatu penyakit berat. Atau
mungkin anda punya seorang anak yang sedang kuliah jauh dari rumah dan
sedang mengalami pencobaan dan kini sedang kesepian sekali. Atau mungkin ada
teman anda yang sedang mengalami masa-masa berat di dalam pernikahannya.
Ada beberapa hal kecil yang bisa anda bantu lakukan, namun pada akhirnya
anda begitu merasa tak berdaya, sebab anda benar-benar tak bisa menyediakan
apa yang benar-benar mereka butuhkan. Jadi anda lalu berdoa pada Tuhan,
sebab hanya Allah saja yang bisa menyediakan.
Terkadang kita membuat kesalahan dengan berpikir : "Berdoa, itu paling
sedikit yang bisa kita kerjakan".
Salah itu ! Bukan begitu, justru berdoa adalah yang paling banyak yang bisa
kita lakukan. Kita mempunyai Allah yang bisa menyediakan segala apa yang
kita sendiri tidak mampu lakukan. Ingatlah itu saat anda merasa tidak mampu
untuk memenuhi kebutuhan setiap orang di sekitar anda.
Shared by Joe Gatuslao
Jumat, 21 November 2008
Pilihan Bijaksana
Di saat menuju jam istirahat kelas, dosen mengatakan pada mahasiswa/i nya :
"Mari kita buat satu permainan, mohon bantu saya sebentar". Kemudian salah satu Mahasiswa berjalan menuju pelataran papan tulis.
DOSEN : Silahkan tulis 20 nama yang paling dekat dengan anda. Dalam sekejap sudah dituliskan semuanya, ada nama tetangganya, teman kantornya, orang terkasih dan lain-lain.
DOSEN : Sekarang silahkan coret satu nama diantaranya yang menurut anda paling tidak penting !
Siswa itu lalu mencoret satu nama, nama tetangganya.
DOSEN : Silahkan coret satu lagi !
Kemudian Siswa itu mencoret satu nama teman kantornya lagi.
DOSEN : Silahkan coret satu lagi !
Siswa itu mencoret lagi satu nama dari papan tulis dan seterusnya. Sampai pada akhirnya diatas papan tulis hanya tersisa tiga nama , yaitu nama orang tuanya, Istrinya dan nama anaknya. Dalam kelas tiba-tiba terasa begitu sunyi tanpa suara, semua Mahasiswa/siswi tertuju memandang ke arah dosen, dan mereka mengira sudah selesai tidak ada lagi yang harus dipilih oleh
siswi itu.
Tiba-tiba dosen memecahkan keheningan dengan berkata : "Silahkan coret satu lagi ! "
Dengan pelahan-lahan siswa itu melakukan suatu pilihan yang amat sangat sulit. Dia kemudian mengambil kapur tulis, mencoret nama orang tuanya.
DOSEN : "Silahkan coret satu lagi!"
Hatinya menjadi binggung. Kemudian ia mengangkat kapur tulis tinggi-tinggi. lambat laun menetapkan dan mencoret nama anaknya. Dalam sekejap waktu, sepertinya mahasiswa itu sangat sedih.
Setelah suasana tenang, Dosen lalu bertanya " Orang terkasihmu bukannya Orang tuamu dan Anakmu ?, Orang tua yang membesarkan anda, anak adalah anda yang merawatnya, sedang istri itu bisa dicari lagi. Tapi mengapa anda berbalik lebih memilih istri sebagai orang yang paling sulit untuk dipisahkan ?
Semua teman sekelas mengarah padanya, menunggu apa yang akan dijawabnya. Setelah agak tenang, kemudian pelahan-lahan ia berkata : "Sesuai waktu yang berlalu, orang tua akan pergi dan meninggalkan saya, sedang anak jika sudah besar setelah itu menikah bisa meninggalkan saya juga, yang benar-benar bisa menemani saya dalam hidup ini hanyalah istri saya.
Kamis, 20 November 2008
Baju-baju yang menipu
Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang
berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan
berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.
Mereka ingin bertemu Pimpinan.
Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka
adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard
dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.
"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.
Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa
pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi
nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan
untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.
"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan
pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang
sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia
melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar
kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.
Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.
Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun
pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini.
Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin
mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. Bolehkan ?",
tanyanya dengan mata yang menjeritkan harap.
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia
tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa
mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal.
Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."
"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin
mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk
Harvard."
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju
pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah
gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki
lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard
senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita
menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya
untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?"
Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan
perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah
Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk
seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas
tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas
atas di AS.
Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai.
Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat
tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap
menipu.
Rabu, 19 November 2008
Melampaui Suka Dan Duka
Ada pepatah mengatakan : Kehidupan itu seperti roda berputar, kadang naik kadang turun. Suatu siklus yang tidak terelakkan. Kalau sedang jaya, kita tertawa. Kalau sedang jatuh kita sedih. Gede Prama di bawah ini menuturkan : seharusnya baik jaya maupun jatuh kita bisa tetap tertawa. Bagaimana kiatnya ? Simak penuturannya berikut ini.
Melampaui Suka Dan Duka
Oleh: Gede Prama
Kalau sejarah manusia, dibentangkan dalam kurun waktu yang panjang dan lama, bisa jadi kebanyakan ditandai oleh siklus menaik dan menurun. Dalam spekulasi fikiran saya, mungkin tidak ada sejarah yang tidak ditandai siklus naik turun.
Coba perhatikan, kebanyakan manusia lahir sebagai anak-anak lengkap dengan sifat kekanak-kanakannya. Kemudian tumbuh dewasa - sebagian malah amat berkuasa, namun bagaimanapun hebat kekuasaannya, toh harus melewati masa-masa senja yang kekanan-kanakan lagi..
Demikian juga kisah banyak bangsa. Jepang, sebagai contoh, runtuh oleh kekalahan perang, kemudian pelan-pelan bangkit sebagai perekonomian yang berbasiskan barang murah dan kualitas rendah. Sekarang, sebagaimana kita tahu bersama, ia menjadi kekuatan ekonomi yang menentukan.
Di tengah-tengah sejarah yang by nature ditandai oleh siklus naik turun ini, kebanyakan orang hanya menjadi 'korban tidak berdaya'. Tatkala sejarah bergerak naik, tawa, bahagia yang kerap disertai kesombongan dan kecongkakanlah sahabatnya. Ketika sejarah bergerak turun, kesedihan dan air mata bergelimang di mana-mana. Jarang bahkan teramat jarang terjadi, ada manusia yang berhasil keluar dari perangkap naik turun ini.
Ini yang bisa menjelaskan, kenapa banyak bintang film/sinetron demikian cantik dan bersinar ketika masih jaya. Namun, jangankan kecantikan, yang lebih dalam dari penampilan fisikpun ikut pudar bersama ketidakterkenalannya. Atau, mereka yang demikian cepat meninggal ketika memasuki usia pensiun. Intinya cuma satu, ketika kehidupan bergerak naik, jarang ada orang yang sudah mempersiapkan diri - terutama secara kejiwaan - bahwa cepat atau lambat sang kehidupan pasti bergerak turun.
Dari seluruh ilustrasi ini, tampak jelas bahwa betapa lama kita manusia membiarkan diri menjadi korban tidak berdaya dari siklus suka dan duka. Hampir semua energi kita terkuras habis untuk naik turun bersama siklus tadi. Tidak sedikit persoalan manusia, justru berakar dari sini : hanya siap ketika naik, tidak siap tatkala turun.
Tidak hanya Anda, sebagai manusia biasa saya pun masih 'dipermainkan' oleh siklus tadi - kendati lewat meningkatnya kedewasaan dampak negatifnya semakin berkurang dan berkurang. Ada semacam kemanjaan untuk hanya menerima pujian, dan menolak kritikan orang lain. Ada sejenis kemaruk untuk hanya menerima kesenangan, dan menolak kesedihan. Ada dorongan dari dalam, agar keluarga menerima segala kelemahan saya, dan tidak siap menghadapi kenyataan bahwa ada segi hidup saya yang ditolak mereka.
Setelah lama dibuat amat lelah dengan siklus naik turun ini, saya sedang mempelajari hidup yang melampui suka dan duka. Banyak rekan yang ragu, kalau saya bisa melakukannya. Belum sepenuhnya berhasil memang - karena kadang masih dipermainkan siklus tadi, namun ada banyak sekali yang berubah dalam kehidupan saya, setelah jalan melampaui suka dan duka mulai ditempuh. Dengan niat hanya untuk berbagi - tidak ada niat lain, dan bahkan kalau ada yang mau melengkapi it's more than welcome - izinkan saya berbagi cerita bagaimana jalan melampaui suka dan duka saya buka dan jalani.
Pertama, penting sekali menyadari secara amat dalam, kalau suka dan duka itu pasti - sekali lagi pasti - datang silih berganti. Hanya persoalan waktu saja. Ketika Anda berpelukan dengan rasa suka, sadari dan ingatkan diri kalau dia akan diganti duka. Demikian juga sebaliknya. Tidak ada satupun mahluk Tuhan yang bisa membantahnya. Dengan kesadaran dan kesiapan seperti ini, pengaruh siklus suka-duka bisa dikurangi dalam kadar yang cukup menentukan. Di tingkatan yang lebih tinggi, belajarlah untuk berpelukan sama mesranya, antara berpelukan dengan suka maupun duka.
Kedua, meminjam logika dalam Roots of Wisdom yang ditulis Hong Yingming, manusia hidup seperti pemain teater. Ketika berpentas, aktor memiliki martabat dan rasa bangga - lebih-lebih kalau dia dipuja. Aktingnya mungkin bagus. Namun, ketika pertunjukan selesai, ia hanyalah orang biasa. Demikian juga kehidupan setiap orang. Berawal dari orang biasa dan berakhir sebagai orang biasa. Dengan menyadari akar dalam bentuk orang biasa, sehebat apapun siklus suka-duka, dia tidak akan bisa menghempaskan kita. Sebab, bagaimana bisa terhempas, kalau setiap saat kita mengingatkan diri akan asal muasal kita sebagai orang biasa.
Ketiga, baik suka dan duka sebenarnya tidak ada pada jabatan, uang maupun kejadian. Semuanya adalah hasil produksi fikiran. Fikiranlah yang membuatnya demikian. Nah, melampaui suka-duka berarti melampaui fikiran. Ada banyak rekan yang tidak percaya kalau fikiran bisa dilampaui. Seolah-olah, tidak ada dunia di luar fikiran. Dalam kesederhanaan ingin saya bertutur ke Anda, dengan mendalami bahwa ada suka dalam duka, dan ada duka dalam setiap suka, maka kita sudah membuat langkah pertama menuju melampaui sang fikiran.
Kalau kehidupan diibaratkan dengan perjalanan. Dalam kehidupan yang telah melampaui fikiran, di mana-mana tersedia 'petunjuk jalan'. Pada banyak kejadian terbukti, ada saja kekuatan yang membuat kehidupan mengalir tanpa paksaan. Ada memang orang yang menyebut kehidupan seperti ini seperti kaos kaki (baca : selalu diinjak). Ada juga orang yang bahkan menyebut kehidupan seperti ini dengan kehidupan yang tercerahkan. Saya sendiri kurang menyukai sebutan, karena dia juga output fikiran.
Selasa, 18 November 2008
Matematika Cinta
Oleh: Gede Prama
Entah cerita ini benar atau tidak, dan saya tidak bisa mempertanggungjawabkannya, pada sebuah kelas pendidikan pemberantasan buta huruf yang diisi berbagai macam orang dewasa dengan beragam latar belakang di sebuah pojokan kota Jakarta, pernah terjadi sebuah dialog menarik. Ketika guru bertanya satu tambah satu sama dengan berapa, jawaban siswanya amat beragam.
Yang pertama langsung menjawab adalah murid dari Batak, dengan jawaban jelas dan tegas : dua! Murid-murid asli Jawa yang terkenal santun dan luwes, setelah mengerutkan dahi tanda serius dan menghargai gurunya, mereka sepakat menjawab : bisa tiga kurang satu, bisa juga empat dikurangi dua. Sahabat dari Sunda juga menjawab sopan : kumaha Bapa Wae.
Dan yang memperoleh perhatian paling banyak adalah jawaban rekan dari Padang. Mereka menyebut bahwa satu tambah satu sama dengan tiga. Ketika ditanya balik alasannya, serempak mereka menjawab : kalau satu tambah satu sama dengan dua, artinya pulang modal. Jadi, mesti ada untung sekurang-kurangnya satu!
Itulah matematika realita yang penuh dinamika. Bukan matematika ala sekolahan yang membuat semuanya serba steril, serta kurang dinamika. Dan Andapun bebas memilih matematika yang mana, entah matematika realita, atau matematika sekolahan. Tidak ada pilihan yang selalu lebih baik, selalu tepat, apa lagi selalu benar. Semuanya senantiasa dibingkai keterbatasan seperti ruang dan waktu.
Serupa dengan matematika realita tadi, ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) kalau boleh jujur sebenarnya juga penuh dinamika. Ada juga yang mensterilkan iptek, namun sebagai sebuah kendaraan kehidupan, sulit diingkari kalau manusia tidak saja mengelola iptek, tetapi iptek juga mengelola kita manusia. Seperti berada dalam lingkaran dialektis yang tidak mengenal henti, demikianlah nasib manusia dan iptek. Studi-studi bagaimana manusia mempengaruhi iptek ada segudang. Sayangnya, studi-studi sebaliknya, bagaimana teknologi juga sedang membuat manusia secara meyakinkan, hanya tersedia dalam bentuk
terbatas. Dalam keadaan demikian, bisa dimaklumi kalau sering kali kita hanya bisa terkejut, terbengong-bengong tidak mengerti kenapa kita bisa sampai di sini.
Sebut saja teknologi SMS sebagai sebuah contoh, hampir seluruh interaksi manusia - bahkan sampai ke orang desa yang mengenal HP - berubah karena teknologi terakhir. Rapat melalui SMS, bukankah tidak terbayangkan sebelumnya? Revolusi menjatuhkan sebuah rezim di Pilipina juga bersenjatakan SMS. Bahkan orang selingkuhpun sekarang banyak menggunakan SMS. Kalau logis tidaknya sebuah perkembangan dicarikan basis legitimasinya di masa lalu (baca: empirical basis sebagai
satu-satunya basis logika manusia modern) maka tentu saja teknologi SMS ini tidak logis. Namun seberapa tidak logispun dia, tetap sedang menghadirkan perubahan revolusioner.
Dalam cahaya kejernihan seperti ini, mungkin sudah saatnya memikirkan konstruksi iptek yang hanya berdiri di atas fundamen-fundamen empirik semata. Ada fundamen lain yang juga layak untuk direnungkan kembali. Dalam proses pencaharian fundamen-fundamen lain ini, tiba-tiba saja saya dan sebagian publik dihentakkan oleh kisah film Beautiful Mind
yang memperoleh delapan academy award - kalau tidak salah.
Film ini memang berkisah tentang seorang matematikawan brilian yang bernama John Nash. Demikian cintanya ia akan matematika, sampai-sampai kehidupan sosialnya terbengkalaikan. Dan jadilah ia manusia yang aneh dalam ukuran kebanyakan orang. Teorinya yang disebut governing dynamics memang menghebohkan dan amat berpengaruh. Tetapi sebagaimana karya besar yang kerap juga menuntut harga besar, hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan John Nash.
Ia mengalami kehidupan yang amat berbeda dengan orang kebanyakan. Bahkan terpaksa harus dibawa ke rumah sakit gangguan jiwa. Bertahun-tahun harus mengalami perawatan yang membuat keluarganya demikian menderita. Penyembuhannyapun melalui pengorbanan keluarga dan kerabat dekat yang biayanya tidak kecil. Namun, cerita ini berakhir
mengagumkan. John Nash memperoleh hadiah nobel karena teori governing dynamics-nya. Dan dalam pidatonya yang mengagumkan, ia menyebut kalimat yang kurang lebih berbunyi begini: "Di luar realita fisika dan metafisika, ada keseimbangan misterius cinta."
Ya sekali lagi, keseimbangan misterius cinta, istilah asli John Nash adalah the mysterious balance of love. Saya mencoba menyebutnya dengan matematika cinta. Agak berbeda dengan banyak orang yang menyebut cinta sebatas dalam ruangan perasaan, ada ruangan cinta lain yang terlupakan : cinta juga sebuah kekuatan. Cinta istri John Nash adalah kekuatan besar
yang ada di balik hidupnya yang mengagumkan.
Contoh lain yang kerap saya pakai adalah sejarah India. Di tahun 1940-an salah satu tentara terkuat di dunia ketika itu adalah tentara Inggris. Namun, kendatipun memiliki jumlah tentara besar lengkap dengan persenjataannya yang juga besar, tentara Inggris harus ditarik mundur karena kekuatan cinta seorang manusia kurus kering, berbaju seadanya yang bernama Mahatma Gandhi. Ibu Theresa juga serupa, kendati setiap hari bergelut dengan orang-orang yang berpenyakit kusta, tidak pernah terdengar kalau beliau tertular penyakit yang sama.
Ini menghadirkan pemahaman, cinta juga meningkatkan kekebalan tubuh. Buku Bernie Siegel (seorang dokter ahli bedah asli Amerika) dengan judul Love, Medicine and Miracle bercerita banyak sekali di ruangan cinta sebagai kekuatan. Sekaligus memberikan basis logika yang cukup meyakinkan. Dan masih ada lagi bukti lainnya.
Aswin Wiryadi - seorang sahabat dekat yang menjadi direktur BCA - suatu hari mengirimkan SMS yang berbunyi begini. Pria pintar bertemu wanita pintar, kemungkinan hasilnya adalah romantika. Pria pintar bertemu wanita bodoh, hasilnya adalah selingkuh. Pria bodoh bertemu wanita pintar, ujung-ujungnya adalah pernikahan. Pria goblok bertemu wanita goblok, apa lagi akhir ceritanya kalau bukan kehamilan?
Saya tidak tahu suasana psikologis Pak Aswin ketika mengirimkan SMS ini ke saya. Apakah ia sedang merangkai matematika cinta, atau ia sedang melucu, atau sedang menceritakan pengalamannya sendiri, sampai hari ini saya tidak pernah melakukan konfirmasi. Dan Andapun boleh menyimpulkan bebas, apakah matematika cinta yang menjadi judul tulisan ini ada kaitannya dengan SMS tadi, atau SMS tadi hanya mengada-ada, atau tulisan ini yang diada-adakan. Yang jelas, seorang sahabat dekat menyimpulkannya dengan sebuah senyuman : ada-ada saja!
Senin, 17 November 2008
Pengakuan
Seorang pengemis duduk mengulurkan tangannya di sudut jalan. Tolstoy,
penulis besar Rusia yang kebetulan lewat di depannya, langsung berhenti dan
mencoba mencari uang logam di sakunya. Ternyata tak ada. Dengan amat sedih
ia berkata, "Janganlah marah kepadaku, hai Saudaraku. Aku tidak bawa uang."
Mendengar kata-kata itu, wajah pengemis berbinar-binar, dan ia menjawab,
"Tak apa-apa Tuan. Saya gembira sekali, karena Anda menyebut saya saudara.
Ini pemberian yang sangat besar bagi saya."
Setiap manusia, apapun latar belakangnya, memiliki kesamaan yang mendasar:
ingin dipuji, diakui, didengarkan dan dihormati.
Kebutuhan ini sering terlupakan begitu saja. Banyak manajer yang masih
beranggapan bahwa orang hanya termotivasi uang. Mereka lupa, nilai uang
hanya bertahan sampai uang itu habis dibelanjakan. Ini sesuai dengan teori
Herzberg yang mengatakan bahwa uang tak akan pernah mendatangkan kepuasan
dalam bekerja.
Manusia bukan sekadar makhluk fisik, tapi juga makhluk spiritual yang
membutuhkan sesuatu yang jauh lebih bernilai. Mereka butuh penghargaan dan
pengakuan atas kontribusi mereka. Tak perlu sesuatu yang sulit atau mahal,
ini bisa sesederhana pujian yang tulus.
Namun, memberikan pujian ternyata bukan mudah.
Jauh lebih mudah mengritik orang lain.
Seorang kawan pernah mengatakan, "Bukannya saya tak mau memuji bawahan, tapi
saya benar-benar tak tahu apa yang perlu saya puji. Kinerjanya begitu
buruk." "Tahukah Anda kenapa kinerjanya begitu buruk?" saya balik bertanya.
"Karena Anda sama sekali tak pernah memujinya!"
Persoalannya, mengapa kita begitu sulit memberi pujian pada orang lain?
Menurut saya, ada tiga hal penyebabnya, dan kesemuanya berakar pada cara
kita memandang orang lain.
Pertama, kita tidak tulus mencintai mereka. Cinta kita bukanlah
unconditional love, tetapi cinta bersyarat. Kita mencintai pasangan kita
karena ia mengikuti kemauan kita, kita mencintai anak-anak kita karena
mereka berprestasi di sekolah, kita mengasihi bawahan kita karena mereka
memenuhi target pekerjaan yang telah ditetapkan.
Perhatikanlah kata-kata di atas: cinta bersyarat. Artinya, kalau
syarat-syarat tidak terpenuhi, cinta kita pun memudar. Padahal, cinta yang
tulus seperti pepatah Perancis: L`amour n`est pas parce que mais malgre.
Cinta adalah bukan "cinta karena", tetapi "cinta walaupun". Inilah cinta
yang tulus, yang tanpa kondisi dan persyaratan apapun.
Cinta tanpa syarat adalah penjelmaan sikap Tuhan yang memberikan rahmatNya
tanpa pilih kasih. Cinta Tuhan adalah "cinta walaupun". Walaupun Anda
mengingkari nikmatNya, Dia tetap memberikan kepada Anda. Lihatlah bagaimana
Dia menumbuhkan bunga-bunga yang indah untuk dapat dinikmati siapa saja tak
peduli si baik atau si jahat. Dengan paradigma ini, Anda akan menjadi
manusia yang tulus, yang senantiasa melihat sisi positif orang lain. Ini
bisa memudahkan Anda memberi pujian.
Kesalahan kedua, kita lupa bahwa setiap manusia itu unik. Ada cerita
mengenai seorang turis yang masuk toko barang unik dan antik. Ia berkata,
"Tunjukkan pada saya barang paling unik dari semua yang ada di sini!"
Pemilik toko memeriksa ratusan barang: binatang kering berisi kapuk,
tengkorak, burung yang diawetkan, kepala rusa, lalu berpaling ke turis dan
berkata, "Barang yang paling unik di toko ini tak dapat disangkal adalah
saya sendiri!"
Setiap manusia adalah unik, tak ada dua orang yang persis sama. Kita sering
menyamaratakan orang, sehingga membuat kita tak tertarik pada orang lain.
Padahal, dengan menyadari bahwa tiap orang berbeda, kita akan berusaha
mencari daya tarik dan inner beauty setiap orang. Dengan demikian, kita akan
mudah sekali memberi pujian.
Kesalahan ketiga disebut paradigm paralysis. Kita sering gagal melihat
orang lain secara apa adanya, karena kita terperangkap dalam paradigma yang
kita buat sendiri mengenai orang itu. Tanpa disadari kita sering
mengotak-ngotakkan orang. Kita menempatkan mereka dalam label-label: orang
ini membosankan, orang itu menyebalkan, orang ini egois, orang itu mau
menang sendiri. Inilah persoalannya: kita gagal melihat setiap orang sebagai
manusia yang "segar dan baru". Padahal, pasangan, anak, kawan, dan bawahan
kita yang sekarang bukanlah mereka yang kita lihat kemarin. Mereka berubah
dan senantiasa baru dan segar setiap saat.
Penyakit yang kita alami, apalagi menghadapi orang yang sudah bertahun-tahun
berinteraksi dengan kita adalah 4 L (Lu Lagi, Lu Lagi -- bahasa Jakarta).
Kita sudah merasa tahu, paham dan hafal mengenai orang itu. Kita menganggap
tak ada lagi sesuatu yang baru dari mereka. Maka, di hadapan kita mereka
telah kehilangan daya tariknya.
Sewaktu membuat tulisan ini, istri saya pun menyindir saya dengan mengatakan
bahwa saya tak terlalu sering lagi memujinya setelah kami menikah. Sebelum
menikah dulu, saya tak pernah kehabisan bahan untuk memujinya. Sindiran ini,
tentu, membuat saya tersipu-sipu dan benar-benar mati kutu.
Pujian yang tulus merupakan penjelmaan Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha
Penyayang. Maka, ia mengandung energi positif yang amat dahsyat. Saya telah
mencoba menerapkan pujian dan ucapan terima kasih kepada orang-orang yang
saya jumpai: istri, pembantu yang membukakan pagar setiap pagi, bawahan di
kantor, resepsionis di kantor klien, tukang parkir, satpam, penjaga toko
maupun petugas di jalan tol.
Efeknya ternyata luar biasa. Pembantu bahkan menjawab ucapan terima kasih
saya dengan doa, "Hati-hati di jalan Pak!" Orang-orang yang saya jumpai juga
senantiasa memberi senyuman yang membahagiakan. Sepertinya mereka terbebas
dari rutinitas pekerjaan yang menjemukan.
Pujian memang mengandung energi yang bisa mencerahkan, memotivasi, membuat
orang bahagia dan bersyukur. Yang lebih penting, membuat orang merasa
dimanusiakan.
Penulis adalah dosen FISIP Universitas Indonesia dan konsultan di
Dunamis-Franklincovey Indonesia
Oleh: Arvan Pardiansyah
Rabu, 12 November 2008
Standford
Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar dan suaminya yang berpakaian
sederhana dan terlihat usang, turun dari kereta api di Boston, dan ber-
jalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University dan meminta
janji temu. Sang sekretaris langsung mendapat kesan bahwa orang kampung,
udik seperti ini, tidak ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak
pantas berada di Cambridge.
"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang Pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.
Selama 4 jam Sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa
pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi ternyata
tidak, dan sang sekretaris mulai frustrasi dan akhirnya memutuskan untuk
melaporkan kepada sang Pimpinan.
"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,"
katanya pada sang Pimpinan Harvard.
Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting
dia pasti tidak punya waktu untuk mereka, tetapi dia tidak menyukai ada
orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya. Sang
Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut.
Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun
pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi
setahun yang lalu, dia me-ninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan
peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini."
Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh... dia bahkan terkejut. "Nyonya,"
katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang
yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini akan
seperti kuburan."
"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat,
"Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah
gedung untuk Harvard."
Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar
dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung! Apakah
kalian tahu berapa harga sebuah gedung?! Kami memerlukan lebih dari 7,5 juta
dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."
Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang.
Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada
suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai
sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?" Suaminya
mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.
Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan
perjalanan ke Palo Alto, California, dimana mereka mendirikan sebuah
Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang
anak yang tidak lagi diperdu-likan oleh Harvard.
Anda bisa dengan gampang menilai karakter orang lain dengan melihat
bagaimana mereka memperlakukan orang-orang yang mereka pikir tidak dapat
berbuat apa-apa untuk mereka.
-- by Malcolm Forbes.